Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 24

Henley

Selama beberapa hari selanjutnya, rasanya hampir mustahil untuk bicara dengan Bennett. Sekali lagi dia pergi sebelum aku bangun, sampai di rumah setelah aku tidur, atau hanya mengunci diri di kamarnya. Aku merasa bersalah dan aku hanya ingin meminta maaf kepadanya. Aku tahu dia berpikir kalau semua ini adalah kesalahannya. Dia mungkin berpikir aku menyesal karena kami berciuman juga. Aku tidak ingin dia berpikir seperti itu. Tapi aku tidak punya kesempatan untuk mengatakan kepadanya.

Karena aku harus menebus jam kerja yang hilang di Coffee House ketika aku pergi ke Hawaii, aku juga banyak bekerja. Aku mencoba untuk mengirimkan pesan kepadanya beberapa kali, hanya untuk menerima teks dari Henry yang mengatakan kalau Bennett sedang sibuk.

Ah, bicara tentang Henry, rupanya dia menjadi supir pribadiku sekarang. Aku tidak lagi perlu untuk menyewa dan masih tidak bisa membawa mobil rumahku ke rumah Bennett, jadi Henry mengambil posisi untuk menjemputku dan mengantarkanku ke tempat. Aku membencinya, tapi aku juga bisa mengerti. Ibu Bennett tahu ada sesuatu yang salah denganku jadi kami harus lebih berhati-hati dari sebelumnya.

“Apa harimu baik di tempat kerja?” Henry bertanya sebagai salam penyambutan ketika aku keluar dari Coffee House setelah jam kerjaku.

“Kau sungguh tidak perlu keluar dari mobil untuk menungguku,” kataku padanya. “Tetaplah di dalam dengan pendingin udara.”

Henry menggeser kakinya sedikit. “Tidak apa-apa, aku tidak keberatan menunggumu.”

“Aku merasa buruk karena kau harus menjemputku. Ini mungkin tidak ada di deskripsi kerjamu. Mungkin aku hanya harus membeli mobil baru.”

“Aku sungguh tidak keberatan!” dia bersikukuh, membuka pintu menuju kursi penumpang untukku. “Lagi pula, ada banyak hal yang kulakukan untuk Bennett yang tidak ada di deskripsi kerjaku.”

“Kenapa kau melakukannya?”

Dia memberikanku senyum sedih. “Sebagai bantuan untuk teman.”

Seorang teman? Teman seperti apa yang meminta hal ini pada Henry untuk Bennett? Sebastian? “Kau teman yang baik kalau begitu,” kataku sambil masuk ke dalam mobil.

Henry mengangguk kecil sebelum mengitari mobil untuk menuju ke kursi pengemudi. Perjalanan menuju ke rumah Bennett hening, yang sedikit aneh karena Henry biasanya cukup banyak bicara. Ketika kami tiba dia mencoba untuk keluar agar bisa membukakan pintu untukku, tapi aku menghentikannya. “Aku bisa melakukannya. Selamat malam Henry. Terima kasih sudah mengantarku.”

“Tidak masalah! Sampai jumpa besok!” dia menjawab, nada riang kembali ke dalam suaranya.

Aku masuk ke dalam rumah, melepaskan sepatuku di depan pintu. Berhenti sejenak, aku melihat ada sepasang sepatu lain di atas keset. Dan mereka bukanlah milik Bennett. Itu adalah sepasang sepatu laki-laki, jadi ini mungkin bukanlah ibu Bennett. Untuk lebih aman, aku berjinjit ke arah railing tangga dan mengintip. Di dapur pada lantai bawah, aku melihat rambut chestnut dan sadar kalau itu adalah Sebastian.

“Hai Sebastian,” kusapa dia sambil menuruni anak tangga menuju ke ruang keluarga utama.

“Di sana kau rupanya, kemarilah,” jawabnya sebagai balasan, menunjukkan ke arah meja. “Ada rumah yang ingin aku tawarkan.”

Penasaran, aku pergi ke tempatnya dan melihat dari balik pundak Sebastian ke arah ponsel. Dia menunjukkan beberapa gambar duplex yang terlihat sangat modren dan mulai menggeser-geser gambar. Di salah satu kamar mandi terdapat bak mandi yang besar. Bukan sebuah Jacuzzi, tapi cukup besar untuk jadi bak mandi yang bagus. “Ooh, sangat elegan.”

“Kau mau tinggal di sini?”

“Well aku tidak akan mengatakan tidak jika kesempatannya datang.”

Sebastian tersenyum puas ke arahku lalu mengulurkan tangannya. “Well aku senang berbisnis denganmu.”

Mulutku menganga. “Tunggu. Kau akan menyewakan setengah dari ini kepadaku jika tawaranmu berhasil?”

“Yep. Jika aku menganggapmu cukup dapat dipercaya. Tentu saja, aku akan perlu melakukan pemeriksaan kredit dan keamanan.”

“Kau sungguh tidak harus melakukan ini,” kataku, bingung. “Aku bisa menemukan tempat untuk diriku sendiri.”

“Ini saran. Ambillah sesuatu ketika ditawarkan kepadamu, Henley.”

Ketika Sebastian bicara akan melakukan ini, aku merasa siap untuk melakukannya, dan sekarang ketika itu terjadi, aku merasa malu. Tapi aku sungguh harus keluar dari tempat Bennett. Aku sudah ada di sini cukup lama dan punggungku tidak bisa bertahan lebih lama lagi di atas sofa itu. “Aku akan mengambil saran itu kalau begitu, terima kasih,” gumamku.

“Apa kau sudah menyelesaikan hal yang kau khawatirkan saat di Hawaii?”

“Yeaaah,” kataku dengan canggung. “Sepertinya aku melakukan kesalahan. Maafkan aku karena sudah tidak sopan padamu.”

“Tidak apa-apa. Apa yang dikatakan Bennett?”

Aku menyeret kakiku di lantai. “Well. Sebenarnya aku masih belum bisa bicara dengannya sejak itu. Dia menghindariku.”

Yang membuatku terkejut, Sebastian tertawa. “Kalian berdua benar-benar harus bekerja keras memperbaiki komunikasi kalian.”

“Ya, aku tahu. Ketika aku dapat kesempatan untuk bertemu dengannya, aku akan menjelaskan semua tentang kakak laki-lakiku padanya.”

“Kakakmu?”

“Ya, Brandon adalah sebagian alasan  kenapa aku panik pada Bennett.”

Sebastian bergeser di kursinya, alisnya mengernyit seolah dia sedang berpikir keras. “Bagaimana kakakmu dan Bennett bisa terhubung?”

“Bennett berada di tempat yang sama dengan kakak laki-lakiku di malam dia ditangkap, Februari lalu. Mereka cukup mirip, jadi kupikir mungkin Bennett… oke, ini terdengar buruk,” aku menambahkan dengan cepat. “Aku tidak mencoba mengatakan kalau Bennett terlibat, tapi aku hanya ingin memastikan.”

“Untuk alasan apa saudara laki-lakimu ditangkap?”

“Pencurian kendaraan bermotor dan mengemudi di bawah pengaruh. Dia mencuri mobil dan menabrakannya, sepertinya. Tapi itu tidak seperti dirinya. Maksudku, mobilnya ada di McKellan’s, kenapa dia harus mencuri, kau tahu?”

Tiba-tiba Sebastian berdiri, pundaknya menghantam daguku. Aku terhuyung mundur satu langkah ke konter dapur, mataku melebar. Dia berbalik ke arahku, meletakkan kedua tangannya ke pundakku seolah ingin menahanku di tempat. “Jangan sebutkan hal itu ke Bennett.”

Aku masih berdiri, tidak terbiasa dengan nada keras di dalam suara Sebastian. “Huh?”

“Aku serius, Henley.”

Kenapa dia bertingkah seperti ini? Kenapa aku tidak bisa mengatakan soal ini kepada Bennett? Kenapa dia mencoba mengintimidasiku? Apa dia mencoba untuk menyembunyikan sesuatu?

Aku meraih tangannya, mencoba untuk mendorongnya menjauh dariku. Dia tidak bergeming. Aku sedikit menegang, kakiku terpeleset di ubin dapur. “Apa sebenarnya kau ini? Terbuat dari marmer?”

Rahangnya menegang. Aku bisa merasakan jantungku berdetak kencang di balik dadaku. Dia sudah pasti tidak bercanda. Apa yang membuatnya mendadak merubah sikap seperti ini?

“Apa kau ada hubungannya dengan kecelakaan saudara laki-lakiku…?” pertanyaan itu meninggalkan bibirku sebelum aku siap untuk menanyakannya.

Seperti seember air dingin yang ditumpahkan ke kepala Sebastian. Dia melepaskanku, kedua tangannya jatuh ke sisi tubuhnya, mulutnya terbuka. “Apa?”

“Kenapa kau bersikap seperti ini? Apa mungkin karena kau tahu sesuatu?”

“Henley—”

“Dia ada di sana dengan seseorang. Mungkinkah itu kau?”

“Tidak,” Sebastian menjawab. “Aku tidak ada di sana.”

Aku menatap matanya, menantang Sebastian. “Kenapa aku tidak boleh menyebutkan ini kepada Bennett? Apa keduanya punya hubungan antara satu sama lain?”

“Tidak mungkin,” Sebastian berkata. “Aku mengerti kenapa kau berpikir seperti itu melihat saudara laki-lakimu menerima tuduhan palsu dan keluargaku sepenuhnya adalah pengacara, tapi Bennett dan aku tidak akan berbohong padamu seperti itu. Jadi kumohon hilangkan itu dari pikiranmu.”

“Kalau begitu kenapa aku tidak bisa mengatakan apa pun?”

“Malam ketika kakak laki-lakimu kecelakaan adalah malam yang sama dengan Lee mengalami kecelakaan.”

“Apa?”

“Aku tidak tahu cerita lengkapnya, tapi aku tahu  kalau Bennett dan Lee sedang berada di McKellan’s malam itu dan itu adalah malam Lee melemparkan dirinya ke depan mobil. Dia menekan ingatan itu karena suatu alasan. Aku tidak mau mengingatkannya lagi. Tolong jangan sebutkan soal McKellan’s. Kau bisa menyebutkan soal saudara laki-lakimu, tapi jangan sebutkan tempat atau malam itu. Kumohon. Bennett sudah menghadapi masa yang sangat buruk dan aku tidak mau melihatnya kembali ke kondisi seperti itu.”

Lee melemparkan dirinya ke depan  mobil? Dunia terasa hening untuk beberapa saat, kengerian situasi Bennett menyadarkanku. Apa Bennett menyaksikan itu? Apa karena itu dia migrain? Apa karena itu dia takut ketika seseorang menyebutkan soal kecelakaan mobil?

“Henley?”

“Aku tidak akan mengatakan apa pun,” aku berjanji padanya. Tanganku gemetar. Mataku berkedip beberapa kali, merasa penglihatanku mulai berair. Aku berpikir kalau Bennett bisa saja terlibat dengan saudara laki-lakiku, ketika dia bersama saudara laki-lakinya beberapa saat sebelum dia membunuh dirinya sendiri. Aku merasa bersalah. Aku merasa sangat buruk padanya. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana rasanya jika Brandon melakukan itu.

Mataku menatap ke lantai, air mata hangat pertama menuruni pipiku. Lainnya menyusul. Sebastian mengalungkan tangannya ke sekelilingku. “Maafkan aku karena sudah bertingkah seperti itu, tapi Bennett adalah sahabatku. Aku ingin melindunginya dengan cara apa pun yang aku bisa.”

“Tidak apa-apa. Aku mengerti.”

“Tolong jangan khawatir soal ini, juga. Bennett tidak begitu menyukai simpati. Jika aku bisa membantu dengan situasimu bersama saudara laki-lakimu, beritahu aku.”

“Aku merasa sangat buruk,” kataku di dadanya.

“Kau tidak tahu,” katanya padaku dengan ramah. “Tidak ada yang bicara soal ini. Tidak ada yang mengharapkanmu untuk tahu. Jadi jangan merasa buruk. Dan apa pun itu, kau sudah melakukan lebih banyak hal baik dari pada hal buruk.”

“Apa maksudmu?”

“Bennett tentunya lebih banyak tersenyum belakangan ini. Terima kasih padamu.”

“Ya, benar.”

“Benar,” kata Sebastian, sedikit mundur sehingga dia bisa melihat wajahku.

Aku merasa hatiku jadi sedikit lebih ringan. “Kalau begitu aku hanya membalas apa yang sudah dia lakukan padaku. Bennett sudah membawa banyak kebahagiaan di dalam hidupku juga.”

Seringaian muncul di wajah Sebastian dan dengan lembut dia mengusap puncak kepalaku. “Senang mendengarnya. Sekarang hapus air mata itu sebelum dia datang dan berpikir aku membuatmu menangis.”

Tidak lama kemudian setelah dia mengatakan itu, kami mendengar suara dari pintu depan yang menutup. Ketika aku bergerak pergi ke tangga, Sebastian menggelengkan kepalanya. Sebagai gantinya, dia berdiri menutupiku. “Jika ini adalah ibunya, tetap di tempatmu.”

Aku melirik ke arah pegangan tangga yang mengelilingi bagian atas rumah. Kepala Bennett terlihat, mengintip ke bawah ke arah kami. Aku melambaikan tanganku ke arahnya dan Sebastian menengadah untuk melihatnya juga. Dia mengernyit ke arah kami.

“Tunggu, wajahmu,” kata Sebastian dan dengan cepat menggunakan kain dari bagian depan kaosku untuk menyekanya.

Bagian bawahnya tertarik hingga pusarku terlihat dan aku memukul tangannya menjauh jadi aku bisa memperbaikinya, memberikannya tatapan kesal.

“Jangan berikan aku tatapan seperti itu. Ini salah satu dari kaos mahalku,” kata Sebastian.

“Bagaimana kau bisa masuk ke sini? Aku sudah mengganti kodenya,” kata Bennett kepada Sebastian ketika dia datang ke area dapur.

Sebastian menepuk-nepuk pundak sahabatnya. “Kau seseorang yang sederhana.”

“Apa maksudnya itu?”

“Tidak apa-apa. Aku pergi. Kalian berdua harus bicara.”

Sudut mulut Bennet melengkung ke bawah cukup jauh ketika Sebastian melangkah menaiki tiga anak tangga sekaligus. “Bagaimana dia menebak kodenya? Aku menggunakan digit yang sama dengan nomor pinku. Apa dia tahu nomor pinku?”

“Ya aku tahu nomor pinmu,” Sebastian menjawab dari lantai atas. “Sampai jumpa kalian berdua!”

Aku menyembunyikan senyumku ketika Bennett menggerutu sedikit. “Kenapa kalian berdua selalu berada di posisi yang mencurigakan setiap kali aku pulang ke rumah?”

“Waktu yang tidak tepat?”

Dia mendengus.

“Bagaimana pekerjaanmu?” tanyaku.

“Melelahkan. Kupikir aku akan pergi tidur—”

“Ini jam enam, Bennett.”

“Aku agak sibuk—”

“Aku akan membuatnya singkat kalau begitu. Aku pindah.”

Ini menarik perhatiannya. Dia berbalik untuk menghadapku, syok terlihat jelas di wajahnya. “Apa?”

“Sebastian membeli tempat.”

“Kau pindah dengannya?”

“Apa? tidak! Dia akan menyewakan tempat untukku. Kenapa kau berpikir seperti itu?”

Bennett terlihat tenang, tapi kerutan masih menempel di wajahnya. “Kenapa kau tidak tinggal di sini saja?”

“Aku sudah banyak merepotkanmu.”

“Aku sungguh tidak keberatan,” katanya langsung.

“Sungguh? Karena kau sepertinya tidak pernah ada di rumah lagi. Kupikir itu karena aku.” Dia kesulitan menemukan kata-kata untuk menjawab dan aku menghela napas. “Dengar, Bennett. Tentang hal di Hawaii. Aku tahu kau menghindariku karena kau pikir ini salahmu, tapi aku ingin kau tahu kalau ini bukan kesalahanmu sama sekali. Sesuatu muncul pada kasus kakakku dan aku hanya ingin pulang ke rumah. Aku minta maaf karena sudah membentakmu malam itu.”

Dia membungkukkan bahunya, melipat kedua tangannya di depan dada. “Kenapa kau tidak mengatakannya saja?”

Karena kupikir kau mungkin adalah pelaku sesungguhnya. “Aku sudah pernah katakan padamu sebelumnya aku terbiasa melakukan banyak hal sendirian.”

“Well kau punya aku sekarang, bukankah begitu?”

Perasaan hangat yang familiar menjalar di dadaku. Aku benar-benar merasakan sayap kupu-kupu. Aku memiliki Bennett. Dan mungkin aku sedikit egois dan tidak dewasa atau mungkin aku tidak benar-benar pantas untuknya, tapi aku menginginkan dia. Dan dia tampaknya tidak keberatan menerimaku apa adanya.

“Lain kali katakan padaku jadi aku tidak salah paham,” dia memarahiku.

Aku tersenyum, menganggukkan kepalaku. “Oke. Akan kulakukan.”

“…Jadi kau sungguh tidak keberatan aku menciummu?”

Kepalaku menggeleng.

“Kau keberatan jika aku melakukannya lagi?”

Aku menggelengkan kepalaku. Mencondongkan tubuhku ke depan, kudekatkan wajahku padanya. “Anggap ini sebagai permintaan maafku.” Aku nyaris mengusapkan bibirku padanya sebelum dia menarik diri.

Atau setidaknya, mencoba untuk menarik diri. Dia mengulurkan tangan dan menghentikanku, memberikanku tatapan tidak setuju. “Hanya itu?”

“Biasanya aku bukan tipe gadis yang berciuman di kencan pertama,” ucapku, mencoba untuk tidak fokus dengan kedekatan wajahnya padaku.

“Tapi kita sudah berkencan.”

“Perlu tiga kencan sesungguhnya untukku memberikan ciuman.”

Dia menurunkan tangannya dan aku melangkah mundur. “Kencang sesungguhnya? Seperti tanpa Sebastian?”

Bibirku menyeringai. “Ya, seperti tanpa Sebastian.”

“Hmm, kupikir aku bisa mengaturnya. Kau tidak ada acara besok malam?”

“Bersemangat sekali, bukankah begitu?”

Ketika ini menyangkut soalmu, ya.”

Aku merasa pipiku merona. “Kau tidak keberatan mengatakan hal seperti itu, benarkan?”

“Aku tidak keberatan mengatakan apa pun,” dia menjawab, mengedikkan bahunya.

“Ya, itu benar.”

“Henley, apa kau benar-benar akan pindah?”

Kepalaku mengangguk. “Ya, kenapa?”

“Kau tidak harus melakukannya,” kata Bennett, menjaga nada suaranya tetap biasa.

“Aku harus mendapatkan tempatku sendiri.”

“Well, pikirkan tentang ini. Kau lebih dari diterima untuk tinggal. Jika ini karena kau tidur di sofa… aku bisa membersihkan kamar Lee.”

Aku memperhatikan wajahnya ketika dia mengatakan ini. Ekspresinya tetap tenang tapi matanya fokus ke arah danau. Suaraku menghilang di tenggorokanku. Aku tidak bisa menjawab. Aku tahu beban di dalam kata-katanya.

Dia bersedia untuk membiarkanku tinggal di kamar lama saudara laki-lakinya. Kamar yang sama yang tidak pernah dia sentuh selama berbulan-bulan. Kamar yang sama yang tidak seorang pun diizinkan masuk. 

Satu-satunya yang tersisa. Dia bersedia memberikannya kepadaku.

Aku tidak tahu apa yang harus dikatakan.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro