Bab 23
Henley
Sebuah ketukan datang dari arah pintu kamar tidur. Pintunya bergetar ketika seseorang mencoba untuk membukanya, tapi aku sudah menguncinya, sehingga pintunya tidak dapat bergerak. “Henley?”
Itu Sebastian. Bennett pasti akhirnya menyerah. Aku tidak tahu sudah berapa lama dia berada di luar saat ini, mengetuk-ngetuk pintu, mencoba untuk membuatku membukanya, tapi aku tidak dapat melihatnya sekarang. Aku tidak dapat mengeluarkan bayangan itu dari kepalaku.
Bayangan dari jam tangan emas ganda di pergelangan tangan kanannya.
Bayangan bagian belakang kepalanya ketika dia ingin berjalan menjauh dariku di pantai.
Bayangan belakang kepalanya di bar McKellan’s.
Dadaku terasa sesak lagi dan aku mencoba untuk menarik beberapa napas dalam, mencoba untuk menenangkan diri. Aku harus pulang. Ini tidak benar. Bennett tidak mungkin ada di bar. Tapi entah bagaimana aku tahu yang ada di rekaman video itu adalah dia. Bennett ada di sana di malam kakak laki-lakiku masuk ke penjara.
“Henley, bisa kita bicara? Sebentar saja?”
Aku tahu mengabaikan Sebastian itu salah, tapi aku tidak ingin melihat siapa pun. Aku ingin melihat rekaman video dan memastikan jika memang Bennett yang ada di dalam layar atau tidak. Bagaimana jika itu Bennett? Aku takut untuk mencari tahu. Karena jika itu adalah Bennett, ada kemungkinan buruk kalau dia mengetahui apa yang terjadi malam itu. Kalau mungkin Bennett sudah melakukan hal buruk dan melemparkan kesalahannya kepada kakakku.
Tapi apa dia tahu kalau itu adalah kakak laki-lakiku? Apa dia tahu siapa aku sebelum dia bertemu denganku? Atau mungkin dia memang sudah mengetahuinya selama ini? Apa dia sudah mengelabuiku dengan membuatku menyukainya sehingga aku tidak akan melakukan apa pun jika mengetahuinya? Jadi semua ini adalah kebohongan? Untuk membodohiku?
Hentikan itu, kataku menegur diri sendiri.
“Henley?” Sebastian mencoba lagi.
Aku mendorong bantal ke atas kepalaku, mencoba untuk menghalangi suaranya masuk ke telingaku. Aku tahu hampir gila untuk berpikir seperti itu. Hanya karena kebetulan ada seseorang yang terlihat mirip dengan kakak laki-lakiku, tidak secara otomatis membuat orang itu yang melakukan pencurian dan menabrakkan mobil. Tapi itu masuk akal. Bennett kaya. Ayah Sebastian adalah pengacara. Brandon mabuk. Itu masuk akal.
Aku harus kembali ke McKellan’s. Aku harus memeriksa lanjutan rekaman pengawas itu. Brandon tidak tahu siapa Bennett. Dia tidak akan tahu siapa yang harus dicari di rekaman itu. Tapi aku akan melakukannya. Jika kami bisa menangkapnya meninggalkan tempat di waktu yang sama dengan Brandon…
Kemudian apa? Apa aku akan memanggil polisi? Pada Bennett? Bisakah aku melakukannya? Itu membuatku takut. Bahkan lebih buruk karena aku menyukai Bennett. Aku sudah mencium idiot itu. Aku ingin mengambil resiko. Aku tidak ingin kalau orang itu benar-benar dia. Aku harus menangkap orang ini tapi aku tidak ingin itu adalahBennett.
“Henley setidaknya biarkan Ariana masuk. Dia kelelahan. Kau tidak harus bicara kepada siapa pun, tapi aku tidak mau dia merasa tidak nyaman dengan tidur bersama Bennett dan aku.”
Dengan enggan aku menyeret diriku turun dari tempat tidur dan menuju ke pintu. “Hanya Ariana,” kataku melalui pintu.
“Aku berjanji.”
Membuka pintu, aku menariknya hingga terbuka sedikit, menyisakan celah yang cukup bagi tubuh ramping Ariana untuk dapat melewatinya. Setelah dia masuk dengan cepat aku menutup pintunya kembali dan menguncinya lagi.
“Apa yang dilakukan Bennett?” tanya Ariana, seperti biasa dengan cepat memihak padaku.
“Kau ingat video surveillance?”
Dia mengangguk.
“Ingat bagaimana aku berpikir melihat seseorang yang familiar?” kudengar suaraku bergetar dan aku perlu menelan ludah sebelum bicara lagi. “Kupikir itu adalah Bennett.”
“Apa?” dia terkesiap.
“Kami sedang di pantai dan kemudian dia berpaling lalu aku memperhatikan bagian belakang kepalanya dan gambaran itu kembali padaku. Itu sangat familiar. Kemudian aku menunduk dan melihat dia menggunakan jam tangan emas ganda. Siapa yang melakukan itu? Bukankah itu berarti Bennett adalah orang yang ada di dalam video? Bahkan jika memang iya, aku tidak tahu, aku tidak tahu apa yang harus dilakukan.”
Dia melirik kembali ke arah pintu kemudian mulai bergerak ke arah itu. “Kita pukuli dia dan minta dia untuk mengatakan yang sebenarnya.”
Aku menyambar pergelangan tangannya, memaksa Ariana untuk berhenti. “Tidak!”
“Tidak?”
“Mungkin bukan dia. Aku bisa saja bereaksi berlebihan.”
“Aku tidak berpikir kalau kau melenceng terlalu jauh. Kita tidak benar-benar memikirkannya, tapi kakakmu dan Bennett memang mirip. Mereka berdua punya rambut yang gelap. Mereka sama-sama memiliki tubuh tegap. Dari belakang kau sungguh bisa salah mengenali mereka,” Ariana menyebutkan. “Khususnya dengan kualitas video yang tidak begitu baik.”
Ya, tapi aku tidak ingin mendengar itu. Aku mau mendengar Ariana memarahiku, mengatakan aku salah, dan aku bodoh karena sudah berpikir tentang hal ini. Tapi mengetahui kalau dia juga berpikir itu bisa saja Bennett membuatku merasa mual.
“Apa dia mengetahui siapa kau selama ini? Apakah karena itu dia memilihmu? Bagaimana bisa dia melakukan ini kepadamu?” Ariana mendadak marah. “Orang gila macam apa dia?
“Aku tidak ingin itu benar-benar dia,” gumamku.
Ariana langsung menurunkan ekspresi marahnya dan menarikku ke dalam pelukannya. “Maafkan aku, Henley. Kita seharusnya tidak buru-buru mengambil kesimpulan. Besok saat kembali kita akan langsung menuju ke McKellan’s dan mencari tahu. Aku tahu ini tidak ada gunanya untuk dikatakan, tapi cobalah untuk tidak memikirkannya.”
Jika saja itu mudah dilakukan. Aku tidak dapat menghapus wajah Bennett dari pikiranku. Aku tidak dapat menghapus perasaan ketika dia menggendongku seolah aku lebih ringan daripada bulu. Tidak mungkin itu adalah Bennett. Dia bukan seseorang yang tega melakukan ini pada seseorang.
Benarkan?
Pagi berikutnya aku terbangun dengan perasaan cemas dan lelah. Aku nyaris tidak tidur di malam sebelumnya, terus terjaga oleh pikiranku yang tanpa henti. Setelah Ariana bangun, aku mengirimnya keluar untuk melihat apakah Bennett ada. Dia kembali dengan tanda negatif dan aku menjadi sedikit tenang, untuk keluar dari kamar tidur untuk menggunakan kamar mandi.
Tubuh Sebastian yang besar melangkah ke depanku segera setelah aku keluar dan menghalangi jalanku. Kedua tangannya terlipat dan dia menyerupai blokade yang sangat tidak terkesan. “Ada apa, Henley?”
“Tidak ada,” gumamku, tidak mampu melihat matanya.
“Kita teman, kau bisa bicara padaku.”
Aku meliriknya, perasaan sedingin es yang sebelumnya kembali merembes ke kulitku. Apa dia temanku? Atau dia hanya mengelabuiku? Dia berasal dari keluarga pengacara. Dia pasti tahu tentang siasat.
“Aku butuh waktu terlebih dahulu,” kataku. Sekarang aku tidak dapat berpikir dengan benar. Aku tidak ingin meragukan Sebastian, tapi aku tidak bisa tidak melakukan itu. Rasanya salah untuk berpikir kalau Sebastian ambil bagian di dalam hal ini, tapi suara di dalam kepalaku terus mencelaku. Aku butuh sendirian jadi aku tidak meragukan temanku.
Sebastian memperhatikanku untuk beberapa saat. “Apa pun itu, Bennett tidak tahu apa yang sudah salah dia lakukan. Jika kau ingin memberikannya sikap yang berubah drastis, dia pantas untuk tahu alasannya. Aku memang bilang kalau aku temanmu, tapi Bennett adalah sahabatku. Dan sebagai sahabatnya, sudah kewajibanku untuk membelanya.”
“Dan sudah kewajibanku untuk membela Henley. Bagaimana kau tahu ini bukan kesalahan Bennett?” Ariana menyela sebelum aku dapat menjawab, keluar dari kamar untuk berdiri di sampingku.
Samar-samar aku menggelengkan kepala kepadanya. Meskipun aku menghargai dukungan Ariana, aku tidak ingin orang lain terlibat dalam situasi ini. Tidak perlu membuat keadaannya menjadi canggung dan tidak nyaman bagi orang lain.
“Jika kau ceritakan kepadaku apa yang terjadi, aku akan membantu,” ucap Sebastian, mulutnya sedikit mengerucut ke samping. “Dan dari sini, kau sepertinya percaya kalau Bennett sudah melakukan kesalahan di antara kalian berdua.”
“Aku bisa mengetahuinya setelah sampai ke rumah,” kataku pada Sebastian. “Aku tidak mau mengatakan hal yang tidak penting kepada kalian dan jika aku harus bicara sekarang mungkin aku akan mengatakan hal-hal itu, jadi tolong tinggalkan aku sendiri untuk saat ini. Maafkan aku. Aku ketakutan dan aku tidak tahu bagaimana mengatasinya.”
“Well kau beruntung, Bennett sudah memutuskan untuk memberikan ruang untukmu. Dia akan naik pesawat sendiri nanti. Namun, aku akan tetap dengan kalian berdua. Kuharap kau tidak keberatan.”
Aku bisa tahu dari nada formal yang digunakannya kalau Sebastian merasa kesal, tapi aku tidak tahu apa yang bisa kukatakan untuk meyakinkannya. Aku bahkan tidak bisa meyakinkan diriku sendiri. Dan aku tidak ingin menuduh siapa pun tentang apa pun, jadi sendirian adalah keputusan terbaik untuk saat ini.
Perjalanan pulang tidak seburuk saat pergi ke Hawaii. Mungkin karena aku sudah merasa mual sebelum naik ke pesawat. Atau mungkin karena pikiranku teralihkan oleh apa yang terjadi. Aku tidak peduli bagaimana caranya sampai ke rumah; aku hanya perlu untuk kembali ke rumah. Yang mengingatkanku kalau “rumahku” adalah rumah Bennett dan aku tidak bisa kembali ke sana. Jika keadaannya semakin buruk, aku punya uang untuk tinggal di hotel sampai aku bisa menemukan sesuatu.
Ketika kami mendarat, Sebastian membawa Ariana dan aku ke Coffee House jadi aku bisa mengambil mobilku. “Kau mau aku mengemudi?” Ariana menawarkan ketika aku meraba-raba mencari kunci.
“Tidak. Aku sebaiknya menjalankan mobilku karena ini sudah cukup lama,” jawabku. “Jika saja aku bisa menemukan kunciku. Aku tahu aku menyimpannya. Oh, ketemu. Ayo pergi.”
Ariana masuk ke kursi penumpang di sebelah supir ketika aku mulai memutar kunciku. Rasanya hebat berada di dalam mobilku lagi. Aku sudah terlalu terbiasa dengan mobil Bennett dan BMW bodoh lainnya yang dia miliki saat menggunakan jasa supir.
Aku menyalakan radio untuk menenangkan diriku dalam perjalanan menuju ke McKellan’s. Ariana memanggil Wilson, memberitahunya kalau kami sedang dalam perjalanan ke sana. Tanganku menggenggam kemudi dengan erat. Aku merasa panas. Butiran keringat terbentuk di keningku dan perutku berulang kali meremas.
“Henley, lampu merah!”
Aku menginjak gas, membuat sabuk pengaman kami terkunci dan mencekik kami sesaat. Ariana menatapku dengan mata yang melebar dan aku menelan ludah dengan susah payah. “Maaf. Maaf!”
“Tenang teman,” kata Ariana. “Kita hampir sampai. Jangan sampai kita terbunuh dalam perjalanan.”
“Maaf,” aku mengulangi, menyalakan musik dengan sedikit lebih keras.
Ketika kami sampai aku langsung berlari ke dalam gedung, menuju ke kantor Wilson. Beberapa pengunjung memberikan kami tatapan aneh tapi aku peduli pada mereka.
“Henley, bagaimana kabarmu?” Wilson menyapaku, tersenyum dengan lebar dan ramah. Dan semua itu menghilang ketika dia mempelajari tampilanku. “Kau baik-baik saja?”
“Bisakah kau memainkan rekaman yang pernah kau tunjukkan kepadaku waktu itu?” aku bertanya padanya. “Dan di sana apakah ada kamera dengan sudut berbeda yang bisa kita lihat?”
“Ya, semuanya sudah disiapkan untukmu. Lihatlah, aku akan mengambilkanmu segelas air,” dia mengatakan kepadaku, mendesakku untuk duduk di depan komputer.
Mataku melirik ke arah Ariana. Dia mengangguk padaku. Aku pun duduk di depan komputer.
Butuh waktu tidak lebih dari dua detik untuk melihat untuk melihat kalau laki-laki di dalam rekaman video adalah Bennett.
Aku tahu rambut bodohnya. Aku tahu jas bodoh itu. Sulit dipercaya aku bisa tidak mengenalinya sebelum ini, bahkan tanpa jam tangan bodoh itu. Apakah ini karena aku tidak akan pernah mencurigainya? Sekarang hanya dia yang dapat aku lihat. Semuanya sangat jelas.
“Itu dia!” Ariana terkesiap.
Deg, deg, deg. Aku bisa mendengar nadiku berdetak.
“Sampai tanganku menemukannya, OH MAN, dia akan habis—”
“Tunggu,” kataku, meraih tetikus dan mengklik rekaman video. Ada delapan lebih layar yang menunjukkan bagian yang berbeda-beda di bar. Bennett di sana tidak memastikan apa pun. Itu tidak dengan otomatis berarti dia sudah menjebak kakakku. Bisa saja kebetulan mereka berdua ada di sana di hari yang sama. Mungkin menggunakan jam ganda lebih populer dari yang kupikirkan. Aku tidak bisa langsung berkesimpulan dan panik. Yang penting adalah untuk melihat apakah dia pergi di saat yang sama dengan kakaku pergi.
Aku mempercepat rekamannya. Bennett tetap berada di meja dia berada, perlahan minum alkohol yang ada di depannya. Kakakku sudah pergi meninggalkan restoran pada tengah malam, jadi itu tidak akan berarti apa-apa jika Bennett pergi di tengah malam juga.
11:15PM.
Bennett mengeluarkan ponselnya dan menelepon seseorang.
11:30PM.
Bennett masih tetap duduk.
11:45PM.
Bennett masih tetap duduk.
11:50PM
Bennett berdiri, terlihat sedang bicara dengan seseorang. Dia membuat gerakan seperti akan bangkit, tapi setelah beberapa detik dia kembali duduk.
12:00AM.
Bennett masih tetap duduk.
Aku menatap layar. Bennett memesan minuman lagi. Dia tidak pergi meninggalkan restoran.
Aku menontonnya sampai dengan 12:30AM sebelum aku menekan tombol jeda. Aku tidak mengerti. Apa ini memang hanya kebetulan? Bennett kebetulan berada di pub pada malam yang sama pada saudara lelakiku dan mengenakan pakaian yang nyaris sama? Apa yang janggal dari itu?
Ariana meletakkan tangannya ke pundakku, mengejutkanku. “Dia tidak meninggalkan tempatnya, Henley.”
Mendengarnya nada lega dalam suaranya membuatku sadar kalau aku sudah duduk dengan tegang dan kaku sepanjang waktu. Ketegangan di pundakku mengendur dan aku bersandar pada kursi. Bukan Bennett. Aku sudah panik tanpa alasan. Aku juga sudah membuat diriku terlihat konyol tanpa alasan.
Mungkin memang kebetulan saja. Aku sudah meragukan Bennett dengan tidak adil. Poughkeepsie bukanlah kota yang besar dan McKellan’s tempat yang populer. Ada peluang yang cukup bagus untuk mereka berada di sana di waktu yang sama. Kurasa aku hanya menginginkan seseorang untuk disalahkan. Bahkan Bennett. Aku menggigit bibirku, merasa sangat bersalah.
“Kita seharusnya menonton rekamannya hingga tuntas saat pertama kali, maka hal seperti ini tidak akan terjadi. Aku yakin Brandon sudah melakukannya,” Ariana menghela napas, memuntir ujung rambutnya dengan jarinya.
Wilson muncul dengan beberapa gelas air, meletakkannya di atas nampan di depan mereka. “Apa yang kalian cari?”
“Aku hanya memeriksa sesuatu,” kataku padanya, meraih gelas air itu. Sekarang ketika aku tidak merasa cemas, aku merasa kering. Air dingin itu membuatku tenang.
“Apa ada yang terjadi? Pengacara kakakmu singgah kemari minggu kemarin dan sekarang kalian berdua berada di sini lagi.”
“Richard ke sini?”
“Tidak,” kata Wilson, menggelengkan kepalanya. “Laki-laki yang baru. Kurasa namanya Jeremy? Dia ingin melihat rekaman yang berbeda.”
“Sungguh? Rekaman yang mana?”
Wilson menggelengkan kepalanya, menawarkanku tatapan menyesal. “Aku sejujurnya tidak bisa mengatakan yang mana. Tapi dia terlihat seperti laki-laki yang baik, Henley. Aku yakin dia tahu apa yang dia lakukan. Aku tahu kau ingin menginvestigasi sendiri, tapi kau sungguh harus membiarkannya ditangani oleh orang-orang profesional dan fokus pada dirimu sendiri.”
Aku mengerucutkan bibirku kepadanya. “Ya, karena Richard sangat kompeten.”
“Richard itu brengsek,” Wilson menjawab, memutar bola matanya.
Ariana mendengus dan aku tersenyum. “Benar.”
“Apa setidaknya kau menemukan apa yang kau cari?”
Aku mengangguk. “Ya, terima kasih. Aku merasa lebih baik.”
“Bagus, aku senang. Kalian lapar? Tempat ini yang traktir.”
“Aku tidak akan mengatakan tidak pada makanan gratis,” Ariana menjawab dengan senang, memberikannya seringaian senang.
Perutku yang bergemuruh adalah jawaban untuk pertanyaan itu. Aku hampir tidak bisa memaksakan diri makan apa pun dan sekarang aku kelaparan. Dan kelelahan.
Kami duduk di area ruang makan khusus untuk makan jadi kami tidak harus berurusan dengan kerumunan pengunjung larut malam. Sepanjang waktu aku terus melirik ke arah ponselku, untuk melihat jika Bennett mencoba untuk menghubungiku. Apa dia bahkan sudah sampai di rumah? Aku tidak menanyakan ke Sebastian penerbangan selarut apa yang diambil Bennett. Aku berpikir untuk mengirimkan pesan kepadanya lebih dulu, tapi aku merasa gugup dan malu. Aku bahkan sudah membuatnya mengambil penerbangan yang berbeda dengan kami. Orang seperti apa aku?
Pipiku memanas dengan bayangan untuk menghadapinya. Sebagai tambahan, aku memperlakukannya seperti sampah tepat setelah kami berciuman. Dia mungkin sudah memiliki pikiran yang salah.
“Memikirkan Bennett?” Ariana menggoda, menunjuk dengan garu penuh dengan pasta ke arahku. “Wajahmu merah padam.”
“Ya. Ugh. Aku bertingkah seperti anak tiga tahun. Apa yang harus kukatakan padanya?” I menghela napas, menekankan pipiku ke permukaan dingin meja kayu.
“Maaf untuk apa yang sudah terjadi, haruskah aku memberimu oral untuk menebusnya padamu?”
Aku langsung menatapnya, rahangku menganga. “Ariana!”
Dia menyeringai miring. “Hanya saran.”
“Maksudku itu mungkin saja berhasil—tapi tidak! Kami bahkan tidak berpacaran atau apa pun.”
“Secara teknis kalian berpacaran.”
“Tidak, kami mengakhiri kontraknya. Sekarang ini membingungkan.”
Matanya melebar. “Apa? Kau mengakhiri kontraknya? Kenapa?”
“Ketika kami pergi berkencan kemarin dia menanyakan, apakah aku menginginkan kencan ini menjadi nyata dan aku menjawab iya lalu kemudian dia menciumku lalu kemudian mengatakan kalau kami harusnya mengakhiri kontraknya dan aku tidak yakin apa yang terjadi sekarang,” kataku terburu-buru. “Oh! Ibunya juga menghubungi Bennett dan dia seperti meng-Google ku lalu sekarang dia tahu aku tidak berasal dari Prancis.”
“Tunggu. Sejak kapan kau berasal dari Prancis?”
Mengangkat kedua tanganku ke udara dan mengerang. “Tepat sekali!”
“Di samping kit kalian juga berciuman?! Bagaimana rasanya? Ceritakan padaku!” dia menuntut, matanya berkerut karena kegembiraan. “Aww! Dia sangat manis! Kupikir dia memang begitu! Apa dia terasa seperti berlian dan anjing peliharaan kecil yang kaya raya?”
“Tidak dan itu adalah deskripsi yang aneh, tapi dia harum sekali.”
“Jadi apa kalian benar-benar berkencan? Ini seperti kisah nyata tentang dongeng orang kaya, holy shit.”
Aku menusuk pastaku dengan garpu, mengerucutkan bibirku. “Seperti yang kukatakan, aku tidak tahu apa yang terjadi. Tapi aku melarikan diri dari Bennett setelah kami berciuman seperti karakter utama telenovela, jadi sekarang siapa yang tahu apa yang sedang dia pikirkan.”
“Aku sangat cemburu,” dia menghela napas dengan melamun.
“Tidak perlu. Aku belum tahu apa yang harus kulakukan sekarang. Aku bahkan tidak yakin ini adalah ide yang bagus untuk mencoba menjalin hubungan. Jika ibunya sudah curiga tentangku aku sungguh tidak ingin berurusan dengan itu.”
Tapi gagasan untuk meninggalkan Bennett juga bukan sesuatu yang aku inginkan juga. Kenapa hidupku seperti ini?
Senyum menjengkelkan melintas di wajah Ariana dan dia meraih tanganku untuk menepuk-nepuknya. “Oh, Henley. Terkadang kau harus berjuang untuk cinta.”
“Aku tidak benar-benar seorang pejuang. Aku bahkan nyaris tidak sanggup mengangkat dua puluh pound.”
“Kau tahu, aku punya perasaan yang bagus pada dua orang yang memang ditakdirkan bersama. Dan kau juga Bennett memberikanku perasaan itu.”
“Menyeramkan.”
Dia mengerutkan wajahnya ke arahku. “Henley.”
“Apa kau juga merasa seperti itu tentang kakakku dan dirimu sendiri?”
“Aku merasakan banyak hal dengan saudara laki-lakimu.”
Aku berpura-pura muntah di pastaku dan Ariana melemparkanku potongan brokolinya. “Lagi pula, kau akan berterima kasih padaku nanti.”
“Kenapa?”
Dia mengedip-ngedipkan matanya ke arahku. “Kau akan lihat.”
Kami meninggalkan McKellan’s pada pukul sebelas kurang, teringat kalau kami berdua memiliki jam kerja pagi keesokan harinya. Bennett masih belum mengirimkan pesan padaku dan aku tidak yakin apakah harus kembali ke rumahnya atau tidak. Jika aku jadi dirinya, aku tidak akan mau melihat wajahku sendiri. Itu sudah pasti. Setelah aku menurunkan Ariana dan dia pergi, aku duduk di parkiran, tidak yakin apa yang harus dilakukan. Bennett sudah pernah mengatakan kepadaku untuk tidak membawa mobilku ke rumahnya, jadi aku tidak bisa mengemudi kesana juga.
Aku menggulirkan ponselku untuk mencari beberapa hotel di daerah sini, meringis pada harga mereka. Bahkan sekarang ketika aku memiliki uang, menghabiskannya untuk hal yang tidak berguna masih membuatku enggan. Rasanya tidak akan jadi masalah untuk tinggal di dalam mobilku untuk satu malam. Ini cukup besar…
Sebuah ketukan tiba-tiba di kaca jendela mobil menakutiku, membuatku melemparkan ponselku ke ujung mobil. Untuk beberapa detik aku terlalu takut untuk melihat—itu bisa saja seorang gelandangan—tapi akhirnya aku berhasil mengumpulkan keberanianku untuk mengintip.
Hanya untuk melihat Bennett menatap ke arahku.
Aku sungguh tidak siap dan berpaling, tubuhku diam seperti boneka.
“Aku tahu kau melihatku, Henley,” panggilnya dari luar jendela.
Meringis pada diriku sendiri, dengan kaku aku berbalik, dan menggulung turun kaca jendelaku. “Malam yang indah, eh?”
Oh man, apa yang baru saja kukatakan. BUNUH AKU. aku berseru dalam hati.
“Kau sudah tenang?”
“Ya…”
“Jika aku membuatmu tidak nyaman waktu itu di pantai, aku tidak akan mencoba melakukan apa pun. Aku sudah melewati batas. Tapi kumohon jangan berpikir untuk tidur di dalam mobilmu dan kembalilah ke rumahku.” Suaranya rendah dan tenang. Jakunnya bergerak ketika dia menelan ludah.
Aku berkedip ke arahnya, mulutku terbuka. Apa? Dia pikir aku bertingkah seperti ini karena dia menciumku? Dia pikir ini adalah kesalahannya?
Tiba-tiba aku sudah menyerupai The Scream.
“Kembalilah ke rumah, Henley,” katanya dengan lembut.
Aku membuka pintu mobil, tanpa sengaja mengenai Bennett pada prosesnya. Kemiripanku dengan The Scream meningkat.
“Tunggu,” aku memulai, tapi dia hanya meraih tanganku dan mulai mengarahkanku ke BMW miliknya.
“Masuklah dan ayo kembali jadi kau bisa beristirahat. Kita bisa membahas ini besok. Atau kita tidak harus membahasnya sama sekali.”
Aku susah payah menemukan kata-kata untuk dikatakan. Dia sudah salah sangka sepenuhnya! “Bennett—”
“Aku lelah karena penerbanganku,” dia menyelaku. “Bisakah kita membicarakan ini besok?”
Nada bicaranya membawaku kembali ke bumi dan aku berhenti panik. “Maafkanku,” kataku akhirnya.
Dia membuka pintu ke kursi penumpang di sebelah pengemudi untukku. “Jika kau menyesal, masuklah ke dalam mobil.”
Aku hampir melemparkan diriku ke kursi.
Ini membuatnya berhenti sebentar untuk beberapa saat, air mukanya berubah bingung. “Ini lebih mudah dari yang kubayangkan.”
“Maafkan aku,” aku mengulangi. Merasa seperti telah berhutang ribuan permintaan maaf kepadanya. “Aku seharusnya tidak memperlakukanmu seperti itu. Aku sungguh minta maaf—”
“Tidak apa-apa,” katanya.
“Tapi kau bahkan jadi harus mengambil penerbangan selanjutnya—”
“Tidak apa-apa,” dia menjawab lagi, lebih tegas. “Aku hanya senang kau tidak marah lagi.”
Suaraku tercekat di tenggorokanku. Bagaimana bisa aku tidak menyadarinya betapa Bennett sudah berubah? Atau mungkin dia tidak berubah. Mungkin dia memang begini selama ini. Aku tidak pantas mendapatkan seseorang seperti dia. Lucu sekali karena aku sempat berpikir kalau aku pantas.
Dia berhak mendapatkan yang jauh lebih baik.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro