Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 15

Henley

Setelah pertemuan mendadak dengan ibu Bennett, aku tidak bisa duduk diam. Aku berkeliaran di dapur, menempelkan wajah ke dinding kaca di ruang tamu, berjalan menaiki dan menuruni tangga ke balkon setidaknya dua puluh kali, dan memeriksa ponselku setidaknya seratus kali. Aku sedang menunggu untuk itu. Menunggu pesan dari Bennett yang menyuruhku untuk keluar dari rumahnya dan mengembalikan uangnya. Dia mengatakan kepadaku untuk berhati-hati di sekitar ibunya, tetapi aku justru berbohong kepadanya tentang kami yang berhubungan seks di atas meja.

"Argh!" aku tiba-tiba berteriak, berhenti di tengah anak tangga.

Sebastian terperanjat, dia lantas menatapku dengan cemas dari tempatnya duduk di sofa. "Henley, duduklah. Bennett mungkin akan datang ke sini sebentar lagi."

Aku menekankan kedua tanganku ke pipiku, memberinya tatapan ngeri. "Apa kau pikir ibunya akan menuntutku atas pencemaran nama baik?"

"Aku meragukan itu—"

"Dia mungkin sedang melakukan pencarian latar belakangku sekarang. Apakah kau pikir dia akan membuntutiku? Dia tidak akan boleh mengetahui siapa aku. Tunggu! Aku memberi tahu nama lengkapku! Aku memiliki Facebook! Astaga, astaga. Aku harus menonaktifkannya."

Sebastian berdiri lalu berjalan dan menaiki anak tangga untuk menghampiriku. Aku mundur sedikit, menekan punggungku ke susuran tangga. Dia mengulurkan tangannya dan mencengkeram lenganku, mengunci tatapanku. "Kau akan baik-baik saja."

"Dia juga pasti berpikir aku tidak cukup baik untuk Bennett, ya?" aku bergumam, cukup rendah sehingga Sebastian tidak akan bisa mendengarnya. Kenapa juga dia harus membuat pernyataan itu? Aku kira siapa pun yang memiliki mata dapat melihat perbedaan di antara Bennett dan aku. Bahkan jika aku berpura-pura menjadi seseorang, aku tidak akan pernah berhasil.

"Berhenti berpikir dan tenanglah."

Aku menggigit bibir dan menunjukkannya wajah masamku. "Aku adalah inti dari ketenangan. Kecuali fakta tentang aku yang melanggar kontrak di antara kami berdua dan dia nantinya akan membunuhku—atau yang lebih buruk, mengambil kembali uangnya."

Kerutan muncul di alis Sebastian. "Bagaimana mungkin itu menjadi yang lebih buruk—"

Tiba-tiba pintu depan terbuka dan aku menjerit ketakutan. Bagaimana jika itu adalah ibu Bennett lagi? Atau Bennett? Aku berputar untuk melepaskan diri dari genggaman Sebastian, tetapi malah kehilangan keseimbangan. Kakiku tergelincir di atas tangga kayu itu dan aku merasakan diriku bergerak jatuh sekitar tiga detik sebelum sepasang lengan melingkari pinggangku dengan kuat. Dengan kepalaku yang hanya sekitar dua inci dari tangga, aku memandangi anak tangga paling atas. Melalui posisi pandanganku yang terbalik, aku melihat Bennett berdiri di sana, tampak benar-benar bingung.

"Apa yang kalian berdua lakukan...?" dia bertanya.

Dengan gerakan cepat, Sebastian membantuku meluruskan punggungku. Kepalaku berputar sebentar dan aku memegang lengannya. "Bennett," aku langsung memulainya. "Maafkan aku. Tidak apa-apa kalau kau ingin mengakhiri kontraknya."

"Apa yang kalian berdua lakukan?" dia mengulang pertanyaannya lagi, rahangnya tampak menegang.

"Itu terjadi begitu saja. Aku sangat menyesal. Aku tidak bisa menahannya."

"Menahan apa? Bermain-main dengan sahabatku saat aku sedang bekerja?" dia membentak.

Aku berhenti. "Apa?"

Dia memberi isyarat pada Sebastian dan aku. "Aku tidak tahu kalian berdua begitu dekat."

"Kurasa kau salah paham, Ben," kata Sebastian, sedikit menyeringai. "Kami tidak melakukan hal-hal buruk di sini."

Ekspresi curiga Bennett tak kunjung hilang. "Kenapa kau ingin mengakhiri kontraknya?"

"Apa kau tidak ingin melakukannya?"

"Kenapa aku harus melakukannya?"

"Ibumu..."

"Ibuku?" dia mengulanginya. Matanya seketika melebar. "Apakah dia datang ke sini saat aku pergi?"

Aku mengangguk.

"Kapan? Apa yang terjadi? Apakah kau sedang berpakaian seperti itu?"

Tentu saja dia akan mengamati pakaianku. "Ya," kataku.

Dia mengusap rambutnya, memejamkan matanya. "Aku seharusnya bisa menduga ini. Apa yang terjadi? Apakah dia menemukan semuanya?"

"Tidak," jawab Sebastian sebelum aku bisa membalasnya. "Aku bilang padanya Henley adalah keluarga teman yang berkunjung dari Paris dan aku yang memperkenalkan kalian berdua."

"Apakah dia memercayaimu?"

"Aku tidak yakin. Tapi dia tidak berusaha untuk mengusir Henley, jika itu informasi penting."

Bennett menutup mulutnya dengan tangan, memandang keluar ke arah danau. "Kenapa dia datang langsung ke sini?"

"Dia menyindir bahwa dia mengira aku akan merampokmu," kataku padanya. Dia tidak perlu tahu tentang ibunya yang juga menghina penampilanku.

Dia mengerang. "Itu karena kau mengenakan bajuku—tunggu, kenapa kau memakai bajuku?"

"Aku tidak memiliki pakaian bersih di sini, ingat?"

Dia mengusap matanya perlahan dan kemudian berdehem. "Oh, benar juga. Tidak apa-apa kalau begitu."

Sebastian terbatuk-batuk dan menutupinya dengan tangan, aku bersumpah itu terdengar lebih seperti dia sedang tertawa.

"Apa kau bisa berbicara dalam bahasa Prancis, Henley? Mungkin nanti kau akan bertemu dengan ibuku lagi, seperti saat ini dia datang tiba-tiba untuk menemuimu. Aku akan berbicara dengannya sendiri sebelum itu, tapi ini hanya untuk berjaga-jaga."

Aku meringis malu. "Um... tidak. Aku tidak bisa berbahasa Prancis. Sama sekali tidak bisa."

Dia sepertinya tidak mendengar jawabanku, jadi aku berasumsi dia juga tidak berharap aku bisa melakukannya. "Aku sudah menduganya juga," katanya tidak peduli.

"Itu salahku," kata Sebastian padanya. "Ide itu adalah hal pertama yang terlintas dalam pikiranku."

"Apakah ada hal lain yang terjadi?"

Aku merasakan pipiku memanas dan aku memberinya senyuman polos. "Yah, um..."

Wajahnya berubah waspada dan dia terlihat seakan sedang menguatkan dirinya. "Ya?"

"Aku mengatakan tentang kita yang berhubungan seks di meja dapur... semacam itu. Ha ha ha."

Telinga Bennett menjadi berwarna merah muda dan dia hendak membuka mulut untuk berbicara, tapi aku segera memotongnya. "Kita adalah dua orang dewasa, kenapa itu harus menjadi masalah? Dan dia mengatakan kepadaku untuk tidak menjadi seorang jalang, jadi aku harus mengatakan sesuatu sebagai balasannya. Bahkan menjadi jalan bukanlah hal yang hina. Apa yang salah dengan menyukai seks? Dia seharusnya tidak ikut campur dengan kehidupan seks kita." Aku langsung menggigit lidahku, menyadari aku telah terlalu banyak bicara. Kehidupan seks kita?! Kami bahkan tidak pernah melakukannya!

Kali ini Sebastian benar-benar tertawa dan aku menatapnya dengan tatapan kotor. "Dalam pembelaan Henley, kata-kata provokatifnya adalah upayanya untuk membelamu," katanya.

"Itu bukan sesuatu yang perlu diketahui ibuku," gumamnya.

Aku menggesek-gesek kakiku di lantai. Merasa begitu canggung.

"Yah, kita bisa mengatasi kebohongan yang kau katakan kepadanya. Henley dapat mempelajari beberapa frasa sederhana dalam bahasa Prancis dan kita akan memberinya isi lemari pakaian yang tepat. Kita hanya harus menyiapkan latar belakang yang konkret. Mencari tahu apa perguruan tinggi terbaik di sana dan mungkin kita bisa membuat gelar palsu," lanjutnya, keningnya berkerut saat memikirkan semua itu. "Untung mobilmu tidak ada di sini."

"Ya, ya. Itu bukan masalah. Aku hanya perlu mengubah seluruh latar belakangku. Untukmu," kataku, menganggukkan kepalaku—menyetujui sarannya.

Dia merapatkan bibirnya. "Apakah kau kesal?"

"Tidak. Maksudku, kurasa aku seharusnya tahu bahwa sebagian dari diriku tidak cukup pantas untuk berkencan denganmu."

"Bukan..." sanggahnya, tetapi kemudian berhenti karena itu benar. Ya, itulah kebenarannya.

Aku menggigit bibirku agar tidak membalasnya. Aku sudah tahu sejak awal aku harus berbohong kepada ibunya tentang siapa diriku, tetapi mendengarnya dengan persis apa yang harus diubahnya, sedikit membuat perasaanku terluka. Apakah aku benar-benar tidak berharga bagi orang-orang ini? Apakah mereka benar-benar berada di tingkatan yang berbeda dariku? Apakah aku benar-benar terlihat sangat serupa dengan sampah bagi mereka?

"Maaf," kata Bennett.

Dia meminta maaf? Aku tidak tahu harus berkata apa.

"Wow, ini mengesankan," kata Sebastian sebagai gantinya, menambahkan sedikit tepukan tangan. "Tidak pernah terpikir olehku akan melihat hari di mana seorang Bennett bisa memikirkan perasaan orang lain tanpa seseorang perlu menyuruhnya."

Bennett memandangnya dengan tatapan menghina, jelas malu. "Aku selalu memikirkan perasaan orang lain."

"Aku tidak setuju," kataku.

"Jika ini membuatmu sangat tidak nyaman, aku akan mengerti kalau kau tidak ingin melanjutkan kontraknya," kata Bennett padaku. "Ibuku bukan orang yang menyenangkan. Gadis-gadis yang diusulkannya kepadaku selalu sebanding dengan dirinya sendiri dan dari sanalah masalahku bermula."

Sebagian dari diriku sangat ingin menyampaikan salam perpisahan pada Bennett dan meninggalkannya sesegera mungkin, tetapi sisi baik dari diriku berkelahi dengan bagian itu. Jika ini yang dihadapi Bennett, tidak mengherankan jika dia tidak ingin dipaksa menjalin hubungan dengan seseorang yang dipilihkan oleh ibunya. Ibunya berlagak seakan dirinyalah ratu Inggris. Wanita itu bahkan memiliki keberanian untuk menuduhku sebagai pencuri barang-barang Bennett dan menyerang penampilanku. Memangnya dia pikir dia itu siapa? Apakah dia pikir aku akan takut padanya? Aku lebih kuat dari apa pun bayangannya, bukan?

"Aku masih akan membantumu," kataku.

Bennett tampak lega. "Terima kasih, Henley."

"Tapi kalau aku harus melakukan ini, aku akan melakukannya dengan cara yang benar. Dia pikir aku tidak cukup baik untukmu? Buat aku cukup baik untukmu," aku melanjutkannya, merasakan tekanan pada nadaku mulai naik. "Ibumu sangat mengintimidasi. Jadi aku kira aku juga harus bisa mengintimidasinya."

Kata-kataku sepertinya mengejutkannya. "Kau ingin aku membuatmu cukup baik untukku...?" dia mengulanginya.

Aku mengangguk, mengangkat bahu. "Iya."

Sebastian bergumam. "Kalau begitu tampaknya kita harus berbelanja."

Aku menoleh padanya. "Kau akan membantu?"

"Tentu saja. Kalau Bennett tidak keberatan dengan itu."

Bennett menatapku, alisnya berkerut. "Kurasa begitu, tapi—"

"Kalau begitu aku akan bersiap-siap." Aku mulai menuruni tangga dan kemudian berhenti, tiba-tiba teringat sesuatu. Sebastian dan Bennett sama-sama laki-laki... aku butuh seorang teman perempuan untuk ini. Melihat dari balik pundakku, aku tersenyum polos pada Bennett. "Kita juga harus mengajak seseorang."

Ariana sedang menunggu dengan sabar di bangku di depan Coffee House ketika Bennett berhenti di kedai kopi itu satu jam kemudian. Matanya membelalak ketika melihat mobil mewah Bennett dan saat dia tak kunjung bergerak untuk masuk, aku menurunkan kaca jendela dan memberi isyarat padanya. Dia dengan cepat bergegas masuk dan meluncur ke bagian belakang di sebelahku ketika aku membukakan pintu untuknya.

"Ini seperti Princess Diaries," bisiknya.

Aku memutar bola mataku padanya. "Bahkan ini tidak dekat sama sekali dengan itu."

"Halo Ariana," sapa Sebastian, berbalik untuk menghadap ke arahnya dari kursi depan.

Dia berseri-seri padanya. "Oh, itu kau! Yang sebelumnya di kedai. Sebastian, kan? Dan hai Bennett, senang bertemu denganmu lagi!"

Bagian favoritku tentang Ariana adalah dia tidak akan membiarkan siapa pun merasa canggung. Dia adalah tipe orang yang dapat kau jadikan sebagai teman baik meskipun kau baru saja bertemu dengannya. Dia mengubah situasi apa pun menjadi situasi yang menguntungkan. Dan selera busananya sangat sempurna.

"Halo," kata Bennett, menatapnya melalui spion tengah mobilnya. Dia menyipit sedikit pada Ariana, tetapi kemudian tidak berkomentar banyak. "Kurasa kau memang akan bisa membantunya."

"Abaikan dia," kataku segera. "Menyetir sajalah, Bennett."

Ariana menyeringai. "Kuperhatikan kalian berdua menjadi semakin dekat. Ke mana kita akan pergi?"

"Ke outlet Woodbury Common," kataku padanya. "Dengan begitu ada toko yang akan memuaskan seleraku sendiri dan selera ibu Bennett."

"Seleranya sedikit di atas itu," kata Sebastian padaku.

"Apa? Tapi di sana ada, Coach."

Dia mengangkat bahu. "Ada banyak yang lebih baik daripada Coach."

Aku memundurkan kepalaku, mungkin menciptakan dagu ganda. "Ya ampun. Aku tahu aku sangat ingin membalikkan kata-kata Mrs. Calloway, tapi aku tidak ingin membeli barang-barang yang tidak akan pernah kukenakan nantinya."

"Aku yakin kita akan menemukan sesuatu yang cocok."

"Kita hanya akan mencari barang-barang yang tidak memiliki merek terpampang di atasnya. Aku juga perlu membeli pakaian sehari-hari untuk diriku sendiri. Aku tidak harus pergi ke mana-mana dengan Prada," kataku, mengarahkan kata-kataku terutama kepada Bennett.

"Kau masih bisa mengganti apa yang kau miliki sebelumnya dengan pakaian yang lebih baik," jawabnya.

Aku menatapnya dengan tatapan jengkel dan Sebastian segera menyikutnya. Ariana memiringkan kepalanya ke arahku dengan manis. "Um, kenapa kau harus menggantinya?"

Ah, benar juga. Aku belum memberitahunya. Dalam perjalanan menuju outlet, aku menjelaskan kepadanya apa yang terjadi di apartemenku, kenapa aku cuti kerja, dan apa yang terjadi di rumah Bennett sebelumnya. Lebih baik untuknya juga berada di dalam lingkaran jika dia harus membantu kami. Setelah meyakinkannya bahwa aku baik-baik saja dan mengatakan kepadanya untuk tidak menangis (dia orang yang mudah berempati), dia memelukku.

"Apakah Brandon tahu?" dia bertanya kepadaku.

"Ya, aku memberitahunya." Aku sadar bahwa Bennett dan Sebastian tidak bergerak dengan normal sedari tadi. Jelas mereka sedang menguping. "Dia tidak meneleponmu?"

"Tidak, memangnya kenapa?"

"Hanya ingin tahu." Jika dia tidak menelepon Ariana, lalu siapa yang dia hubungi setelah dia menutup sambungannya denganku? Dia tidak memiliki banyak teman yang tersisa.

"Oh! Itu mengingatkanku akan sesuatu. Aku ingin memberitahumu hari ini di tempat kerja tapi kau tidak ada di sana. Aku berada di McKellan's semalam dan pemiliknya mengatakan dia ingin berbicara dengan kau."

Telingaku naik ke atas. "McKellan's? Apa yang dia katakan?"

"Tidak banyak. Hanya saja dia memiliki sesuatu untuk ditunjukkan kepadamu."

"Apakah itu tentang kecelakaan mobil kakakku?"

Tiba-tiba Bennett menyentakkan setirnya ke kanan dan sabuk pengamanku seketika mengunci tubuhku, menahan erat pinggangku. Aku melihat ke luar jendela, mencoba melihat apakah kami baru saja menabrak sesuatu, tetapi ia menekan gas lagi dan terus mengemudi. "Apa yang baru saja terjadi?"

Dia tidak menjawab dan aku memandang Sebastian yang wajahnya sedikit memucat dan kehilangan semua humornya. Dia sedikit menggelengkan kepala. Bingung, aku duduk kembali di tempat dudukku dan tidak mengatakan apa-apa lagi. Reaksi apa itu? Apakah itu berkaitan dengan sesuatu yang baru saja kukatakan?

"Aku akan memberitahumu nanti," kata Ariana, menunjuk ke arah depan mobil. "Jangan biarkan aku lupa."

"Oke," jawabku. Mungkin lebih baik begitu. Aku tidak ingin Bennett mendengarnya jika itu tentang kecelakaan kakakku. Itu adalah sesuatu yang tidak perlu dia ketahui detailnya. Tetapi ada apa dengan ekspresi Sebastian?

Kami tiba di kawasan pertokoan itu sekitar pukul enam. Ketika kami semua turun dari mobil Bennett, aku baru menyadari ketimpangan penampilan kami. Bennett mengenakan jas, Sebastian memakai kemeja dan rompi, Ariana mengenakan polo lengan panjang dan celana jins, dan aku memakai kaus oblong. Aku yakin tidak peduli ke toko mana pun kami akan berkunjung, semua orang pasti akan berbondong-bondong melayani Bennett dan Sebastian.

"Kurasa kita harus mulai dengan toko-toko yang bahkan tidak akan pernah kukunjungi," kataku ketika kami memasuki deretan utama toko. Toko macam apa yang dikunjungi ibu Bennett? Mungkin bukan yang ada di sini. Toko mana yang akan mendekati seleranya? "Mungkin seperti Gucci? Itu populer, bukan?"

Bennett dan Sebastian saling bertukar pandang. Aku menyipitkan mata pada pasangan itu. "Sebaiknya kita menjauh dari Gucci," saran Sebastian.

"Hah? Kenapa? Bukankah itu populer?"

"Kurasa kau tidak akan berpikir itu cocok dengan seleramu," kata Bennett.

"Bagaimana dengan Prada?"

Dia menekankan bibirnya ke garis tegas.

"Hei, aku hanya menyebut daftar merek yang mampu dibeli oleh ibu-ibu yang hidup di pinggiran kota dan mengendarai Mercedes kelas bawah."

Ini membuat Ariana cekikikan dan aku berjuang untuk tetap tegar.

"Tidak sulit untuk membeli Mercedes kelas bawah, juga Prada," kata Bennett dan mulai berjalan. "Tapi jika itu yang ingin kau lihat, ayo ke sana. Aku yakin kita bisa menemukan sesuatu yang cukup pantas."

Aku dengan cepat melangkah di sampingnya. "Itu tidak akan seperti Alexander Wang, kan? Tolong jangan bilang kalau kita mencari sesuatu yang memiliki pola bunga cetakan khas nenek-nenek di setiap halnya."

"Itulah sebabnya kami tidak begitu menyarankan Gucci. Aku juga merasa itu akan membuatmu terlihat seolah berusaha untuk tampil terlalu keras."

"Kalau begitu, maaf."

"Akan lebih baik untuk membawakanmu pakaian langsung dari desainer di Prancis, tapi masalahnya kita harus bergerak cepat."

Prada adalah jalan keluarnya? Dompetku yang malang sudah mulai menangis di sakuku. Tetapi, aku perlu melakukan ini.

"J.Crew juga akan menjadi toko yang bagus untukmu, aku yakin," lanjutnya. "Aku berasumsi apa yang kau inginkan adalah sesuatu yang sederhana yang bisa kau kenakan setiap hari dan pakaian bisnis?"

"Mungkin?" sampai di titik ini, aku hanya menginginkan sesuatu yang akan membuat ibu Bennet memintaku untuk menikahi putranya.

"Pakaian mereka akan cocok untukmu. Bahkan aku pun berbelanja di sana dari waktu ke waktu. Tidak semua orang memperhatikan merek apa yang mereka kenakan."

Apakah dia benar-benar mengatakan hal semacam itu kepadaku? "Well, duh," kataku sedikit lebih kasar dari yang kumaksudkan.

Dia menatapku. "Bukankah kau yang baru saja mengatakan ibu-ibu di pinggiran kota memakai Prada?"

"Ya, tapi—"

"Sama seperti dirimu yang tidak memikirkan toko pakaian apa yang kau kenakan, aku juga tidak peduli desainer pakaian mana yang kukenakan."

Aku mengalihkan perhatian aku ke bawah, merasa seperti anak kecil yang dimarahi. Kata-kataku umumnya hanya untuk candaan. Tetapi mungkin aku juga menaruh sedikit kecemburuanku pada mereka di sana. "Maaf," gumamku.

"Henley—"

"Hei! Apa yang membuat kalian berdua begitu lama?" aku berteriak, berpaling darinya dan melambai pada dua orang yang tertinggal di belakang kami. Sebastian pasti mengatakan sesuatu yang sangat lucu, karena Ariana tampaknya hampir sekarat karena terus tertawa di sana. Melihat itu membuat kecemburuan kembali melandaku. Dia dan Sebastian tampak pantas untuk berdiri di samping satu sama lain—bahkan meskipun dia hanya mengenakan pakaian kerjanya. Bennett akan lebih mudah jika dia memilih Ariana.

Aku sangat kekanak-kanakan, sarkastis, dan menyedihkan. Tidak heran ibu Bennett tidak menyukaiku.

Prada, ternyata, sebenarnya memiliki pakaian yang cukup bisa diterima. Meskipun masih agak mahal, ada pakaian yang dapat aku kenakan dari pajangannya. Setelah mencoba melihat-lihat beberapa pakaian yang tergantung di rak diskon dan pada akhirnya kembali dialihkan ke pajangan khusus oleh Sebastian, aku mulai menarik beberapa helai pakaian yang ingin aku coba, berusaha melakukan yang terbaik untuk tidak memperhatikan label harganya. Ariana berkeliaran di sekitar toko, kadang-kadang kembali kepadaku sambil membawakan sebuah atasan ke hadapanku dan kemudian melemparkannya ke tumpukan pakaian untuk dicoba nanti.

Mengambil mantel yang cukup bagus, aku mengelilingi toko itu untuk menunjukkannya kepada Bennett, dan kemudian mendapati dia sedang sibuk mengobrol dengan salah satu pegawai toko itu. Wajah genit wanita tersebut membuatku merasakan dorongan tiba-tiba untuk menginterupsi mereka. Bukankah dia seharusnya melakukan pekerjaannya? Dan bukankah seharusnya Bennett membantuku?

"Sudah siap?" tanya Sebastian, sambil membawa sejumlah pakaian di lengannya.

Aku mengalihkan pandanganku dari Bennett dan menatap barang tangkapannya. "Apakah itu untukku?"

"Tentu saja. Ayo pergi ke kamar pas."

"Tunggu, apakah aku harus menunjukkannya padamu?"

"Tidak juga. Tetapi semua pakaian ini harus mendapatkan persetujuan Ben."

Aku harus menampilkan semuanya ke hadapan Bennett? Tiba-tiba aku menyesal telah mengambil sepasang legging kulit yang kulihat. Dan sebuah gaun mini berwarna hitam.

"Ayo, Bennett! Dia siap!" Sebastian memanggil.

Aku bergegas ke kamar pas, menarik Ariana bersamaku. "Jika ada yang terlihat buruk, kau harus mengatakan yang sebenarnya."

Dia mengangguk dengan serius. "Itulah gunanya teman."

Hal pertama yang kukenakan adalah gaun hitam sederhana. Gaun itu terlihat elegan, tetapi itu juga terlihat seperti sesuatu yang dapat kukenakan di kota. Atas persetujuan Ariana, aku berjalan keluar untuk menunjukkannya kepada kedua pria itu. Sebastian bertepuk tangan dengan sopan dan Bennett hanya menatapku. "Apakah tidak apa-apa?" aku bertanya kepadanya.

"...Ya."

Aku menunggu. Dia tidak mengatakan apa-apa lagi. Aku kembali ke kamar pas.

Dan begitulah yang terjadi dengan semua pakaian yang aku coba kenakan. Aku akan berjalan keluar dan tidak peduli seberapa hebat penampilanku, Bennett dengan tanpa ekspresi akan menyetujuinya. Matanya tidak melebar, dia tidak terlihat terpukau. Tidak juga memberikan acungan jempolnya. Hanya sebuah kata ya sederhana. Aku tidak tahu kenapa itu sangat menggangguku—aku tidak bermaksud untuk membuatnya terkesan. Memang gaun-gaunnya sangat bagus, walaupun agak konservatif. Dan aku juga tidak terlalu berharap akan ketertarikannya pada penampilanku saat mengenakan celana jeans dan kemeja lengan panjang. Tetapi apakah dia harus tidak bereaksi sama sekali seperti itu? Aku pikir mungkin ini akan menyenangkan baginya. Namun dia entah mengapa terlihat seperti lebih menyukai berada di tempat lain.

"Tunggu, aku memilih yang ini," kata Ariana saat aku melepas pakaian terakhir dari tumpukan itu.

Aku menyentuh bahan pakaian di tangannya dan seketika tersenyum. Gaun itu berwarna burgundi yang tampak mewah, berkerah renda. Lengan bajunya tembus pandang dan ikat pinggang kecil berwarna emas melingkari bagian pinggangnya. Dari semua pakaian yang telah aku coba, aku tahu inilah yang paling aku butuhkan. Gaun itu sangat indah dan elegan. "Ini sempurna."

"Aku pikir itu akan cocok untukmu. Pakailah!" katanya penuh semangat.

Dia membantuku menutup bagian belakangnya setelah aku menyelipkan gaun itu ke tubuhku dan kemudian aku menyesuaikan ikat pinggangnya untuk membuat pinggangku terlihat lebih kecil. Melihat ke cermin, aku tersenyum kecil. Pakaian yang istimewa akan membuat perasaanmu menjadi lebih baik. Dengan rasa percaya diri yang tinggi, aku berjalan keluar ruangan dan masuk ke ruang tunggu.

"Bagaimana dengan yang ini?" aku bertanya dengan angkuh, meletakkan tanganku di pinggulku.

Bennett berdiri di dekat pintu sekarang dan membelakangiku, berbicara dengan pegawai toko yang sama. Aku merasa hati aku sedikit patah. "Henley, kukira kau..." dia terdiam saat dia berbalik, matanya menatapku.

"Aku memiliki satu pakaian lagi, tapi tidak apa-apa. Aku akan berganti baju," jawabku, melangkah kembali ke ruang pas.

"Beri kami waktu satu detik," kata Bennett kepada si pegawai toko dan wanita itu mengangguk, heels yang dikenakannya terdengar beradu dengan lantai saat dia meninggalkan ruang tunggu itu.

Aku mengusap sisi tubuhku. "Apakah ini cukup baik untuk bertemu ibumu?"

Sekali lagi, wajah Bennett tidak berubah.

"Aku terlihat bagus, bukan?" aku mencoba lagi, berusaha terdengar percaya diri seperti yang kurasakan beberapa saat sebelumnya.

Tidak ada.

Aku merasakan jantungku berdetak lebih kencang di dadaku. Aku tidak mengerti. Aku melakukan ini untuknya. Tidak bisakah dia memujiku? Apakah aku tidak terlihat cukup bagus? Apakah aku membuang-buang waktunya? Apakah itu tidak cocok untukku? "Apakah aku masih terlihat tidak seberharga itu dalam pakaian ini?" aku menuntutnya, tidak menyukai nada putus asa yang terdengar dari suaraku.

Akhirnya dia bereaksi. Tatapan matanya tajam dan postur tubuhnya menegang. "Apa kata ibuku kepadamu?"

Hanya itu yang dia katakan sebagai tanggapan? Hanya itu yang dikatakannya, dan bukannya kata tidak, Henley, kau terlihat luar biasa. Aku tidak menjawabnya, merasakan gigiku bergemeletuk ketika aku berusaha keras untuk membuat diriku tetap tenang. Aku harus melepas gaun ini dan tidak akan pernah melihatnya lagi. Kenapa aku begitu sombong? Bagaimana mungkin aku bisa berpikir aku bisa menyamai orang-orang seperti Bennett?

Tepat ketika aku kembali ke ruang ganti, tangan Bennett bergerak melesat dan meraih lengan atasku, menahanku tetap berdiri di sana. Aku memberinya tatapan penuh peringatan dan dia memandangku. "Henley. Apa yang dia katakan?"

"Ini tidak ada hubungannya dengan apa yang dia katakan," aku membentaknya.

"Dia pasti mengatakan sesuatu."

Aku merasakan daguku gemetar dan aku mengeratkan rahangku lebih kencang. "Biarkan aku pergi. Aku perlu berganti pakaian."

"Kenapa kau bertanya itu padaku?"

"Bertanya padamu soal apa? Kalau aku terlihat tidak berharga? Bukankah itu yang kau pikirkan—"

"Tidak!" dia menyela dengan keras.

Aku membeku, kalimatku terputus.

"Tidak pernah sekalipun dalam sedetik pun aku berpikir kau tidak berharga," katanya, tangannya mencengkeramku erat.

"Aku—"

"Itukah sebabnya kau memutuskan untuk datang ke sini hari ini? Untuk membuktikan nilaimu? Untuk ibuku? Untuk aku? Aku sudah berusaha mencari tahunya. Karena itu, kan?"

Aku menelan ludah. "Kenapa kau repot-repot ikut ke sini? Kau kelihatannya lebih suka berada di tempat lain sepanjang waktu."

"Karena aku tahu ada yang salah. Kau tidak akan tiba-tiba memutuskan untuk pergi berbelanja pakaian yang tidak akan pernah kau beli tanpa alasan," jawabnya. "Apakah dia bilang kau tidak berharga?"

"Tidak—"

"Apakah aku membuatmu merasa tidak berharga?" dia bertanya, nada suaranya menurun drastis.

Aku melembutkan wajahku. Tidak mengejutkan dia akan sampai pada kesimpulan itu. "Tidak."

"Kalau begitu, kenapa kau bertanya itu padaku?"

"Maaf," aku meminta maaf untuk apa yang terasa seperti yang keseratus kalinya. "Kau seharusnya memilih orang lain untuk ini. Aku hanya membuatnya sulit. Ini adalah egoku sendiri dan masalahku sendiri. Seharusnya aku tidak membebankannya kepadamu seperti itu." Pada saat ini, aku menyesali semua yang telah terjadi. Aku terlalu keras kepala setelah konfrontasi sebelumnya. Aku harusnya mengambil sedikit waktu untuk menenangkan diriku terlebih dulu. Sekarang aku justru membuat Bennett merasa itu adalah kesalahannya.

Tangannya meluncur ke bawah lenganku dan dia menggunakan pergelangan tanganku untuk menarikku lebih dekat ke arahnya. Wajah kami hanya berjarak beberapa inci dari satu sama lain. "Kau tadi memintaku untuk membuatmu cukup layak untukku. Akulah yang membuatmu berpura-pura menjadi seseorang yang bukan dirimu. Aku yang membuatmu merasa seperti ini. Akulah yang tidak cukup baik untuk orang sepertimu."

Untuk sesaat, aku lupa cara untuk bernapas. Aku menundukkan pandanganku ke lantai. Dia terlalu dekat. Parfumnya beraroma sangat kuat. Tangannya terlalu hangat. "Itu terdengar agak—"

"Henley," katanya tegas.

Perlahan aku mengangkat pandanganku untuk bertemu dengan pandangannya lagi.

"Belas kasih dan kesetiaan lebih berharga daripada kekayaan. Dengan standar-standar ini, kau seberharga dunia ini."

"Bennett..."

"Kumpulkan apa yang akan kau beli," perintahnya, melepaskan lenganku. "Aku akan membayarnya."

"Bennett," aku memanggilnya lagi.

"Ketika kita kembali, aku akan membantumu menemukan sebuah tempat agar kau dapat pindah sesegera mungkin. Jangan khawatir tentang kontrak itu lagi. Aku akan mengakhirinya. Aku yakin kita akan sepakat dengan biaya pembatalan yang disetujui bersama."

Kata-katanya membuatku lengah. Sedemikian rupa hingga ketika aku masih mencoba untuk memahami mereka, dia sudah keluar ruangan. Lalu aku tersadar.

Bennett ingin mengakhiri kontrak?

Aku berkedip-kedip cepat, mencoba memproses apa yang baru saja terjadi. Kontraknya sudah berakhir? Begitu saja? Kenapa Bennett membentakku seperti itu? Aku tidak bisa membiarkan ini berakhir—tidak jika itu karena aku.

Ariana mengintip dari pintu ruang ganti, mulutnya sedikit menganga. "Apakah semuanya baik-baik saja?"

"Iya. Aku hanya seorang idiot, Ariana."

"Kau bukan. Dan kau juga sangat berharga," jawabnya dengan tegas. "Aku tidak bermaksud menguping dan aku tidak tahu apa yang sedang terjadi, tapi tolong jangan berpikir seperti itu. Sungguh menyakitkan mendengarmu mengatakan itu. Aku yakin Bennett merasakan hal yang sama."

"Mungkin inilah yang terbaik. Dia layak mendapatkan seseorang yang lebih layak. Aku sangat kekanak-kanakan."

"Semua orang sedikit kekanak-kanakan, Henley. Terutama ketika itu menyangkut perasaan kita."

Aku tersenyum kecut. "Aku bahkan tidak bisa tahan hanya karena diberi tahu bahwa aku tidak cukup layak untuk seseorang."

"Siapa yang tidak terluka oleh itu?" dia balas menembakku dengan pertanyaannya.

"Tapi—"

Dia menutup pintu ke kamar pas sedikit lebih kasar daripada yang seharusnya. "Henley, apa yang kau lakukan? Kau bukan tipe orang yang suka menyalahkan diri sendiri seperti ini. Kau tidak cukup baik untuk Bennett? Kenapa? Siapa yang bisa memutuskan itu?"

"Ibunya—"

"Tidak mengenalmu," dia menyela. "Buktikan saja padanya bahwa kau cukup layak untuk Bennett. Secara pribadi, aku pikir kau terlalu baik untuknya. Bahkan jika ini hanya sekadar hubungan palsu. Di mana jiwa bersemangatmu?"

Mata cokelatnya menatap mataku, seolah menantangku untuk membalasnya. Aku merasa bahuku menjadi lebih santai. "Kau benar."

"Aku tahu. Sekarang kejar pria itu dan bicarakan ini."

Aku mengangguk. Benar, Bennett adalah prioritas utamaku. Aku tidak boleh membiarkannya berpikir ini adalah kesalahannya. Aku tidak bisa membiarkan kontrak ini berakhir begitu saja. "Terima kasih, Ariana."

Hanya dengan kaus kaki dan pakaian yang kucoba, aku bergegas keluar dari ruang tunggu dan kembali ke ruang utama. Menelusuri dengan cepat seluruh ruangan itu, tetapi tidak melihat tanda-tanda keberadaan Bennett. Sebastian sedang mengobrol dengan pria muda di kasir, punggungnya bersandar pada meja. "Di mana Bennett?" aku bertanya kepadanya.

"Dia baru saja keluar," jawabnya, sedikit mengernyit. "Apa sesuatu terjadi? Dia tampak kesal."

"Semacam itu," kataku dan kemudian menuju ke pintu.

"Permisi!" aku mendengar pegawai toko itu memanggilku. "Kau tidak bisa pergi dengan pakaian itu!"

Aku mengabaikannya dan keluar dari toko. Matahari telah terbenam sepenuhnya dan meninggalkan trotoar yang hanya diterangi oleh lampu jalan yang berpendar dan sedikit bercak cahaya yang keluar dari pertokoan itu. Jalanannya terasa dingin dan aku melangkah dengan sedikit berjinjit-jinjit, melihat sekeliling dengan harapan Bennett masih di dekat sana. Ketika aku tidak dapat menemukan siapa pun, aku memutuskan untuk kembali ke tempat parkiran di mana mobilnya berada. Dia tidak akan pergi, kan? Sebagian dari diriku berpikir dia memiliki cukup alasan untuk meninggalkan kami terdampar di sini, tetapi sebagian besar lagi beralasan dia cukup pintar untuk tidak melakukan itu.

Namun, itu bukan waktu yang tepat untuk mempertanyakan kecerdasan Bennett.

Saat aku sampai di sana, suara keras terdengar dari suatu tempat di sekitar aku. Aku melompat sedikit dan kemudian mengenali suara itu sebagai suara Bennett. Mengitari sudut bagian bangunan, aku menemukannya sedang berdiri di daerah kecil yang tersembunyi di sana. Hampir seluruh tubuhnya tersembunyi bayang-bayang itu dan aku merasa sedikit lega mengetahui aku tidak harus mencari keberadaannya lagi.

"Aku tahu dia ada di sana," katanya dan aku sadar dia sedang melakukan sambungan telepon di ponselnya. "Berikan ponsel itu padanya sekarang."

Dia? Apakah yang dia maksud adalah ibunya? "Bennett!" aku memanggilnya, menutup jarak di antara kami. "Tunggu sebentar."

Dia melirikku, matanya terbelalak. "Jangan sekarang, Henley."

Bahkan dalam situasi seperti ini, aku merasa sedikit jengkel pada nada bicaranya. "Dengan siapa kau berbicara? Ibumu?"

"Henry, aku akan memecatmu jika kau tidak melakukannya," dia mengancam si penerima panggilan telepon itu.

Apa yang dia lakukan? Mencoba memulai pertengkaran dengan ibunya? Hanya karena aku? Aku tidak layak untuk itu. Aku tidak bisa membiarkannya melakukan itu. Sebelum dia sempat bereaksi, aku mengambil ponsel dari tangannya dan menekan tombol untuk menutup sambungannya beberapa kali. "Apa yang sedang kau lakukan?" aku menuntutnya.

"Berikan aku ponselku."

Aku memindahkan ponselnya ke belakangku. "Tidak. Kalau kau memanggil ibumu untuk berteriak padanya tentang situasi ini, aku akan menyimpannya sampai kau tenang."

"Kau seharusnya ingin aku melakukan ini."

"Aku bereaksi berlebihan sebelumnya. Maafkan aku. Aku seharusnya tidak melampiaskannya kepadamu. Aku tidak pernah bermaksud begitu," aku meminta maaf, menundukkan pandanganku. "Tolong maafkan aku."

Dia mengeluarkan suara frustrasinya. "Kau seharusnya tidak menjadi orang yang meminta maaf di sini."

Aku mengerutkan bibirku saat aku menatapnya. "Ya, aku harus. Mendengarmu mengatakan kalau kau tidak cukup baik untukku, mungkin sama menyebalkan seperti halnya saat kau berpikir aku memikirkan hal yang sama tentangmu. Aku tidak ingin kau merasa seperti itu, Bennett."

"Ini salahku untuk—"

"Itu bukan salah siapa-siapa. Ya, ibumu mengejutkanku, tapi aku seharusnya tidak membiarkannya begitu mudah mempengaruhiku. Aku bahkan tidak tahu kenapa dia begitu mudah mempengaruhiku. Aku berpikir aku tidak berharga. Tolong jangan membuat masalah dengannya hanya karena aku. Aku tahu aku cukup hebat, jadi jangan khawatir."

"Jadi dia mengatakan sesuatu?" dia bertanya, mengabaikan usahaku untuk meringankan suasana hati.

Aku menggertakkan gigiku sedikit. Apakah dia hanya mendengar apa yang ingin dia dengar? "Lupakan saja, Bennett. Aku tidak mengejarmu hanya untuk berdebat denganmu."

"Aku tidak bisa membiarkan ini berlalu—"

"Kau bisa dan kau akan," aku memotongnya dengan tegas. "Tidak seharusnya hal remeh ini menimbulkan permasalahan keluarga."

Dia melipat tangan di dadanya. "Cukup berikan aku ponselku dan kembali ke dalam. Kau hampir tidak mengenakan apa-apa."

Aku berdiri sedikit lebih tegak. "Aku tidak akan memberikannya padamu."

"Henley. Aku tidak merasa nyaman dengan ini. Biarkan aku memperbaikinya."

"Baiklah, hanya itu yang perlu kudengar. Masalahnya terselesaikan. Apakah kau sudah merasa lebih baik?"

Dia menatapku dengan putus asa. "Tidak. Ibuku seharusnya tidak melakukan hal-hal sesukanya terhadap hubunganku dan dia harus tahu itu."

"Kita bahkan tidak benar-benar berkencan," kataku tajam. "Tidak ada gunanya menciptakan masalah atas hubungan palsu ini. Dalam enam bulan ini bahkan tidak akan menjadi masalah. Aku akan pergi dan ibumu tidak perlu khawatir. Tolong jangan katakan apa pun padanya."

Aku menunggu jawabannya, tetapi dia tetap diam, mengepalkan tangannya.

"Ini juga yang kau inginkan, bukan? Ibumu tahu tentang aku sekarang dan aku pikir dia tidak terlalu menyukaiku. Jadi setelah semua ini selesai, dia mungkin akan lebih dari sekadar senang ketika kita putus dan memberimu semua waktu yang kau butuhkan untuk menemukan seseorang yang benar-benar kau cintai," aku mencoba mengatakannya, mencoba untuk meletakkan nada ceria pada suaraku. "Ini benar-benar berjalan dengan sempurna, kan?"

Ekspresinya tidak berubah. "Aku bilang aku akan membatalkan kontrak."

Hatiku sedikit patah lagi. "Kenapa? Karena aku? Aku tidak menginginkan itu, Bennett."

"Kau tidak ingin kita membatalkan kontraknya?"

"Tidak," kataku kepadanya, menggelengkan kepala. "Aku tidak akan membiarkan ini terjadi lagi. Aku hanya frustrasi. Ingat apa yang aku katakan sebelumnya? Lain kali ibumu melihatku, aku akan memastikan tidak ada yang bisa dia lakukan padaku."

Dia menarik tangan ke rambutnya, mendesah. "Itulah masalahnya, Henley. Aku tidak ingin kau merasa kau harus berpura-pura menjadi seseorang yang bukan dirimu lagi."

"Itu bagian dari kontrak kita," aku menjelaskannya. "Kau yang menulisnya sendiri."

"Itu—"

"Dan aku tahu apa yang akan kulakukan ketika aku menyetujui ini."

"Tidak, kau tidak tahu. Itulah sebabnya kau pikir aku membuatmu merasa tidak berharga," katanya.

"Kau tidak membuatku merasa seperti itu," aku membentaknya, frustrasi. "Jangan bawa itu lagi. Kau membuatku kesal dengan mendengarmu mengatakan itu. Aku tidak merasa seperti itu. Aku bukan orang yang tidak berharga, Bennett. Aku tidak peduli apa kata ibumu, jadi lupakanlah."

Dia menyipitkan matanya. "Kau marah pada hal yang salah di sini. Kenapa kau berdebat denganku tentang ini? Kita harusnya membatalkan kontrak itu dan hanya—"

"Aku yang memiliki masalah di sini dan sekarang semuanya sudah selesai. Kuberitahu kau sekarang, aku tidak ingin mengakhiri kontrak itu, jadi berhentilah berusaha meyakinkanku untuk mengakhirinya!" suaraku bergema di gang kecil itu dan aku menutup mulut, menyadari bahwa aku telah terlalu terbawa emosi. Aku gelisah untuk sesaat, menatap ke mana saja kecuali wajah Bennett. Ini bukanlah hal yang aku inginkan terjadi. Kenapa aku harus bertengkar dengannya? Aku benar-benar tidak memahami seluruh aspek kedewasaan tentang diriku sendiri di sini.

"Kenapa kau tidak ingin membatalkannya?"

"Kenapa?" aku mengulangi pertanyaannya, mengunci tatapannya. Dia balik mengunci tatapanku selama beberapa detik, matanya yang gelap menelisik mataku dan aku mulai kehilangan akal. "Karena... karena..."

"Uang?"

"Bukan," kataku segera. Ini bukan karena uangnya. Dan aku tidak ingin Bennett berpikir bahwa itulah satu-satunya alasan kenapa aku ingin membantunya.

"Lalu kenapa?"

Alasan apa yang dapat kuberikan kepadanya? Apa alasan yang membuatku ingin melanjutkan kontraknya dengan sangat buruk? Apakah itu semata-mata karena aku terlalu keras kepala untuk tidak membiarkan ibunya merasa menang karena telah mempengaruhiku? Mungkin yang terbaik adalah membiarkan wanita itu dan Bennett pergi. Pria ini membuatku terus merasa kesal dan kadang-kadang rasanya begitu sulit untuk memahaminya. Tetapi aku mendapati diriku tidak ingin semua ini berakhir. Aku tidak ingin membiarkan Bennett pergi. Di seluruh dunia ini jumlah orang yang aku sayangi bisa kuhitung dengan satu tangan dan Bennett telah menjadi salah satu dari itu. "Aku..." aku berusaha mengatakannya, tetapi mulutku terasa kering.

"Kau apa, Henley? Kau sebaiknya memberikanku alasan yang bagus. Kau sangat anti dengan rencana ini pada awalnya. Kenapa sekarang kau ingin membantuku?"

Katakan padanya, Henley!

"Aku tidak suka menarik kembali kata-kataku," aku mengoceh. "Aku bilang aku akan membantumu dan aku akan melakukannya. Sesuatu seperti ini tidak akan menghentikanku. Ayo kita lupakan hal ini pernah terjadi dan kembali ke keadaan kita sebelumnya. Kita sudah menjadi teman yang cukup baik, kan? Aku ingin memamerkan hubungan kita ke depan wajah ibumu. Hahahaha!"

Aku terus tertawa selama beberapa detik dan kemudian membekap mulutku dengan tangan untuk membuatnya berhenti ketika melihat bibir Bennett bahkan tidak bergerak. Kau seorang psiko, aku memarahi diriku sendiri. Pipiku menjadi panas dan aku ingin mendorong wajahku ke dinding bata yang tepat berdiri kokoh di sebelah kami.

Apa yang kupikirkan? Aku tidak ingin Bennett pergi? Aku tidak bisa mengatakan itu padanya! Itu akan memberinya gagasan yang salah dan dia pasti akan membatalkan kontraknya. Dia mungkin akan berlari tiga puluh mil ke arah lain karena tidak mungkin Bennett akan mau berakhir dengan seseorang seperti aku. Dia telah mengatakannya dengan sangat jelas sejak awal—kami tidak boleh saling memiliki perasaan. Dan aku tidak memiliki perasaan padanya. Kepada Bennett. Kami hanya berteman.

Aku mengangkat pandanganku ke arahnya dan dia balas menatapku, bibirnya membentuk garis lurus. Apakah dia benar-benar tidak mau mengalah? Mungkin aku harus menggunakan taktik yang kotor. "Dan lagi... aku tidak punya tempat untuk tinggal."

Itu berhasil memancingnya. Posturnya berubah menjadi lebih santai dan dia menghela napas panjang. "Kau benar. Aku mengerti."

"Jadi, kau tidak akan membatalkan kontrak ini?"

Dia mengangguk.

Aku merasakan beban terangkat dari pundakku. "Oke, bagus. Ayo kita anggap semua ini tidak pernah terjadi. Sungguh memalukan. Aku biasanya tidak menginginkan pujian sebegitunya, jadi aku merasa sedikit malu saat ini."

"Pujian?" tiba-tiba kalimat itu sepertinya menyadarkannya. Matanya melebar. "Tunggu. Kau hanya ingin pujian dariku?"

Membuatnya akhirnya memahami itu membuatku agak ngeri. "Kau tidak tahu?"

Wajahnya memerah. "Tidak—di samping itu, aku akan menambahkan satu persyaratan pada perjanjian kita."

"Apa itu?"

"Mulai sekarang tidak ada interaksi di antara kau dan ibuku kecuali aku ada di sana."

Aku mengedikkan bahu. "Aku tidak keberatan. Maksudku, aku bahkan tidak berencana untuk menemuinya waktu itu."

"Pergilah masuk ke dalam dan berganti pakaian. Aku tidak ingin orang di toko ini berpikir kalau kau mencuri dari mereka."

Apakah itu usahanya untuk membuat suasananya menjadi lebih ringan? Seperti ibunya maka begitulah putra, huh. "Kau ikut denganku, kan?"

"Sebentar lagi."

Aku memandangnya dengan waspada. "Haruskah aku memegangi ponselmu kalau begitu?"

Dia mengerutkan kening saat dia mengulurkan tangannya. "Tidak, aku akan membawanya. Aku tidak akan menelpon ibuku. Aku tidak akan mengambil risiko jabatanku hanya untuk hubungan palsu ini."

"Kau memang seharusnya tidak mempertaruhkannya," aku setuju, tetapi aku tidak bisa menahan perasaan sedikit kecewa mendengar kata-katanya. Ini tidak masuk akal, karena akulah yang mengatakan kepadanya untuk tidak mempermasalahkan hal itu. Aku tidak mengerti emosiku.

Kami berdua berdiri di sana sejenak, berbagi keheningan di antara kami. Aku menggigit bibir bawahku, tidak yakin untuk sesaat. Apakah kami sungguh baik-baik saja sekarang? Ini harusnya bukan masalah besar, tetapi aku merasa Bennett akan mengambil tindakan yang lebih jauh daripada seharusnya. Akhirnya aku memutuskan untuk berpaling darinya. Jika dia mengatakan semuanya akan baik-baik saja sekarang, aku akan memercayainya.

"Henley," dia memanggilku.

Aku berhenti, menoleh ke arahnya. "Apa?"

"Kau harus mengambil gaun itu. Maaf aku tidak mengatakan ini lebih cepat, tapi gaun itu sangat cocok untukmu."

Aku tersenyum. "Terima kasih, Bennett."

Dia tidak balas tersenyum.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro