Bab 18
Bennett
"Mr. Calloway, bangun. Ibumu ingin bicara denganmu."
Aku mengangkat kepalaku dari meja dan menatap dengan suram ke arah Henry, yang sekarang berdiri di depan mejaku, dengan ponsel di tangannya. Ibuku? Mendadak waspada, aku duduk lebih tegak dan menjernihkan tenggorokanku. "Kenapa dia tidak menghubungiku terlebih dahulu?"
Dia dengan cepat meredam suara ponselnya. "Kurasa dia tahu kau tidak akan menjawabnya."
"Apa dia sudah kembali?"
"Belum. Dia bilang dia memiliki suatu hal yang ingin dikatakan kepadamu."
Aku merasa ragu. Apa dia sudah mengetahui kalau aku mengganti kuncinya? Atau mungkin kamera keamanan akhirnya mati dan dia mengetahuinya? Dengan bingung, aku mengambil ponsel dari Henry dan mematikan peredam suaranya. "Ya, ibu?"
"Apa kau tidur?"
"Tidak," aku berbohong.
"Kau sudah menyelesaikan pekerjaanmu untuk hari ini?"
Aku melirik ke arah tumpukan kertas kerja di atas mejaku: rencana untuk lokasi baru, ide untuk promosi baru, beberapa rencana pesangon untuk salah seorang pegawai yang dipecat di California, sebuah kertas yang meminta pembaruan sertifikat OSHA, insiden penggajian yang akuntan kami ingin agar aku memeriksanya kembali. Dan entah apa lagi yang ada di dalam tumpukan kertas yang masih belum kuperiksa.
"Kau mendengar tentang California—"
"Gempa bumi atau pemecatan karyawan? Aku mendengar keduanya," aku menyelanya, merasa sakit kepalaku kembali muncul.
"Mereka memiliki KPI terendah di antara hotel-hotel kita. Kau sudah hubungi mereka tentang hal ini?"
Aku melotot ke arah Henry, yang sekarang mengangkat tangannya dengan defensif. Inilah kenapa aku tidak ingin mengangkat telepon ibuku. "Kenapa kita harus mengatakan sesuatu yang mereka sudah ketahui? Mereka mungkin sudah stres tentang ini—"
"Aku yang akan melakukannya kalau begitu. Jelas sekali kau merasa simpati kepada mereka, walaupun mereka sudah memberi dampak buruk pada perusahaan kita."
Aku mengepalkan tanganku yang bebas menjadi sebuah tinju. "Baiklah. Silakan lakukan dan tangani masalah ini sendiri. Sudahkan? Aku punya pekerjaan untuk diselesaikan."
"Itu bukan alasan aku menghubungimu. Michelangelo's adalah restoran kesukaanmu benarkan?" dia bertanya retorik. Dia tahu segala hal tentang hidupku tidak peduli apakah aku menginginkannya atau tidak. "Datanglah jam delapan tepat besok. Berpakaianlah yang rapi."
"Kenapa?" aku bertanya dengan hati-hati. Jika ini adalah pertemuan lain dengan pemimpin perusahaan yang sudah tua, dan botak, aku bersumpah kepada Tuhan—
"Anak perempuan dari Cecil Castrilli ingin bertemu denganmu, jadi aku mengatur kencan untukmu dan dia. Ini adalah kesempatan bagus untuk berada di sisi baik keluarganya. Jangan kacaukan hal ini."
"Sebuah kencan?" tanyaku. "Aku punya seorang kekasih—"
"Tidak kau tidak punya kekasih. Kau punya seorang gadis yang sedang kau kencani, dan aku masih belum menyetujuinya."
"Itu bukan—"
"Dan tidak akan ada masalah bagimu untuk bertemu dengan anak perempuan Cecil. Kau akan datang kesana pada pukul delapan. Kau tidak akan membatalkannya. Kau akan memperlakukan dia dengan baik dan meminta kencan kedua di penghujung malam."
Aku berusaha keras menahan dorongan untuk melemparkan ponsel ini ke ujung ruangan. Dia mengatur kencan untukku? "Ini bukanlah bagian dari kesepakatan kita."
"Kau bilang ingin lebih banyak waktu untuk berkencan. Kau tidak bilang aku tidak boleh menyarankan seseorang."
"Apa yang salah dengan Henley?" tanyaku menuntut.
"Kalau kau ingin aku menunjukkan kesalahan dari dirinya, aku bisa mulai dengan sikapnya."
"Sikap apa? Ibu baru bertemu dengannya sekali dan aku yakin ibu juga pasti mengatakan beberapa hal tidak sopan kepadanya—"
"Aku tidak meminta kau menikahi gadis ini. Aku hanya ingin kau pergi berkencan dengannya," ibuku membentak di ujung ponsel. "Kau bisa tetap berkencan dengan gadismu yang lain, tapi pada akhirnya aku akan melihat siapa yang lebih pas untuk perusahaan."
Aku terdiam. Ibuku tidak pernah meminta apa pun. Ini lebih kepada lakukan atau hadapi konsekuensinya. Aku tahu ini adalah perintah, bukan permintaan. Tidak masalah baginya jika aku sudah berkencan dengan seseorang. Mungkin kesepakatan kami bahkan tidak ada artinya baginya. Tapi bagaimana bisa dia memintaku untuk bertemu dengan gadis lain ketika aku sudah memiliki Henley? Ya, kami memang memalsukan hubungan ini, tapi ini tetap tidak terasa benar.
"Ibu," mulaiku, tapi dia terus bicara menyelaku.
"Kau ingin menjadi CEO dari perusahaan kita atau tidak? Hal seperti ini terkadang dibutuhkan."
Keinginanku untuk membantah semakin sengit, tapi aku menggigit lidahku. Hal terburuk dari ibuku adalah dia tahu cara untuk mengakhiri perdebatan. Aku harus menjadi CEO. Bahkan jika itu artinya pergi ke kencan yang tidak diinginkan.
"Bennett, apa kau mendengarkan?" suaranya tidak sabaran.
"Ya, aku dengar. Aku akan ke sana."
"Bagus sekali. Aku akan kembali dalam beberapa hari. Aku berharap bisa mendengar kabar bagus tentangmu dari Cecil."
Aku menjauhkan ponsel itu dan menekan tombol akhiri, memberikan Henry tatapan kematian. Dia tersenyum canggung, dengan berhati-hati mengambil kembali ponselnya. "Kalau hanya itu..."
"Kau boleh pulang lebih awal," kataku kepadanya.
Wajahnya memutih. "Kau memecatku?"
Aku bahkan tidak memiliki semangat untuk menganggap pertanyaanya itu lucu. "Tidak. Aku juga akan pulang."
"Tapi..." dia menyeret kalimatnya, ekspresinya berubah lembut. "Apa semuanya baik-baik saja?"
"Kau adalah asistenku, bukan temanku," aku mendapati diriku berkata dengan kasar. Mulutnya membuka sedikit dan aku meletakkan tanganku ke kening, menekannya dengan keras. "Tidak, maafkan aku. Aku tidak bermaksud seperti itu." Aku tidak boleh melampiaskan rasa frustasiku kepada Henry. Aku bukan ibuku.
Dia menggaruk belakang lehernya dan aku benci betapa canggung aku membuat situasi ini. "Aku bisa mencoba untuk mengeluarkanmu dari situasi ini."
Kepalaku menggeleng. "Itu hanya akan membuatnya marah. Aku akan pergi."
"Bagaimana dengan Henley?"
"Dia tidak perlu tahu," kataku, mengunci tatapanku kepada Henry. Lagipula Henley bahkan mungkin tidak akan peduli. Dia mengikuti permainan seperti seharusnya. Aku saja yang nyaris melanggar peraturan. Mungkin kencan ini akan meluruskan pikiranku. Aku tidak ingin Henley merasa tidak nyaman di dekatku.
Wajah Henry mengatakan kepadaku kalau dia tidak setuju dengan caraku berpikir, tapi aku mengabaikannya. "Aku pasti tidak akan menyebutkannya. Aku akan menyelesaikan persiapan untuk besok sebelum pergi."
Aku mengangguk, merasa kehabisan energi. "Terima kasih."
Segera setelah Henry keluar dari ruangan, aku menyandarkan punggungku ke kursi dan menutup mataku. Di hari-hari seperti ini, aku bisa mengerti kenapa Lee melakukan apa yang dia telah lakukan. Berapa lama dia bisa bertahan dengan semua ini? Dua puluh sembilan tahun. Dua puluh sembilan tahun merasa sesak, tidak dapat mengendalikan hidupmu sendiri. Kenapa kau tidak mengakhiri ini?
Tubuhku terasa tegang. Tidak, aku tidak boleh berpikir seperti itu. Peran sebagai CEO adalah sesuatu yang harus kulakukan. Aku bisa menghadapi dokumen yang begitu banyak dan mengatasi beberapa kencan dengan wanita muda yang tidak bersemangat. Aku tidak boleh gagal dalam hal ini. Aku tidak bisa kehilangan posisiku. Apa yang dipertaruhkan... aku bahkan tidak ingin memikirkan tentang itu. Aku tidak boleh mengecewakan kakak laki-lakiku. Tidak boleh menyia-nyiakan pengorbanannya.
"Sial, Lee," aku bergumam, mendorong tubuhku menjauh dari meja. Di momen seperti ini aku berharap masih memiliki kakak laki-laki di dekatku. Untuk membelaku dari ibu seperti apa yang selalu dia lakukan. Untuk meyakinkanku kalau semua akan berjalan baik pada akhirnya.
Ponselku bergetar dan aku melihatnya, sebuah pesan dari ibuku menerangi layar. Setelah membukanya, aku mendengus. Sudah pasti ini adalah foto gadis yang akan pergi berkencan denganku. Berambut pendek, berwarna kopi, membingkai wajahnya yang lancip, matanya tajam dan menantang. Aku mengenali tatapan itu. Tatapan yang sama yang kutunjukkan tiap kali memandang rendah seseorang.
Pesan lain masuk.
Cara Elise, 25. Berikan dia bunga anggrek, bukan mawar. Lulusan Harvard. Jangan gunakan jeans.
Aku mengunci ponselku dan menahan dorongan untuk memutar bola mataku. Aku tidak perlu catatan untuk berkencan. Terutama jika aku tidak peduli pada teman kencanku.
Kemudian sebuah ide muncul di kepalaku. "Henry," aku memanggilnya.
Lima detik kemudian kepalanya muncul dari balik pintu, kacamata bertengger di wajahnya. "Ya, Sir?"
"Siapkan selusin mawar untukku besok, pukul lima."
Dia memberiku tatapan bingung. "Ibumu sudah memesan selusin anggrek."
Sudut bibirku terangkat. Jika aku yang ditinggalkan, maka ibuku tidak akan bisa mengeluh. "Ibu membuat kesalahan. Aku butuh bunga mawar."
"Baiklah, aku akan memesannya."
Henry keluar dari ruangan dan aku mulai berkemas, memeriksa jam. Ini masih terlalu dini. Mungkin kali ini aku bisa mengejar Henley sebelum dia makan malam dan kami bisa memasak sesuatu bersama. Atau mungkin pergi ke McKellan's. Bagus sekali jika aku bisa mentraktirnya di luar. Semoga saja dia tidak keberatan jika sedikit hujan, karena sudah gerimis sepanjang hari
Aku tersenyum pada gagasan itu, kuambil ponselku dan mulai mengirim pesan kepadanya. Sebelum aku menekan tombol kirim aku berhenti sebentar, ekspresiku berubah. Apa dia akan setuju pergi makan malam denganku? Dia tidak akan berpikir ini aneh? Aku jarang melihatnya belakangan ini. Mungkin karena aku mengejar pekerjaan tapi sekarang setelah aku memikirkannya, dia juga mungkin sedang menghindariku.
Ponselku mulai bergetar di tanganku dan aku nyaris menjatuhkannya, terkejut melihat nama Henley berada di layar. Aku menggeser layarnya untuk menjawab dan meletakkan ponsel itu ke telingaku. "Henley."
"Bukan," suara lain menjawab. "Ini Ariana."
Ariana? Kenapa dia menggunakan ponsel Henley? "Di mana Henley?"
"Um. Kami mengalami kecelakaan mobil."
Aku merasa suhu tubuhku menurun sepuluh derajat. Kecelakaan mobil? Tanganku menggenggam ponsel lebih erat dan dadaku terasa sesak. Ribuan pertanyaan melompat ke lidahku. Apa dia baik-baik saja apa semuanya baik-baik saja apa dia baik-baik saja seburuk apa apa dia baik-baik saja apa Henley baik-baik saja bagaimana semua ini bisa terjadi tolong jangan seperti kakak laki-lakiku.
"Tidak seburuk itu, Mr. Calloway!" dia menjawab dengan cepat, salah mengartikan diamku sebagai marah.
"Apa dia baik-baik saja?" aku bertanya dengan serak. Kenapa Ariana yang bicara denganku? Kenapa bukan Henley yang bicara? Ariana baik-baik saja. Henley juga harus baik-baik saja. Pasti ada alasan lain kenapa Ariana yang menghubungi. Henley tidak apa-apa.
"Ya, dia baik-baik saja."
Aku merasa dapat bernapas kembali, tapi jantungku masih terasa seperti bergetar. Atau mungkin memang begitu.
"Apa aku menakutimu?" Ariana bertanya dengan suara lembut. "Maafkan aku. Seharusnya aku tidak memulainya seperti itu. Henley sedang panik sekarang. Ini mobil sewaanmu. Dia sedang melaporkan kejadiannya kepada polisi sekarang. Oh tunggu, dia sudah selesai. Angkat telepon ini, Henley."
"Henley," kataku langsung. Dia baik-baik saja. Aku harus mendengar suaranya.
"Er, ya. Ini aku. Kau tidak pernah mengatakan halo?"
Lucu sekali bagaimana hal yang mengesalkan dari seseorang dapat menenangkanmu. Pada kasus ini: Sarkasme Henley. "Menggunakan namamu juga merupakan bentuk dari salam," aku membalasnya.
"...Benar. Tapi ngomong-ngomong, seperti apa yang sudah dikatakan Ariana kepadamu, aku tanpa sengaja melanggar tanda rambu di persimpangan jalan. Bagian depan sebelah kanan mobilnya jadi sedikit penyok. Aku sungguh minta maaf, Bennett. Aku tahu ini mobil sewaanmu dan di bawah asuransimu. Aku akan membayar biayanya."
"Jangan khawatirkan itu," kataku, melonggarkan dasi di sekeliling leherku. Merasa sedikit sesak. "Di mana kau? Aku akan menjemputmu."
"Mobilnya masih bisa dikemudikan, kurasa. Aku bisa membawanya kembali ke tempat penyewaan. Aku sudah memberitahukan kepada polisi tapi mereka bilang seseorang akan datang nanti untuk melihat tiangnya."
"Di mana kau?" aku mengulangi pertanyaanku. "Aku akan meminta Henry untuk membawa mobilnya kembali ke tempat penyewaan."
Dia menghela napas pelan. "Maafkan aku. Kau marah kan? Aku berjarak lima menit dari rumahmu. Rel kereta api di jalan dekat rumahmu. Aku bisa—"
"Aku akan ke sana," kataku sebelum menutup ponselku.
Aku bergegas keluar dari kantor dan menemui Henry yang baru saja akan keluar dari lift. "Henley menabrakkan mobilnya. Bisakah kau membawanya kembali ke tempat penyewaan?"
Dia menatapku, matanya melebar. "Dia baik-baik saja?"
"Dia baik."
"Kau tidak apa-apa? Kau terlihat sakit."
"Aku tidak apa-apa." Rasa sakit mendadak terasa di kepalaku, membuatku meringis, kuletakkan tangan yang bebas ke area itu.
Henry tetap diam dan untuk pertama kalinya aku berharap dia tetap bicara. Aku tidak bisa menghalau ingatan agar tidak memenuhi benakku.
"Lee mengalami kecelakaan mobil, Bennett."
"Kenapa kau tidak berada bersamanya, Bennett."
"Dia tidak akan selamat, Bennett."
"Kau harus mengambil alih sekarang, Bennett."
"Jangan kecewakan kakakmu, Bennett."
"Bennett?"
Aku tersentak dari pikiran itu, menemukan Henry menatapku dengan khawatir. "Ayo kita pergi saja," aku membentaknya. Rasa sakit mulai terbentuk di belakang mataku dan aku tahu migrain ini akan semakin buruk.
Untuk membuatku tetap fokus, aku memutuskan untuk mengemudi ke tempat di mana Henley menunggu. Aku melintasi kota untuk sampai ke jalan raya, melalui lalu lintas hingga mencapai jalan keluar. Henry berpegangan erat pada pegangan yang berada di atas jendela mobil, yang kupikir sedikit berlebihan. Mobilku punya handling yang sempurna dan aku adalah pengemudi yang handal.
Mobil sewaan itu cukup mudah ditemukan, bagian depannya masih berdekatan dengan tiang penanda rambu jalan. Henley berada di sisi mobil, meringkuk bersama temannya, tangannya terlipat di depan dada. Ketegangan sedikit menguap dari tubuhku saat aku melihat sosoknya yang membungkuk. Aku memarkirkan mobil lalu Henry dan aku keluar.
"Bennett," Henley memulai ketika aku berjalan ke arahnya. Mata birunya mencari-cari mataku, seolah sedang mencoba memahami reaksiku. Ketika dia bergeser, rambutnya merosot turun dari pundaknya menuju ke atas dadanya, basah karena air hujan.
Aku membuka mulutku untuk mengatakan sesuatu, apa pun. "Aku tidak tahu rambutmu bisa menjadi merah."
Dia berkedip. Menatap ke bawah, dia mengambil sejumput rambutnya. "Oh. Ya, ketika basah warnanya jadi terlihat agak seperti tembaga."
"Begitu," aku menjawab, meraih sejumput rambutnya dan membiarkannya lolos dari celah-celah jemariku.
Warna merah samar menyebar di pipinya lalu dia menggerakkan kakinya. "Maaf," katanya lagi.
Aku menggelengkan kepalaku. "Tidak apa-apa. Henry akan menanganinya. Aku akan membawamu pulang."
Dia menggigit bibir bawahnya, tatapannya berpindah ke Henry. "Maaf, Henry."
Henry melambaikan tangannya, menyudahi. "Tidak apa. Aku senang kau tidak terluka."
Aku melontarkan tatapan tajam kepada Henry yang sekarang menatapku dengan bingung. Dia senang Henley tidak terluka? Harusnya aku yang pertama kali mengatakan itu.
"Kurasa ini tidak akan terlalu berefek pada asuransimu," Ariana bicara, bibirnya sedikit melengkung "Kita keluar jalur karena jalannya licin."
"Aku tidak khawatir soal itu."
Tatapannya menunjuk ke arah Henley. "Aku tahu."
Aku menjernihkan tenggorokanku dan berbalik darinya. "Aku tidak tahu kenapa kau menunggu di luar mobil ketika hari sedang hujan. Masuklah ke mobilku dan cobalah untuk tidak membuat kursinya terlalu basah."
Henley mengerucutkan bibirnya dan berjalan menjauh dari mobil sewaan. "Mungkin sebaiknya aku pergi dengan Henry."
"Kita akan pulang," kataku tegas.
Wajahnya berkerut menjadi suatu ekspresi yang terlihat seolah dia ingin membantah, tapi kemudian posturnya kembali tenang dan dia mengajak Ariana untuk menuju ke mobilku. Henry mengucapkan salam perpisahan dan mengambil kunci mobil sewaan itu.
"Katakan pada mereka aku yang menabrakkan mobilnya," kataku pelan. Penyewaan itu berada di bawah namaku aku tidak ingin terlibat lebih banyak masalah dengan asuransi atau dituntut (walaupun aku ragu itu akan terjadi). Dan lagi, Henley mungkin sudah merasa stress dengan semua ini.
Henry mengangguk. "Aku akan menanganinya."
"Terima kasih, Henry."
"Bukan masalah. Aku akan menghubungimu nanti dan memberitahukan apa yang terjadi."
Aku berjalan kembali ke mobilku, masuk ke kursi pengemudi. Henley dan Ariana duduk di kursi belakang, tidak bersuara. "Aku bukan supir taksi," kataku.
Henley menghela napas dan mulai menyelipkan dirinya ke celah antara dua kursi depan. Aku menyandar menjauh darinya, memperhatikan kursi kulitku. "Perhatikan kakimu! Kenapa kamu memanjat lewat sana?"
Henley dengan hati-hati membawa tubuhnya melewati konsol tengah dan entah bagaimana berhasil tidak menyentuhkan kakinya ke kursi kulit. Setelah dia duduk, dia memakai sabuk pengamannya.
Aku menatapnya.
Dia menoleh ke arah jendela.
Aku menelan dengan susah payah. Kenapa dengan dia? Dia marah padaku? Dia yang menabrakkan mobil sewaan milikku. Apa dia malu? Atau dia masih merasa canggung dengan semua bencana di outlets?
"Ariana, ke mana kau harus pergi?" Aku bertanya. Untuk pertama kali.
"Mobilku ada di Coffee House kau bisa mengantarku ke sana."
Aku menjalankan mobil dan berbelok, kembali menuju ke arah aku datang. Hujan mulai turun semakin deras sekarang dan hanya terdengar suara berdecit wiper yang perlu diganti di dalam mobil. Setiap ada kesempatan aku melirik ke arah Henley, tapi dia tetap menatap ke dunia luar.
Ariana mengucapkan selamat tinggal ketika dia turun dari mobilku, lari melewati hujan sambil menutupi dirinya sendiri. Aku menunggu sampai dia mengemudi pergi sebelum meninggalkan tempat parkir. Semakin lama kami duduk dalam keheningan, aku menjadi semakin gelisah. Apa dia sungguh tidak akan bicara padaku? Aku merasa seperti mengkhawatirkan sesuatu yang tidak perlu.
"Henley."
Dia terlonjak karena suaraku, kepalanya menoleh untuk melihat ke arahku. "Apa? Kau menakutiku."
"Kenapa kau tidak bicara?"
"Apa aku butuh alasan untuk tidak bicara?"
Aku mengernyit, tidak suka dengan sarkasmenya di saat seperti ini. "Apa kau akan bersikap seperti itu kepadaku setelah menabrakkan mobil sewaanku?"
"Maaf. Itu kebiasaan," dia bergumam. "Aku hanya sedang berpikir." dia melarikan tangannya ke rambutnya, membuatnya berantakan. "Mungkin aku terlalu teralihkan saat mengemudi. Aku minta maaf soal mobilmu. Aku tentu saja akan membayar apa pun yang butuh diperbaiki."
"Berhenti mengatakan maaf kecuali kau menyesal karena sudah membuatku khawatir."
Matanya yang manis melebar sedikit. "Apa aku membuatmu khawatir? Kenapa? Aku baik-baik saja."
Telapak tanganku terasa lembab dan aku mengusapnya dengan halus ke setir.
"Kau tidak perlu khawatir soal aku," dia menambahkan.
Aku mengatupkan gigiku. "Itu bukan pilihan, Henley." Kata-kata itu keluar dengan nada yang lebih berat dari apa yang aku maksudkan. Perutku bergejolak dan aku bertanya-tanya jika aku sudah melewati batas lagi.
"Aku terbiasa melakukan semua hal sendiri, kurasa aku sedikit lupa bagaimana rasanya memiliki seseorang yang mengkhawatirkanku," katanya malu-malu.
Aku tidak tahu apa yang harus dikatakan. Aku ingin mengatakan kepadanya kalau dia tidak sendirian, tapi aku takut melewati batas. "Lebih berhati-hati lagi lain kali."
Dia tertawa sekilas. "Ya, semoga saja tidak ada lain kali. Asuransi mobilmu cukup mahal."
Tentu saja dia akan memikirkan tentang seberapa banyak uang yang harus dia bayar setelah tabrakan daripada keselamatannya sendiri.
"Ahh," dia mengerang, meregangkan tubuhnya sedikit. "Aku butuh mandi di kolam Jacuzzi."
Aku menekankan bibirku, mata menatap ke jalanan, berpikir bagaimana seseorang seperti Henley sudah merasuk sangat dalam ke nadiku.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro