Bab 16
Bennett
Selama bertahun-tahun, aku sudah bersama dengan banyak gadis yang menyerahkan dirinya kepadaku melalui ibuku. Mereka berdua biasanya punya satu hal yang sama: serakah. Serakah pada mode pakaian terbaik, serakah pada perhatian, serakah pada kekayaan dari pewaris hotel yang bagus. Aku akan peduli pada mereka sebanyak mereka peduli kepadaku. Tapi kami juga punya satu kesamaan: mencoba untuk menenangkan ibuku.
Begitulah cara menjalani hidupku. Aku sangat takut kehilangan segalanya, hingga aku dapat menyerahkan apa pun.
Uang lebih penting untukku daripada hubungan yang berharga. Aku tidak peduli apa yang kulakukan, siapa yang kusakiti, apa yang kuhancurkan—untuk mendapatkan posisi puncak pada akhirnya.
Tapi tiba-tiba semuanya berbeda.
Henley adalah seseorang yang tidak ingin aku sakiti. Dia adalah seseorang yang tidak ingin aku hancurkan.
Dia mendadak menjadi seseorang yang aku tidak ingin ibuku sentuh. Aku tidak tahu kapan ini terjadi. Pada awalnya dia hanyalah gadis muda miskin biasa yang aku butuhkan untuk menjalankan rencana licikku. Aku tidak peduli tentang apa yang dia rasakan. Tapi sekarang...
Sekarang aku lebih peduli pada apa yang dia rasakan ketimbang rencana bodoh, dan menggelikan ini.
Dan sekarang dia yang justru peduli pada rencana bodoh, dan menggelikan ini ketimbang perasaannya sendiri.
Aku tidak mengerti dan semua ini membuatku gila. Kenapa dia tidak mau mengakhiri kontrak? Jika kita mengakhirinya ibuku tidak akan bisa mengatakan apa pun lagi kepadanya. Jika menikahi orang asing adalah apa yang dibutuhkan, maka aku akan dengan senang hati melakukannya sehingga aku tidak akan melihat ekspresi kalah di wajahnya lagi.
"Kenapa kau tidak ingin membatalkannya?" aku bertanya, karena tidak peduli seberapa keras aku mencoba, aku tetap tidak dapat mengerti.
Pertanyaanku nampaknya membuat dia terkejut saat mata cantiknya melebar. "Kenapa? Karena... karena..."
"Uang?" tanyaku, tidak bisa menahan diri. Semua orang ingin uang. Henley pun mungkin tidak berbeda, sekeras apa pun aku menginginkan dia berbeda?
"Bukan," dia menjawab dengan cepat.
"Lalu kenapa?"
"Aku..."
"Kau apa, Henley? Kau sebaiknya memberikanku alasan yang bagus. Kau sangat anti dengan rencana ini pada awalnya. Kenapa sekarang kau ingin membantuku?" aku bertanya dengan nada menuntut, rasa frustasi kurasa terselip di dalam suaraku. Tidak perlu seperti ini. Tidak perlu ada kontrak.
Tidak perlu hanya akting saja.
"Aku tidak suka menarik kembali kata-kataku," semburnya, nada suaranya sedikit meninggi. "Aku sudah bilang aku akan membantumu dan itulah yang akan kulakukan. Sesuatu seperti ini tidak akan menghentikanku. Ayo kita lupakan hal ini pernah terjadi dan kembali ke keadaan kita sebelumnya. Kita sudah menjadi teman yang cukup baik, kan? Aku ingin memamerkan hubungan kita ke depan wajah ibumu. Hahahaha!"
Aku menelan ludah. Rasanya seperti es yang memenuhi urat nadiku.
Apa yang kau harapkan? Sebuah suara bertanya.
Apa yang aku harapkan? Ini akan selalu menjadi hanya pekerjaan bagi Henley. Itulah yang harus aku harapkan. Persis seperti apa yang dikatakan pada kontrak. Kontrak yang telah aku tulis.
Henley sepertinya adalah seseorang yang punya semangat kerja. Ini sama sekali bukan tentang aku.
"Dan lagi... aku tidak punya tempat untuk tinggal," dia menambahkan dengan pelan.
Bukan pertama kalinya di hari itu, aku merasa bersalah. Mengakhiri kontrak baginya lebih dari sekedar tidak pernah melihatku lagi. Itu artinya kehilangan tempat untuk tinggal. Artinya kehilangan uang yang dibutuhkan. Itu artinya Henley akan terlihat lemah di depan ibuku dan Henley tahu itu. Aku yang membuat semua ini tentang diriku.
Seperti biasa.
Aku menghela napas. "Kau benar. Aku mengerti."
"Jadi kau tidak akan membatalkan kontrak ini?"
Kepalaku mengangguk.
Dia jelas terlihat lega. "Oke, bagus. Ayo kita anggap semua ini tidak pernah terjadi. Sungguh memalukan. Aku biasanya tidak menginginkan pujian sebegitunya, jadi aku merasa sedikit malu saat ini."
Dia bukan satu-satunya yang merasa begitu.
Orang bodoh macam apa yang mempekerjakan seseorang untuk menjadi kekasih bohongannya dan kemudian mengharapkan dia ingin menjadi kekasih sungguhan?
Kemudian kata-katanya menghantamku. "Pujian?" ulangku. "Tunggu. Kau hanya ingin pujian dariku?"
Dia mundur sedikit, membuat ekspresi aneh. "Kau tidak tahu?"
Semua ini bisa dihindari hanya dengan pujian sederhana? Aku bahkan tidak dapat menyadarinya? Henley tidak peduli apa yang ibuku pikirkan tentang dia. Dia peduli pada apa yang aku pikirkan tentang dia. "Tidak," aku menjawab. "Di samping itu, aku akan menambahkan satu persyaratan pada perjanjian kita."
"Apa itu?"
"Mulai sekarang tidak ada interaksi di antara kau dan ibuku kecuali aku ada di sana."
Dia mengedikkan bagus. "Aku tidak keberatan. Maksudku, aku bahkan tidak berencana untuk menemuinya waktu itu."
Aku juga tidak merencanakannya. Ini saatnya untuk mengganti kunci. Demi kebaikan. "Pergilah masuk ke dalam dan berganti pakaian. Aku tidak ingin orang di toko ini berpikir kalau kau mencuri dari mereka."
Dia menggigit bibir bagian dalamnya seolah ingin menjawab. "Kau ikut denganku, kan?"
"Sebentar lagi."
"Haruskah aku memegangi ponselmu kalau begitu?"
Aku mengulurkan tangan untuk mengambil ponselku. "Tidak, aku akan membawanya. Aku tidak akan menelpon ibuku. Aku tidak akan mengambil risiko jabatanku hanya untuk hubungan palsu ini."
Kata-kata itu terasa menyengat lidahku. Bukan salah Henley aku merasa ditolak. Aku tidak bisa melampiaskan perasaanku kepadanya hanya karena kami merasakan hal yang berbeda satu sama lain. Aku mungkin brengsek, tapi tidak ingin menjadi lebih rendah lagi.
Kupikir Henley mengatakan sesuatu sebagai balasan, tetapi deringan di telingaku lebih keras untuk mendengarnya. Aku hanya menatapnya, tidak mampu untuk memproses apa pun. Aku tak terbiasa dengan perasaan tidak mendapatkan apa yang aku inginkan.
Akhirnya dia berbalik dan aku bisa merasa kalau mulutku membuka. "Henley."
Dia menoleh ke belakang. "Apa?"
"Kau harus mengambil gaun itu," kataku padanya. "Maaf aku tidak mengatakan ini lebih cepat, tapi gaun itu sangat cocok untukmu."
Dia tersenyum lebar. "Terima kasih, Bennett."
Aku tidak bisa menemukan keinginan dalam diriku untuk membalas senyumnya. Dia menyadarinya dan aku melihat ekspresinya sedih kembali ketika dia berbalik lagi, menuju ke dalam toko. Aku bersandar pada dinding bata, menutup mataku dan menarik napas dalam.
Jika Henley ingin menyelesaikan masalah seperti ini, aku akan membiarkannya. Aku tidak boleh menjadi masalah lain dalam hidupnya. Tidak dengan semua yang sudah terjadi. Aku tidak boleh bertingkah seperti anak kecil yang suka merajuk.
Dalam enam bulan semua ini tidak akan jadi masalah. Aku akan pergi dan ibumu tidak perlu merasa khawatir.
Aku mendengus sedikit. Apa memang semudah itu bagi dia untuk mengatakannya? Apa dia akan membuangku? Memutuskan hubungan kami tanpa melihat ke belakang? Bagaimana dia tahu seperti apa hubungan kami dalam lima bulan dari sekarang?
Aku berhenti.
Aku masih punya lima bulan dengan Henley. Mungkin...
Aku membuka ponselku dan mengklik kontak Henry. Dia mengangkat setelah dering pertama. "Ya, Mr. Calloway—"
"Henry, apa ibuku akan keluar kota dalam waktu dekat?"
Dia terdiam sebentar. "Ibumu akan pergi ke California tanggal tujuh belas."
"Datanglah ke rumahku pada tanggal tujuh belas. Apa kau tahu caranya mengganti kunci?" tanyaku padanya.
"Mengganti kunci? Kenapa—"
"Jika tidak, kau punya waktu seminggu untuk belajar. Aku ingin kau datang tidak lewat dari malam hari."
"Bennett—"
"Itu saja," kataku, dengan cepat menarik ponselku menjauh dari telinga.
Gerakanku tidak cukup cepat. "Mr. Calloway!" dia memanggil dengan panik. "Kau harus kembali ke kantor besok. Kau punya banyak berkas untuk dikerjakan."
Aku mengernyit. Bukankah aku sudah cukup banyak mengerjakannya hari ini? Aku masih harus membawa Henley ke apartemennya untuk bersih-bersih. "Akan kuusahakan."
"Mr. Calloway—"
"Henry," mulaiku.
Suaranya langsung menghilang.
"Maaf sudah mengancam untuk memecatmu baru-baru ini."
"Mengancam...? Oh! Tidak apa! Jangan khawatir! Kau tidak perlu meminta maaf, aku tahu kau pasti stres dengan semua hal yang tengah terjadi," ucapnya dengan senang.
"Ya? Terima kasih. Sampai ketemu lagi nanti."
"Sampai nanti," dia menjawab. Kemudian aku mendengar suara terkesiap. "Hei, tunggu—!"
Dengan cepat aku menekan tombol akhiri sebanyak-banyaknya untuk membuat sambungan telepon itu terputus. "Phew."
"Bolos dari kantor lagi?"
Suara Sebastian mengagetkanku. Aku menoleh ke belakang, dengan alis terangkat. "Kau baik-baik saja?"
"Kenapa kau bertanya?"
"Sesuatu terjadi antara kau dan Henley benarkan?"
Bahkan sekalipun Sebastian adalah sahabatku, aku tidak merasa ingin mendiskusikan ini. "Kami sudah menyelesaikannya."
Dia mengangguk. "Akan kupegang kata-katamu, kalau begitu. Jangan terlalu berkecil hati karena ibumu. Kita akan temukan cara untuk membantu Henley."
Aku melipat tanganku di depan dada. Lupa kalau Sebastian merupakan orang yang sangat tangkas. "Aku bisa menangani ini."
"Mmm."
"Apa maksud suara itu? Kau tidak yakin kalau aku bisa?"
Dia memberiku kedikan bahu. "Aku hanya mengatakan, aku ada di sini jika dibutuhkan."
Kupandangi matanya sementara dia memberiku tatapan yang menantang. Sejak kapan dia dan Henley memiliki hubungan baik? Apa aku melewatkan sesuatu selama berada di kantor? Apa yang dia inginkan dengan Henley?
"Tentu saja, aku bisa membantu Henley dengan caraku sendiri—"
"Baiklah," aku mengalah. Aku tahu metode Sebastian dan tidak akan kubiarkan dia menggunakannya kepada Henley. Mungkin dia bisa berguna.
"Sempurna. Ayo kembali masuk. Kurasa para gadis mulai gelisah. Dan kupikir Henley perlu membeli pakaian dalam. Apa kau mau ikut dengan kami ke dalam Victoria's Secret? Mungkin memilihkan sesuatu yang seksi untuknya. Kau tampaknya lebih tahu ukuran tubuh Henley ketimbang dia sendiri."
Aku hampir tersedak ludahku sendiri. "A—apa?"
Dia menyeringai. "Mesum."
Bagian belakang kepalaku memanas dan aku ragu apakah sebaiknya pergi berbelanja sendiri karena aku tahu tidak mungkin aku bisa menemani Henley tanpa membayangkannya mengenakan apa yang dia lihat.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro