Bab 22
Bennett
Henley adalah gadis yang aneh. Dia tidak pernah mengatakan apa yang ingin dia katakan. Siapa pun yang memperhatikan pasti bisa memahami. Saat keraguan di mana matanya berubah sengit—apa yang dia pikirkan pada saat itu, itulah yang ingin dia katakan. Tapi dalam sepersekian detik kemudian, dia justru berubah tenang, dan mengatakan hal yang tetap membuat situasi tenang. Kontrolnya begitu sempurna.
Tapi aku mau mendengar apa yang ingin dia katakan. Aku tidak mau melihat dia menahan diri demi aku. Demi kebaikan ibuku.
“Sial, Henley. Apa yang baru saja kukatakan? Aku tidak peduli apa yang menurutmu harus kau lakukan. Katakan padaku apa yang kau inginkan. Katakatan padaku apa yang kau mau. Kau harus memberitahuku kalau aku tidak sendirian merasakan hal ini.”
Cemas. Itulah yang aku rasakan. Rasanya tidak familiar menjadi pihak yang mengejar seorang perempuan. Perempuan biasanya mengejarku. Sekarang aku sadar betapa mengerikannya hal ini.
Aku tahu, aku seharusnya berhati-hati seperti Henley, tapi sekarang apa yang terjadi di masa depan tidak penting untukku. Aku tidak peduli. apa pun yang terjadi. Aku hanya ingin dia mengatakan apa yang dia rasakan. Aku hanya ingin menciumnya.
“Aku…”
Keraguannya membuatku gila. Aku ingin menarik dan menciumnya, tapi tidak ingin bersikap tidak sopan. Dia tidak akan menginginkannya. “Katakan padaku, Henley,” ucapku, menahan tatapannya.
“Ya,” dia akhirnya menjawab. Kata itu tidak butuh penjelasan.
Mencium Henley tidak seperti apa yang pernah aku alami sebelumnya. Semua indraku berantakan. Bibir kami saling menekan terlalu keras, kemudian terlalu lembut—hingga nyaris tidak mencium. Henley menarik diri dan membuatku bertanya-tanya apakah aku melakukan kesalahan. Aku memberikannya waktu untuk melangkah mundur jika dia menginginkannya. Henley tidak melakukannya. Aku tersenyum, lalu menciumnya kembali.
Jika aku harus memilih perasaan favorit, itu pasti adalah perasaan saat mencium Henley.
Tanganku meremas pinggangnya, menarik tubuhnya menyatu ke tubuhku sedikit terlalu keras.
“Ow!” dia mengaduh ketika gigi kami bertabrakan.
Aku membeku, perasaan malu yang dingin menyusup ke dalam nadiku, hingga secara otomatis aku mendorongnya menjauh. Henley tersandung ke belakang, jatuh di pasir dan aku sempat berpikir untuk menenggelamkan diriku ke dalam laut. Ini tidak seperti aku. Apa yang aku gugupkan?
Tenanglah, kataku pada diri sendiri. Tentu saja ini adalah waktunya aku membuat diriku tampak konyol.
Henley memberiku tatapan tajam, tapi wajahnya merah padam. “Apa seperti ini biasanya kau mencium seorang gadis?”
“Tidak, biasanya tidak,” aku menjawab, harga diriku sedikit tersinggung. Aku baik dalam hal berciuman. Kemudian tersadar dengan apa yang kukatakan, panas merambat ke belakang leherku. “Bukan berarti aku sudah mencium perempuan lain belakangan ini.”
Angin berhembus, membuat rambut Henley menutupi wajahnya. Tanganku langsung mengulur untuk mendorong rambutnya, ingin melihat ekspresinya. Apa yang dia rasakan? Apakah dia sama gugupnya seperti aku? Senang? takut? Aku bisa melihat dia merasa tidak nyaman. Tangannya memegangi pundaknya dan bibirnya mengerucut sedikit.
Sebuah senyum lebar menyelinap ke wajahnya.
“Apa?” tanya Henley.
“Kau sangat menarik,” jawabku.
Dia menyipitkan matanya sedikit yang membuatnya semakin terlihat lebih. Aku berjalan mendekat untuk menciumnya lagi dan dia melangkah mundur, menghindariku. Bingung, sebelah alisku terangkat padanya. “Kita perlu bicara soal ini,” katanya padaku.
“Atau kita bisa berciuman lagi. Aku tidak keberatan.”
“Bennett.”
“Apa yang harus dibicarakan?” tanyaku padanya, merasa sedikit marah. Kenapa dia tidak mulai memegangi tubuhku? Dia punya izin untuk melakukan itu. Aku sendiri tidak sabar untuk memeluknya.
“Apa yang terjadi sekarang adalah apa yang perlu kita bicarakan.”
“Kau menciumku,” tunjukku.
Henley membuka mulutnya untuk mendebat lalu dengan cepat kembali menutupnya, memalingkan kepalanya dariku. “Itu masalahnya.”
“Bagaimana bisa?”
“Ingat semua hal yang kau katakan padaku waktu kita pertama kali bertemu? Jangan menggunakan pakaianku yang berasal dari toko retail? Jangan mengemudikan mobilku ke rumahmu? Jangan berkelakuan seolah aku tidak kaya dan berpura-pura menjadi seseorang dari Prancis sementara aku bahkan tidak bisa berbahasa Prancis? Adalah sebagian dari masalah ini,” Henley menjelaskan.
Aku sungguh tidak dapat berdebat dengannya. Henley benar. Itu adalah masalah yang besar. Tapi kami sama-sama sadar akan hal itu. Tidak seolah-olah kami tak menyadarinya. “Kenapa kita harus khawatir soal itu sekarang?”
“Karena aku tipe orang yang terlalu banyak berpikir dan menciptakan masalah yang awalnya tidak ada,” katanya, melipat kedua tangannya di depan dada. “Ini sulit bagiku, Bennett. Bahkan sulit rasanya untuk menciummu. Kita memulai semua ini karena sebuah kontrak—”
“Lupakan kontraknya,” selaku. Aku bahkan tidak ingin memikirkan tentang itu lagi. “Itu berakhir. Kontrak itu mungkin sudah lama berakhir karena tidak ada satu pun di antara kita yang ingin mengakuinya. Apa lagi yang harus didiskusikan?”
Wajahnya mengkerut dengan manis dan aku tidak yakin apakah dia merasa malu atau tersinggung. “Tapi—”
“Cukup nikmati saja saat ini bersama dan kita bicara soal itu nanti,” aku menawarkan, mempersingkat jarak yang ditimbulkan di antara kami dan mendekatkan wajahku kepadanya. Mata Henley sekilas melebar dan aku tersenyum. “Lihat kan?”
“Semakin aku menikmati saat ini, semakin berat rasanya saat kehilangan nanti,” Henley menjawab dengan pelan, matanya mencari-cari mataku.
Keningku mengernyit, mundur darinya. “Kenapa kau berasumsi kalau kau akan kehilanganku?”
“Kau sendiri yang mengatakannya. Seseorang seperti aku tidak akan pernah bisa bersama seseorang sepertimu.” nadanya tidak getir. Tidak menuduh. Tapi menerima.
Kulitku terasa tertusuk tidak nyaman dan aku mengatupkan gigiku, mendadak merasa jijik pada diriku sendiri. Aku membencinya. Aku benci diriku yang dulu. Aku benci diriku yang mengatakan kepada Henley kalau dia tidak cukup baik untukku.
Seberapa berat bagi Henley untuk mengakui kalau dia menyukaiku? Apa yang sudah dia pikirkan ketika dia menyadari ini? Apa dia mengatakan pada dirinya sendiri untuk mundur? Apa dia berpikir kalau dirinya tidak pernah pantas denganku? Apakah dia terus mengecilkan hatinya sendiri? Apa ini berat untuknya?
Aku menggenggam tangan Henley dan menariknya ke arahku, mengalungkan tanganku ke pundaknya dan menekan tubuhnya ke dadaku. “Maafkan aku.”
“Kenapa kau minta maaf?” dia bertanya, suaranya teredam.
Aku sadar kalau yang kulakukan membuatnya tidak bisa bernapas dan melonggarkan peganganku. “Untuk pikiran apa pun yang pernah ada di dalam benakmu. Aku tidak ingin kau merasa seperti itu lagi. Jika aku pernah membuatmu merasa demikian, kau berhak memukulku.”
“Memukulmu?”
Kepalaku mengangguk. “Sekeras yang kau bisa.”
Henley diam untuk beberapa saat dan kemudian terkekeh.
“Apa?” aku bertanya.
“Memukulmu akan seperti menginjak bunga. Aku tidak bisa melakukannya.”
“Apa maksudnya itu?”
Dia mengedikkan bahu. “Tidak ada.”
Wajahku kembali mendekat. “Harus kukatakan padamu kalau aku sebenarnya cukup sehat dan kuat.”
“Apa kau sungguh menggunakan kata sehat dan kuat— hey!” Henley berseru ketika aku dengan mudah mengangkatnya ke dalam pelukanku. Henley langsung mengalungkan kedua tangannya ke sekeliling leherku dan berpegangan padaku.
“Apa kau terkesan?” tanyaku dengan angkuh.
Wajahnya pantas bersanding dengan matahari yang terbenam. “Kau mabuk?”
“Tidak. Aku sedang dalam suasana hati yang baik. Tidakkah kau pikir ini romantis?”
“Turunkan aku.”
“Hanya jika kau menciumku.”
“Bennett.”
Aku berpura-pura mengangkatnya seperti sedang mengangkat beban. “Aku bisa melakukan ini seharian. Atau kau bisa menciumku.”
“Mesum,” Henley bergumam, sebelum menekankan bibirnya dengan dalam kepadaku. Tangannya berpindah ke wajahku, memegangnya, saat dia menghisap bibir bagian bawahku ke dalam mulutnya. Ini lebih dari yang aku harapkan dan sekujur tubuhku tampaknya terkejut. Dia dengan mudah meloloskan diri dariku saat itu dan turun ke atas pasir. Aku menatap ke arahnya, linglung.
Senyum samar terukir di bibir Henley. “Dasar laki-laki.”
Darah terasa seperti mengalir deras ke telingaku dan aku menyadari kalau celanaku tidak benar-benar longgar lagi seperti sebelumnya. Hanya dengan sebuah ciuman. Ciuman selama satu koma lima detik.
Wanita ini akan menjadi akhir kehidupanku.
Sebelum aku bisa bicara lagi, ponselku mulai berdering. Agak kesal karena seseorang menginterupsi, kuambil ponsel itu dan bersiap untuk mengenyahkan penelepon itu. Aku langsung terhenti ketika membaca layarnya Ibu.
Pikiran pertamaku adalah, bagaimana dia bisa tahu? Aku memeriksa di sekitar pantai, tapi Henley dan aku sendirian di sini. Apakah seseorang memata-mataiku? Bagaimana bisa mereka bergerak sangat cepat?
Aku sempat mempertimbangkan untuk tidak menjawab tapi itu akan membuatnya semakin curiga. “Jangan katakan apa pun,” kataku pada Henley sebelum menggeser layar untuk menjawab telepon. “Halo?”
“Dimana kau?” adalah balasan langsungnya.
“Aku merasa Ibu tahu di mana keberadaanku.”
“Kau tidak dengan Sebastian dan kau tidak sedang berada di lokasi kita,” katanya. “Jika kau sudah selesai bekerja, pulang ke rumah. Kita punya sesuatu yang harus didiskusikan.”
“Apa itu?”
“Tentang perempuan yang sedang kau kencani.”
Riak kesal melandaku. Aku tahu ibu bicara seperti itu dengan sengaja. Aku tahu dia sedang berusaha mendapatkan reaksi dariku. “Namanya adalah Henley,” kataku datar.
Henley yang sedang diperbincangkan dengan keras menggelengkan kepalanya, mengangkat kedua tangannya. “Jangan bawa-bawa aku!”
“Kau yakin itu namanya?” ibuku bertanya padaku. “Dia nampaknya suka berbohong. Apa kau tahu kalau dia tidak pernah menghabiskan bahkan sehari pun di Prancis? Dia bahkan tidak memiliki paspor. Aku yakin ada lebih banyak kebohongan lagi yang dia katakan padamu.”
Aku mencoba untuk menjaga mimik wajahku agar tidak membuat Henley khawatir, tapi dari ekspresinya yang kentara aku sadar kalau aku tidak melakukannya dengan baik. “Apa Ibu menelusuri latar belakangnya—”
“Kenapa tidak?”
“Ibu!”
“Aku selalu melakukannya dan akan selalu melakukannya. Kita tidak mau ada penjahat yang mencemari nama keluarga kita.”
Aku tidak mengerti bagaimana ibuku termasuk seorang manusia. Apa yang lebih buruk? Aku mungkin pernah berperilaku sepertinya dulu. “Kita akan bicarakan ini nanti—”
“Putuskan hubungan dengan wanita itu dan jangan bicara dengannya lagi. Kemungkinan besar dia hanya memanfaatkan uangmu. Jangan biarkan dia sendirian di rumahmu lagi.”
Peganganku pada ponsel mengerat. Apa ini benar-benar terjadi sekarang? Aku akhirnya mengetahui perasaan Henley padaku, dan sekarang hal ini terjadi? Kenapa? Apa yang sudah kulakukan untuk pantas mendapatkan ini? Aku ingin membela Henley, tapi tidak bisa. Tidak bisa jika aku menginginkan ibu untuk mempertimbangkan aku. “Aku yakin jika kita melewatkan sesuatu. Sebastian akan tahu.”
“Kau tidak bisa percaya pada Sebastian. Dia berasal dari keluarga pengacara.”
“Dia sahabatku,” aku membentaknya. “Dan kukira ibunya adalah sahabat Ibu.”
“Kau seharusnya cukup memahami kalau kau bersahabat dengan siapa saja yang memiliki koneksi, tapi juga tidak berteman dengan siapa pun di saat bersamaan,” katanya padaku, nadanya tajam. “Khususnya wanita yang menggunakan tubuh mereka untuk mencuri uang kita—”
“Apa Ibu pernah mendengarkan diri sendiri ketika bicara?” Aku mulai berteriak. Dia luar biasa. Apa dia tidak menghargai siapa pun?
“Perkataanku membuatmu kesal?” dia bertanya dengan singkat. “Aku tidak bicara secara spesifik tentang seseorang, tapi sepertinya perkataanku tidak jauh melenceng. Jangan tinggikan suaramu padaku.”
Aku nyaris tidak dapat menahannya. “Aku sedang tidak ingin membicarakan hal ini sekarang.”
“Bennett James Calloway.” Nada suaranya menjadi sengit. “Beraninya kau bicara seperti itu padaku? Aku ibumu. Apa kau pikir kakakmu akan senang dengan hal ini?”
Itu dia. Selalu kakak laki-lakiku. Ibu selalu membawa-bawa Lee. Tidak peduli pada apa pun. Keinginan untuk memberontak meninggalkan tubuhku. Kepalaku tertunduk. “Maafkan aku.”
“Perempuan itu bukanlah pengaruh yang baik untukmu.”
“Maafkan aku,” kataku lagi, terpaksa.
“Bagus. Aku akan menemuimu ketika kau sudah di rumah.”
Kubiarkan tanganku terkulai di sisi tubuhku, jari-jariku memegangi ponsel cukup erat hingga terasa sakit. Sebuah sentuhan lembut mengejutkanku dan aku menoleh untuk melihat Henley memperhatikanku dengan khawatir. “Apa yang terjadi? Apa ibumu tahu? Haruskah aku pergi?”
“Tidak,” kataku langsung. “Jangan pergi.”
“Apa yang terjadi?”
“Ibu tahu kau tidak pernah tinggal di Prancis. Aku tidak yakin apa dia memeriksa latar belakangmu secara keseluruhan atau tidak, tapi dia mengetahui sesuatu. Memang cukup mudah untuk mengetahui apakah kau adalah putri dari seorang CEO yang seharusnya terkemuka.”
Pandangan Henley tertuju melewatiku, ke arah laut. Seluruh tubuhnya tampak memerah dan aku bertanya-tanya apa yang sedang terlintas di dalam benaknya. “Aku bisa menghadapi ibuku,” kataku padanya, berharap dapat mengurangi kekhawatirannya.
“Aku tidak khawatir,” dia menjawab dengan mudah.
“Kau tidak khawatir?”
Dia menyelipkan helaian rambutnya ke balik telinga dan mengangguk. “Apa hal paling buruk yang dapat terjadi? Memperingatkanku untuk tidak mengencanimu? Apa yang bisa dia lakukan untuk mengancamku? Aku tidak punya apa pun.”
“Well, itu benar.”
Dia memberiku tatapan kesal.
“Maaf,” kataku cepat “Tapi meskipun begitu, terakhir kali dia membuatmu sedih.”
“Dan itu akan menjadi yang terakhir, juga. Jika kita akan melakukan ini—apa pun yang kita lakukan— kita memang harus menghadapinya bagaimanapun juga.”
“Mari kita coba untuk menghindarinya dulu sekarang ini sampai ibu tenang,” saranku, tapi aku mendapati diriku merasa sedikit tenang. Henley nampaknya adalah tandingan yang tepat untuk ibuku.
Henley mengangguk dan menggoyang-goyangkan dampal kakinya. “Memikirkan tentang ini rasanya aneh.”
“Kenapa?”
“Kau seperti dongeng,” katanya. Kemudian wajahnya memerah lalu dia mendehem. “Maksudku, ini seperti dongeng. Laki-laki kaya jatuh cinta pada gadis miskin. Klise.”
“Kalau kubilang ini lebih mengejutkan. Aku ragu jika ini sering terjadi. Kau adalah kasus yang langka,” aku menjawab.
Dia memutar bola matanya. “Ya. Aku tidak yakin orang normal bisa menghadapimu seperti aku.”
“Sebenarnya, banyak wanita yang memperebutkan kasih sayangku. Aku adalah topik hangat di seluruh broker,” Aku memberi tahunya, menunjukkan ke arah tubuhku.
“Kau tahu caranya memikat seorang gadis, huh?”
Wajahku meringis. Aku masih perlu belajar untuk berpikir sebelum bicara. “Aku bisa memikatmu dengan cara lain. Mau tidur denganku malam ini?”
Mulutnya terbuka dan kata-kata tidak jelas bermunculan dari mulutnya. Aku menutupi mulutku dengan tangan untuk menyembunyikan senyumku.
“Kau mesum!” dia menuduh.
Aku melambaikan tangan ke arahnya. “Kau bisa memikirkannya. Mari kita kembali untuk saat ini. Sebastian membuat api di pantai.”
“Bennett!”
Aku mulai berjalan menjauh darinya, menghadapkan punggungku padanya jadi dia tidak dapat melihat ekspresiku. Aku merasa sangat baik setelah sekian lama. Tidak pernah aku berpikir seseorang akan mencerahkan hidupku seperti yang dilakukan Henley. Ironisnya, aku harus berterima kasih pada ibuku. Jika dia tidak memaksaku untuk menjalin hubungan yang tidak kuinginkan, aku tidak akan pernah bertemu dengan Henley.
Aku menoleh untuk menawarkan tanganku kepada gadis yang sudah menyerbu pikiranku selama beberapa minggu belakangan ini dan sadar dia masih berdiri di tempatnya sebelumnya. Dia menatapku, lengannya mengendur di samping tubuhnya.
“Apa yang kau lakukan?” tanyaku padanya.
Kepalanya perlahan bergerak ke kiri dan ke kanan. Dia terlihat seperti akan sakit. Aku melihat ponsel di tangannya.
“Kau baik-baik saja?” tanyaku lagi, berjalan kembali ke tempatnya. “Henley?”
Aku mengulurkan tanganku dan dia menepisnya, mundur menjauh. Matanya melebar dan aku sadar kalau ada sesuatu yang tidak beres.
“Kau…” dia memulai, tapi suaranya sulit terdengar.
Perasaan aneh merambati diriku lagi. “Ada apa, Henley?”
“Aku harus pergi,” katanya dan mulai berjalan menjauh dariku.
Dengan mudah aku meraih tangannya, menghentikannya. “Ada apa?” ulangku, tidak dapat menjaga nada bicaraku.
“Lepaskan aku,” katanya, mencoba untuk melepaskan tangannya dari genggamanku.
“Katakanlah ada apa!”
“Lepaskan aku!” dia memekik dan aku langsung melepaskannya, tertegun dengan ledakan suaranya.
Matanya basah dan mulutnya bergetar untuk sesaat seolah dia ingin bicara, tapi sebelum dia melakukannya, Henley melesat melintasi pasir. “Henley!” aku berseru padanya. “Tunggu!”
Aku mencoba untuk mengikutinya, tapi pasir membuat gerakanku melambat. Dia sudah tidak terjangkau penglihatanku sebelum aku bisa kembali ke restoran. Pikiranku terguncang. Apa masalahnya? Apa yang mungkin bisa terjadi dalam sepuluh detik? Semuanya baik-baik saja dan tiba-tiba tidak lagi baik.
Aku mengeluarkan ponselku untuk menghubunginya, hanya untuk ditolak. Apa pun yang terjadi, itu tidak baik. Apa karena ibuku? Apa yang sudah dia katakan? Apa yang dapat menghasilkan reaksi sekeras itu dari Henley?
Kenapa aku tidak bisa memiliki satu momen bahagia?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro