Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 14

Henley

"Bagaimana kalau yang ini?" Sebastian bertanya, menggeser ponselnya di atas meja ke arahku. "Tiga kamar tidur, dua kamar mandi. Hanya dua ribu dolar per bulan."

Aku melayangkan tatapan paling datar yang bisa kulakukan dan dia tertawa sebagai balasannya. Kami saat ini tengah duduk di dapur Bennett, mencari apartemen melalui iklan-iklan online. Setelah menjelaskan tentang apa yang terjadi di malam sebelumnya, Sebastian menawarkan bantuannya untuk menemukan tempat tinggal baru untukku. Dia juga membuatkan kami seteko kopi dan mencuri beberapa foto terbaik dari album Bennett supaya kami bisa memperbanyaknya. Aku menyeringai sedikit ke arah ponselku. Di dalamnya ada lebih dari cukup foto-foto memalukan yang bisa digunakan untuk mengancam. Termasuk satu foto kecil Bennett yang telanjang, dengan wajah ke bawah dan bokong ke atas.

"Dude, aku bahkan tidak menghasilkan uang dua ribu dolar per bulan," aku menghela napas, mendorong ponsel Sebastian kembali kepadanya. "Ayo cari tempat yang berada di bawah seribu dolar oke?"

"Kau tidak akan menemukan tempat yang bagus dengan harga di bawah seribu."

"Haruskah kita mengklarifikasi definisi kita tentang bagus?"

Dia terlihat sedikit tersinggung dengan jawabanku dan merapatkan bibirnya. "Aku tidak mengatakan kau harus mencari rumah bertingkat. Yang kukatakan adalah kau tidak boleh merasa puas dengan sebuah tempat tinggal hanya berdasarkan harga yang murah. Lihat apartemen yang kau miliki sekarang. Aku bukannya ingin tidak sopan ketika mengatakan carilah tempat yang agak sedikit mahal; aku hanya berkata jujur karena apa pun yang tidak mendekati rusak akan dekat dengan kata mewah. Khususnya di sekitar sini."

Aku tahu dia benar, tapi itu membuat frustasi. Mewah hampir mendekati rata-rata apartemen layak. Dengan uang dari Bennett itu tidak mustahil, tapi gagasan itu agak menakutkan. Bagaimana jika sesuatu yang tidak beres terjadi dan kontrak berakhir? Itu nominal uang yang cukup banyak untuk dikeluarkan setiap bulan.

"Menurut data statistik, satu pertiga dari pendapatanmu haruslah menjadi harga yang kau bayarkan untuk tempat tinggal," Sebastian melanjutkan, duduk lebih tegak di kursinya sehingga dia bisa melepaskan vest jasnya. Dia kemudian menggulung lengan kemejanya hingga ke siku sementara aku memperhatikan dengan terkesima. Dia adalah pria yang sangat tampan.

Dia mendapatiku menatapnya, dan dengan cepat aku mengalihkan pandangan. "I-Itu cukup masuk akal. Sisanya untuk makanan atau bensin atau apa pun. Bagaimana kau bisa tahu? Kau menyewa?"

"Aku punya rumah."

Tentu saja dia punya.

"Namun, baru-baru ini aku membeli beberapa properti dan berencana untuk menyewakannya," dia melanjutkan, kembali mengarahkan perhatiannya ke ponselnya. "Itu investasi yang bagus, tapi aku ingin membuat harganya terjangkau bagi semua kelas jadi aku harus tahu apa aturan umumnya."

"Ada berapa tempat yang kau miliki?"

"Aku punya sepuluh."

Rahangku hampir terjatuh. Sepuluh? Dia pada dasarnya mengatakan kalau dia memiliki sepuluh rumah? Ditambah miliknya sendiri? Aku membiarkan kepalaku mendarat ke atas meja yang dingin, mendadak merasa lelah. Oh betapa beda cara hidup orang-orang antar kelas.

Sebastian mengulurkan tangan dan meletakkannya di atas pundakku. "Maaf. Aku terdengar seperti sombong."

"Tidak apa-apa," aku bergumam, teredam olah meja.

"Aku menemukan beberapa rumah yang bagus di dekat sini yang berada di bawah harga pasar."

Aku ingin menghantukkan kepalaku ke meja. "Aku tidak bisa membeli rumah."

"Bukan untukmu," dia mengklarifikasi. "Aku bermaksud untuk membeli beberapa tempat di Poughkeepsie dan mungkin di Arlington."

"Well, aku senang dapat membantu," kataku, mengacungkan jempol.

Dia terkekeh. "Jika mereka akhirnya menguntungkan, aku akan memberitahumu. Aku tidak keberatan memberikanmu potongan kesepakatan."

Telingaku berdiri dan dengan perlahan aku mengangkat kepalaku. "Kesepakatan?"

"Selama kau mengatakan kepada semua orang betapa mengagumkannya aku sebagai pemberi sewa."

"Kau sungguh berpikir akan dapat membeli rumah di Poughkeepsie?" tanyaku, sedikit lebih bersemangat sekarang. Sebastian tampaknya dapat dipercaya. Tidak seperti pemberi sewaku yang sebelumnya. Mungkin jika dia menyewakan tempat untukku, itu tidak akan seburuk itu.

Dia mengangguk. "Aku akan tetap mencoba mencari tempat tinggal sementara. Mungkin tempat yang disewakan per bulan."

"Oke," aku setuju dengan cepat. "Apa yang kau lakukan, ngomong-ngomong? Kau tahu, untuk bisa dapat membeli ini."

"Aku bekerja untuk keluargaku," dia menjelaskan, senyumnya memudar sedikit. "Untuk sekarang, setidaknya. Aku berencana untuk meninggalkan mereka ketika aku punya pendapatan yang stabil dari propertiku."

"Kau tidak ingin menghasilkan banyak uang dengan mereka?"

"Aku mau," katanya dengan pelan, "tapi dengan cara yang aku setujui. Ayahku menjalankan kantor firma hukum. Dia mengambil klien yang dapat menawarkannya uang paling banyak—tidak peduli apakah klien itu harus dibela atau tidak."

"Apa maksudmu?"

"Ayahku adalah pengacara yang hebat," ucapnya. "Dia memenangkan 90% dari kasusnya. Tahun lalu dia membela klien yang telah mencabuli beberapa wanita dan berhasil membersihkan namanya karena kekurangan bukti. Aku tahu sudah jadi tugas pengacara untuk membela klien tidak peduli apa dia benar atau salah tapi dia juga punya hak untuk menolak kasus. Dia tahu betapa berpengaruhnya dia. Tapi apa yang dia inginkan hanyalah uang."

Aku mengerutkan wajahku dengan jijik. "Menjijikkan."

Sebastian mengangguk. "Aku tidak akan bisa menjadi pengacara yang dia inginkan. Ayahku masih belum tahu kalau aku tidak berencana untuk menjalankan kantornya."

"Apa ibumu tahu?"

"Tidak. Ibuku bisa terserang panik jika dia tahu." Sebastian menghela napas panjang, bersandar di kursinya sedikit. "Dia berharap jika aku tidak mengikuti jejak ayahku, maka aku akan mengikutinya."

"Apa yang ibumu kerjakan?"

"Dia mengelola resor. Pernah dengar tentang Paradiso? Itu punya dia. Ibuku dan ibu Bennett belajar di Harvard bersama dan keduanya akhirnya mengelola hotel. Mereka pikir Bennett dan aku suatu hari nanti akan menjadi generasi selanjutnya."

Aku sedikit tersenyum pada informasi ini. "Apakah karena ini kalian berdua menjadi teman?"

"Itu dan rasa kesal yang sama terhadap keluarga kami," Sebastian bergurau, tersenyum lebar. "Entah bagaimana kami juga berhasil mengatur semua kelas kami bersama di kampus. Terkadang kami mencontek ujian masing-masing."

"Di mana kampus kalian berdua?"

"Di sini di New York, Columbia University."

Aku mencerna informasi itu dengan perlahan. Itu adalah sekolah Ivy League. Jadi selain kaya dan tampan, Bennett juga pintar? Apa-apaan dia itu? Protagonis dari sebuah novel roman? Entah mengapa itu membuatku jengkel. "Begitu."

"Bennett adalah laki-laki yang baik," ucap Sebastian, nada bicaranya menghangat. "Aku tahu memang agak sedikit sulit dilihat—mengingat bagaimana dia pernah bicara padamu—tapi dia punya hati yang baik. Aku tidak mencoba memberi alasan atas sifat tidak acuhnya, tapi kurasa dia butuh waktu untuk mempelajari hal-hal berbeda di dunia ini. Dia cukup terlindungi selama ini."

"Aku tidak berpikir dia orang yang jahat," jawabku. Aku juga tidak berpikir dia malaikat kecil yang murni, tapi akhir-akhir ini aku mulai melihat sisi baiknya. Atau sebangsanya. "Lagipula, kenapa kau bicara baik tentang dia?"

Sebastian berhenti sejenak, terlihat sedikit malu. "Well, Bennett hanya punya satu teman sejati di dunia ini dan itu adalah aku dan jika memungkinkan aku ingin menambah jumlahnya menjadi dua. Aku merasa kau punya kesabaran yang dibutuhkan untuk berteman dengannya, ha ha."

"Apa Bennett sungguh tidak punya teman?" tanyaku. Aku perlahan menyadari kalau aku tidak tahu apa pun soal Bennett. Dan bukannya aku berharap bisa tahu segala hal setelah saling mengenal selama lebih dari seminggu, tapi pada dasarnya aku tidak tahu apa-apa tentang hidupnya. Aku tahu dia punya ibu dan mungkin seorang saudara laki-laki yang sudah meninggal atau hilang dan dia akan mewarisi hotel Calloway. Hanya itu.

"Jika kau menganggap orang-orang yang suka memanfaatkan uangnya sebagai teman, maka dia punya banyak," Sebastian berkomentar begitu saja.

"Yikes."

"Bennett juga percaya saja pada orang-orang seperti itu setiap saat. Kurasa itulah kenapa dia tidak memahamimu. Kau tidak memohon kepadanya untuk menghabiskan uang untukmu."

Aku mengernyitkan wajahku. "Maksudku. Apa kebanyakan orang seperti itu? Itu hal yang memalukan."

"Kau akan terkejut," kata Sebastian bersungguh-sungguh. "Aku yakin semua orang pernah menjalani hubungan di mana mereka menghabiskan terlalu banyak uang untuk rekan mereka dan rekan mereka terus meminta. Biasanya kau akan sadar berapa banyak uang yang telah kau habiskan untuk seseorang yang tidak tahu berterima kasih. Bennett sepenuhnya buta mengenai hal itu. Dia suka perhatian."

"Huh. aku tidak menyangka."

"Kau cukup sarkastis, bukankah begitu?"

Aku memberikannya senyum malu-malu. "Maaf. Itu terlontar begitu saja. Kakak laki-lakiku juga seperti itu."

"Aku tidak bilang itu adalah hal yang buruk."

Aku menaruh sikuku ke atas meja dan meletakkan dagu ke atas tanganku, menatap ke Sebastian dengan rasa penasaran. "Apa Bennett berkencan dengan banyak gadis?"

Dia mengerucutkan bibirnya ke samping, berpikir. "Tidak juga. Bennett tidak begitu mahir bicara dengan para gadis. Biasanya mereka hanya akan bergelayut padanya sampai mereka bosan karena dia tidak kunjung mengambil langkah selanjutnya terhadap mereka. Hanya satu orang yang pernah dia kencani dengan serius."

"Sungguh? Seperti apa gadis ini?"

Sebastian mencondongkan tubuhnya ke depan sedikit, sebuah senyum lebar terlukis di wajahnya. "Kau ingin tahu?"

Aku mengangguk. Gadis seperti apa yang bisa bertahan dengan Bennett lebih dari beberapa jam?

"Kau harus menanyakan itu kepadanya."

Aku mengerang, lesu. "Kenapa kau tidak mengatakannya saja kepadaku?"

"Kenapa kau ingin tahu? Kau suka dia?"

"Tidak!" aku langsung membantah. Aku? Suka Bennett? Sungguh gagasan yang menggelikan. Tentu saja, dia memang tergolong manis, tapi—tidak! Dia bahkan tidak manis. "Aku tidak suka padanya. Maksudku aku memang menyukainya, sebagai teman. Seperti itu. Sebagai teman," kataku lagi dengan tegas.

Sebastian mengangkat alisnya. "Begitu."

Aku tidak suka ekspresi wajahnya. Mataku menyipit. "Apa? Untuk apa tatapan itu?"

"Bukan apa-apa."

"Itu bukan tatapan yang menyatakan bukan apa-apa."

Dia mengangkat tangannya. "Sungguh bukan apa-apa. Kenapa kau mengira ada maksud tertentu?"

"Apa kau sedang menggunakan trik pengacara yang aneh kepadaku sekarang?"

Ini membuatnya terkekeh. "Tidak. Aku hanya—"

Dia berhenti bicara karena suara bantingan pintu. Aku terlonjak, menolehkan kepalaku ke arah balkon. Apa Bennett sudah pulang? Apa dia biasanya membanting pintu di rumahnya? Aku mendengar suara ketukan heels dan sepengetahuanku, Bennett tidak menggunakan heels saat pergi kerja. Sebastian dan aku saling bertukar tatapan bingung sebelum aku kembali ke balkon di mana seorang wanita yang lebih tua muncul, tangannya terlipat di depan dada, menatap ke arah kami. Hanya butuh tiga detik untuk sadar kalau itu adalah ibu Bennett. Melihat dari perilakunya.

"Henley, berpura-puralah denganku," Sebastian bergumam.

"Ini sungguh kacau," aku berbisik kepadanya, sepenuhnya membeku. Kenapa ibu Bennett ada di sini? Kenapa Bennett tidak menelpon untuk memperingatkan kami? Apa yang harus dilakukan?

"Halo Mrs. Calloway!" Sebastian menyapa, berdiri di balik meja. Dia menendang kakiku dan aku paham lalu segera melakukan hal yang sama.

Dia tidak merespon saat dia berjalan menuruni tangga dan menuju ke ruang keluarga, matanya terus tertuju kepadaku. Seluruh penampilannya meneriakkan kekayaan—dari heels setinggi tiga inci hingga rok pensil hitamnya dan blazer merah terang. Bibirnya berwarna merah gelap, dilengkapi dengan kulit zaitunnya. Rambutnya panjang, hitam, dan ikal sempurna, tidak ada sehelai pun yang berada di luar tataan. Walaupun aku merasa terintimidasi olehnya, aku tidak bisa berhenti memikirkan betapa cantiknya dia.

Dia berhenti di depanku, mata emeraldnya memberi celah. Bennett sudah pasti mendapatkan mata ibunya. Hanya saja tanpa tatapan predator yang siap untuk menghabisi mangsanya. "Kau."

Aku menegakkan punggung, melakukan usaha terbaikku untuk menjaga kontak mata. "H—halo."

"Siapa kau?"

Aku melirik ke arah Sebastian yang berdehem. "Mrs. Calloway, ini Henley, uh..." dia menyeret kalimatnya, meringis sedikit. Aku tersadar kalau dia belum mengetahui nama belakangku. Untungnya, mata Mrs. Calloway masih tertuju padaku dan tampaknya tidak menyadari keraguan Sebastian.

"Henley Linden," jawabku, mengulurkan tangan.

Dia tidak menjabatnya. Dengan canggung aku kembali menurunkan tangan. "Kenapa kau ada di rumah putraku saat dia bekerja?" tanyanya.

Langsung ke intinya, huh. "Uh—"

"Mrs. Calloway, kau tidak bisa langsung mengintrogasi seseorang saat baru bertemu dengannya," ujar Sebastian.

Dia menoleh ke arah Sebastian dan meletakkan tangannya ke pinggang. "Mr. James, apa kau di sini karena kau lari lagi dari ibumu? Kapan kau akan mulai berhenti membuatnya kecewa?"

Mulutku membuka karena terkejut dan langsung ingin membela tapi Sebastian menggelengkan kepalanya, membuatku terdiam. Aku menggigit lidahku, kulitku terasa gatal. Ini ibu Bennett? Tidak heran Bennett tak paham kenapa aku tersinggung dengan kata-katanya. Dia pikir itu normal.

"Ha ha, aku sebenarnya berada di sini untuk menemani Henley," kata Sebastian dengan ringan.

"Bennett tidak pernah membiarkan seseorang tinggal. Kenapa kau masih berada di sini?" Mrs. Calloway bertanya, wajahnya-tegas.

"Itu karena, um." Damnit Henley, katakan sesuatu. Tapi apa yang harus kukatakan? Haruskan aku berbohong langsung di depan wajahnya? Dan lagi, apa yang akan kukatakan kepadanya? Bennett dan aku belum membicarakan soal ini! Seberapa jauh aku harus berbohong? Tidak mungkin aku berpura-pura menjadi seseorang seperti dia.

Sebastian menghela napas dengan keras, berjalan mendekat dan meletakkan satu tangannya ke balik pundakku. Sentuhannya terasa menenangkan dan ketegangan meninggalkan tubuhku. "Kau membuatnya takut. Inilah kenapa Bennett tidak bisa mempertahankan kekasihnya."

"Kekasih?" Mrs. Calloway mengulangi. Kemudian matanya melebar sedikit. "Kau adalah kekasih Bennett?" matanya memperhatikan tubuhku dan mendadak aku teringat kalau sedang mengenakan kaos Bennett dan celana jeans usang. Sial, sial, sial. Bukankah Bennett pernah bilang kalau ibunya bisa menyadari status sosialku dari pakaian yang kukenakan?

"Aku tidak pernah mendengar soal dirimu. Siapa yang mengenalkanmu padanya?"

"Itu adalah aku," Sebastian menjawab sebelum aku. Aku bersyukur dia ada di sini denganku. Berbohong saat berada di bawah tekanan bukanlah keahlian terbaikku. Khususnya ketika aku harus berbohong soal diriku sendiri untuk membuatnya menjadi lebih baik dari yang seharusnya.

Dia memberikan Sebastian tatapan marah. "Kenapa? Aku sudah punya daftar kandidat untuk Bennett temui."

"Keluarga Henley juga tengah mencari pasangan yang sesuai, jadi pada Bennett aku menyarankan dia. Keluarga Henley dan keluargaku sudah lama saling kenal."

"Bagaimana bisa kau tidak pernah menyebutkan soal dia sebelumnya?"

"Dia baru saja kembali dari Prancis setelah tinggal di sana selama beberapa tahun," dia berbohong dengan mulus. Dang, dia hebat. Sudah pasti karena jiwa pengacara di dalam dirinya. Tapi tidak bisakah dia memilih negara yang menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa utama mereka?

Mrs. Calloway menatapku penuh harap. "Prancis, katamu? Apa kau belajar di sana?"

"Uh, oui," aku menjawab dan meringis dalam hati. Itu terdengar sangat payah.

"Apa yang kau pelajari?"

"Bisnis?"

Sebastian melotot ke arahku karena nada tidak yakin yang meluncur. "Keluarganya punya rantai perhotelan di seluruh Prancis. Dia adalah penerus selanjutnya jadi dia kembali untuk menjalin hubungan dengan U.S dan aku pikir akan jadi ide yang baik jika mereka berdua bertemu. Mereka langsung saling tertarik."

Tatapan terkesan melintas di wajah Mrs. Calloway dan dia menilaiku sekali lagi, kali ini dengan lebih berminat. "Kau tidak mengatakannya? Mungkin hotel yang pernah aku singgahi saat berada di sana?"

Oh, man. Kenapa aku mengambil kelas Bahasa Spanyol di SMA? Aku tidak tahu apa pun tentang Perancis! Nama apa yang harus kuberikan pada hotelnya? Sebuah nama dalam bahasa Prancis? "Mungkin," kataku akhirnya. "Kami sedang naik peringkat menjadi hotel terbaik di Prancis, tapi kami masih berkembang. Mungkin kau pernah mendengar tentang Fleur Hotels?"

Dia memikirkannya untuk sesaat, memiringkan sedikit kepalanya ke samping. "Mmm, mungkin. Sudah dua tahun sejak terakhir kali aku ke Prancis. Apakah orang tuamu datang bersamamu? Aku akan senang jika bisa bicara dengan mereka."

"Tidak, mereka masih di Prancis," kataku dengan cepat.

Bibirnya mencebik sedikit. "Begitu. Tetap saja, tidak pantas bagi Bennett untuk tidak memperkenalkan ibunya kepada seseorang yang ingin dia kencani. Atau kau yang tidak memperkenalkan diri padaku dengan benar."

Ingin dikencani? Apa dia melewatkan bagian soal aku yang sudah menjadi kekasih Bennett?

"Aku tidak akan mengakuimu sebagai kekasihnya sampai aku bertemu dengan orang tuamu dan kau bisa membuktikan seberapa pantas kau masuk ke dalam keluarga kami," dia melanjutkan seolah dapat membaca pikiranku. "Bisnis kami perlu terus tumbuh dan berkembang. Bennett harus bersama seseorang yang dapat membantu kami mencapai tujuan itu. Aku mungkin telah memberikan Bennett sedikit kelonggaran dalam berkencan, tapi jangan berpikir kalau semuanya sudah pasti. Aku mengatakan ini kepadamu supaya kau tidak patah hati. Butuh banyak hal untuk menjadi seorang Calloway. Beberapa orang tidak pantas untuk itu."

Dia mengakhiri kalimatnya seolah mencoba untuk terdengar baik, tapi sama sekali tidak terdengar seperti itu. Itu terdengar seperti ancaman. "Bagaimana jika ini apa yang Bennett inginkan?" aku bertanya dan Sebastian menggelengkan kepalanya dengan kuat dan memberiku sinyal x.

Matanya mengeras dan bibirnya membentuk garis lurus. "Bennett paham bisnis lebih utama. Tidak peduli seberapa besar rasa kepeduliannya terhadapmu, aku bisa membuatnya melepaskanmu dengan segera. Ada begitu banyak wajah yang cantik di luar sana. Jadi jangan merasa unggul, Hadley."

"Henley."

"Mm," dia merespons dan aku bisa merasakan rahangku berkedut. "Apa tidak ada yang mengajarkanmu untuk mengeringkan rambut dengan benar?"

Aku menatap ke arah rambutku yang basah dan meringis dalam hati

"Apa kau lupa cara merawat penampilanmu setelah datang ke Amerika? Atau kau memang secara umum terlihat seperti seseorang yang baru datang dari daerah kumuh?"

Aku bisa merasakan bibirku melengkung.

Sebastian meletakkan satu tangannya ke pundakku dan meremasnya. "Baiklah, baiklah. Ini hari libur, jadi maafkan penampilannya. Aku akan membantu mengatur pertemuan dengan orangtuanya. Di samping topik ini, ada lagi alasan kau datang ke sini, Mrs. Calloway?"

"Hanya ingin memastikan barang-barang putraku masih di sini."

Aku bergerak untuk berdiri, tapi Sebastian menahanku. "Hahaha, gurauan yang bagus."

Dia tersenyum, tapi lebih terlihat seperti mencemooh. "Aku menghargai kalau kau dan putraku adalah orang dewasa, tapi dia punya reputasi yang harus dijaga. Tolong berperilaku dengan layak." Untuk memperkuat poinnya pandangannya tertuju ke kaosku. Dia pasti tahu kalau ini milik Bennett.

"Jangan khawatir. Kami selalu melakukannya di kamar tidur," ucapku dengan manis, tersenyum lebar. "Mungkin sekali di dapur. Kami akan memastikan untuk menutup tirainya."

Ekspresi mencela sangat kentara di wajahnya hingga membuat Sebastian menancapkan kukunya ke kulitku. Setelah beberapa saat kami berdua saling menatap, dia mengalihkan tatapannya dariku. "Dia perlu memperbaiki sikapnya sebelum bertemu lagi denganku."

"Jangan pedulikan dia. Dia jadi sedikit pemarah saat lapar. Benarkan?" ucap Sebastian, menekankan kalimat terakhirnya dengan cubitan di bahuku.

Aku memilih untuk tetap diam dan akhirnya Mrs. Calloway mulai berjalan pergi. Kami mendengarkan suara ketukan heels yang dia pakai menaiki tangga dan menyusuri koridor hingga mereka menghilang. Sebastian menghela napas panjang dan aku menenangkan diri... lalu perasaan itu digantikan dengan takut.

"Well. Tadi itu seharusnya bisa berjalan baik."

"Celakalah aku," bisikku dengan mata melebar. Rambut yang terurai di dadaku terasa menggelitik tiap kali aku menarik napas. Kenapa aku tidak bisa merawat rambutku dengan benar?

"Tidak apa-apa Henley. Lain kali jika kau bertemu dengannya cobalah meminta maaf. Tenanglah."

Aku melarikan tangan ke rambutku dengan kasar, menarik napas dalam. "Bennett akan membunuhku. Ini pekerjaanku. Aku mengacaukannya. Dia akan menendangku secepatnya. Ah, matilah aku. Aku sungguh mati. Aku akan menjadi gelandangan dan mati."

"Tenanglah," dia mengulangi kalimatnya, memindahkan tangannya ke kepalaku dan memperbaiki rambutku.

Aku menengadah ke arahnya. "Kenapa Perancis?"

"Kenapa Fleur?"

"Dia adalah tokoh di Harry Potter."

Sebastian mendengus lalu terbatuk. "Sungguh?"

"Sungguh. Aku mengacaukannya, benarkan?"

"Well..."

Mengerang, aku kembali meraih koran dan membukanya lagi, kali ini mencari pekerjaan. Aku perlu menemukannya karena aku yakin sebentar lagi akan menerima telepon dari Bennett yang mengatakan kalau aku dipecat.

Aku sungguh tau caranya mengacaukan sesuatu.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro