Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 31

Henley

Pada perjalanan menuju ke restoran, Sebastian menjelaskan bagaimana cara kerja kasus perdata, dan apa yang bisa kuharapkan akan terjadi. Menurut Sebastian Curtis masih belum membuat tuntutan, hanya mengancam. Rencana kami setelah ini adalah pergi ke apartemen untuk melihat apakah aku mendapatkan panggilan. 

Aku mengetuk jariku di paha saat rasa mual mulai terasa di perutku. Yang kutakutkan bukanlah digugat—atau yang terparah jika dia akan menuntut semua uang yang ada di tabunganku—tapi lebih pada jika dia memutuskan untuk mengambil langkah lebih jauh dan menuntutku. Bagaimana kalau aku kalah? Apa aku akan masuk penjara? Apa yang akan terjadi pada Brandon?

Menyadari kegelisahanku, Sebastian mengulurkan tangan dan meremas pundakku. "Semuanya akan baik-baik saja. Sebenarnya aku bisa jadi pengacara yang baik ketika aku mau."

Aku memberikannya senyum kecil. "Aku tidak meragukan itu." 

Collin tidak begitu senang melihat kami tiba di restoran. Dia mengangkat hidungnya, menolehkan kepalanya dari kami saat mengarahkan kami ke ruang belakang tempat komputer untuk keamanan berada. "Ini bisa membuatmu kehilangan pekerjaan di sini," katanya padaku.

"Sama seperti restoranmu yang akan kehilangan reputasi ketika managernya membiarkan pelanggan melakukan pelecehan seksual kepada pelayannya," Jawab Sebastian dengan dingin.

Mata Collin menyipit ke arah Sebastian. "Dan siapa kau?"

Sebastian merogoh saku jaketnya, mengeluarkan sebuah kartu bisnis, dan menyerahkannya kepada Collin. "Sebastian James. Aku akan mewakili Henley jika Mr. Voham menindaklanjuti gugatan ini."

Collin memperhatikannya sebentar dan kemudian wajahnya memucat, perilakunya seketika berubah. "Oh! Maafkan aku Mr. James, aku tidak sadar itu adalah kau. Apakah ayahmu yang mengirimmu?"

"Tidak, aku di sini untuk membantu teman dekat." Sebastian tersenyum sopan kepada Collin saat dia memberi isyarat kepadaku. "Kuharap kita bisa menyelesaikannya dengan lebih cepat."

"W-well aku tidak punya urusan di sini, tapi aku akan membantumu dengan cara apa pun yang memungkinkan," kata Collin cepat.

Aku mendengus padanya. Dasar penjilat.

Ketika dia menyadari kalau aku memperhatikannya, dia mengerucutkan bibir. Memalingkan wajahnya dariku, lalu membuka pintu kantornya, dia membiarkan kami masuk. Sebastian berjalan ke arah layar keamanan. "Aku ingin rekaman dengan durasi penuh saat shift kerja Henley."

"Bukankah serangan pada Curtis sudah cukup?" tanya Collin.

Aku memutar bola mataku. "Itu bukan penyerangan!"

"Akan sangat bijaksana untuk menyimpan semua rekaman," kata Sebastian, matanya memicing. "Kenapa? Apa ada masalah?"

Collin menelan ludah dengan suara keras, matanya berkeliaran di ruangan, menghindari tatapan Sebastian. "A-aku akan memberikan apa yang bisa kudapatkan."

Sebastian dan aku bertukar pandang. Apa maksudnya? Memberikan apa yang bisa dia berikan? Aku tahu rekaman akan tetap tersimpan selama tiga bulan sebelum perlahan diperbarui kembali. Rekaman itu pasti ada di sana.

Collin mempercepat rekamannya pada waktu shift kerjaku, menghadap ke meja Curtis, dan kamera yang menghadap ke area bar di mana dia mencoba menyentuhku, buram dan kosong. Ini tidak masuk akal. Kamera berjalan dua puluh empat jam seminggu. Tidak mungkin rekamannya akan kosong.

"Karena suatu hal kameranya tidak berfungsi," kata Collin, punggungnya menghadap kepada kami. "Sayang sekali, tapi—"

"Apa kau menghapus rekamannya?" selaku.

"Kameranya tidak berfungsi—"

"Apa seseorang menyuruhmu untuk melakukan ini?" tanyaku memaksa.

Collin terdiam dan aku tahu tebakanku benar. Kemarahan membuncah dalam diriku—itu ilegal! Dan Curtis tetap mencoba untuk menuntutku? Ketika dia sudah mengutak-atik bukti?

Sebastian meraih pundak Collin, memaksanya untuk menghadapnya. Dia mendekatinya, menarik baju Collin dengan tangannya. Mata Collin melebar ketika Sebastian mencondongkan tubuhnya dengan mengintimidasi. "Siapa yang menyuruhmu?"

"Aku t-tidak bisa katakan."

"Aku berasumsi kau tahu jika mengutak-atik bukti adalah tindakan kriminal. Aku bisa dengan mudah membawa kasus ini dari perdata menjadi kasus kriminal. Kau tahu tingkat keberhasilan kami."

Sekarang mata Collin nyaris keluar dari tempatnya. Aku bisa saja tertawa, jika tidak merasa kesal.

"Siapa yang menyuruhmu melakukannya?" ulang Sebastian. "Jangan membuatku membawamu ke pengadilan."

"Aku menyimpan rekaman aslinya!" Collin mencicit.

Pegangan Sebastian mengerat. "Di mana?"

"Di flash drive dalam komputer. Aku bersumpah! Semuanya ada di sana. Kau bisa mengambilnya!"

Sebastian mendorong Collin ke samping, melepaskannya pergi. Laki-laki tua itu tersandung, wajahnya memucat dan keningnya berkeringat. Aku berdiri di depannya ketika Sebastian membuka file pada desktop, mengambil rekamannya. Perkataan Collin benar, rekaman yang hilang ada di sana. Dan kau bisa melihat dengan sangat jelas Curtis menyentuh bokongku sebelum mendapatkan tinjuan.

"Kepada siapa kau akan memberikan ini?" tanya Sebastian, melepaskan USB dari komputer dan  mengantonginya.

Collin menekan rapat-rapat bibirnya.

"Apa Curtis? Apa kau sangat takut padanya hingga akan melanggar hukum?" tanyaku, masih tidak percaya dia akan menyimpan rekamannya dari kami. Aku yakin jika Sebastian tidak datang denganku, aku tidak akan bisa mendapatkan apa pun darinya. Aku selalu tahu Collin menjijikkan, tapi kurasa dia tidak akan serendah ini.

"Kurasa itu bukan Curtis," kata Sebastian pelan, menahan tatapan Sebastian.

Aku mengernyitkan. "Huh? Lalu siapa lagi?"

Dia menggelengkan kepalanya. "Tidak masalah. Kita dapatkan apa yang kita perlukan. Ayo pergi. Aku harus menemui seseorang."

"Oh, tentu." Ketika kami meninggalkan ruangan, aku mengintip dari balik punggung Sebastian dan mengangkat tinjuku dengan gelagat mengancam ke arah Collin, memberikannya tatapan termarah yang bisa kulakukan.

Kami berjalan kembali menuju mobil Sebastian tanpa bicara. Dia terlihat sedang tenggelam dalam pikirannya, benar-benar melewatkan pegangan ketika dia mencoba membukakan pintu untukku.

"Apa maksudmu kau pikir bukan Curtis yang menyuruh untuk menghapus videonya?" tanyaku.

"Ini aneh... Curtis seharusnya takut dengan Bennett. Tapi siapa yang dapat menakutinya lebih dari Bennett?"

Tidak butuh waktu lama untuk memikirkan satu orang yang dapat menakutinya lebih dari Bennett. Mulutku menganga. "Kau tidak berpikir—"

"Tapi pertanyaannya adalah kenapa dia melakukan ini?"

"Jelas sekali karena dia pikir aku tidak cukup baik untuk putranya." 

"Ya, tapi..." Sebastian terhenti.

"Aku tidak percaya dia masih belum menyerah. Yang ada, ini justru berakibat sebaliknya. Aku akan tetap bersama Bennett hanya untuk membuatnya marah." Aku berhenti. "Well, maksudku, tentu saja aku ingin bersama Bennett karena menyukai dia juga. Itu tetap akan menjadi alasan utama. Membuat marah hanyalah insentif tambahan."

Sebastian tampaknya tidak begitu mendengarkan. Bukan pertama kalinya dia mengatakan ada sesuatu yang aneh. Aku tidak menyukainya. Itu membuatku merasa seperti melewatkan sesuatu. Sesuatu yang penting. "Apa kau menyembunyikan sesuatu dariku?"

Dari cara Sebastian menolehkan kepalanya dengan cepat, aku tahu kalau aku benar. "Tidak ada, kenapa?" tanyanya.

"Kau menyembunyikan sesuatu," tuduhku. Aku mencoba untuk memikirkan apa itu, tapi tidak ada yang terpikirkan olehku. Itu membuatku frustasi. Apa ini tentang pengacara kakakku? Apa karena ini Mrs. Calloway terlihat sangat terkejut ketika melihat kakakku? Tapi apa kaitannya? Aku tidak bisa memikirkan apa pun. Bennett dan aku belum bersama dulu.

Tapi Bennett dan Brandon berada di McKellan's pada malam yang sama dengan kecelakaan kakakku. Mungkinkan Mrs. Calloway melihat Brandon di sana? Tapi jika benar, kenapa itu penting baginya? Apa karena Richard kalah pada kasus kakakku? Apa Mrs. Calloway benci jika kekalahannya akan mencoreng catatan Richard? Atau ada hal lain?

"Ada sesuatu yang membuatku penasaran, tapi aku tidak ingin mengatakan apa pun sampai 100% yakin," kata Sebastian padaku, menginterupsi pikiranku. "Karena jika aku benar... maka kita sedang menghadapi masalah yang lebih besar daripada hubunganmu dengan Bennett."

Aku tidak suka dengan perkataannya itu.

"Tapi jangan khawatir soal itu sekarang," dia menambahkan.

Aku memberikannya tatapan datar. "Ya, karena hal itu sangat mudah dilakukan setelah apa yang kau katakan. Tapi aku percaya padamu. Aku tahu kau akan mengatakan kebenaran jika itu menyangkut soal aku."

"Pasti," dia berjanji. "Untuk saat ini mari kita lihat apa kau menerima panggilan."

Apartemen lamaku terlihat lebih ringkih dari sebelumnya. Sekarang aku mengerti dengan reaksi Bennett saat pertama kali dia melihatnya—ini tidak layak ditinggali. Aku tersenyum malu ke arah Sebastian saat aku keluar dari mobil untuk memeriksa kotak surat. Namun tidak ada apapun. Tidak ada panggilan.

"Jadi antara suratnya belum sampai atau dia belum melakukan apapun," kata Sebastian saat dia memutar arah mobilnya, kembali menuju ke rumah Bennett. "Aku akan pergi dan bicara dengannya besok."

"Aku juga ingin bicara dengannya."

Dia mengernyit sedikit. "Lebih baik tidak usah."

"Aku tidak mau semua orang bertempur dalam perangku. Aku menghargai apa yang kalian semua lakukan, tapi..." kataku gantung, bergerak tidak nyaman di kursiku. "Aku tidak suka merasa tidak berguna. Mendengarmu mengatakan itu, atau Bennett yang mengatakan jangan khawatir, membuatku merasa seperti seorang gadis yang dalam kesusahan."

Kukira Sebastian mungkin akan mencoba untuk berdebat denganku, tapi sebaliknya dia justru tersenyum. "Aku mengerti. Aku akan memberitahumu ketika aku mengatur pertemuan dengannya."

"Jangan lupakan aku," aku memperingatkannya.

"Tidak akan, tidak akan."

Ketika dia berhenti di jalan masuk rumah Bennett, aku melihat Henry berdiri di luar dekat mobilnya, dua koper di tangannya. Segera setelah Sebastian memarkirkan mobil, aku turun, dan berjalan ke arah sekretaris yang tampak berantakan. Ternyata dia masih belum pulang ke rumah untuk berganti pakaian. "Ada apa, Henry? Di mana Ariana dan Brandon?"

"Aku membawa mereka ke rumah Ariana."

Kepalaku mengangguk. "Bagus, kesulitanku berkurang satu. Apa yang kau lakukan dengan koper-koper itu?"

"Um... um..." dia meletakkan koper itu. Melarikan tangan ke alisnya. "Bennett mengatakan kepadaku untuk mengumpulkan barang-barangmu dan membawanya ke tempat tinggal barumu."

Aku mengangkat sebelah alisku. Dia ingin aku pergi? Setelah berkali-kali dia memintaku untuk tetap tinggal? Ada sesuatu yang tidak beres di sini.  "Er, kenapa?"

"Dia juga memintaku mengatakan padamu, kalau dia sudah mengirimkan sisa uang dari kontrak ke rekening bank milikmu."

"Kenapa?" aku mengulangi pertanyaan yang sama, mendadak dadaku terasa sesak. Sekarang aku tahu sesuatu telah terjadi. Kenapa dia membawa-bawa soal kontrak lagi? Bukankah kontrak itu sudah batal? Kenapa dia membayarku...

Henry menarik napas dalam, mempersiapkan dirinya. "Bennett bilang satu hal lagi. Kalau mulai sekarang, di antara kalian berdua sudah tidak ada hubungan lagi. Hubungan apa pun yang kalian miliki... berakhir."

Bibir Henry terus bergerak, tapi aku tidak dapat mengerti apa yang dia katakan. Aku tidak dapat mengerti apa yang dia katakan. Aku tidak akan memahaminya. Apa dia sedang mengatakan sebuah lelucon padaku? Kenapa Bennett mengatakan itu? Ini tidak masuk akal. Semuanya baik-baik saja beberapa jam yang lalu. Tidak mungkin perasaannya bisa berubah secepat ini.

"Henley?"

 Aku mengatupkan rahangku. "Tidak."

"Tidak?"

"Itu omong kosong. Dia memohon padaku untuk tetap tinggal padanya sebelum ini. Bagaimana bisa dia melakukan hal sebaliknya sekarang dan mengusirku keluar?"

Mata Henry melebar dan aku tahu sebaiknya aku tenang, tapi aku sangat marah. Bennett memutuskan hubungan kami? Melalui Henry? Aku tidak bisa mempercayainya. Tidak mungkin Bennett berpikir aku akan menerima ini. Aku mengeluarkan ponselku, dan menekan nomor kontaknya dengan jari yang gemetar. Ponselnya berdering sekali sebelum masuk ke kotak suara. Aku menghubunginya lagi, dan lagi. Semuanya berdering sekali sebelum nada kotak suaranya terdengar. 

"Sebastian, bisa aku pinjam ponselmu?"

"Henley..."

"Kumohon."

Menghela napas, dia memberikannya padaku. Aku mencari nomor Bennett dan menekan tombol panggil. Pada dering kedua, Bennett mengangkat. "Apa?" suaranya rendah dan serak.

Suaraku tertahan di tenggorokanku. Kupikir aku tahu apa yang akan kukatakan. Tapi sungguh, aku hanya ingin tahu apa dia mengabaikan panggilanku. Dan aku baru saja mendapatkan jawabannya.

Tenanglah, Henley.

"Kau sebaiknya membawa bokong besar Hugo Boss milikmu ke sini sekarang dan jelaskan semuanya padaku."

Awal yang bagus untuk tetap tenang.

Tarikan napasnya yang cepat mengindikasikan kalau dia tidak mengira akan mendengar suaraku di ujung telepon.

"Jika kau pikir bisa melepaskanku seperti ini, kau salah," kataku cepat. "Tolong katakan padaku ini hanya lelucon bodoh."

Untuk sesaat kupikir dia tidak akan mengatakan apapun. Kemudian aku mendengar napasnya tersentak. "Ini bukan lelucon. Jangan hubungi kembali."

Nada tajam dalam suaranya membuatku terkejut. Ini tidak mungkin Bennett. Dia tidak akan bicara seperti itu padaku.

Beep beep. Aku menatap lama ke arah ponsel di tanganku, merasa panas menyapu leherku. Dia menutup teleponku. "Di mana dia?"

Henry menjernihkan tenggorokannya. "Aku tidak bisa mengatakannya padamu."

"Kenapa?"

"Dia tidak ingin melihatmu."

"Kenapa?"

Henry meringis dan seketika aku merasa bersalah. Ini bukan kesalahan Henry. Aku tidak seharusnya mengarahkan amarahku padanya. Dia hanya melakukan apa yang disuruh.

"Aku sungguh menyesal," dia meminta maaf dengan lembut.

Aku menutup mataku, mencoba untuk menenangkan diriku. "Tidak, Maafkan aku. Ini bukan kesalahanmu. Aku hanya tidak mengerti. Dari mana semua ini datang tiba-tiba?"

"Ibunya," Sebastian kemudian menjawab dan semuanya mulai masuk akal.

Bennett tidak akan melakukan ini. Seharusnya aku ibunya langsung terpikir olehku. Sesuatu pasti terjadi antara mereka berdua. Sesuatu yang cukup buruk hingga membuatnya melakukan hal sejauh ini.

Kemarahan menggantikan rasa sakit. Aku mulai membunyikan buku-buku jariku.. "Jalang itu akan habis—" 

"Henley tunggu," Sebastian menyela. "Sebelum kau bisa menghadapi ibu Bennett, kau harus menghadapi ancaman gugatan Curtis terlebih dahulu. Menyerang ibunya tidak akan membantu situasi ini."

Aku benci karena Sebastian benar. Sekarang tidak dapat diragukan lagi kalau Mrs. Calloway mencoba menjebakku. Dialah yang menyuruh Curtis untuk menuntutku dan dia juga yang menyuruh Collin untuk menghapus rekaman video. Jika aku tidak berhati-hati, aku tahu apapun yang dilakukan Sebastian, aku akan terpaku pada kesalahan itu. Jadi akan lebih baik jika aku tidak pergi ke tempatnya. Untuk sekarang.

"Ayo kembali ke apartemenmu sekarang," Sebastian menyarankan, menatap ke arah langit. "Sepertinya akan hujan."

Aku tidak mau. Aku ingin tinggal di sini sampai Bennett muncul. Jadi aku bisa meminta penjelasan darinya dan permintaan maaf lalu kami akan baik-baik saja. Aku menolak untuk percaya dia melakukan ini padaku. 

Sebastian meletakkan tangannya di bahuku, membimbingku ke arah mobilnya, memberitahukan kepada Henry kalau dia akan mengantarkan aku ke rumahku. Aku membiarkannya melakukan itu, tidak dapat menemukan keinginan untuk melawan. Lagi pula Bennett mungkin tidak akan pulang ke rumah dalam waktu dekat jika dia menghindariku.

"Kau baik-baik saja?" Sebastian bertanya, memecahkan kesunyian di dalam mobil saat kami keluar dari rumah Bennett.

"Aku baik-baik saja," kataku. "Well, aku akan baik-baik saja. Aku yakin ada alasan di balik semua ini. Bennett bukanlah orang yang akan melakukan ini. Aku yakin dia akan segera menghubungiku untuk meminta maaf."

Atau setidaknya itulah yang kukatakan pada diriku—ada alasan di balik semua ini, Bennett tidak akan melakukan ini. Aku bisa mengulanginya sebanyak yang aku inginkan, tapi terdapat bola kecil keraguan yang bersarang di dalam pikiranku yang sungguh mempercayai ini. Bennett selalu di luar jangkauanku. Mungkin dia menyadari itu. Mungkin dia tidak pernah menganggap hubungan kami adalah sesuatu yang serius.

Atau mungkin itu hanya aku. Aku bahkan tidak pernah mengatakan kepadanya bagaimana perasaanku terhadapnya. Aku selalu berasumsi dia tahu. Tidak pernah sekali pun aku mengatakan padanya, "Aku menyukaimu." Mungkin dia pikir aku tidak pantas untuk diperjuangkan. Seseorang yang terlalu sadar diri untuk mengatakan pada Bennett apa yang dia inginkan, yaitu dia.

Aku menolak tawaran Sebastian untuk menemaniku setelah dia menurunkan aku di apartemen baru. Untuk sekarang aku ingin sendirian.  Aku menyeret koperku naik ke atas, lalu membuka pintu. Tempat yang akan aku panggil rumah terasa dingin dan tidak familiar. Aku menemukan diriku rindu pada sofa ribuan dollar Bennett yang tidak nyaman. Itu hampir membuatku tertawa. Tidak pernah aku membayangkan akan merindukan benda itu.

"Phew," kataku dengan keras, menyalakan lampu ruang keluarga. Apartemen ini sudah diisi perabotan, jadi hanya sedikit dekorasi dan perabotan—cukup untuk ditinggali, tapi tidak cukup untuk membuat tempat ini terasa seperti rumah.

Aku duduk di sofa, tanganku berada di pangkuanku. "Oke, Henley. Kau baik-baik saja. Gunakan saat ini untuk tenang. Jangan berpikir soal Bennett. Jangan membuat dirimu stres."

Kerangka pikiran itu tidak bertahan lama. Karena benakku tidak dapat berhenti. Apa yang bisa kupikirkan adalah Bennett. Aku sadar kalau saat ini aku pasti berada dalam kondisi terkejut—tidak ada yang menetap. Tidak ada yang benar-benar masuk ke dalam pikiranku. Aku terus berusaha untuk menerima, tapi tidak bisa. Dalam pikiranku, aku akan bangun besok dan menemukan Bennett yang mencoba membolos pergi ke kantor. Dia akan mengatakan sesuatu tanpa dipikirkan dan kemudian minta maaf. Itulah yang membuat Bennet menjadi, Bennett.

Seperti dalam mode autopilot, aku mengeluarkan ponselku dan menekan tombol panggil di samping nama Bennett. Panggilan itu langsung terarah ke kotak suara. "Brengsek," gumamku, melemparkan ponselku. Jelas sekali dia memblokir nomorku.

Jika Bennett pikir dia dapat pergi dengan cara ini, maka dia salah. Kami akan bicara tidak peduli dia suka atau tidak. Aku tidak akan menyerah padanya semudah ini. Tidak kecuali memang ini yang dia inginkan. Sampai aku mendengarnya dari bibirnya sendiri, aku tidak akan membiarkan dia mengakhiri hubungan kami. Aku sudah berjanji akan memperjuangkannya.

 Dan akan kulakukan.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro