Bab 29
Bennett
"Bennett, ibumu menelepon," kata Henry, melihat ke I.D penelepon di layar sentuh ketika nada dering muncul dari speakernya. "Haruskah aku menjawabnya?"
Aku mengedikkan bahu. Kami sedang dalam perjalanan kembali dari rapat dewan, jadi ibu mungkin menelepon untuk memeriksa keadaan. "Berpura-puralah aku tidak bersamamu."
Henry menekan tombol jawab dari setirnya. "Henry di sini."
"Di mana Bennett?"
Henry dan aku saling bertukar tatapan terkejut pada lengkingan suaranya. Itu adalah nada dari ibu yang kesal. Aku menggelengkan kepala dengan cepat ketika mata Henry melebar karena takut. "Dia tidak denganku," dia mencicit.
"Temukan dia," perintahnya dengan suara bergetar. "Temukan dia dan bawa dia padaku. Sekarang. Dan sementara itu, pergi ke rumahnya dan seret keluar pelacur yang tinggal di sana!"
"Hey—" Henry mulai protes.
Tanganku terulur ke setir dan menekan dengan keras tombol akhiri panggilan beberapa kali, membuat Henry kehilangan kontrol mobil sesaat. "Bawa aku ke rumahku," kataku, suaraku lebih tenang dari apa yang sedang kurasakan.
Mengangguk, Henry dengan cepat mengambil belokan U terlarang, dan kembali menuju ke arah kami datang. Kurogoh ponsel dari saku, dengan terburu-buru mengetik nomor ibu. Apa yang sudah dilakukannya kepada Henley? Berani sekali dia menyebut Henley seorang pelacur?
"Bennett!" ibu berteriak, menjawab dalam milidetik pertama.
"Menjauh dari rumahku," aku membentak.
"Jangan temui gadis itu lagi. Ini bukan lagi peringatan! Enyahkan dia hari ini atau hadapi konsekuensinya. Kau tidak boleh bersamanya."
"Tidak."
Aku hampir bisa merasakan amarah memancar dari telepon. "Aku tidak mau bermain permainanmu lagi. Akhiri hubungan sia-sia ini. Sekarang! Akan kulakukan apapun yang aku bisa untuk menjauhkanmu. Kau tidak bisa melihatnya lagi. Jangan kembali ke rumahmu, Henry yang akan mengemasi tas-tasnya."
Dia adalah definisi dari kata gila. Apa yang membuatnya kehilangan akal? Apa yang sebenarnya terjadi? Mungkin Henley lebih baik dalam menangani ibuku daripada apa yang kukira. Apapun itu, jelas sudah Henley memenangkan ronde ini.
"Dia tidak akan pergi," kataku begitu saja.
"Jangan mengujiku. Aku akan mengirimmu ke ujung dunia."
"Akan kubawa dia bersamaku."
"Bennett—"
"Jika Ibu masuk ke rumahku tanpa izin lagi, aku akan membuat laporan merusak dan masuk secara ilegal," kataku dengan berhati-hati. "Ada kamera di sana ingat? Jangan hubungi aku lagi sampai Ibu tenang."
Aku mengakhiri sambungan telepon sebelum ibu memiliki kesempatan untuk menjawab. Henry melihat ke arahku dengan gugup dan aku mengusap keningku, mulai merasakan denyutan tumpul di belakang mataku. Aku tidak tahan dengannya. Bagaimana bisa aku menghadapinya selama bertahun-tahun? Apa ini yang dirasakan Lee? Ini brutal. Aku tidak tahu harus mengharapkan apa lagi, Aku bisa menyatakan perang padanya. Dia tidak bisa menurunkanku. Aku terlalu penting. Dia tidak bisa kehilangan pewaris satu-satunya.
"Aku akan selalu ada di pihakmu," kata Henry padaku.
"Mungkin semuanya akan semakin berat dari sini," aku memperingatkannya.
"Maka semakin banyak alasanku," katanya.
Ketika kami tiba di rumah, aku buru-buru masuk ke dalam, tidak sempat melepas sepatuku. Henley sedang berdiri di ruang keluarga, melihat ke arahku yang sedang menuruni tangga. Aku buru-buru menghampirinya, meletakkan tanganku ke pundaknya, dan mencari tanda-tanda kesedihan. "Kau baik-baik saja?"
Dia berdiri di sana sejenak, terkejut. Kemudian rona merah di pipinya menyebar dan dia mencoba melepaskan diri dari pegangan tanganku. "Aku baik-baik saja. Biar kutebak, kau tahu ibumu datang? Jangan khawatir; aku sudah mengatasinya. Ibumu berhasil mengalahkanku saat pertama kali, tapi tidak akan terjadi lagi. Kukatakan itu padamu."
"Kau tidak kenal dia," kataku. "Aku tidak tahu apa yang akan dia lakukan padamu." Tidak penting apa yang dia lakukan padaku, tapi pada Henley itu beda lagi.
"Kupikir Henley dapat menghadapi ibumu dengan sangat baik," Sebastian berkata, sebuah senyum miring menghiasi wajahnya. "Atau begitulah dari apa yang kami dengar."
Aku sadar untuk pertama kalinya Henley dan aku tidak sendirian. Sebastian, Ariana dan Brandon semuanya tersenyum lebar. Aku bingung, karena biasanya ketika orang lain bertemu dengan ibuku, hal terakhir yang mereka lakukan adalah tersenyum.
Henley meringis. "Kau mendengarku?"
Ariana mengangguk dan terkikik. "Sugar daddy Bennett?"
Sugar daddy? Henley terlihat seperti siap untuk mencekik Ariana sementara aku mengangkat sebelah alis. Mungkin aku sudah mengkhawatirkan hal yang tidak ada penting. Henley sungguh dapat menghadapi ibuku. "Kau selalu mengatakan hal yang aneh pada ibuku."
"Maaf, kurasa aku harus berpikir sedikit sebelum bicara," katanya, menggaruk belakang kepalanya. "Itu mungkin akan memberikan lebih banyak masalah untukmu."
Kepalaku menggelengkan. "Aku sudah paham kalau hubungan kita tidak akan membuatnya senang. Tetapi, kau membuatku senang, dan itu sudah sangat cukup bagiku."
Ariana berooh ria dan Henley menurunkan pandangannya, membiarkan rambutnya jatuh ke depan wajahnya. Dia malu. Itu menggemaskan. Kemudian aku sadar kalau aku masih menatapnya dan segera menjernihkan tenggorokan, teringat kalau di ruangan ini ada banyak orang bersama kami.
"Aku bertaruh dia akan mengusirmu," ujar Sebastian.
Mataku menyipit ke arahnya. "Ini rumah milikku. Dia tidak bisa mengusirku. Aku membayar untuk pembangunannya. Kenapa semua orang berpikir kalau dia yang membelikannya untukku?"
Henley menutupi mulutnya. "Dia tidak membelikannya?"
"Aku menghasilkan ratusan ribu dollar pertahun, kenapa kau berpikir aku tidak membeli ini—"
"Aku hanya bercanda," dia menyela dan aku sadar sudah mengatakan hal yang tidak penting. Untungnya, Henley lebih terlihat geli daripada kesal.
Aku memasukkan tangan ke dalam sakuku, mencoba untuk bersikap tenang. "Asal kalian semua tahu saja." Kemudian Sebastian mencibir sehingga aku menoleh ke arahnya. "Kau akan pergi?"
Dia mengedikkan bahu. "Mungkin. Aku baru saja akan menawarkan kepada Henley untuk melihat-lihat rumah barunya."
Itu benar. Rumahnya sudah siap sekarang. Bagaimana jika Henley pergi untuk memeriksanya dan memutuskan dia ingin pindah ke sana? Bagaimana jika dia tidak kembali lagi?
"Kenapa kalian tidak tinggal untuk makan malam?" aku menawarkan, menuju ke arah dapur untuk memeriksa persediaan. "Aku yakin ada sesuatu yang akan kalian sukai di sini."
Dengan bangga, Sebastian mengikutiku dari belakang. "Kenapa kita tidak membuat ini menjadi pesta kecil untuk malam terakhir Henley tinggal di sini?"
Malam terakhir? Kepalaku menoleh dengan cepat, menghadap langsung ke arah Sebastian. Aku mendorongnya ke samping, hingga tatapanku bertemu pada mata Henley. "Apa? Ini malam terakhirmu?"
Henley memberikan tatapan tidak suka pada Sebastian sebelum menggelengkan kepalanya padaku. "Tidak. Aku mungkin akan tinggal di sini sampai akhir pekan. Aku tidak punya waktu untuk menyiapkan semuanya."
Jawabannya tidak membuatku merasa lebih baik. Tapi seminggu lebih bagus daripada tidak sama sekali. "Benar."
"Ya, kenapa kita tidak berpesta malam ini?" Ariana menimpali, menepuk-nepukkan tangannya bersamaan. "Kita bisa bermain permainan dan drunk charades dan yang lainnya!"
"Drunk charades?" Brandon mengulanginya.
Ariana mengangguk dengan penuh semangat. "Ya! Itu akan menyenangkan. Kita butuh bir. Aku bisa pergi untuk mendapatkan bir!"
"Tunggu, ini rumah Bennett, kita tidak boleh membuat rencana—" Henley angkat bicara.
Aku segera meraih kesempatan ini. "Terdengar bagus." Apapun untuk membuat mereka tinggal lebih lama. Mungkin mereka semua dapat pindah ke mari...
Mungkin aku sudah gila.
"Aku bisa pergi untuk mendapatkan bir," Henry menawarkan diri, akhirnya membuat kehadirannya diketahui oleh orang lain.
"Aku tidak sadar kau ada di sini," kata Henley, terdengar senang bertemu dengan asistenku.
Henry tersenyum ke arahnya. "Senang bertemu denganmu."
Mataku menatap ke arahnya. "Henry. Bir."
"Aku akan pergi denganmu," Ariana juga menawarkan diri. "Kita pernah bertemu sebelumnya. Aku Ariana, ingat?"
"Aku juga akan pergi," Brandon dan Sebastian berkata dengan serentak.
Henley memutar bola matanya dan aku berkedip dengan penasaran pada Sebastian. Biasanya dia menghindari toko minuman keras, karena sesuatu tentang image keluarganya. Tidak mungkin dia menawarkan diri untuk pergi ke sana sekarang.
"Kau seharusnya tinggal dengan adik perempuanmu," kata Sebastian pada Brandon.
"Ariana harus pergi dengan seseorang yang dia kenal," Brandon membalas.
"Aku akan pergi," kata Henley. "Meskipun aku takut meninggalkan Brandon sendirian di sini."
Brandon melipat kedua tangannya di depan dada. "Kau membuatnya terdengar seolah aku ini kriminal."
"Secara teknis memang benar."
"Ah, terserah. Pergilah. Pastikan kau tidak hanya membeli anggur dingin. Aku bisa memberimu beberapa uang."
Aku menarik dompet, menyerahkan kartu perusahaan kepada Henry. "Masukkan semua biayanya ke sini. Beli sebanyak yang kau mau."
Ariana mengambil kartunya dari tanganku dan menyeringai. "Tidak masalah."
Saat itulah aku sadar kalau dia lahir untuk menjadi istri seseorang yang hebat. Setelah bertukar pandangan khawatir dengan Henry, trio itu pergi, meninggalkan Brandon, Sebastian, dan aku sendirian. Dua orang di depanku terus mencuri pandang, seperti sedang menilai satu sama lain. "Apa yang kalian lakukan?" tanyaku.
"Tidak ada," kata mereka serentak dan kemudian saling berpaling.
Aku mengernyit, tapi memutuskan untuk tidak mengomentarinya. "Kalian berdua mendengar apa yang dikatakan ibuku pada Henley? Apa itu buruk?"
"Bukan sesuatu yang tidak biasa," Sebastian berkata.
"Itu normal? Dude, ibumu sungguh jalang." Brandon berhenti, wajahnya memucat sedikit. "Tunggu, maaf. Dia ibumu, seharusnya aku tidak berkata begitu. Hanya saja caranya bicara dengan Henley seperti itu membuatku marah."
"Itu juga membuatku marah," kataku padanya. "Karena kurangnya kata-kata yang lebih baik, ibuku memang jalang. Aku tidak bisa dan tidak ingin membuat alasan untuknya. Dia tahu aku sudah membuat batasan yang jelas ketika itu menyangkut soal adik perempuanmu, tapi dia terus mengujiku."
Sesaat Brandon memperhatikanku dengan penasaran. "Kau sungguh-sungguh peduli sebesar itu pada Henley"
Kepalaku mengangguk.
"Apa kau akan tetap peduli padanya bahkan jika itu harus mengorbankan warisanmu?" dia bertanya.
"Maksudmu kau pikir ibuku akan mengancam untuk mengambil perusahaanku?" gagasan itu membuatku tersenyum penuh arti. Itu adalah satu hal yang tidak dapat dilakukannya untuk melawanku. "Itu tidak akan pernah terjadi, jangan khawatir. Dia lebih membutuhkanku daripada aku membutuhkannya."
Dia menatapku ragu.
"Bahkan jika aku jadi tidak punya uang untuk Henley, itu akan setimpal."
Brandon terkekeh sedikit dan menggelengkan kepalanya. "Well, Aku memang sempat ragu padamu, tapi sepertinya aku mengkhawatirkan hal yang tidak perlu. Terima kasih sudah peduli padanya. Aku belum dapat menjadi penyokong terbaik, jadi aku senang dia bisa mengandalkanmu."
"Kau juga bisa mengandalkanku," kataku pada Brandon dan matanya melembut. Kemudian aku menambahkan, "Lagi pula, kita akan menjadi saudara suatu hari nanti."
Matanya langsung menyipit. Aku hampir bisa mendengar suara goresan di musik latar belakang kami, momen bahagia itu menghilang. "Tunggu dulu, saudara?"
"Berkencan cenderung mengarah ke pernikahan."
Sebastian mendengus dan Brandon menutupi matanya dengan tangan, menghela napas keras. "Aku sungguh tidak ingin membahasnya sekarang. Aku akan berpura-pura tidak mendengar itu."
Apakah kata-kataku sangat mengejutkan? Tentu saja aku akan menikahi dengan Henley pada akhirnya. Aku tidak mengencaninya untuk bersenang-senang. Kenapa dia sangat kesal dengan itu? Mungkin itu masalah yang dimiliki setiap kakak laki-laki.
"Lagi pula, aku tidak yakin jika ibumu kan menyukaiku," kata Brandon. "Dia melihatku sekilas dan langsung lari ke arah yang sebaliknya."
Alisku mengernyit. Ibuku tidak menunjukkan ketakutan di depan siapa pun. "Itu aneh."
"Itu memang aneh," Sebastian setuju. "Aku tidak pernah melihat ibumu seperti itu sebelumnya. Apa kau yakin kau belum pernah bertemu dengan Brandon?"
"Tidak pernah."
"Dan kau bilang kau tidak pernah bertemu dengan ibu Bennett sebelumnya?" Sebastian bertanya pada Brandon.
Brandon menggelengkan kepalanya. "Kurasa aku pasti akan ingat seseorang seperti dia."
Sebastian mengerucutkan bibirnya ke samping. "Apa yang kalian bertiga miliki bersama?"
"Bertiga?" tanyaku.
"Richard adalah pengacara lama Brandon," Sebastian menjawab. "Kenapa pengacara ibumu membela Brandon?"
"Apa?" Richard adalah pengacara Brandon? Tidak mungkin. Jika Henley hampir tidak mampu membayar sewa apartemennya, dia tidak akan mampu membayar jasa Richard untuk saudaranya.
"Richard juga pengacara ibumu?" Brandon tertawa. "Tidak heran dia terlihat begitu takut. Ibumu mungkin tahu aku dari Richard dan tidak mau mendengar betapa buruknya Richard. Dia akan kalah jika aku tetap mempertahankannya."
Jika ada satu hal yang tidak dapat mendeskripsikan Richard, itu adalah buruk. Dia adalah pengacara terbaik. Dia bisa memenangkan kasus apa pun. Tidak mungkin dia akan akan mendekati kata kalah. Aku menoleh ke arah Sebastian, tapi bisa kulihat dia sudah berpikir lebih jauh dari pada aku. Itu pasti sisi pengacara dalam dirinya. Dia pasti menyadari ada sesuatu yang mencurigakan.
Tapi apa itu? Apa ibuku bahkan tahu kalau Richard bekerja untuk Brandon? Atau itu hanya kebetulan? Sulit untuk dipercaya. Dari mana Brandon dan Henley mendapatkan uang untuk itu? Rasanya tidak mungkin.
"Ada sesuatu yang aneh di sini," kata Sebastian, membaca pikiranku. "Aku mengatur pertemuan dengan Richard untuk menanyakan padanya soal ini."
"Aku akan ikut denganmu—"
"Aku akan melakukannya sendiri," Sebastian menginterupsi. "Aku—aku hanya tidak ingin kau melewatkan pekerjaan ketika ibumu sudah marah padamu. Haruskan kita memesan pizza? Jika kita menghubungi Henry sekarang dia bisa membelinya selagi mereka di luar."
Meskipun caranya mengubah pembicaraan terasa mencurigakan, aku akan membiarkannya lolos kali ini. Aku tahu jika dia menemukan sesuatu yang penting, dia akan mengatakannya kepadaku. Pikiran Sebastian bekerja dengan cara yang berbeda dariku. Dia bisa menghubungkan hal-hal berbeda ketika aku tidak bisa melakukannya. Akan lebih baik untuk membiarkannya menyelesaikan ini, apa pun itu.
Aku hanya berharap itu tidak terlalu buruk.
Ketika Henry, Ariana, dan Henley kembali, suasana menjadi lebih ringan. Menilai dari jumlah alkohol yang mereka beli, suasana akan meroket tinggi. Kami membuka beberapa bir untuk diminum bersama pizza dan kami berbincang mengelilingi di meja dapur.
Rasanya aneh memiliki teman di rumahku. Mungkin karena aku hidup dalam kesendirian tanpa Lee. Mungkin karena teman satu-satunya yang pernah kumiliki hanyalah Sebastian dan Henry. Aku lupa bagaimana rasanya memiliki rumah yang hidup. Rasanya bagus. Seperti rumah lagi.
"Oke, waktunya untuk drinking games," Ariana mengumumkan setelah pizza habis. "Aku membeli minuman keras untuk itu."
Brandon mengangkat botol Butterscotch Schnapps dan membuat ekspresi tidak suka. "Sungguh?"
"Apa? Beberapa orang di antara kita tidak bisa mengatasi alkohol murni," dia membela.
Henley mengangkat botol Fireball dan Jack Daniels. "Jadi kamu membeli ini juga!"
Mulut Sebastian menganga sedikit. "Apa kita akan mati malam ini?"
"Kita bisa mencampurnya dengan soda," kata Ariana, melambaikan tangan padanya. "Oke. Aku akan menggabungkan dua permainan bersamaan untuk membuatnya lebih menyenangkan. Semuanya pilih partner kalian."
Aku langsung menoleh ke Henley. Henry, yang lebih dekat dengannya, juga menoleh ke arahnya. Hampir aku ingin mendengus. Dia pikir Henley akan memilihnya? Pfft-
Dia memilih Henry. Dia bahkan tidak melihat ke arahku, hanya berjalan lurus ke arah Henry. Aku bergegas ke arah mereka, menyusup ke tengah-tengah Henry dan Henley, memberikannya hentakan kepala samar untuk menyuruhnya pergi. Henry tersenyum lebar dan mempersilahkanku.
Aku menoleh ke arah Henley, keberanianku menghilang ketika dia mengangkat sebelah alisnya padaku. "Maukah kau menjadi partnerku," aku bergumam.
Dia tertawa. "Tentu, berhubung kau berusaha sekali."
Ujung telingaku menghangat, tapi aku mencoba menenangkan diri. Aku berbalik untuk mengatakan pada Henry agar berpartner dengan Sebastian sampai akhirnya kulihat dia berpasangan dengan Ariana. Yang menyisakan Brandon dan Sebastian, keduanya tidak terlihat senang dengan kenyataan ini.
"Sepertinya kalian berdua akan berpasangan," goda Ariana. "Aku akan berpartner dengan Henry. Akan kusebutkan bagian tubuh dan kalian harus menempel pada pasangan kalian sepanjang permainan. Tiap kali kalian berpisah, kalian harus minum. Brandon dan Sebastian, kalian berdua harus terhubung dengan siku."
"Tidak bisakah kami bertukar pasangan?" Brandon bertanya. "Mereka berdua saling mengenal, mereka seharusnya berpartner."
"Berteman dengan orang lain itu baik," Ariana menjawab. "Dan jika kau ingin berpartner denganku, mungkin kau harus meminta dan bukannya mengatakan hal yang tidak perlu pada Sebastian."
Brandon mengernyitkan wajahnya dan mendorong sikunya ke Sebastian. Aku hampir merasa kasihan pada Sebastian, tapi cukup lucu untuk melihatnya seperti ini. Dia nyaris tidak menyentuh siku Brandon. Nyatanya, dalam tiga detik mereka sudah terpisah.
"Minum!" Ariana berseru.
"Kita bahkan belum mulai!"
"Kau sudah mulai di menit pertama tubuhmu bersentuhan," katanya kejam. "Dan kalian sudah terpisah lagi. Dua minuman!"
"Berhenti bergerak-gerak!" Brandon membentak Sebastian.
"Bukan salahku kau lebih pendek dariku," Sebastian membalas, dengan dagu terangkat tinggi.
Brandon mendengus. "Kau tidak lebih tinggi dariku."
"Bennett dan Henley, kalian harus membuat pinggang kalian bersentuhan!" ucap Ariana.
Henley melihat ke arahku dan meringis. "Aku tidak baik mengatasi pengaruh alkohol padaku, seperti yang kau tahu, jadi cobalah untuk tidak terpisah dariku." Dia mencoba menyenggolkan pinggangnya pada pinggangku dan menjaganya agar tetap menempel, menggeser lebih dekat jadi tubuhnya tidak perlu membengkok dengan angle yang aneh.
Dengan Henley yang sangat dekat, sekali lagi aku menjadi lebih sadar betapa kecil dan wanitanya dia. Jika kami harus sedekat ini sepanjang malam...
Aku butuh alkohol itu.
"Henry dan aku akan terhubung dengan jari kelingking kami," kata Ariana, menyentuhkan tangannya kepada Henry.
"Itu terlalu mudah," Henley mengeluh.
"Haruskah kami menyentuh bokong?"
"Tidak!" Brandon dan Sebastian menjawab.
Henry merona dan melepaskan tangannya dari Ariana, membuat dia harus minum. Sepertinya dia juga butuh alkohol itu.
Ariana menepuk tangannya pada tangan Henry yang bebas, untuk menarik perhatian semua orang. "Berhubung kita memiliki kelompok yang besar dan aku juga membeli setumpuk kartu, kita akan bermain King's Cup."
Henley mengerang. "Oh man, aku payah pada permainan ini."
Henry melonggarkan simpul dasinya dengan gugup. Dia tidak terlalu suka pada alkohol. Satu-satunya saat aku melihat dia minum adalah ketika Lee atau aku memaksanya untuk pergi ke bar. Aku cukup yakin dia tahu aturan permainannya. Lee suka bermain drinking games.
Tetap saja, Ariana memberikan kami inti permainan dengan singkat. "Mari kita pindah ke meja. Bergerak pelan-pelan atau kalian harus minum," Ariana memperingatkan kami.
Henley dan aku mulai bergerak perlahan ke arah meja, tapi tidak butuh waktu lama untukku tanpa sengaja berjalan mendahului dia.
"Minum!" Ariana bersorak.
Henley dengan enggan meneguk Fireball, lalu menjulurkan lidahnya dan terbatuk-batuk. "Menjijikkan sekali. Rasanya seperti pasta gigi. Bennett, cobalah untuk tidak bergerak terlalu banyak."
Aku dengan mudah meneguk Jack Daniels dan menyeret duang kursi berdekatan secara bersamaan jadi kami bisa duduk dengan kedua pinggang yang bersentuhan. "Akan kucoba."
"Aku akan menarik kartu pertama," kata Ariana dan mengambil kartu paling atas kumpulan kartu itu. "Ooh. Dua. Artinya aku harus memilih siapa yang harus minum. Mudah. Brandon."
Brandon menenggak minumannya. Kemudian mengambil kartu. "Tujuh! Tangan ke surga!"
Semua orang mengangkat tangannya ke atas. Sebastian entah bagaimana menampar wajah Brandon.
"Maaf," katanya, tapi dia tidak terdengar terlalu menyesal.
"Kalian berdua melepas pegangan kalian! Minum!"
Keduanya menenggak minuman mereka, Henley mengikuti karena dia yang paling terakhir mengangkat tangannya. Dia mulai berayun di kursinya sedikit.
Begitulah malam berlangsung dan orang-orang menjadi semakin mabuk. Aku mencoba untuk tetap memiliki pikiran yang jernih, tapi kemudian menjadi sia-sia ketika seseorang menarik kartu As. Dan semuanya berubah menjadi mabuk.
"Sembilan," Henley menarik kartu. "Ritme kata dariku. Born."
"Scorn," kataku.
"Forlorn," ucap Sebastian.
"Adorn," kata Ariana.
"Corn," kata Henry.
"Porn," Brandon terkekeh.
"Mesum!" Henley berseru, menghantamkan kepalan tangannya ke atas meja.
"Ha! itu tidak beritme! Minum!" Brandon menjawab, mendorong botol Fireball yang separuh kosong kepadanya.
Henley memandang tajam ke arahnya; meneguk langsung dari botol dan nyaris membatukkannya kembali. Aku berdiri untuk menepuk-nepuk punggungnya, melepaskan pinggang kami yang saling terhubung.
"Hehehe. Bagus," Ariana menyeringai, menendang kakinya ke atas meja dapur. "Minum, sayang."
Aku mencondongkan tubuhku untuk mendorong kakinya turun, membuat dia nyaris terjatuh dari kursinya. "Tidak boleh ada kaki di atas furnitur."
"Ambil kartu, Bennett," kata Henley, mengambil kartu selanjutnya dari tumpukan dan memberikannya padaku.
Aku baru akan mengambilnya dan dia menariknya kembali. Aku meraihnya lagi. Dia menariknya kembali. Mataku menyipit ke arahnya.
"Baiklah, ambil," kata Henley, memberikan kartu itu padaku.
Baru aku akan menyentuhnya, dia menariknya kembali dan mulai terkikik. "Kau beruntung kau ini manis," kataku padanya.
"Aku tahu," jawabnya, akhirnya membiarkanku mengambil kartu.
"Queen," kataku. "Untuk apa yang satu ini?"
"Berikan pertanyaan," Sebastian mengatakan kepadaku. "Kemudian orang lain harus bertanya pada yang lain. Kau tidak boleh menjawab."
Aku mengangguk beberapa kali untuk menunjukkan padanya kalau aku mengerti. "Berapa penghasilan bersihmu?" tanyaku pada Ariana.
Dia menatap ke arahku. Kemudian menoleh ke arah Sebastian. "Bagaimana tanganmu bisa sangat berotot?"
Sebastian memamerkan ototnya kemudian menoleh ke arah Brandon dengan polos. "Apa kau masih perjaka?"
Henley terkekeh dan Brandon membuka mulutnya kemudian menutupnya kembali. "Usaha yang bagus. Ariana, seberapa besar rasa cintamu pada kucing?"
dia menarik napas dalam, seperti akan meledak. Kemudian dia menggelengkan kepalanya. "Tidak. Aku tidak akan menjawab itu. Tapi kucing itu lucu. Henry, aku sungguh butuh jawabanmu untuk pertanyaanku ini. Kumohon jangan abaikan aku. Itu akan menyakiti perasaanku. Apa nama tengahmu?"
Henry menelan ludah dengan gugup. Bisa kulihat dia ingin menjawab. Dia tidak bisa menolak seseorang yang bertanya dengan baik-baik. Matanya bergerak ke sekeliling ruangan seperti mencoba untuk menahan keinginan untuk menjawab pertanyaan Ariana. Dia mengibas-ngibaskan tangan di depan wajahnya, seperti sedang memberi udara pada dirinya sendiri. Tidak mungkin dia mengabaikannya...
"Brandon, ulang tahun?" dia akhirnya bertanya.
Brandon tersenyum miring. "Henley, apa kau masih takut pada Sasquatch?"
Pipi Henley yang sudah memerah kini menjadi semakin gelap. Takut dengan sasquatch? aku tersenyum. Dia manis sekali. Dan dia harum. Dan dia terasa sangat baik. Dia baik.
Aku terkekeh.
Beberapa pertanyaan dilontarkan, tapi aku tidak dapat memperhatikan mereka, terlalu terpesona dengan Henley. Senyum permanen ada di wajahnya. Senyumnya cantik.
"Bennett, siapa yang kau cintai?" Ariana bertanya, menunjukkan jarinya padaku.
"Henley," aku menjawab.
"Minum!" dia berseru, tertawa seperti maniak. "Kau menjawab!"
Beban dari jawaban itu melayang ke dalam kepala orang-orang. Mungkin juga ke dalam kepalaku. tapi rasanya menyenangkan untuk mengatakannya dengan lantang. Mungkin jika aku sedikit lebih sadar dan sedikit lebih percaya diri, aku bisa mengatakannya ke hadapan Henley pada saat di mana dia akan mengingatnya pagi ini.
"Aku juga mencintai Henley," Henry berteriak, membuat Ariana terlonjak di sebelahnya.
"Aku juga," Ariana menjawab, mencondongkan tubuhnya untuk menepuk-nepuk lengan Henley. "Dia manis benarkan? Awwww. Aku ingin mencubit pipinya."
Aku meraih lengan bajunya menjauh dari tangan Henley lalu mendorongnya ke belakang.
Ariana dengan sangat dramatis jatuh ke belakang, kekuatannya membuat dia jatuh ke kursinya. Sebastian langsung melompat, menjatuhkan kursinya karena terburu-buru menuju ke samping Ariana. "Kau baik-baik saja?"
Henley dan aku memiringkan kepala ke samping untuk dapat melihatnya. Ariana melambaikan tangannya agar membuat Sebastian mendekat. "Bantu aku, aku jatuh dan tidak bisa berdiri."
"Aku akan membantumu," kata Brandon, menggulung lengan bajunya.
Sebastian tanpa ragu menyelipkan tangannya ke bawah Ariana dan dengan mudah mengangkatnya dari lantai.
"Jadi seperti ini rasanya," Ariana menghela napas.
Sebastian menyeringai, berbalik ke arah Brandon, Ariana masih di tangannya. "Betapa laki-lakinya aku."
"Aku juga bisa mengangkatnya!" kata Brandon kesal. "Berikan dia padaku."
Sebastian mengangkatnya lebih tinggi, seperti Rafiki yang mengangkat Simba. "Tidak."
Tawa Henley meledak, dia menghantamkan tangannya ke atas meja. Itu membuatku takut hingga melompat kaget, melepaskan pinggang kami yang saling terhubung. Aku berpikir untuk melewatkan minumannya karena semua orang tampaknya sedang teralihkan tapi kemudian aku menangkap pandangan Henry.
Dia menunjuk ke arah minuman kemudian perlahan menyeret jari telunjuknya ke tenggorokannya. Aku mengartikan tatapannya sebagai, "jika aku harus minum, kau juga harus."
Aku memberikan kode kembali; tidak ada yang menyadarinya tidak usah dituang.
Kemudian itu sungguh menghantamku.
"Angkat aku juga!" kata Henley pada Sebastian, mengangkat tangannya ke atas udara.
Aku langsung menangkap pinggang Henley. Tidak mungkin aku membiarkan Sebastian terlihat seperti pahlawan.
Kemudian aku mengangkatnya, mengerang dengan cara berlebihan.
Henley bergerak mungkin hanya satu inci.
Dia menoleh ke arahku, tatapannya kosong. "Well. Kupikir kau memang tampak kurus—woah!"
Aku dengan mudah mengangkatnya dan meletakkannya ke bahuku. "Cuma bercanda. Aku super kuat."
"Itu bukan cara mengangkat seorang gadis," kata Ariana dari tangan Sebastian. Brandon terus mencoba untuk mengangkatnya, tapi Sebastian terus berputar-putar untuk menghindarinya. "Aku mau muntah," dia memperingatkan mereka.
"Skenario yang bagus," Henry bergumam pada dirinya sendiri. "Ya."
"Aku juga," Henley bergumam, mengetuk bagian belakang kakiku. "Kau sudah membuktikan poinmu. Sekarang turunkan aku."
Aku tersandung di meja konter, tidak mempercayai diriku sendiri untuk menurunkan Henley tanpa kehilangan keseimbangan. Sepertinya dunia agak miring. Tetap saja, rasanya canggung menurunkannya, dan aku hampir saja menurunkannya dengan posisi wajahnya lebih dulu dari caranya melototiku.
"Kau manis," kataku padanya, tanganku di keningnya untuk menghaluskan kerutan di keningnya. "Bahkan ketika kau berpura-pura untuk marah. Aku ingin menciummu."
Dan tanpa menunggu jawabannya, aku memberikan ciuman singkat.
henley menyeringai. "Kau terasa seperti alkohol."
Mendadak aku mendengar suara gedebuk! Dan Ariana berseru, "Satu orang jatuh!"
Aku menoleh ke arah Henry yang pingsan di lantai di samping sofaku. Henley terkesiap, turun dari konter dan bergegas mendekatinya. "Kau baik-baik saja?"
"Aku tahu sekarang," kata Henry, memandangi langit-langit.
"Tahu apa?" tanyaku padanya, berjongkok.
"Akhirnya..."
"Akhirnya?"
"Aku melihatnya."
"Haruskah kita panggil ambulan?" tanya Brandon, menatap ke arahku.
Henry menggelengkan kepalanya, berpegangan pada sofa untuk mengangkat tubuhnya ke posisi duduk. "Aku baik, aku baik. Aku bisa minum beberapa gelas lagi. Berikan aku satu."
"Aku tidak akan melakukan itu," kataku, tapi Brandon sudah menuangkan untuknya.
Henry menatapnya dengan penuh tekad. "Persetan dengan writer's block!" dia berteriak, dan menenggak minumannya.
"Ya! Tunggu, kau menulis?" Ariana bertanya.
Henry mengangguk kemudian membuka mulutnya untuk menjawab. Dia menutupnya kembali, mendadak berubah hijau.
Aku tidak suka dengan tampilannya itu.
"Bennett, ambil tong sampah!" Sebastian berseru.
Tapi itu sudah terlambat.
Henry memuntahkannya seperti volcano yang sudah lama tidak aktif.
Di seluruh sofa VIG Chesterfield milikku.
Henley bersiul pelan. "Sepertinya aku tidak akan tidur di sofa malam ini..."
Saat itu, aku diam-diam berjanji tidak akan pernah membiarkan Henry mabuk lagi.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro