Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 25

Bennett

Klik.

Cahaya memenuhi bagian dalam kamar lama Lee ketika aku menyalakan lampu. Tenggorokanku tercekat saat melihat tempat tidurnya yang terbengkalai. Tidak ada yang berubah. Tidak di kamar ini, tidak di hatiku.

Mengatakan kepada Henley dapat menggunakan kamar Lee memang mudah. Memikirkan tentang Henley menggunakan kamar Lee sedikit tidak begitu mudah. Berada di kamar Lee… tidak mudah sama sekali. Aku ingin tetap menyimpannya untuk dia. Menyimpannya, sehingga dia tahu dia punya tempat untuk kembali.

Kecuali aku tahu dia tidak akan kembali.

Tanganku terkepal di pegangan pintu dan aku melawan keinginan untuk membanting pintu dan berpura-pura kalau kamar itu tidak pernah ada seperti apa yang kulakukan selama setengah tahun terakhir.

Grow up, aku memarahi diriku sendiri. Lee tidak akan menginginkan ini. Jika aku tidak bisa melakukan ini untuk diriku sendiri, dan jika aku tidak dapat melakukan ini untuk Henley, setidaknya aku bisa lakukan ini untuk Lee. Jika Lee ada di sini, dia pasti sudah menawarkan tempat tidurnya di malam pertama Henley muncul. Dia tidak akan memaksa Henley tidur di sofa yang sempit itu.

Baru sekarang aku menyadari bagaimana buruknya sofa itu untuk dia. Dan aku baru menyadarinya karena aku tidak ingin dia pergi. Lee selalu mengatakan kalau aku ini tidak pedulian. Dia benar.

Menguatkan diriku sendiri, aku sepenuhnya masuk ke dalam kamar. Aku benci bagaimana rasanya. Hampir sama seperti ketika kau berjalan di pemakaman dan menahan napasmu untuk alasan yang tidak kau mengerti.

Henley bisa mengubah itu. Dia bisa membawa kehidupan di kamar yang aku biarkan mati. Aku hanya perlu menerima kenyataan kalau ini bukan lagi kamar Lee. Dan itu sulit.

Tanganku menyusuri meja dimana Lee sering terjaga hingga larut, meneliti dan merencanakan pembangunan hotel di Wailea. Debu yang cukup tebal menutupi ujung jariku dan aku bisa melihat jejak tanganku di atas meja kayu itu. Terdapat coret-coretan yang hampir selesai di sana. Mungkin dibuat dari pena Lee. Dia suka pena yang tajam. Pena seperti itu tahan lebih lama dan dengan beban kerjanya, dia butuh sesuatu yang tidak akan habis setelah dituliskan di atas lusinan dokumen.

Bau pengap terasa menyesakkan, jadi aku berjalan ke arah jendela untuk membiarkan udara segar masuk. Teleskop milik Lee berdiri menunjuk ke arah langit dan aku tersenyum, teringat malam-malam kami terjaga hingga larut, untuk mengidentifikasi rasi bintang. Dia memiliki tumpukan buku di sekitar ruangan. Beberapa tentang rasi bintang, tentang mitos dan legenda, beberapa tentang fisika. Dia tidak pernah berhenti membaca.

Aku menatap ke rak bukunya, mendadak merasa seperti akan muntah. Aku sadar kalau aku tidak bisa melakukan ini sendiri. Harus menunggu sampai ada orang lain yang membantuku. Jika aku terus melakukannya, aku akan tenggelam dalam pikiranku dan tidak akan beranjak kemana pun.

Tanganku memegangi kepala, aku keluar dari kamar, menutup pintunya sedikit terlalu kasar di belakangku. Aku tidak ingin sakit. Tidak hari ini. Aku punya rencana dengan Henley. Aku tidak ingin emosiku yang kacau merusaknya. Ini masih sangat pagi, karena aku ingin membersihkan kamar sebelum Henley bangun, sehingga aku bisa tidur beberapa jam lagi untuk membentengi diri.

“Kau baik-baik saja?”

Aku tersentak kembali, menolehkan kepalaku untuk melihat Henley yang mengantuk berdiri di tangga, menggunakan  salah satu kaus berlengan panjang milikku yang terlalu besar untuknya. Matanya menyipit dan dia terlihat seperti berjuang keras untuk tetap bangun. Perasaan tidak nyaman langsung tersapu, digantikan dengan salah satu perasaan yang kusuka. Dia jadi lebih menggemaskan di pagi hari. “Apa aku membangunkanmu?”

“Tidak, aku hanya mendengar sesuatu dan datang untuk menginvestigasi,” dia bergumam, menutupi mulutnya ketika dia hendak menguap.

“Semuanya baik-baik saja. Kenapa kau tidak kembali tidur?”

“Aku mungkin juga berusaha untuk terjaga. Punggungku sakit. Aku tidak mau kembali ke sofa itu.” Seolah ingin membuktikan perkataannya, Henley meringis, meletakkan tangan di sisi badan dan meregangkannya.

Aku hanya bisa membayangkan. Meskipun badannya kecil, sofa itu lebih kecil. Tidak mungkin dia mendapatkan istirahat malam yang penuh di sana. Dan sudah berapa malam dia ada di sana? Dan selama itu aku tidak pernah berpikir tentang bagaimana tidurnya. “Kau bisa tidur di tempat tidurku,” aku menawarkan.

Dia menjadi kaku, matanya mengunci ke arah mataku.

“Aku akan beristirahat di sofa,” kataku mengklarifikasi dengan cepat.

Henley dengan keras menggelengkan kepalanya. “Aku baik-baik saja—”

“Aku memaksa—”

“Sofa itu tidak begitu buruk—”

“Tidak apa-apa—”

“Jangan khawatirkan aku—”

“Henley.”

Bibirnya langsung menutup. “Oke.”

Merasa sedikit menang, aku berbalik ke arah lorong, dan kudengar dia berjalan di belakangku. Aku membuka pintu kamar tidurku lalu menyuruhnya untuk masuk. Dia terlihat lebih sadar sekarang, tapi dari caranya berjalan tampaknya dia akan dengan cepat tertidur kembali. Henley berdiri di samping tempat tidur dengan canggung, memperhatikanku.

“Naiklah,” kataku.

Dia menekankan bibirnya, ragu-ragu.

“Aku mencuci spreinya dengan rutin, jika itu yang membuatmu khawatir.”

Dia memberiku tatapan sarkas terkenalnya, tapi rona samar di pipinya membuat tatapan itu kurang mengancam. Setelah lumayan lama dia dengan perlahan duduk di tempat tidur. Lalu dia menjatuhkan dirinya dan menghela napas. “Ini sangat nyaman.”

“Oke. Beristirahatlah. Aku akan membangunkanmu beberapa jam lagi.” Aku mulai berjalan pergi, tapi suara-suara menghentikanku. Kepalaku menoleh kembali, kulihat dia menepuk-nepuk tempat tidur, wajahnya dia surukkan ke bantal. “Apa?” tanyaku.

Dia menggumamkan sesuatu di bantal.

“Apa?”

“Kemarilah!” kata Henley lebih keras, mengangkat wajahnya dari bantal. “Ini tempat tidurmu. Dan kita juga bukan orang asing. Kita sudah pernah berciuman. Kita bisa tidur bersama, benarkan? Tidak dalam artian, kau tahu, hal itu. Well sebenarnya untuk kedua hal itu.” Wajahnya berubah menjadi horor. “Kenapa aku mengatakan itu?”

Aku tertawa, terlambat menutupi mulutku untuk menahannya.

Wajahnya membara. “Lupakan. Keluar.”

Aku berjalan ke sisi lain tempat tidur, mencoba untuk menjaga ekspresi wajahku tetap datar. Lucu sekali melihat betapa malunya dia. “Ini kamarku.”

“Sekarang aku terlalu malu.”

“Kalau begitu jangan melihat ke arahku,” aku menjawab, duduk di pinggir tempat tidur. Menunggu, untuk melihat apa yang akan dia katakan. Jika dia ingin aku pergi, aku akan pergi.

Tapi dia tidak mengatakan apa pun.

Aku menarik tubuhku ke atas tempat tidur, di atas selimut.

Dengan gerakkan cepat Henley berbalik ke sisinya, aku mengernyit ke arahnya. “Kau bisa masuk ke dalam selimut. Suhunya akan jadi terlalu dingin dengan pendingin udara.”

Dengan Henley yang menghadap ke arahku, aku mendadak kehilangan kepercayaan diri. Perlahan Aku menelan ludah, berharap dia tidak akan menyadarinya saat aku menyusup ke bawah selimut. Kami memperhatikan satu sama lain sepanjang waktu dan aku bertanya-tanya apa yang dia pikirkan. Aku berpikir jika dia tahu apa yang sedang aku pikirkan.

Sesuatu yang polos dan biasa seperti ini terasa baru dan menyenangkan, hanya karena aku bersama Henley. Aku merasa gugup. Seperti ketika aku pertama kali menciumnya. Dia membuatku merasa gugup. 

Aku ingin tahu apakah dia gugup.

Ketika dia mendadak bergeser lebih dekat kepadaku, meringkuk di dadaku, aku mendapatkan jawabanku dari suara jantungnya yang tidak menentu.

Tersenyum, aku menangkup bagian belakang kepalanya, membelai rambutnya sampai aku jatuh ke tidur terbaik setelah sekian lama.

Ketika aku terbangun lagi, jam sudah menunjukkan sekitar jam sepuluh pagi. Ponselku bergetar di meja di samping tempat tidur dan Henley melemparkan satu kakinya ke atas tubuhku dan kepalanya berada di dadaku. Rambutnya menggelitiki daguku dengan setiap tarikan dan hembusan napasnya di dadaku.

“Dimana kau?”

Henry. “Aku di rumah,” jawabku pelan.

“Apa kau sedang dalam perjalanan ke sini?” suaranya terdengar sangat panik hari ini.

“Aku tidak datang hari ini.”

Hening beberapa saat. “Kenapa begitu sunyi? Apa kau baru bangun? Ini pukul sepuluh pagi, Bennett.”

Aku melirik ke arah rambut pirang yang tertidur di dadaku. “Aku tidak bisa bicara sekarang.”

“Kau harus datang. Ibumu ke sini hari ini.”

Kepalaku jatuh ke samping dengan kesal. “Aku tidak peduli. Katakan padanya aku sakit.”

“Kau tidak terdengar sakit.”

“Henry. Jika kau sungguh ingin tahu, aku akan pergi berkencan dengan Henley hari ini.” Aku tidak bisa menahan sedikit rasa bangga menyusup ke dalam nada bicaraku.

 “Aku akan bilang padanya kau sakit,” Henry memutuskan. “Tinggalkan rumah pada pukul sebelas, dia ada rapat jadi dia tidak ada kesempatan baginya untuk melihat ke kamera.”

“Terima kasih Henry. Semoga beruntung.”

“Seharusnya aku yang mengatakan itu padamu.”

Dia menutup teleponnya lebih dulu, membuat wajahku sedikit merengut. Kemudian aku melihat Henley mengintip ke atas wajahku, senyum penuh arti terlihat di wajahnya. “Kau kedengaran bersemangat untuk hari ini.”

Aku bisa merasakan darah mengalir deras ke wajahku. Dia sudah bangun? “Aku tidak malu untuk mengakui menghabiskan waktu denganmu terasa sangat menarik bagiku.”

“Bagus. Aku hanya berharap kau masih akan berpikir seperti itu setelah hari ini.”

“Apa maksudmu?”

“Aku punya ide bagus untuk kencan kita,” katanya dengan gelagat main-main.

Ketika kami berhenti di tempat yang terlihat seperti gudang yang ditinggalkan, aku mulai sedikit waspada. Henley tinggal cukup lama di bagian kota yang dipertanyakan. Siapa yang tahu ide seperti apa yang dia miliki.

“Apa kegiatan masa kecil favoritmu?” dia bertanya ketika aku mematikan mesin.

Aku memikirkannya untuk beberapa saat. Apakah memecahkan persamaan Matematika dihitung sebagai aktivitas? “Terkadang Lee akan bermain basket denganku.”

“Kau pernah bermain go-kart?”

Urat sarafku mulai berputar dan perasaan takut mulai menyelimutiku. Sekarang aku bisa mengenali kalau satu sisi dari pintu masuk tempat itu adalah bendera kotak-kotak. “Aktivitas yang membahayakan selalu tidak dianjurkan oleh ibuku,” kataku pada Henley.”

Henley memutar bola matanya. “Kupikir maksudmu semua yang menyenangkan dilarang oleh ibumu. Ayolah, aku janji ini akan menyenangkan.”

Aku membuka sabuk pengaman; mendadak sangat sadar kalau kaos yang kukenakan berharga ratusan dolar. Tidak terpikir olehku kalau Henley ingin melakukan sesuatu yang… interaktif. Celana jeansku yang disetrika dengan sempurna dan sepatu bebas nodaku akan terasa seperti tidak pada tempatnya di lintasan yang berminyak.

Sebagai usaha untuk membuat diriku terlihat lebih normal, aku mencoba untuk membuat kaosku sedikit kusut. Henley mengangkat sebelah alisnya tapi tidak mengatakan apa pun ketika dia meraih tanganku dan mengajakku ke dalam gedung.

Udara di dalamnya dingin dan beraroma seperti oli dan ban. Aku mengerutkan hidungku ketika Henley mulai bicara kepada seseorang yang bekerja di balik konter. Dia menunjuk ke sepasang komputer dan Henley menyuruhku untuk mengisi formulir. Sekali lagi aku merasa gugup. Kenapa kita harus mengisi surat pernyataan pengabaian?

“Kau tidak akan mati,” dia berkomentar, menyadari keenggananku.

 “Aku tidak berpikir seperti itu.”

“Wajahmu lebih putih daripada bulan.”
“Bulan sebenarnya berwarna abu-abu,” aku memberitahukannya.

Dia menatapku untuk sesaat sebelum menggelengkan kepalanya. “Lupakan saja. Kau akan baik-baik saja. Ayo kita tonton video keamanannya. Perhatikan dengan teliti jadi kau tidak akan mati.”

Video keamanan itu berdurasi sekitar lima menit dan penuh dengan aktor tidak profesional. Namun, praktik standar penggunaan go-kart sederhana. Ini lebih aman dari apa yang aku bayangkan. Setelah menonton, kami diberikan sesuatu yang terlihat seperti kaus kaki dan Henley menyuruhku untuk menggunakannya di kepala berhubung helm yang akan kami gunakan sudah dipakai oleh publik.

Aku ingin pergi ketika dia mengatakan itu kepadaku, tapi Henley memaksa mendorongku ke lintasan dimana aku diberikan helm dan penyangga leher.

“Gunakan kaus ini di kepala,” dia bersikeras, mengambilnya dari tanganku dan memakaikannya di kepalaku. Keningku mengkerut ke arahnya dan dia tertawa keras. “Haha, kau sungguh terlihat berbeda dengan topi. Ini helmnya.”

Aku mengambil helm darinya dan meletakkannya di kepalaku, membiarkannya untuk memasang kancingnya di bawah daguku. Tidak ada orang lain di lintasan ini. Henley dengan cepat mengenakan helmnya, menyelipkan poninya jadi tidak menghalangi wajahnya.

“Kau terlihat cukup bagus dengan helm,” katanya, menyeringai kepadaku. “Kind of badass.”

Tidak ada yang mendeskripsikanku sebagai badass sebelumnya. Aku agak menyukainya. Dengan kepercayaan diri yang baru, aku naik ke dalam go-kart. Salah satu pekerja memberi isyarat. Henley duduk di go-kart yang ada di belakangku dan pekerja menjelaskan kepada kami bagaimana gas dan rem bekerja.

Ketika lampu di depan kami berubah hijau aku dengan perlahan menekan gas, terkejut ketika aku terlonjak ke depan. Aku bisa mendengar Henley tertawa di belakang ketika aku perlahan keluar jalur. Segera saat Henley bisa, dia melewatiku, terbang menyusuri jalur. Aku menekan gas sedikit lagi, ingin mengejar Henley. Udara yang mencambuk wajahku, membuat mataku berair sedikit. Di belokan pertama, aku menginjak rem, untuk berbelok dengan pelan. Karena posisiku sangat rendah ke lantai, rasanya aku bergerak lebih cepat dari yang sebenarnya. Jantung berdetak keras di dadaku dan aku memperhatikan Henley meluncur cepat di tikungan dengan mudah.

Tidak butuh waktu lama untuknya melewatiku. Dia seperti terbang di jalur. Aku mulai berbelok dengan sedikit lebih cepat; menekan gas sampai habis dan bergerak sangat cepat hingga kart-nya mulai bergetar. Semakin banyak lap yang aku selesaikan semakin aku menjadi percaya diri. Seperti yang kupikirkan aku bisa mengejarnya, Henley sudah menuju ke bendera kotak-kotak ketika itu. Sementara aku dengan patuh menyelesaikan tiga lap sebelum berhenti di belakangnya.

“Laju tercepatku 18 detik. Punyamu 28,” dia menggodaku, menoleh ke belakang di go-kartnya untuk menghadap ke arahku.

“Apa kita main lagi?”

“Kau mau?”

Aku mengangguk. Kali ini aku tidak akan membiarkannya menang.

Ketika lampu berubah hijau, dia langsung meluncur keluar gerbang. Aku mengejar, tepat di belakangnya. Tanganku memegang setir dengan erat, dia tidak akan kubiarkan menang di balapan ini. Aku menjaga tatapanku terus pada rambutnya yang terbang di belakangnya dan dengan segera, aku berhasil untuk melewatinya di belokan. Dari sana hingga akhir pertandingan semakin sengit dengan jarak yang tipis. Tiap kali aku melihat wajahnya sekilas, ekspresinya berbeda. Dia tertawa. Dia bertekad. Dia marah.

Aku menemukan diriku lebih banyak tertawa dari yang pernah kulakukan untuk waktu yang lama.

Pada lap akhir, dia berhasil menyelinap dari belakangku pada tikungan terakhir, memenangkannya di balapan. Ketika kami memanjat keluar dari go-kart dia melepas helmnya, mengibaskan rambutnya ke balik pundak. “Yang kalah harus membayar makan malam.”

Aku melepaskan helmku sendiri dan mengerutkan kening. Aku hampir mengalahkannya. “Kau tidak bisa membuat kesepakatan setelah perlombaan.”

“Pfftt, lihat rambutmu!”

Aku menyentuh puncak kepalaku, merasakan rambutku mencuat ke segala arah. Berpaling darinya, aku mencoba merapikan rambutku. Tidak adil sekali. Bahkan setelah melaju empat puluh mil per jam, rambutnya masih terlihat cantik. 

“Apa kau bersenang-senang?” dia bertanya ketika kami berjalan ke luar. Udara bulan Juli yang hangat terasa menyegarkan.

Aku menggerak-gerakkan tangan, ototku terasa kaku karena terlalu banyak menarik stir ke samping. “Ini menyenangkan.”

“Aku sulit percaya kau tidak pernah naik go-kart sebelumnya.”

“Aku tidak banyak melakukan kegiatan saat kecil,” kataku, membuka kunci BMW. Berjalan ke sisi penumpang, aku membukakan pintu untuknya. “Kebanyakan belajar tentang manajemen dan keuangan dan mengikuti Lee. Aku pernah ikut olahraga lari, di SMA.”

Setelah aku naik ke kursi pengemudi dia menoleh ke arahku, sepertinya memahami sesuatu. “Lari cukup masuk akal. Kau terlihat cukup atletis tapi tidak terlalu besar. Aku tadinya berpikir kau bermain sepak bola.”

“Aku cukup berotot untuk ukuranku,” aku membela diri.

“Baiklah, well, kita akan tes hal itu pada pemberhentian selanjutnya.”

Sekali lagi, aku merasa gugup. “Dan apa itu…?”

“Memanjat tebing! Kau pernah melakukannya sebelumnya? Aku belum pernah. Kupikir itu akan menyenangkan untuk kita coba karena tempat itu ada di sekitar sini,” katanya dengan gembira, melenturkan otot-otot kecil di tangannya. “Kuharap aku bisa mengangkat diriku sendiri.”

Aku teringat pada lenganku yang sudah sakit dan meringis. Tapi jika itu yang dia inginkan, aku akan melakukannya. Menyalakan mobil, aku mulai keluar dari parkiran, menyentak setir terlalu keras dn berbelok dengan tajam.

Dia mengangkat sebelah alisnya.

“Aku terbiasa dengan handling go-kart,” gumamku.

Dia tersenyum lebar dan membuka mulutnya untuk menjawab, hanya untuk disela oleh deringan ponselnya. “Oh, ini Ariana, sebentar. Halo?”

Aku memperhatikan ketika senyumnya perlahan memudar.

“Bagaimana kabarmu…?” suaranya pecah, nyaris terdengar seperti bisikan. “Dimana kau? Apa? Tidak. Tetap di sana. Aku akan datang.”

“Apa yang terjadi?” tanyaku. Kali ini dia lebih putih daripada bulan. Pikiran pertamaku adalah ibuku, tapi tidak mungkin dia tahu apa yang sedang kami lakukan. Henry tidak akan mengadukan kami.

Henley memegangi ponselnya erat-erat, menatap ke bawah ke arah pangkuannya. “Aku harus pergi ke Coffee House.”

“Kenapa? Apa yang terjadi?”

Dia melirik ke arahku, matanya membulat. “Ini tentang kakak laki-lakiku. Dia keluar dari penjara. Dia ada di Coffee House dengan Ariana. Apa yang terjadi? Bagaimana dia keluar? Bagaimana aku tidak tahu sebelumnya? Kenapa dia tidak menghubungiku? Apa yang terjadi?”

Tidak bisa menjawab, aku tetap diam dan mengganti arah lalu menuju ke bagian terbawah Poughkeepsie. Sepanjang waktu dia mengetukkan jarinya di paha, menatap ke luar jendela. Aku tidak yakin apa yang harus dilakukan di situasi seperti ini. Aku tidak kenal dengan saudaranya. Aku tidak tahu apa yang bisa menenangkannya.

Di menit aku berhenti di parkiran Henley mencoba keluar dari mobil, sementara mobil masih berjalan. “Henley,” aku memarahinya ketika dia meraih pegangan pintu. “Tunggu sampai aku memarkirkan mobil untuk keluar.”

Tidak sampai sedetik setelah aku memarkirkan, dia membuka pintunya dan melompat keluar, nyaris berlari ke dalam Coffee Shop. aku duduk di mobilku sebentar, mempertimbangkan situasi. Kakaknya, yang berada di penjara selama beberapa bulan, akhirnya bebas. Ini adalah reuni mereka. Mungkin mereka menginginkan privasi.

Tapi di saat yang sama ini adalah kakak dari Henley dan Henley adalah sejenis-kekasih-ku. Mungkin dia membutuhkan dukungan.

Setelah mempertimbangkan keduanya, aku menunggu di dalam mobil untuk beberapa menit. Kemudian keluar, dan merapikan kaus yang kukenakan, memeriksa bayanganku, lalu menuju ke dalam. Empat kepala menoleh ke arahku.

Ariana, Henley, seorang laki-laki yang tidak kuketahui, dan Sebastian.

Mataku terkunci pada laki-laki yang aku asumsikan sebagai kakak laki-laki Henley. Mereka berbagi mata biru gelap dan hidung yang sama. Dan ketika matanya menyipit ke arahku, itu terlihat familiar. Henley sering memberikan ekspresi itu padaku.

Namun, apa yang Henley tidak pernah lakukan adalah menyerangku dengan maksud ingin membunuh.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro