Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 13

Henley

Bersikeras tidur di sofa Bennett tampak seperti gagasan yang sempurna di malam sebelumnya, mengingat bagaimana aku hanyalah seseorang yang sedang menumpang di rumahnya saat ini, tetapi kemudian pada pukul enam pagi aku memutuskan bahwa mungkin itu adalah gagasan terburukku. Aku merasa seolah aku belum tidur sama sekali. Bantalnya tidak nyaman dan tubuhku terlalu panjang sehingga aku harus meringkuk untuk menjaga kakiku agar tidak menggantung di lengan sofa. Aku akhirnya memilih untuk bangun supaya tidak perlu lagi berusaha merasa nyaman.

Tepat saat aku bergerak, cahaya dari lorong di atasku menyala. Aku menoleh ke arah balkon dan melihat Bennett tersandung di tangga, kepalanya tertunduk. Dia mengenakan setelan biru tua dan rambutnya basah, sepertinya baru saja keluar dari kamar mandi. Ketika dia sampai di sofa, dia sepertinya memperhatikanku dan aku membeku dengan mataku yang setengah tertutup, berharap dia tidak akan menyadari kalau aku sudah bangun. Setelah satu menit, dia mulai bergerak lagi, kali ini lebih lambat, seolah dia berusaha untuk tidak membangunkanku.

Namun, itu hancur ketika ponselnya mulai berdering. Dia cepat-cepat mencari sakunya dan mengeluarkan ponselnya, mencoba meredam bunyinya dengan tangannya. "Ini masih pukul 6," jawabnya pada penelepon itu dengan bisikan panik.

Aku berbaring dan menguap dengan keras, memberinya isyarat bahwa aku sudah bangun. Aku ingin tahu apakah dia harus segera pergi. Kenapa pula dia sudah bangun dan berpakaian? Apakah aku harus pergi juga? Aku mendorong diriku bangun ke posisi duduk, menjaga selimut tetap melilitku.

"Aku akan ke sana secepatnya, aku harus pergi," kata Bennett setengah mengantuk kepada peneleponnya dan kemudian menjauhkan ponselnya dari telinga. Setelah beberapa saat dia akhirnya berbalik menghadapku, sambil menggaruk alisnya. "Maaf. Aku tidak bermaksud membangunkanmu."

"Aku baik-baik saja," kataku padanya. Sepertinya dialah yang lebih menyesal harus bangun pagi ini daripada aku. Aku dapat menduga kalau dia bukanlah tipe orang yang suka bangun lebih awal.

Ada keheningan sesaat dan dia menggeser tubuhnya. "Apakah tidurmu oke?" dia bertanya.

Apa dia benar-benar berpikir aku sudah selesai dengan tidurku? Ini masih pukul enam pagi dan aku akan cuti kerja hari ini. Jika aku tidak harus meninggalkan rumah ini, aku akan kembali tidur. "Apakah kau akan pergi?" aku justru meresponsnya.

Dia sedikit mengernyit. "Ada masalah dengan salah satu resor yang sedang kami kerjakan, jadi aku harus memeriksanya."

"Apakah kau akan mengantarku ke apartemenku?"

"Tidak. Kau bisa tetap di sini," katanya kepadaku, lalu saat melihat dasinya miring dan dia langsung menyesuaikannya. "Aku tidak keberatan. Aku harap aku bisa kembali lebih cepat nanti."

Aku menggigit bibir bawahku sedikit. Apakah itu wajar jika aku tetap tinggal di rumahnya sendirian? Rasanya bahkan sudah cukup aneh walau dia ada di sini, bagaimana rasanya jika aku sendirian di sini? "Apakah kau yakin?"

"Kau tidak akan mencuri apa pun, kan?"

"Tidak!"

"Kalau begitu aku percaya untuk meninggalkanmu di sini," katanya, menguap lagi. "Kau bisa mandi lagi, jika mau."

Aku harus mengakui, bahwa Jacuzzi miliknyalah yang membuatku akhirnya sepakat. "Baiklah."

Ponselnya berdenting, menandakan sebuah pesan teks dan dia merengut sedikit. "Ugh," gumamnya dan pergi ke dapur.

Aku mengikutinya dengan gerak tatapanku, seraya menarik selimut hingga ke daguku. Mungkin ketika dia pergi aku bisa menggunakan tempat tidurnya daripada sofa ini... aku langsung menggelengkan kepala, melempar tubuhku kembali ke posisi berbaring. Itu akan lebih aneh lagi. Aku bisa bertahan dengan sofanya. Setidaknya sampai aku menemukan tempat untuk tinggal lagi.

"Jangan ragu untuk menggunakan apa pun saat aku pergi," kata Bennett ketika dia melewatiku lagi, kali ini dengan botol air di tangannya. "Aku akan menguncinya, jadi jangan biarkan siapa pun masuk."

Aku mengangguk, merasa malu.

Dia menatapku sejenak dan kemudian berdehem. "Baiklah. Sampai jumpa."

"Sampai jumpa," gumamku dan dia mengangguk lalu kembali berjalan ke arah tangga. Aku berusaha menyamankan diriku dan memejamkan mata. Bennett kini sangat berbeda dibandingkan dengan dirinya sendiri ketika aku pertama kali bertemu dengannya. Aku sungguh bertanya-tanya apakah semua ini karena kejadian di malam saat aku membentaknya. Aku menekan bantal ke wajahku dan mengerang. Entah bagaimanapun aku memikirkannya, rasanya itu sangat memalukan. Bagaimana mungkin aku mabuk di depan orang asing seperti itu?

Pada akhirnya aku kembali tertidur dan aku baru bangun lagi sekitar pukul sepuluh. Rumah itu sunyi dan matahari bersinar menembus dinding kaca, menerangi seluruh penjuru ruangan. Di balik tembok itu aku bisa melihat danau, berkilau di bawah sinar matahari pagi. Pemandangan itu indah dan aku mengerti mengapa Bennett mendesainnya seperti itu.

Setelah memaksakan diri bangkir dari sofa, aku memilih untuk langsung menuju Jacuzzi. Aku tidak yakin kapan Bennett akan kembali dan aku tidak ingin dia melihatku dalam keadaan tidak seharusnya lagi. Memikirkan hal itu membuat pipiku menghangat dan kali ini aku memastikan untuk mengunci pintu. Untungnya gelembung-gelembung di air ini menutupi tubuhku, tetapi siapa yang tahu apa yang dilihatnya? Bukannya aku malu dengan tubuhku. Ini lebih seperti aku tidak suka ketahuan saat telanjang.

Aku menyelinap ke dalam bathtub dan segera menyalakan jetnya, membiarkan benda itu memijat punggungku. Memikirkan harus tidur di sofa itu lagi membuatku ngeri. Tempat tidurku yang sudah rusak di apartemenku mungkin akan lebih nyaman. Aku harus mulai mencari tempat baru segera. Dua kamar tidur akan jauh lebih mahal daripada apartemenku sekarang, tetapi aku harus memikirkan kakakku yang akan kembali dalam waktu dekat. Masih beberapa bulan lagi, tetapi aku ingin semuanya siap untuknya.

Ponselku tiba-tiba berdering dan aku sedang mempertimbangkan untuk mengabaikannya. Itu mungkin dari polisi semalam, pikirku dalam hati. Sambil mendesah, aku mematikan jetnya dan meluncur ke tepi bathtub, lalu mengeringkan tanganku dengan handuk sebelum meraih ponselku di meja konter. Ketika aku melihat identitas penelepon—aku tergelincir, untungnya aku masih berhasil menjaga tanganku yang sedang menggenggam ponsel itu tetap di atas permukaan air.

"H—halo," sapaku, bersandar di tepi bathtub untuk menjaga keseimbangan.

"Henley!"

"Brandon!" aku menjerit, seketika mataku melebar. "Apa kabar? Apakah kau baik-baik saja? Apakah kau membutuhkan sesuatu? Apa yang sedang terjadi?"

Tawa kecil terdengar sebagai jawaban atas pertanyaanku. "Siapa kau ini? Interogator?"

Aku sedikit merengut. "Bukan."

"Aku baik-baik saja, jangan khawatir. Aku sebenarnya memiliki kabar baik."

Aku duduk sedikit lebih tegak di bathtub. "Apa itu?"

"Aku mungkin akan keluar lebih awal dari yang seharusnya," katanya, berusaha terdengar biasa-biasa saja, tetapi akhirnya gagal dengan sangat buruk. Suaranya tetap lebih tinggi dari biasanya. "Perilaku yang baik dan aku kira pengacaraku telah mendesak mereka untuk membebaskanku lebih awal. Dia mungkin tidak terlalu baik untuk banyak hal, tetapi setidaknya dia mencoba melakukan sesuatu pada akhirnya."

"Serius? Ini luar biasa!"

"Aku tahu. Semakin cepat aku keluar, semakin cepat aku bisa mengetahui dengan pasti apa yang sebenarnya terjadi malam itu. Aku jelas tidak menabrak mobil itu, Henley."

"Brandon..."

"Aku sangat yakin! Bahkan kalaupun aku mabuk, aku tidak akan sebodoh itu," bantahnya. "Aku tidak akan melakukan hal-hal yang akan membuatku meninggalkanmu sendirian. Kau tahu itu."

Aku menghela napas perlahan. "Aku tahu. Kita akan membicarakan itu ketika kau keluar. Percayalah, aku tidak ingin ada yang berpikir kalau aku memiliki saudara laki-laki yang merupakan mantan narapidana."

"Apakah hanya itu yang kau pedulikan?"

Aku menyeringai sedikit. "Mm, mungkin."

"Kau masih tinggal di satu kamar di Poughkeepsie itu?" dia bertanya. "Apakah orang-orang tunawisma itu masih berkeliaran?"

Aku berhenti. Aku benar-benar tidak ingin dia khawatir tentang fakta bahwa aku telah dirampok dan aku juga tidak ingin dia tahu aku saat ini tinggal bersama seorang pria yang kebetulan adalah pewaris dari Calloway Hotels. Dia tetaplah—kakakku—yang agak terlalu protektif. Aku tidak bisa membayangkan apa yang akan dia lakukan pada Bennett jika dia tahu. "Aku sebenarnya mulai mencari-cari dua kamar tidur," kataku akhirnya.

"Ide bagus. Aku harap aku bisa segera menemukan pekerjaan ketika aku keluar nanti."

"Kita akan baik-baik saja untuk sementara waktu, aku memiliki cukup uang," aku meyakinkannya. Apalagi dengan uang yang akan diberikan Bennett kepadaku selama beberapa bulan ke depan.

"Jangan memaksakan diri," tegurnya. "Kau luar biasa, Henley. Aku minta maaf karena telah menjadi kakak yang sangat menyebalkan."

"Ew, dramatis sekali."

"Aku membencimu."

Aku merentangkan kakiku, menekan jari-jari kakiku ke sisi lain bathtub. "Aku tahu."

"Walaupun aku sangat suka mendengarkan tanggapan sarkastismu, aku harus pergi. Ada panggilan masuk lain."

"Ada yang meneleponmu?" ujarku ragu. "Siapa?"

"Pertama, jangan bertingkah seolah aku tidak memiliki teman. Dan kedua, aku akhirnya menghubungi pengacara lain yang bersedia memeriksa kasusku lagi. Pasti ada sesuatu yang kita lewatkan." Suara Brandon semakin rendah dan dia mengeluarkan suara frustrasi. "Ada yang aneh. Aku tahu itu. Kenapa aku harus mencuri mobil? Aku memilikinya sendiri. Itu tidak masuk akal."

Aku mengerutkan kening, benci memikirkan ingatan itu. "Tapi kau mabuk—"

"Aku tahu, tapi tetap saja. Kau masih memiliki sedikit harapan untukku, kan?"

"Tentu saja," jawabku, merasa sedikit bersalah. Dia adalah keluargaku, bagaimana aku bisa meragukannya? "Aku hanya tidak tahu bagaimana kau akan membuktikannya. Beri tahu aku jika kau menemukan sesuatu yang berbeda dengan pengacara baru ini. Aku memiliki uang jika dia menginginkan uang muka."

"Oke. Aku mencintaimu, adikku."

"Aku juga mencintaimu, semoga berhasil," jawabku, menarik ponselku dan mengakhiri panggilan. Setelah meletakkannya kembali di atas meja konter, aku menyelam lebih dalam ke dalam air dan menyalakan jetnya lagi dan menutup mataku.

Aku tidak yakin seberapa besar peluang yang kami miliki untuk membersihkan nama Brandon. Dia tampaknya tidak akan memiliki jalan keluar lain untuk itu, kecelakaan itu sudah terjadi cukup lama. Apakah pengacara baru itu benar-benar dapat membantu situasi ini? Pengacaranya yang dulu juga menyombongkan nama-nama berkompeten, tetapi tetap membuatnya dijebloskan ke penjara dan ternyata hanya membuang-buang uang. Kalau boleh jujur, tidak ada banyak bukti yang dapat digunakan untuk mendukung pernyataan Brandon tidak mencuri sebuah mobil dan menabrakkannya. Pengacara mana pun akan kesulitan untuk membuktikan bahwa dia tidak bersalah. Aku hanya mengatakan bahwa aku percaya kepadanya karena dia adalah kakakku dan dia tidak akan melakukan hal-hal yang dapat menjeratnya dalam kasus pengadilan.

"Ayah akan tahu apa yang harus kami lakukan," aku bergumam, menarik kakiku ke dada. Dia selalu memiliki jawaban untuk semua hal. Tidak peduli seberapa besar masalah yang aku atau Brandon alami, dia akan selalu menyelamatkan kami dan hanya sedikit memarahi kami. Sekarang, tanpa dia, hidup terasa lebih sulit.

Menjadi orang dewasa jauh lebih sulit daripada yang pernah kubayangkan ketika aku masih kecil. Aku bahkan belum bisa disebut sebagai orang dewasa. Jika ini bahkan sudah seberat ini untukku yang baru berusia dua puluh satu tahun, aku tidak bisa membayangkan kejutan seperti apa lagi yang akan hadir di sisa hidupku. Membantu kakakku, lulus kuliah, mencari pekerjaan yang "nyata". Menjadi dewasa. Aku bisa merasakan mimpi buruk itu datang.

"Selangkah demi selangkah, Henley," aku menasihati diriku sendiri. Dan langkah pertama itu adalah menemukan apartemen baru.

Ketika tubuhku sudah bersih, aku segera membawa diriku keluar dari bathtub dan melangkah ke shower di sebelahnya untuk cepat-cepat mencuci rambut dan membilas tubuhku. Aku berpikir untuk mengenakan lagi pakaian kotorku tetapi kemudian ingat kamar Bennett berada tepat di sebelah ruangan ini dan jika dia membiarkanku meminjam piyamanya, apakah aku boleh meminjam pakaiannya juga? Aku benar-benar tidak ingin mengenakan pakaian dalam yang kotor. Aku rasa aku dapat menggantinya dengan yang baru jika dia tidak suka aku meminjam pakaiannya.

Dibungkus hanya dengan handuk, aku berjingkat-jingkat keluar dari kamar mandi, berhati-hati meskipun aku tahu tidak ada orang di rumah. Aku bergerak untuk membuka pintu kamar Bennett, tetapi tiba-tiba teringat kamar cadangan yang terlarang untuk kumasuki. Kakiku mulai bergerak ke pintu lain sebelum pikiranku bisa memprosesnya.

Dia bilang jangan masuk ke sana! Aku menegur diriku sendiri. Namun saat ini dia juga tidak ada di sini. Apakah seseorang akan terluka jika aku melanggarnya? Meskipun dia mengatakan ruangan itu adalah kamar saudaranya, tetapi bisa saja itu adalah ruang penyiksaan. Bukankah lebih baik untuk memastikan secara langsung?

Setelah memutuskan itu adalah pemikiran yang masuk akal, aku memutar kenop dan mendorong pintunya sedikit terbuka. Aroma kapur barus terhirup olehku sekali lagi dan aku spontan mengerutkan hidungku. Aku melangkah ke dalam ruangan, tanganku mencari-cari sakelar lampu di dinding. Sampai akhirnya aku berhasil menyentuh dan cahaya memenuhi ruangan itu.

Ruangan itu jelas hanyalah sebuah kamar tidur dan bukan ruang penyiksaan abad pertengahan. Kamar itu sedikit lebih kecil dari kamar Bennett, tetapi selisihnya tidak terlalu banyak. Singkatnya, ruangan itu tampak sepi. Tidak banyak barang-barang pribadi yang tertinggal di dalam kamar itu. Hanya ada tempat tidur dengan seprai yang sepertinya sudah lama tidak dibersihkan. Lemari buku yang setengah penuh. Meja dengan komputer yang dilapisi debu dan kursi dengan roda yang patah. Debu memenuhi udara, membuat tenggorokanku kering.

Aku menelan, terpaku di tempat. Aku tidak bisa memalingkan wajahku. Ruangan itu tampak sangat sunyi. Apa yang terjadi pada saudara laki-laki Bennett? Apakah dia sudah mati? Apakah itu sebabnya Bennett tidak ingin ada yang datang ke rumahnya? Sehingga mereka tidak akan melihat ruangan ini? Apakah ini yang dia maksudkan dengan hal-hal berharga yang dimilikinya? Perasaan sedih yang tersisa di ruangan itu sudah cukup untuk menjelaskan semuanya kepadaku. Kehilangan seseorang yang kau sayangi... aku tahu itu semua.

"Hei!"

Suara tiba-tiba dari belakangku membuatku terkesiap dan aku berteriak ketika sebuah tangan meraih pundakku, memaksaku untuk berbalik. Perasaan tertangkap basah itu mengirimkan sentakan keras pada diriku. Kenapa aku begitu mudah menyerah pada diriku sendiri dan memutuskan untuk menyelinap masuk ke sini?

Ketika aku akhirnya melihat seseorang yang berada di hadapanku, mataku melebar karena terkejut. "S—Sebastian!" aku menjerit di waktu yang sama saat dia berkata, "Henley!"

"Apa yang kau lakukan di sini?" aku menuntutnya, sekali lagi berbicara secara bersamaan ketika dia berkata, "Kenapa kau di sini?"

Kami berdua saling menatap dengan curiga. "Kau duluan," ucap kami serempak.

Aku bergerak untuk menutup pintu kamar tidur cadangan dan seketika merasakan handukku terlepas dari tubuhku. Aku berhasil meraihnya dengan cepat, merasakan pipiku berkobar. Dalam dua hari, dua pria telah secara teknis melihatku telanjang. Apa yang telah terjadi pada hidupku?

"Maaf," Sebastian meminta maaf, mengalihkan pandangannya.

"Tunggu, biarkan aku berpakaian," aku mencicit, memastikan handukku ada di sekitarku dengan aman dan berjalan tertatih-tatih ke kamar Bennett. Aku pergi menuju lemari pakaiannya dan langsung mencari-cari sesuatu yang dapat kupakai. Untungnya bagiku, Bennett adalah tipe pria penyuka celana pendek, jadi aku memutuskan untuk langsung menyambar dua pasang celana dan sebuah kausnya. Sementara celana jeans yang kukenakan sebelumnya dapat kusimpan terlebih dahulu.

Pada saat aku berpakaian, Sebastian telah berpindah ke ruang tamu. Perlahan aku menuruni tangga, pipiku masih terasa hangat. Tadi itu sangat memalukan. Bukannya aku malu pada tubuhku, tetapi fakta tentang tubuhku yang baru saja dilihat oleh orang asinglah yang membuatku merasa canggung. Terutama karena dia adalah seorang pria muda.

Aku berdehem saat aku mendekati si rambut cokelat. "Maaf tentang yang tadi."

"Aku juga minta maaf. Kita saling mengejutkan," jawabnya, pandangannya ke mana pun kecuali wajahku. Pria yang sopan. "Kupikir kau mungkin perampok."

"Dengan handuk?" kataku skeptis.

Pipinya bersemu. "Aku tidak mengharapkan orang lain berada di sini."

"Apakah Bennett tahu kau datang ke sini?"

"Tidak, kadang-kadang aku datang ke sini untuk melarikan diri dari keluargaku," katanya dengan malu-malu. "Memang aneh, aku tahu."

"Apakah pintunya tidak terkunci?"

"Aku tahu di mana kunci cadangan berada. Dan aku tidak bermaksud kasar, tetapi kenapa kau ada di sini? Kenapa kau ada di kamar Lee?"

Sekarang giliranku yang mulai merasa waspada. Aku mendorong helaian rambutku ke belakang telinga dan sedikit meringis. "Aku butuh tempat menginap semalam. Dan soal itu, um, aku hanya usil. Tolong jangan katakan apa pun pada Bennett."

Sebastian mengernyit padaku. "Bennett tidak pernah membiarkan siapa pun masuk ke sana."

"Aku tahu. Aku merasa bersalah sekarang, sungguh."

"Karena kau tertangkap basah?"

Ooh, dia menusuk egoku dengan tepat. Bahuku merosot. "Iya. Maaf. Apakah kau akan memakluminya kalau aku mengatakan bahwa aku hanya ingin memastikan itu bukanlah ruang penyiksaan? Dia mengatakan kepadaku itu adalah kamar saudaranya, tapi siapa yang tahu, kan?"

Sebastian sepertinya sedang memperdebatkan alasanku di kepalanya untuk sejenak, tetapi kemudian dia perlahan mengangguk. "Aku kira alasan itu cukup masuk akal. Bennett memang jenis yang agak aneh. Jujur saja, aku juga sesekali pergi ke sana hanya untuk melihat apakah Bennett sudah membersihkannya."

"Membersihkannya?" aku berseru.

"Ya. Sangat menyedihkan rasanya melihat bagaimana dia meletakkan semua barang di posisi yang persis seperti saat Lee masih tinggal di sini. Aku yakin kalau dia mau membersihkan ruangan itu dan mulai melanjutkan hidupnya, semua itu tidak akan terlalu menyakitkan lagi untuknya."

"Apakah saudaranya sudah meninggal?"

Tiba-tiba Sebastian tampak gelisah dan dia bergerak untuk memindahkan tumpuan berat tubuhnya. "Kau tidak tahu apa yang terjadi pada Lee?"

Aku menggelengkan kepala.

"Ini benar-benar pribadi untuk Bennett, jadi aku tidak akan berbicara di belakangnya tentang hal itu," kata Sebastian singkat dan aku bertanya-tanya apakah aku telah menanyakan sesuatu yang seharusnya tidak kutanyakan. Apa yang sebenarnya terjadi pada saudara laki-laki Bennett?

"Sebaiknya jangan pernah masuk ke sana lagi dan juga jangan berbicara tentang Lee di depan Bennett, Henley," tambah Sebastian, menyipitkan matanya padaku. "Aku sudah memperingatkanmu."

Aku tidak dapat menahan senyumanku sedikit pun ketika melihat sikap defensifnya. Dia melihatku lalu menatapku ragu. "Aku hanya berpikir bahwa kau adalah teman yang baik," aku menjelaskan sebelum dia dapat berkomentar.

Dia tersenyum sedikit dan mengangkat bahu. "Ini untuk kebaikanmu sendiri juga. Semua itu benar-benar masih mengacaukan Bennett."

"Oh," kataku, tidak yakin harus bereaksi seperti apa. Kematian seorang anggota keluarga akan berdampak pada siapa pun. Hanya saja beberapa orang bisa mengatasinya dengan lebih baik. Sementara beberapa orang lainnya membutuhkan waktu yang lebih lama untuk berdamai. Beberapa bahkan tidak pernah bisa melakukannya. Tetapi di situasi manakah Bennett berada sekarang?

"Aku benar-benar ingin tahu."

"Tentang apa?" aku bertanya.

"Kau ada di sini. Aku tidak pernah berpikir akan melihat hari di mana Bennett membawa seorang gadis ke rumahnya, apalagi membiarkannya tinggal di sini sementara dia sedang pergi. Apa yang terjadi di antara kalian berdua? Apakah kau benar-benar berkencan dengannya?"

Tarikan napas cepat yang kuambil untuk menyangkal fakta itu menyebabkan aku tersedak dan aku berpaling dari Sebastian, menutupi mulutku. Apa yang membuatnya memiliki gagasan itu? Apakah memang seganjil itu mendapati seseorang berada di rumah Bennett? "Kami tidak menjalin hubungan seperti itu, aku janji," aku akhirnya bergumam.

Sebastian sepertinya tidak puas dengan jawabanku. "Apakah begitu? Kau harus hati-hati kalau begitu, Henley."

"Berhati-hati?"

"Bennett tidak menyadarinya, tapi kurasa dia takut mendekati orang lain," katanya padaku, matanya melembut. "Kalau dia membiarkanmu tinggal di sini, itu berarti dia memercayaimu. Aku khawatir ketika waktunya bersamamu sudah habis, dia mungkin tidak ingin membiarkanmu pergi sementara kau sebaliknya. Aku tidak ingin dia kehilangan seseorang yang dia sayangi lagi."

Aku memperhatikan kata-katanya dengan lebih seksama, siku kananku bertopang pada tangan kiriku. Sebastian terlalu memikirkan ini. Bennett membantuku karena kami berteman. Tidak mungkin dia memiliki motif tersembunyi. Tidak mungkin dia menyukaiku. Dia sudah menjelaskan pada beberapa kesempatan bahwa aku bukanlah tipenya. Daripada mengkhawatirkan Bennett yang tidak ingin pergi, aku lebih khawatir tentang diriku sendiri yang tidak ingin pergi.

"Aku tidak bermaksud membuat suasana hatimu buruk, Henley," kata Sebastian, menarikku dari pusaran pikiranku. Dia memberiku senyuman ramah. "Aku hanya melakukan hal-hal umum yang dilakukan seorang sahabat yang baik."

"Ah, tidak, tidak apa-apa! Aku mengerti."

"Haruskah aku menunjukkan padamu sesuatu yang menggemaskan sebagai balasannya?"

Aku memiringkan kepalaku ke samping. "Apa itu?"

"Aku tahu di mana Bennett menyimpan album fotonya. Kau tidak akan percaya seberapa besar kepalanya ketika dia masih kecil."

"Tapi aku yakin itu pasti lebih kecil daripada ukurannya yang sekarang," aku berkomentar dengan masam, membuat Sebastian tertawa.

Dia kemudian memberi isyarat agar aku mengikutinya kembali ke atas. "Ayo, Bennett mungkin akan muncul tiba-tiba jadi mari kita lihat selagi bisa."

Aku mengangguk, lantas bergerak mengikuti di belakangnya. Mungkin jika aku beruntung akan ada foto memalukan yang dapat aku pergunakan ketika aku merasa perlu memerasnya. Terkadang rasanya menyenangkan untuk bisa selangkah lebih maju.

***

Halo semua! Jika kamu menemui halaman yang bermasalah, tolong log-out dari akun Wattpad kamu lalu log-in kembali dan masalah itu akan terselesaikan. Semisal tidak, tolong kirim tiket melalui link beriku support.wattpad.com!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro