Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 32

Henley

Kenyataannya memperjuangkan hubungan kami lebih mudah dikatakan daripada dilakukan. Tidak peduli seberapa keras aku mencoba, aku tidak dapat menghubungi Bennett. Dia memblokir nomorku. Dia memblokir nomor tempat kerjaku. Dia menolak panggilan apa pun dari ponsel Sebastian. Ketika aku berhenti di rumahnya, mobilnya tidak pernah ada di sana. Dia seperti tidak pernah pulang sejak dia menjauhkan aku dari kehidupannya. Dia melakukan semua hal untuk menghindariku.

Aku tidak ragu kalau ibunya berada di balik semua ini—khususnya mengingat fakta kalau Curtis membatalkan gugatannya di hari yang sama Bennett menghilang. Tapi itu bukan berarti aku hanya marah pada ibunya. Bagaimana bisa Bennett menyerah padaku semudah ini? Kenapa dia bahkan tidak mencoba berjuang? Kenapa dia tidak mengatakan saja kepadaku apa yang terjadi? Kenapa dia tidak bisa mengakhiri hubungan kami dengan bertatap muka denganku? Ada begitu banyak hal yang ingin kukatakan kepada mereka berdua. Ada banyak hal yang ingin kukatakan kepadanya... tapi aku tidak bisa menemukannya.

Aku mengerang, menjatuhkan kepalaku ke atas tangan. Memikirkan soal itu membuatku sakit kepala.

"Lupakan saja dia," kata kakakku, menyandar di meja dapur di seberangku dan menjentikkan jarinya untuk mendapatkan perhatianku. "Dia menggunakan sekretarisnya untuk putus denganmu. Kenapa kau masih ingin bersamanya setelah itu?"

Kuangkat kepalaku, dan menggeram kepadanya. "Dia tidak bermaksud untuk mengakhiri hubungan denganku karena keinginannya. Aku yakin."

Brandon melipat kedua tangannya di depan dada. "Tetap saja. Aku tidak bisa berada di pihaknya setelah mengetahui dia melakukan ini padamu."

"Ya, aku juga tidak yakin soal ini," kata Ariana, membasahi kain lap agar dia bisa membersihkan mesin espresso. "Aku sangat menyukai Bennett... tapi aku tidak bisa mengerti kenapa dia melakukan ini."

"Ini karena ibunya," jawabku, merasa defensif. "Dia pasti melakukan sesuatu. Pasti hal yang buruk. Dia tidak akan melakukan ini."

Ariana menggigit bibirnya. "Aku juga tidak berpikir dia akan melakukan ini, tapi..."

"Aku hanya butuh bicara padanya."

Brandon dan Ariana bertukar pandang, tapi aku membungkukkan bahuku, mengabaikan mereka. Aku tahu mereka hanya ingin menjagaku. Jika ini adalah situasi yang berbeda, aku pasti akan setuju dengan mereka. Tapi dengan Bennet ini berbeda. Mereka tidak mengerti bagaimana ibunya Bennett.

Namun, sebagian dari diriku benci membuat alasan untuk membela  Bennett. Ada cara lain yang lebih baik untuk memutuskan hubungan denganku ketimbang ini. Bagian dalam diriku itu berpikir kalau dia tidak pantas membuatku memperjuangkan hubungan yang tidak diinginkannya. Bagaimana bisa dia berpikir aku akan menerima ini? Kami mungkin tidak pernah mendeklarasikan secara resmi kalau kami adalah pasangan, tapi aku tahu dia memiliki perasaan terhadapku. Dia pernah peduli padaku. Itulah sebabnya aku harus bicara dengannya. Hanya untuk memastikan. Jika dia benar-benar menginginkanku pergi, maka aku akan pergi. Tapi jika tidak...

"Ughh."

Ariana menghela napas, menepuk-nepuk pundakku. "Sudah, sudah."

"Aku bisa mengenalkanmu dengan temanku dari penjara," Brandon menawarkan.

"Ariana, tolong keluarkan sampah dan buat Brandon membantumu."

Dia terkikik dan mengangguk, memberi isyarat kepada Brandon untuk mengikutinya ke ruang belakang. Hal terbaik tentang Brandon yang belum menemukan pekerjaan adalah membuatnya membantu melakukan pekerjaan berat.  

Setelah mereka berdua itu pergi keluar, bel di atas pintu toko berdering, menandakan pelanggan yang datang. Aku menoleh untuk menyapa mereka, menampilkan senyum di wajahku. "Hai, selamat datang di—" 

Suaraku tercekat di tenggorokan.

Di sana, Mrs. Calloway berdiri di ambang pintu. Bibir merah terangnya melengkung membentuk senyum jahat ketika matanya bertemu denganku. "Ah, akhirnya aku bisa melihatmu di lingkungan alamimu. Apron itu pantas untukmu."

 "Apa yang kau lakukan di sini?" tanyaku, melawan rasa malu yang ingin muncul di wajahku.

"Apa ini caramu memperlakukan pelanggan?"

"Pelanggan. Tidak ada. Seseorang yang tidak membeli produk dari toko atau tempat bisnis. Kukira kau akan mengetahui hal itu?"

Matanya memicing. "Aku ingin segelas kopi hitam. Panas."

Berbalik, aku berjalan ke arah teko kopi dan menuangkan minuman untuknya, mencoba menggunakan waktu itu untuk menenangkan diriku. Kenapa Mrs. Calloway ada di sini? Apa yang mungkin ingin dia katakan kepadaku? Dia sudah mendapatkan apa yang dia inginkan. Apa dia ke sini hanya untuk menghinaku?

Aku meletakkan minumannya di atas meja dan menggesernya ke arahnya. "Terima kasih," dia meletakkan uang sepuluh dollar ke atas meja. "Kau bisa ambil kembaliannya."

"Tidak perlu," jawabku, membayar transaksi dan menjatuhkan uangnya ke meja konter. "Semoga harimu menyenangkan."

Dia tidak menyentuh uangnya. "Aku tidak di sini untuk  memandang rendah padamu. Sebenarnya, aku ke sini untuk berterima kasih padamu."

Sebelah alisku terangkat. "Untuk apa?"

"Membiarkan Bennett mengakhiri semua ini dengan bersih. Aku senang kau mulai paham kalau kalian berdua tidak seharusnya bersama sejak awal."

Oh boy, ini dia.

"Oh tentu, dengan senang hati," kataku dengan manis.

Senyumnya melebar. "Bisa kulihat kau menerima semua ini dengan lebih mudah dari apa yang kupikirkan. Lagi pula, aku mengerti kau hanya mengencani Bennett karena uang yang ditawarkannya. Apa dia sudah memberikanmu apa yang dijanjikannya? Jika tidak, aku mungkin bisa melihat perbedaanya. Kukatakan padanya kalau dia membayarmu maka tidak akan ada masalah. Bisa kulihat aku benar. Dia pasti senang mengetahuinya."

Jadi itulah kenapa dia mengirimkan uang? Dia tidak mungkin percaya, hal itu kan? Ibunya hanya mencoba menjebakku. Tidak mungkin Bennett akan mempercayai itu. Tidak setelah beberapa kali aku mengatakan dengan jelas kalau aku tidak bersamanya karena uang.

"Ah, maafkan aku. Karena sudah keluar topik. Ada alasan lain kenapa aku datang ke sini." Dia mengangkat tas pakaian plastik yang tidak kusadari berada di tangannya. "Aku yakin ini milikmu. Henry pasti melupakannya waktu dia membersihkan barang-barangmu dari rumah Bennett."

Setahuku aku tidak meninggalkan gaun apa pun di rumah Bennett. Setelah kehilangan satu gaun yang dia belikan di kencan pertama kami, aku tidak memiliki gaun lagi. Tetap saja, aku mengambil tas itu darinya. "Terima kasih."

"Aku terkejut dengan seleramu."

"Ya, biasanya aku tidak akan menghabiskan ribuan dollar untuk tirai yang menutupi bahuku."

Bibirnya berkedut dan aku merasa sedikit bangga. Rasanya menyenangkan dapat membuatnya kesal seperti dia berhasil membuatku kesal. "Well dengan itu, aku yakin urusan apa pun yang kau miliki dengan putraku selesai. Baik dia atau pun aku tidak akan singgah untuk melihatmu lagi. Kuharap kau bersenang-senang setelah melarikan diri dari kenyataan untuk sejenak."

Seluruh tubuhku menegang karena usaha untuk tidak membentaknya. Aku tahu itulah yang dia inginkan. Untuk melihat jika aku masih memiliki ketertarikan dengan Bennett. Ini adalah caranya untuk mengujiku. Ini caranya untuk mengetahui apakah aku masih akan mencoba bersama Bennett atau tidak. Dan semuanya akan lebih mudah jika dia berpikir aku tidak peduli. 

"Aku tidak bisa mengatakan kalau aku akan merindukanmu," kataku.

Dia tertawa sesaat, gelak tawanya bernada tinggi. "Semangatmu yang tinggi sungguh luar biasa. Mungkin jika mendengar secepat apa kau moved on akan membantu Bennett menyesuaikan diri."

Perlawananku memudar. Sebelum aku dapat menjawab, dia memberikanku seringaian terakhirnya, berbalik dariku dan keluar dari toko. Aku bergerak untuk mengejarnya, namun terhenti ketika dia menabrak kakak laki-lakiku, yang datang dari belakang. Kopinya terjatuh, tercecer di lantai yang keras.

"Oh, maaf!" Brandon meminta maaf dengan cepat, memeganginya agar tidak terjatuh. Dia mulai membeku, ketika mengenalinya. "Kau—"

Mrs. Calloway menundukkan kepalanya, mencoba untuk melewati Brandon, tapi Brandon melangkah ke depannya.

"Kenapa kau ada di sini? Apa kau datang untuk memarahi adik perempuanku lagi? Siapa kau?" dia bertanya, menghalangi pintu keluar.

"Bergeserlah sebelum aku menghubungi polisi padamu untuk perlakuan tidak menyenangkan," kudengar dia berkata.

Kesal, aku mengelilingi meja konter, siap untuk mengusirnya. Aku menghargai apa yang dilakukan Brandon, tapi itu tidak setimpal untuk dipermasalahkan. Brandon mundur dan Mrs. Calloway mengangkat kepalanya untuk beberapa detik.

Mata Brandon melebar. "Tunggu. aku pernah melihatmu sebelumnya."

"Bergeser," dia memerintahkan lagi, memaksa Brandon bergeser dengan menyikutnya dan bergegas keluar toko. Pintu dibanting di belakangnya, bel berdenting keras.

Brandon masih menatap ke arahnya ketika Ariana muncul dari pintu, terlihat bingung. "Aku tahu aku pernah melihat dia sebelumnya."

"Apa yang terjadi?" tanya Ariana.

"Dia adalah klien pengacara lamamu," kataku pada Brandon. "Dan tidak ada, hanya ibu Bennett yang bertingkah gila seperti biasa," tambahku untuk Ariana.

Brandon menggelengkan kepalanya. "Tidak. Bukan itu. Di mana aku pernah melihatnya?" Brandon bergumam pelan, melihat keluar jendela mencoba untuk melihat wanita itu lagi.

"Apa itu?" Ariana bertanya, menunjuk ke arah tas pakaian di tanganku.

"Dia bilang aku meninggalkan ini di rumah Bennett." Penasaran, aku membuka tas itu. Di dalamnya terdapat seperti gaun hitam, sederhana. Kubuka ritsletingnya lebih lebar lagi, dan hatiku mencelos.

Gaun itu. Gaun dari kencan pertama aku dan Bennett. Gaun yang pernah dicuri ketika rumahku dirampok.

Tanganku bergetar ketika aku mengeluarkannya sepenuhnya. Semuanya sama. Merknya, ukurannya, warnanya. Seketika aku tahu gaun itu untukku. Bennett membeli ini, untuk menggantikan gaun lamaku.

"Bagaimana bisa dia melakukan ini?" bisikku, menatapnya, jantungku berdetak tidak karuan di balik pakaianku.

"Ada apa?" tanya Brandon.

Memasukkan kembali gaun itu ke dalam tas, aku melepaskan apronku. "Aku harus melihatnya. Aku harus pergi. Ariana, bisakah kau menutup tokonya? Kumohon?"

Dia mengangguk, tampak bingung. "Tentu saja. Ke mana kau akan pergi? Ke rumahnya?"

"Ya." Seluruh tubuhku bergetar. Ini tidak masuk akal. Jika dia ingin mengakhiri ini denganku, dia tidak akan membelikan gaun itu untukku.

"Apa kau akan baik-baik saja sendirian?"

"Aku—"

"Aku akan membawanya."

Mataku terarah ke pintu, di mana Henry berdiri, rambutnya basah karena hujan yang mulai turun. Dia mendorong kacamatanya dan memberikanku senyum gugup. "Hai, Henley."

"Henry? Apa yang kau lakukan di sini?"

"Maafkan aku, aku tidak punya kesempatan untuk melihatmu," dia meminta maaf. "Mrs. Calloway membuat Bennett dan aku pergi ke Hawaii minggu lalu. Kami baru kembali hari ini."

"Tunggu, apa? Kalian habis dari Hawaii?"

"Kurasa itu untuk membuatnya menjauh darimu."

Aku menekankan bibirku. Tidak heran aku tidak bisa menemuinya. Seberapa jauh Mrs. Calloway akan melangkah? Mengirim Bennett ke kota lain? Apa selanjutnya, negara lain?

Henry menjernihkan tenggorokannya. "Dia ada di kantor sekarang, tapi dia akan pulang satu jam lagi."

"Kenapa kau mengatakan ini padaku?" tanyaku berhati-hati.

"Aku mendukung kalian berdua," katanya padaku. "Jika saja kami tidak pergi seminggu terakhir, aku pasti sudah membawamu kepadanya lebih cepat. Dia membutuhkanmu."

Ariana memekik. "Aww! Henry! Itu manis sekali! Aku sungguh akan menggunakan hal ini di dalam bukuku."

Henry merona sedikit dan kemudian dia memiringkan kepalanya ke samping. "Tunggu. Kau menulis?"

"Ya! Kenapa? Kau juga?"

"Ya, sebenarnya aku ingin menggunakan adegan ini ke dalam ceritaku—"

 "Apa ini yang terpenting sekarang?" aku menginterupsi mereka.

"Benar. Kita sebaiknya pergi sekarang jadi aku bisa mengantarmu ke sana sebelum dia tiba," kata Henry. "Ayolah."

Mengangguk, aku bergegas ke ruang karyawan dan mengambil jaketku. "Oke, ayo pergi."

Ariana memberikanku pelukan singkat. "Semoga berhasil!" 

Pada saat kami tiba di rumah Bennett, matahari sudah mulai terbenam. Aku merasa mual karena gugup ketika Henry menurunkanku, memutuskan kalau akan terlihat sangat mencurigakan jika mobilnya masih ada di sini. Karena aku tahu ada kamera pengawas di tangga depan Bennett, aku memilih untuk menunggu di tepi hutan. Aku tidak bisa mengambil resiko dengan dia melihatku dan pergi lagi. Jadi aku meringkuk di dalam jaketku dan menunggu, mencoba untuk tetap kering dari hujan rintik.

Lalu aku menunggu.

Dan akhirnya udara berubah dari hangat menjadi dingin dan aku bisa mendengar suara gulungan petir dari kejauhan. Cahaya matahari terakhir telah memudar, aku memeriksa jam di ponselku. Apa yang dilakukan Bennett? Apa yang membuatnya sangat lama? Henry bilang dia akan kembali dalam satu jam dan ini sudah lewat.

Petir terdengar semakin keras dan langit mulai mengguyur air hujan di sekitarku. Aku mengerang, bergerak lebih dekat dengan batang pohon oak merah yang tinggi, berharap dedaunannya dapat mengalihkan air hujan. Sebagian dari diriku berdebat untuk meminta Henry datang dan menjemputku kembali, tapi sisi diriku yang keras kepala memutuskan agar aku tetap di sini.

Setelah terasa seperti seumur hidup, aku akhirnya melihat kilatan lampu depan memasuki jalan masuk. Kuperhatikan saat Bennett berhenti di depan rumahnya, mematikan mesin, dan meninggalkan kendaraan. Segera setelah dia melangkah masuk ke teras rumahnya, aku mulai bergerak.

"Bennett!"

Dia membeku mendengar suaraku, punggungnya menghadap ke arahku. Kemudian dengan cepat dia menekan kode keamanan pintu rumahnya. Mulutku nyaris menganga—apa dia mencoba melarikan diri dariku? Aku berlari untuk mempersingkat jarak di antara kami, mendorong diriku di antaranya dan pintu, menggunakan kakiku sebagai pengganjal jadi dia tidak bisa membukanya lebih lebar lagi.

 "Apa yang kau lakukan?" aku membentak.

Dia mengarahkan tatapannya ke pintu. "Kau tidak seharusnya berada di sini."

Kuseka rambutku yang basah dari keningku, terengah-engah. "Sungguh? Itu yang bisa kau katakan?"

Rahangnya mengatup dan dia tetap diam.

"Kenapa kau melakukan ini? Kenapa kau mengatakan pada Henry untuk memberitahuku kalau hubungan kita berakhir lalu menghilang selama seminggu?"

"Karena memang begitu."

Nada tajam dalam suaranya membuatku kehilangan keberanianku. Dia tidak seriuskan? "Apa?"

Jakunnya bergerak sebelum dia kembali bicara lagi dengan nada bicara yang tegang. "Aku sadar kalau kita tidak sepadan. Hidup kita terlalu berbeda."

"Kau bercanda, benarkan?"

Akhirnya, pandangannya mengarah padaku. Dingin dan berjarak. "Aku tidak bercanda denganmu."

Tubuhku menggigil dan itu bukan karena air hujan yang dingin menuruni punggungku. "Aku tahu ibumu melakukan sesuatu padamu. Kenapa kau berpura-pura dia tidak melakukannya?"

"Aku membuat keputusan ini sendiri. Aku sudah memikirkan hal ini cukup lama. Ini mungkin mengejutkan padamu, tapi—"

"Aku tidak percaya padamu."

Dia menghembuskan napas dengan frustasi. "Kau tidak harus percaya padaku. Cukup pergi dan lupakan."

"Tidak!"

"Henley!" dia membentak. "Ini berakhir!"

Suaranya yang tiba-tiba meninggi membuatku tersentak. Aku mencoba mengatakan sesuatu kembali, hanya saja lidahku terasa kelu.

"Kumohon," dia memohon lagi, raut wajahnya yang terkendali akhirnya runtuh sedikit. "Pergilah."

Yang bisa kulakukan hanya menatapnya, mencoba untuk menemukan suaraku. Ini bukan apa yang kuharapkan ketika aku memutuskan datang untuk menemuinya. Kupikir dia akan menjelaskan semuanya padaku. Kukira dia akan meminta maaf. Kukira dia akan berjanji untuk memperjuangkan hubungan kami.

Mataku mengerjap beberapa kali, merasakan ganjalan tak kasat mata di dalam tenggorokanku. Daguku gemetar dan aku menelan ludah dengan keras, menahan tatapannya. "Lalu kenapa kau membelikan aku gaun itu?"

Matanya melebar sedikit dan aku tahu sudah mengatakan hal yang benar.

"Kenapa kau membelikan aku gaun itu?" ulangku. "Jika kau sungguh berencana untuk mengakhiri ini, kenapa kau membelikan aku gaun itu?"

"Itu—"

"Jangan coba katakan padaku kalau itu bukan untukku."

Dia mengalihkan pandangannya dariku lagi, matanya bergerak liar dengan gugup.

Aku mendekatinya, menantang dia. "Kau bilang padaku untuk berjuang demi hubungan kita dan aku melakukannya. Kau berjanji padaku kau juga akan berjuang. Apa ini yang kau sebut perjuangan?"

"Henley..."

"Kau pengecut," tuduhku, suaraku pecah.

Tanpa peringatan, Bennett menutup pintu dengan keras, tangannya berada di kedua sisi tubuhku, memerangkapku di sana. Dia menahan kepalanya di sana, tangannya membentuk kepalan. "Aku tidak bisa melawannya!"

Kepalaku tersandar ke pintu, terkejut.

Ketika dia mengangkat kepalanya, aku bisa melihat air mata membasahi sudut matanya. "Kau penting bagiku. Aku tidak ingin kehilanganmu. Tapi aku harus memilih... dan aku tidak bisa memilihmu. Aku tidak akan pernah bisa memilihmu. Jadi tolong. Pergilah."

Tak bisa tertahan, mataku kini mulai berkaca-kaca. "Baiklah. Aku akan pergi. Tapi, sekali aku meninggalkan tempat ini, aku tidak akan kembali lagi. Aku tidak akan menghabiskan waktuku memperjuangkan hubungan yang tidak kau inginkan. Tapi kurasa, sejak awal kita tidak memiliki hubungan apa pun benar kan? Hanya gadis yang kau pekerjakan untuk berpura-pura menjadi kekasihmu. Rasanya pas jika berakhir seperti ini. Seharusnya memang begitu."

Mulutnya membuka, tapi aku tidak memberikannya kesempatan untuk bicara.

"Tapi inilah perbedaan antara bagaimana aku melihatnya dengan bagaimana kau ternyata melihatnya." Kuambil dompetku, mengeluarkan setumpuk uang seratus dollar dan melambaikannya ke wajah Bennett. "Aku tidak pernah menginginkan ini karena uang. Begitu aku menyukaimu—hanya itu— maka kontraknya batal. Aku ingin bersama denganmu karena kau. Bahkan jika kau mengakhiri semua ini seperti sekarang, tidak akan merubah itu. Jadi ini. Ambil ini kembali."

Ketika dia tidak mengambil uangnya, aku melemparkannya ke bawah kakinya, membiarkan uang itu berserakan.

"Kau tampaknya lebih peduli pada uang daripada aku," tambahku.

Aku tahu komentar terakhirku berlebihan. Aku bahkan tidak dapat mempercayainya. Tapi itulah yang dapat aku keluarkan sebelum tenggorokanku terasa tercekat. Aku mendorong tangannya menjauh, merunduk di bawahnya sehingga bisa kabur dari sana. Sebuah kesalahan datang ke sini. Aku seharusnya membiarkannya saja—

Pikiranku tersela ketika tubuhku menabrak sesuatu yang keras. Hidungku rasanya seperti patah dan aku meringis kesakitan, melangkah mundur untuk melihat apa yang sudah aku tabrak. Yang membuatku terkejut, ternyata itu adalah seseorang. Malam sudah tiba dan aku kesulitan untuk mengenali wajah laki-laki yang berdiri menjulang di atasku.

"Kau baik-baik saja?" dia bertanya, suaranya penuh dengan rasa khawatir.

"Um," aku menjawab, memicingkan mataku ke hujan. Laki-laki itu berjalan ke depan sehingga payungnya melindungi kami berdua. Sekarang setelah dia mendekat, aku menemukan kalau dia terlihat familiar, bahkan di kegelapan. Rambut yang agak kriting, tubuh yang fit. Harumnya hangat, campuran antara kayu manis dan beberapa rempah-rempah alami lainnya.

Suara tarikan napas yang tajam terdengar dari Bennett. Aku menoleh kembali dari balik pundakku ke arahnya. Dia terlihat seperti habis melihat hantu—rahangnya terbuka, tubuhnya kaku. 

Kemudian dia menggumamkan nama yang kupikir tidak akan pernah kudengarkan darinya. 

"Lee."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro