Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 34

Bennett

Kosong.

Begitulah rasanya rumah ini. Mungkin itu juga yang kurasakan dalam diriku. Hujan menghantam kaca jendela, mengaburkan pandanganku pada dunia luar dari tempat aku berdiri di ruang keluarga. Tetes hujan jatuh dari rambutku dan mengalir terus ke lantai keramik, yang sudah berlumpur dan berbekas telapak sepatuku. Terlambat sadar kalau aku lupa membukanya.

Jendela itu merefleksikan bayangan raut putus asa, tapi aku tidak dapat memprosesnya. Yang dapat kulihat hanyalah bayangan yang terus terputar di dalam pikiranku—Henley, air matanya, berjalan menjauh dariku. Langsung ke arah Lee.

Aku terkesiap, menekan dadaku saat merasakannya sakit sekali. Tubuhku menegang, mencoba untuk melawan rasa sakit dan menunggunya berlalu. Bintik-bintik mengaburkan pandanganku dan terhuyung-huyung berjalan ke tangga, menggunakan pegangan tangga untuk menyokong diriku bangkit menuju ke kamar mandi. Mencari botol penghilang rasa sakit terkeras milikku, kutuangkan beberapa di tangan lalu menelannya tanpa air.

Apa yang dilakukan Lee di sini? Bagaimana dia bisa ada di sini? Kenapa dia ada di sini? Kenapa tidak ada yang mengatakan kepadaku kalau dia akan datang? Apakah aku melakukan kesalahan? Apa dia dibawa ke sini karena aku? Dia akan mengambil alih perusahaan? Dia tidak bisa. Dia tidak bisa.

"Ugh," aku mengerang, petir kembali menyambar.

Tenanglah, aku memperingatkan diriku sendiri.

Lebih mudah dikatakan daripada dilakukan. Kuremas pahaku, bernapas dalam-dalam dan menghembuskannya secara perlahan. Pikiranku masih mencari jawaban kenapa Lee muncul di rumahku. Aku sudah melakukan apapun yang diminta ibu. Dia membuatku berjanji. Lee tidak seharusnya berada di sini. Apa ada peraturan lain yang kulewatkan? Aku sudah putus dengan Henley, apa itu tidak cukup untuknya?

Apa dia tahu Henley datang ke rumahku? Apa dia bisa masuk ke sistem keamananku? Tapi bagaimana bisa itu jadi kesalahanku? Aku tidak dapat menghentikan Henley datang ke rumahku. Apa aku harus menyiapkan pengawasan sepanjang waktu untuk memastikan dia tidak datang lagi?

Kukuku menancap semakin dalam ke kulitku.

Zzzt. Zzzt.

Aku tersentak karena suara itu, seperti baru saja tersengat aliran listrik. Suaranya datang dari ponselku. Layarnya mengedipkan tulisan IBU. Menjadikannya sebuah peringatan.

"Bagaimana kabarmu?" dia bertanya segera setelah aku menjawab telepon. Nada bicaranya terdengar normal—jelas dan serak. Jika ada sesuatu yang terjadi, nada bicaranya tidak akan setenang ini. Ini membuatku tertegun.

"Aku..."

"Bennett, ini untuk kebaikanmu. Kau tidak bertemu dengannya lagikan?"

Jika mendengar reaksinya, ibu sepertinya tidak tahu Henley datang. Lalu kenapa Lee muncul? Apa ibu tidak tahu Lee ada di sini? Kepanikan lain melandaku. Jika ibu tidak tahu, maka dia tidak boleh mengetahuinya. Jika dia tahu Lee telah kembali... aku menelan ludah dengan susah payah, berusaha keras untuk menjaga nada suaraku tetap biasa. "Apa yang kau inginkan?"

"Jangan gunakan nada itu padaku. Aku hanya menghubungi untuk memeriksa keadaanmu. Doktermu mengatakan kau sepertinya mengalami masalah dalam mengatasi stres. Kurasa ini sudah saatnya kau menemukan dokter baru. Aku tahu anakku tidak selemah itu."

Otot di tanganku gemetar ketika aku mengencangkan cengkraman di ponselku. "Itu kecemasan dan itu bukan kelemahan."

Dia tergelak. "Oh ayolah, Bennett. Apa yang kau cemaskan di dunia ini?

KAU! Aku ingin meneriakkannya. Lee. Henley. Aku. Seluruh hidupku.

"Coba dan buat dirimu tenang malam ini. Besok kau harus datang ke rumahku pukul 5:00 PM."

"Kenapa?"

"Aku sudah mengundang Cecil dan putrinya untuk makan malam dengan kita. Kau ingat Cara kan, Bennett? Sepertinya dia memiliki ketertarikan padamu. Berpakaianlah yang rapi. Sampai jumpa lagi nanti."

Sebelum aku dapat mengeluarkan kata dari mulutku, dia menutupnya. Aku menurunkan kembali tanganku dari telinga dan ingin melemparkan ponselku ke suatu tempat, apa pun, menghentikan diriku sebelum tanganku melepaskan ponsel itu. Sebaliknya, aku menendang wastafel, mengerang di sela-sela gigiku. Mataku menangkap bayanganku di cermin, dengan mata merah serta depresi tercermin di sana. Aku nyaris tidak mengenali diriku. Keinginan untuk menghantam cermin datang, aku menutup mataku rapat-rapat, mencoba membuat bayangan depresi itu menghilang.

Pikiranku berkecamuk seperti tornado. Bayangan Henley menangis. Lee tersenyum. Seseorang berambut pirang yang nyaris tidak kuingat dan tidak begitu kupedulikan. Kata-kata mengancam ibuku. Rasanya pikiranku seperti ingin meledak. Aku tidak bisa mengatasinya.

Henry.

Jika ada seseorang yang mengetahui apa yang terjadi, pasti adalah dia. Aku menekan kontaknya dan menekan tombol panggil, mengetuk nada-nada pendek di wastafel. Panggilan itu langsung masuk ke kotak suara. Kucoba menghubungi lagi, dan menerima respons yang sama. Henry tidak pernah melewatkan panggilannya.

Mengganti taktik, aku menghubungi Sebastian, hanya untuk mendengar rekaman suaranya yang memintaku untuk meninggalkan pesan juga. Aku mencoba beberapa kali sebelum kembali ke nomor Henry.

Tidak ada.

Tanganku mengusap wajahku. Sesuatu sedang terjadi. Sesuatu yang aku rela tidak diikutkan. Dan tentu saja ada hubungannya dengan Lee. Aku tidak butuh ini. Tidak sekarang. Tidak ada yang berjalan benar untukku. Kenapa tidak ada yang berada di sini saat aku sangat membutuhkan mereka?

Hampir seperti mode autopilot, aku menggulir nama Henley di dalam kontakku. Jika saja aku bisa bicara dengannya maka aku bisa lebih tenang dan memikirkan ini dengan cara yang lebih rasional. Dia hanya perlu datang dan membiarkanku beristirahat di pelukannya—tapi dia tidak bisa. Aku tidak bisa melihatnya lagi. Aku harus melakukannya, untuk Lee. Semuanya untuk Lee.

Aku tidak ingin berpikir lagi. Keluar dari kamar mandi, aku buru-buru mengganti pakaianku yang basah dengan yang baru, mengambil kunci, dan berjalan keluar pintu. Hujan masih turun dari langit ketika aku berlari ke dalam mobilku, mencoba untuk tetap kering sebisaku. Situasi yang sempurna untuk melalui malam ini.

Perjalanan ke McKellan's biasanya adalah dua puluh menit mengemudi, tapi malam ini aku sudah membuat rekor baru. Tempat itu sepi tidak seperti biasanya ketika aku masuk ke dalam, tapi aku senang. Keramaian yang biasanya dari tempat ini bukanlah sesuatu yang aku cari malam ini.

"Well, well, well. Lihat siapa yang datang ke sini. Lama tidak melihatmu, orang asing!" sebuah suara yang gembira berseru padaku dan aku menatap ke arah bar, melihat pemiliknya, Wilson melambaikan tangan padaku.

"Senang melihatmu lagi," kataku, mencoba untuk terdengar senang lebih dari apa yang kurasakan dan mengulurkan tanganku padanya.

"Kukira kau sudah melupakanku. Bagaimana dengan whisky masam dari tempat ini?"

"Hanya whisky saja, please. Single malt. Yang paling keras yang kau punya."

Mengangguk dan tanpa bertanya lebih lanjut, dia pergi untuk menuangkan minuman untukku. Sesapan pertama terasa sangat keras dan membakar, tepat seperti apa yang kuinginkan. Mata Wilson membara dengan pertanyaan yang tidak tertanyakan, tapi dengan penuh hormat dia menahannya. Aku tahu apa pertanyaanya.

Ke mana saja kau sejak kecelakaan?

Apa kakak laki-lakimu baik-baik saja?

Bagaimana bisa aku kembali ke tempat yang menyimpan banyak kenangan tidak menyenangkan? Aku tidak tahu apa yang membuatku kembali ke sini malam ini, tapi aku sudah mulai menyesalinya. Aku hanya ingin ke suatu tempat yang terasa familiar. Tempat ini tidak membuat kilas balik dalam kepalaku menghilang. Bagaimana aku membiarkan Lee pergi, sendiri dan mabuk. Bagaimana jika aku tidak pernah membiarkan dia pergi malam itu? Apakah semuanya akan jadi berbeda? Akankah kami tetap duduk di sini seperti biasanya setiap Sabtu malam? Atau mungkinkah dia akan menemukan cara lain jika aku menghentikannya?

Aku tahu Wilson memiliki pertanyaan yang sama denganku. Dia mungkin ingin mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Tapi aku bahkan tidak tahu itu. Ibuku bilang dia melemparkan dirinya ke depan mobil dan aku tidak pernah mendapatkan kesempatan untuk bertanya kepadanya kenapa.

Namun dia di sini sekarang. Dan aku tidak dapat menghubunginya. Atau lebih tepatnya, tidak ada yang membiarkanku menghubunginya. Kenapa?

Jari tanganku melingkari gelasku, membawanya ke bibirku. Menenggak sisa gelas itu, melawan keinginan untuk terbatuk yang menyusul kemudian. Rasanya tidak benar minum whisky seperti ini. Minuman ini seharusnya dinikmati. Tapi sekarang, aku hanya ingin berhenti berpikir.

Aku berhenti berpikir di gelas keempat dan di saat yang sama aku mulai merasa bar ini berputar-putar sedikit. Butuh usaha lebih untuk mempertahankan diriku tetap duduk dengan benar di atas kursi bar. Whisky itu sudah kehilangan rasanya di satu gelas sebelumnya. Biasanya itu adalah tanda bagiku untuk menyudahi alkoholnya, tapi malam ini tidak demikian.

"Wilson," kataku, mencoba memanggil namanya.

"Kupikir mungkin kau melupakan namaku," dia menjawab, memberikanku kedipan sebelah matanya. "Kau baik-baik saja? Kurasa aku perlu menyudahinya untukmu."

Aku mengeratkan pakaian model lamaku dengan gelagat protektif.

Dia terkekeh. "Well, Kukira kau tahu batasanmu."

"Kenapa aku harus tahu batasanku?"

"Pertanyaan yang berasal lubuk hatimu membuatku berpikir mungkin kau memang sudah sampai pada batasanmu."

"Aku penasaran bagaimana rasanya jadi orang biasa," kataku, melambaikan tanganku ke arah bar. "Hanya perlu mengkhawatirkan tentang menjalankan pub. Itu pasti mudah. Ah, tidak ingin mengatakan kalau kau orang biasa. Maksudku aku bukan orang biasa. Di atas biasa. Sangat di atas."

Wilson menatapku ketika dia mulai mengeringkan bagian dalam gelas. "Kau datang setelah sekian lama untuk pamer?"

"Aku bukannya pamer. Aku sedang mengeluh. Apa aku tidak boleh mengeluh? Apa ada hal yang boleh kulakukkan?"

"Kau benar-benar menunjukkan usiamu malam ini, Mr. Calloway. Biasanya kau berkelakuan lebih tua dari usiamu sebenarnya. Rasanya menyenangkan, meskipun kau sedang mabuk."

"Tentu saja aku berkelakuan lebih tua. Ibuku memperlakukanku seperti aku sudah berusia tiga puluh tahun seumur hidupku," aku bergumam. "Dari pada bermain videogames aku mengerjakan laporan keuangan." untuk beberapa alasan pikiran itu membuatku tertawa. Tawa itu tercekat menjadi sesuatu yang lebih menyedihkan.

Wilson tanpa bicara menggeserkan minuman lagi padaku.

Hingga waktunya hampir tutup, aku masih duduk tegak di kursi bar, tidak berpindah. Atau mungkin aku memang bergerak. Aku tidak bisa benar-benar mengatakannya. Seluruh wajahku terasa panas dan aku terus meminta es untuk mendinginkannya.

"Apa ada seseorang yang bisa kuhubungi untukmu?" Wilson bertanya padaku, matanya penuh kecemasan.

"Tidak ada yang akan menjawab," kataku getir, berpegangan pada permukaan meja bar ketika gravitasi mendadak berpindah ke kanan. "Woah."

Sesuatu mulai bergetar di dalam sakuku dan aku membeku, benar-benar bingung hingga aku teringat kalau ponsel ada di sana. Kukeluarkan dia dari sana dan melihat Henry menelepon.

"Kau dipecat," aku bergumam tidak jelas di telepon sebelum menutupnya.

Aku langsung menghubunginya kembali. "Maafkan aku."

"Mr. Calloway...?" dia bertanya dengan ragu.

"Kau, uh." Apa yang dilakukan Henry? Aku marah padanya, benarkan? "Kau bersama Henley. Tidak, kau dengan Lee. Kau bersama Lee," aku mengulang dan rasa takut yang coba kulupakan kembali menghantamku. Kemudian ingatan Henley yang menangis. Ingatan Lee berdiri di tengah hujan, memegang payung merah. Henley. Lee. Aku harus memilih.

Aku memilih Lee.

Sebelum aku mengetahuinya aku sudah jatuh ke lantai, ponsel itu terlepas dari tanganku. Aku tidak dapat menemukan kekuatan untuk bangkit. Dunia terasa berputar dan mendadak aku merasa mual. Kututup mataku, menyandarkan kepalaku di kaki kursi. "Maafkan aku, Henley. Maafkan aku. Aku sungguh menyesal."

Wilson mengangkatku dari lantai, mengarahkanku ke stan. "Tunggu di sini. Aku akan hubungi seseorang untuk menjemputmu."

"Jangan ibuku," kataku, darahku menjadi dingin karena ketakutan.

"Tidak, Bennett. Aku tidak menghubungi ibumu."

Ototku menjadi lebih rileks. Aku takut jika tubuhku rileks sepenuhnya aku akan merosot ke lantai. Samar-samar aku tersadar sudah bertingkah memalukan, tapi aku tidak tahu bagaimana harus berhenti. Seperti semua hal yang terjadi dalam hidupku.

Bagaimana menghentikan ibuku yang mengendalikan hidupku. Bagaimana menghentikan Lee mengakhiri hidupnya. Bagaimana menghentikan Henley agar tidak meninggalkanku.

Aku tidak tahu kalau sudah jatuh tertidur, tapi aku tersentak bangun saat merasakan sepasang tangan kecil yang mengguncang pundakku. "Bennett? Bangun. Aku akan membawamu pulang."

Butuh banyak usaha untuk membuka mataku dan menatap dengan tidak percaya pada gambaran buram Henley. Dia melambaikan tanganya di depan wajahku dan aku mengangkat tanganku untuk meraihnya, mencoba merasakan jika dia memang nyata. Setelah merasakan kulitnya yang lembut, aku mengeratkan peganganku. Sungguhan atau tidak sungguhan, dia ada di sini. Aku memilih Lee, tapi Henley masih ada di sini. "Jangan pergi," kataku dengan cepat, mengerjapkan mata, mencoba menghilangkan pandanganku yang buram.

"Kita harus pergi, pub ini akan tutup," katanya, melihat ke arah lain selain wajahku.

Dengan tangan yang bebas aku menangkup pipinya, memaksa dia melihat ke arahku. Warna merah muda bersemu di kulitnya dan dia berusaha membebaskan kepalanya, tapi aku tidak melepaskannya. Mataku menatap, dan menatap, dan menatap. Dan aku tidak bisa merasa cukup. Apa benar pertengkaran kami hanya berjarak jam dari saat ini? Kupikir aku tidak akan pernah melihatnya lagi. Tapi di sinilah dia. Aku tidak ingin berhenti melihat, untuk berjaga-jaga jika dia pergi lagi. Dia menahan tatapanku dengan mantap, alisnya mengkerut.

"Bennett..."

Perutku melilit. Lalu tiba-tiba aku mulai muntah, membuat Henley menjerit dan melompat mundur. Aku menutupi mulutku dengan tangan, tidak mampu menghentikan diriku agar tidak muntah lagi. Beringsut turun dari kursi bar, terhuyung-huyung ke arah Henley, yang sekarang mual dan mencoba untuk mendorongku menjauh. Ruangan itu kini berputar dengan keras hingga tubuhku miring ke samping, aku meraih dan menahan diriku dengan pundaknya.

"Kamar mandi," kataku serak.

"Ini mouthwash," kata Wilson, memberikannya kepadaku. "Orang-orang selalu menyebutku gila karena menyimpan ini, tapi seperti yang kau lihat, ini berguna."

"Aku minta maaf tentang dia Wilson," kata Henley ketika dia membimbingku ke kamar mandi.

"Tidak apa-apa. Ini bisa terjadi. Bawalah dia pulang dengan selamat."

Henley mendorongku ke arah kamar mandi pria sementara dia masuk ke kamar mandi wanita. Aku berpegangan pada pintu dan kemudian dinding, menuju ke arah wastafel. Mengerang dengan jijik, aku mencoba membersihkan diriku sebisa mungkin dari muntah dan berkumur beberapa kali.

"Kita akan menggunakan mobilmu," dia bergumam, hidungnya bergerak karena jijik ketika aku keluar dari kamar mandi.

Pernyataan itu tidak pas denganku dan aku mencoba melawannya ketika dia menyeretku ke BMW milikku. Ketika dia mencoba memaksaku masuk ke kursi belakang, aku meletakkan tanganku ke atas atap, mendorong mundur. "Tidak!"

"Kau tidak boleh muntah di mobilku! Kau melakukan ini pada dirimu sendiri. Hadapi konsekuensinya."

"Tidak," aku mengerang, menyerah dan jatuh ke atas kursi ketika dia mulai menggunakan pundaknya untuk mencoba dan mendorongku masuk. Segera tangannya memegangi tubuhku, aku menggeliat dan menampar tangannya menjauh.

"Aku butuh kuncimu, berhenti bergerak-gerak. Kau membuat muntah ada di mana-mana! Kukira kau membersihkan dirimu?"

Tubuhku menjadi kaku ketika teringat kalau kami ada di dalam mobilku. Henley dengan hati-hati mengambil kunci dari saku depan celana jeans-ku, membuat senyum mengerikan mengembang di wajahnya. Ini tidak luput dari perhatianku dan dia memutar bola matanya padaku sebelum menutup pintu. Aku sadar kalau dia sudah mengambil kunciku untuk mengemudi mobilku, aku berusaha untuk keluar, hanya untuk menemukan pintunya sudah terkunci.

"Aku selalu bertanya-tanya bagaimana rasanya mengendarai ini... sayang sekali aromanya seperti muntah," katanya ketika dia masuk ke dalam kursi pengemudi.

"Jangan menabrak."

"Tidak akan. Tenanglah."

Untungnya aku tidak khawatir tentang dia yang mengemudi karena aku terlalu sibuk berusaha agar tidak muntah. Mobilku berjalan dengan mulus, tapi belokannya membuat efek mengerikan pada perutku. Saat di mana Henley membuka pintu untukku ketika kami sudah tiba di rumahku aku kembali muntah untuk terakhir kalinya.

"Berapa banyak yang kau minum?"

"Cukup banyak," kataku, suaraku rendah.

"Oke, well, kau sudah sampai di sini. Henry akan tiba di sini beberapa menit lagi untuk menjemputku. Kuharap kau bisa menemukan jalan masuknya."

Tanganku terangkat cepat untuk menangkap tangannya sebelum dia bisa berjalan pergi. "Aku tidak bisa mengingat kode masuknya. Bantu aku."

Dia mengernyit. "Kau pikir aku akan tahu soal itu? Aku yakin kau sudah menggantinya di menit yang sama ketika aku pergi. Kau tahu, karena ibumu pikir aku mencuri sesuatu."

"Kau memang mencuri sesuatu."

Mulutnya terbuka, warna menghilang dari wajahnya. "Kau sungguh berpikir—"

"Ini," kataku, menunjukkan ke dadaku.

Beberapa detik berlalu di antara kami dan dia menolehkan kepalanya, membiarkan rambutnya menutupi wajahnya. "Ayo pergi."

Aku nyaris tidak dapat mengimbangi langkahnya, perasaan tercekat terasa di tenggorokanku. Apakah ini benar-benar terjadi di antara kami? Bisakah aku membiarkannya berakhir dengan cara seperti ini? Aku tahu aku menyakitinya dan dengan egoisnya masih menginginkan dia untuk tinggal denganku. Aku tahu aku tidak akan pernah bisa memilihnya, tapi aku ingin dia berjuang untukku. Dia benar—aku adalah pengecut. Aku tidak pantas bersama seseorang seperti Henley.

Henley menekan sandinya untuk membuka kunci dan pintu, membiarkan aku memanfaatkan dirinya sebagai penyokong ketika aku masuk melewati ambang pintu. Gelombang vertigo terasa olehku dan aku terhuyung-huyung di pinggiran tangga mencari ruang keluargaku, memegangi pinggirannya dengan erat. Aku tidak heran jika Henley sudah pergi ketika aku berbalik, tapi dia masih di sana menunggu, menggigit bibir bawahnya.

"Bisakah kau membantuku ke kamar mandi," tanyaku, akhirnya mulai mencium aroma tajam dari pakaianku yang kotor. "Kumohon."

"Baiklah, lalu aku akan pergi," katanya, menawarkan tangannya padaku.

Rasa panas mulai terasa olehku dan aku sudah menarik dasiku, mencoba untuk keluar dari pakaianku. Pada saat kami berhasil ke kamar mandi, aku tidak masih belum berhasil melepaskan benda itu dariku. Dengan mata anak anjing, aku menoleh ke arah Henley, mengangkat dasiku tanpa daya.

"Aku hanya melakukan ini karena kau berlumur muntah di seluruh tubuhmu. Berdiri di pancuran jadi kau tidak membuat muntah berserakan di mana-mana."

Aku mengikuti dan membuka pintu kaca menuju ke pancuran, berpindah dari sudut jadi dia juga bisa masuk ke dalam setelah aku. Dia menelan ludah dengan jelas dan meraih dasiku, dengan hati-hati membuka simpulnya, lalu menjatuhkannya ke lantai. Nadiku berpacu, berdetak dengan sangat keras di telingaku ketika tangannya mengusap leherku. Aku meraih tangannya, membawanya ke kancing kemejaku dalam pertanyaan tanpa suara.

Dia menghembuskan napas pelan, membuka kancing teratas kemejaku. Gerakannya pelan dan stabil, turun ke bawah dengan mudah. Aku mencoba untuk mengendalikan napasku, sadar kalau dadaku yang telanjang akan menjelaskan napasku yanag memburu. Mataku terus terpaku pada wajahnya, tapi dia menolak untuk melihatku. Ketika semua kancing sudah terlepas, aku berjuang untuk menarik tanganku keluar, menemukan hal itu lebih sulit lagi. Keterampilan motorikku tidak sepayah ini biasanya ketika aku habis minum. Besok akan menjadi sulit.

Untuk pertama kalinya, Henley melihat ke atas, dan aku bisa melihat dia mencoba menahan senyumnya. Aku bisa melihat betapa merah pipinya. Apakah dia merasakan apa yang kurasakan? Dia bergerak lebih dekat padaku, dengan lembut melepaskan tanganku dari setiap lengan baju kemejaku. Sekarang dadaku sepenuhnya telnjang dan dia hanya berjarak beberapa inci dariku. Mata kami bertemu dan saraf terasa menusukku, pikiran-pikiran mengganggu memasuki benakku.

Secara tidak sadar, aku berjalan ke depan, menyudutkannya ke sisi berlawanan shower. Lidahnya berada di antara bibirnya. Aku merasa menggigil dan itu bukan karena kedinginan. Dorongan yang kuat untuk menyentuhnya sulit untuk ditolak dan aku meluncur ke depan, kehilangan pijakan kakiku ketika aku berusaha untuk menyandar ke dekatnya.

Kami berdua terjatuh ke sisi shower dan Henley meringis kesakitan, ringisannya berubah menjadi rasa terkejut ketika air dingin mulai mengguyur kami berdua. Cepat-cepat aku meraihnya dan mematikannya, tapi aku terlalu memandang tinggi kemampuan ototku, tubuhku terlalu berat untuk diangkat diriku yang mabuk. Airnya berubah dari dingin menjadi panas, tapi aku tidak terlalu menyadarinya, terlalu terpaku pada gadis di bawah tubuhku.

Matanya tertutup dan dia menahan lenganku, memeganginya dengan erat. Suara mendengung memenuhi kepalaku dan apa yang bisa kufokuskan hanyalah panah cupid yang sempurna, bagaimana cara bajunya yang basah menempel pada kulitnya, air yang menggenang pada lekukan di tulang selangkanya.

Saat jariku menyentuh tulang selangkanya, matanya mendadak terbuka, lebar dan berkilau. Aku mengusapnya dengan lembut, perlahan semakin turun ke bawah, ke arah lekukan dadanya, sebelum mengikuti jalur yang sama kembali ke lehernya. Kulitnya lembut juga halus dan tentu saja sempurna. Dia sempurna.

Ini adalah gadis yang tidak aku perjuangkan—gadis cantik, berkeinginan keras yang ingin berjuang untuk hubungan kami ketika aku menyerah tanpa berpikir dua kali. Dia adalah seseorang yang tidak pantas bersamaku bahkan jika aku hidup seratus kali. Tapi di sinilah dia, membantuku ketika aku mabuk meski pun aku menyudahi hubungan dengannya tanpa alasan.

Ibu jariku mengusap bibir bawahnya. "Aku mencintaimu, Henley."

Napasnya tercekat dan aku mengusap bibirnya lagi, menahan pandangannya, menunggu jawabannya. Ketika tidak ada jawaban yang keluar, aku menurunkan kepalaku kepadanya, tidak dapat menahan diri untuk tidak menciumnya lebih lama lagi.

"Bennett, hentikan."

Langsung saja aku mundur dan Henley mendorong dirinya berdiri dengan menggunakan sikunya, mengusap air dari wajahnya. "Jangan tersinggung, tapi kau baru saja muntah. Kau tidak bisa menciumku."

Sensasi terbakar merambat ke belakang leherku. Betapa menjijikkannya. Aku berusaha untuk mendorong diriku menjauh darinya, menyandar pada dinding shower. Dia meraih dan mematikan air, menarik pakaiannya agar tidak menempel ke kulitnya.

"Henry mungkin sedang menungguku... aku harus pergi."

"Tidak," kataku padanya, mencoba untuk berdiri. Perlu beberapa saat, tapi aku berhasil melakukannya.

"Kau sudah memutuskan hubungan denganku, Bennett. Aku bahkan seharusnya tidak datang ke sini dari awal. Aku harus pergi."

"Tidakkah kau mendengar apa yang baru saja kukatakan padamu?"

Kkau mabuk, kau tidak tahu apa yang sedang kau katakan—"

"Aku bersungguh-sungguh."

"Bennett, tolonglah."

Aku menggelengkan kepalaku, kegelisahan merayap kembali ke dalam pikiranku. "Jangan pergi. Tinggalah, kumohon."

"Pastikan kau minum banyak air dan ibuprofen sebelum tidur. Akan kupastikan Henry memeriksamu," katanya, menjaga agar punggungnya tetap terarah padaku. "Selamat tinggal, Bennett."

"Henley," aku mencoba lagi, tidak dapat menemukan kekuatan untuk pergi mengejarnya ketika dia keluar dari shower, air menetes dari bajunya ke lantai. "Henley!"

Dia tidak berhenti untuk menoleh ke belakang. Aku merosot ke dinding, menjatuhkan kepalaku ke tangan. Kenapa ini harus terjadi? Kenapa aku harus menjadi pengecut? Jika saja aku bisa melawan kehendak ibuku... jika aku dapat menemukan keberanian untuk melawannya...

Gambaran Lee yang berada di tempat tidur rumah sakit kembali memasuki pikiranku. Seketika, pikiranku kembali mati rasa.

Tidak ada gunanya. Ibuku sudah memainkan wild card miliknya. Aku tidak bisa memilih Henley daripada Lee. Aku tidak akan pernah bisa melakukannya. Aku tidak bisa dan aku membencinya. Aku benci diriku sendiri.

Kuangkat tanganku, dan menyalakan shower-nya kembali, membiarkan menutupi suara dari hatiku yang sakit.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro