Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 12

Bennett

Hujan mengetuk-ngetuk dinding jendela di ruang keluargaku dan aku mencoba untuk fokus pada itu dan bukan pada gadis muda yang sekarang basah di dalam Jacuzzi di ruangan atas. Aku duduk dengan satu kaki menyilang, jariku mengetuk-ngetuk lutut. Setelah bertahun-tahun sendirian di rumahku, rasanya aneh saat ada seseorang di rumah. Sebastian biasanya hanya tinggal beberapa jam saat dia datang, tapi Henley justru menginap.

Aku menunduk melihat ke arah sofa, di mana dia akan tidur, sebuah tas yang diisi dengan barang-barang miliknya berada di bawah. Henley bertubuh kecil, tapi aku tidak yakin dia akan dapat berbaring dengan nyaman di sofa ini. Aku membeli sofa ini demi desain ruang keluargaku dan karena benda ini dari merek yang bagus. Sofa ini bukan untuk ditiduri. Tapi apa yang harus aku lakukan? Menawarkan dia tidur di tempat tidurku? Aku pasti akan ditampar—dan jelas aku tidak akan tidur di sofa.

Dia sudah menghadapi situasi yang membuatnya stres, aku memarahi diriku sendiri. Aku tidak boleh egois di situasi seperti ini. Aku tidak yakin apa yang membuatku mengundangnya untuk datang, tapi aku tahu aku tidak bisa meninggalkannya sendirian. Dia sepertinya menghadapi masalahnya dengan baik, tapi dia juga bukan seseorang yang akan menunjukkan jika dia tidak menanganinya dengan baik. Satu-satunya kilasan yang aku dapat adalah ketika dia menemukan gaun yang aku belikan untuknya hilang.

"Itu bahkan bukan hal besar," aku bergumam pada diriku sendiri, meletakkan siku pada sandaran tangan pada sofa ini dan meletakkan daguku di atas telapak tangan. Dia menangis karena itu. Sebuah gaun yang konyol. Dia peduli sebesar itu dengan gaunnya? Apa karena aku yang membelikan untuknya? Atau karena menurutnya gaun itu membuang-buang uang karena dicuri? Aku tidak bisa memahaminya.

Yang kutahu adalah, dia tidak mengandalkanku sama sekali. Kupikir aku adalah seseorang yang cukup bisa diandalkan tapi dia tetap tidak menginginkan bantuanku. Aku tidak mengerti. Apa semua gadis sesulit ini untuk dimengerti? Atau apakah aku terlalu terbiasa dengan gadis-gadis yang menginginkan perhatian dariku karena status dan kekayaanku?

Rasa sakit yang tajam berdenyut di belakang mataku, membuatku meringis. Aku mengangkat tanganku ke sana. Malam ini bukanlah malam yang tepat untuk migrain-ku kembali muncul. Aku menghela napas. Lalu mendorong tubuhku bangkit dari sofa menuju ke kamar mandi utama untuk mengambil pil. Sudah hampir seminggu sejak terakhir kali aku sakit kepala. Kenapa kembali lagi sekarang? Hal terakhir yang kuinginkan adalah muntah-muntah sepanjang malam ketika Henley ada di sini.

Aku membuka pintu kamar mandiku, tanganku masih berada di kening. Lalu terdengar suara terkesiap kecil disusul cipratan air, membuatku berhenti melangkah. Aku berbalik sebelum sadar apa yang kulakukan dan bertatap muka dengan Henley yang membelalak, yang sekarang beringsut turun ke dalam tub hingga dagunya. Mulutku mendadak kering, aku mencoba untuk mengatakan maaf tapi apa yang keluar hanyalah, "umf."

"A-apa?" tanyanya, matanya tidak pernah meninggalkan wajahku.

Pandanganku menjelajah turun ke air berbusa yang menyembunyikan tubuhnya kemudian buru-buru berbalik lagi, aku bisa merasakan pipiku menghangat. "Maaf, aku tidak terbiasa—"

"Tidak apa-apa," dia menyela, suaranya beberapa tingkat lebih tinggi dari biasanya. "Ini rumahmu. Lakukan apa pun yang perlu kau lakukan."

Aku menelan ludah, tidak tahu ke mana harus melihat. Ada satu hal yang seksi tentang Henley ketika rambutnya basah dan aku tidak ingin memiliki pikiran itu mengenai dia saat dia menginap di rumahku. Atau secara umum. "Aku hanya perlu mengambil sesuatu."

"Tentu," dia menjawab ketika aku memaksa diriku untuk pergi ke kabinet obat.

Aku membungkukkan pundak ketika mencari botol yang tepat. Kepalaku tidak terasa begitu sakit, jadi aku tidak ingin meminum resep obat yang mahal. Namun, aku juga tidak ingin berada di sini lebih lama jadi aku mengambil botol Excedrin dan kemudian menuju ke pintu keluar.

"Dan kau bilang kau tidak akan masuk mengintipku," Henley mengejek ketika aku melangkah keluar.

Aku menutup pintu mungkin sedikit lebih keras dari apa yang seharusnya lalu menarik napas dalam, mencoba untuk menenangkan diriku. Di dalam situasi seperti ini, bukankah seharusnya dia yang lebih merasa malu daripada aku? Gadis seperti apa dia itu...

Kepalaku berdenyut kembali, jadi aku pergi ke dapur untuk mengambil segelas air dan meminum dua butir pil. Semoga saja obat ini cukup. Aku sudah merasa merasa lebih baik sebelumnya. Mungkin ini karena Henley ada di sini. Tapi bukan berarti aku merasa stress dengan kehadirannya di sini. Well, itu tidak benar. Aku sebenarnya agak merasa seperti berada di tepi jurang.

Aku kembali duduk ke atas sofa dan menutup mataku, mencoba untuk beristirahat. Itu hanya bertahan tiga detik karena ponselku mulai berdering. Aku mengerang, lalu mengeluarkannya dari saku lalu melihat nama Henry di layarnya. "Apa?" aku menjawab.

"Mr. Calloway!" dia berseru dengan gelagat yang dramatis membuatku meringis.

"Apa?" aku mengulangi.

"Ini buruk! Sangat buruk!" bisa kubayangkan dia mulai menggigiti kukunya ketika dia bicara. "Tim konstruksi kita untuk pembangunan resort di Hawaii telah mengumumkan kalau mereka membatalkan kontrak dengan kita!"

Aku langsung duduk tegak di kursiku. "Apa?"

"Aku sudah menghubungi ibumu, tapi dia bilang ini adalah tanggung jawabmu. Kau perlu bicara dengan mereka dan menariknya kembali!"

"Kenapa ini bisa terjadi?" tanyaku. Bukankah semuanya baik-baik saja? Konstruksi seharusnya mulai berjalan minggu depan!

"Aku tidak yakin. Aku menerima telepon hari ini dan aku mencoba untuk menyelesaikan beberapa masalah, tetapi mereka tidak setuju pada apa pun. Kau perlu untuk bicara dengan mereka. Kau harus datang ke kantor besok."

Pergi ke kantor? "Aku tidak bisa," kataku kepadanya, memikirkan Henley. Aku tidak bisa membiarkan dia pulang ke apartemennya sendirian besok. Aku bahkan tidak ingin dia kembali ke sana. Itu terlalu berbahaya.

"Mr. Calloway, aku tidak bermaksud untuk tidak sopan, tapi kau sudah tidak hadir selama seminggu. Aku sudah melakukan apa yang dapat aku lakukan selama kepergianmu, hanya saja aku butuh kau untuk menandatangani beberapa berkas dan ingat kalau akuntan kita sedang cuti jadi payroll harus dilakukan."

"Biarkan ibuku yang menangani itu," kataku padanya.

"Ibumu sudah mengatakan dengan cukup jelas kalau kau yang bertanggung jawab." Dia terdiam sebentar. "D-Dia menyuruhku untuk mengatakan kepadamu kalau saudara laki-lakimu pasti—"

"Jangan lanjutkan," aku membentak, seluruh tubuhku menegang. "Bukankah sudah kukatakan kepadamu untuk tidak menyebut tentang dia? Bagaimana bisa kau menggunakannya untuk melawanku?"

Henry menarik napas dalam. "Aku hanya mengulangi apa yang ibumu katakan kepadaku."

"Jangan dengarkan dia. Aku yang menggajimu, jadi jangan khawatir kau akan kehilangan pekerjaan jika tidak mendengarkan dia," kataku padanya, mencoba untuk meringankan nada bicaraku, meskipun kulitku terasa gatal. Ini bukan kesalahan Henry. Ibuku memang seseorang yang sangat mengintimidasi; dia bisa membuat hampir semua orang membungkuk kepadanya. "Ibu macam apa yang akan menggunakan itu untuk melawan anaknya? Terlebih saudara laki-lakiku?"

"Aku tidak ingin mengulanginya," kata Henry menyesal. "Hanya saja ibumu sangat serius tentang ini dan dia sudah menyadari ketidakhadiranmu selama seminggu ini. Ini saat krusial dalam karirmu, Mr. Calloway."

Sayangnya, dia benar. Proyek Hawaii adalah proyekku. Aku tidak bisa menyerahkannya kepada orang lain. Contoh kepemimpinan seperti apa itu? Pekerjaku seharusnya menghormatiku, tapi siapa yang bisa menghormati atasan yang malas?

"Aku sungguh berharap bisa melakukan lebih banyak untuk membantumu," dia menambahkan dengan pelan.

Kata-katanya menenangkan, aku menghela napas pelan. Henry adalah pekerja yang baik juga seseorang yang lebih baik dan sepertinya aku tidak pantas menjadi atasannya. "Aku akan datang besok. Berapa lama menurutmu aku harus berada di kantor?"

"Aku ingin kau hadir di kantor selama beberapa jam untuk memuaskan keinginan ibumu, tapi kuharap semuanya bisa terselesaikan dengan cepat."

"Aku akan datang," kataku padanya. "Terima kasih untuk semua bantuanmu."

"Tidak masalah. Aku punya firasat kalau kau akan membuat kelompok ini menjadi lebih baik dari yang sekarang."

"Mm, itu sebuah tekanan," balasku dengan hati yang lebih ringan. "Selamat malam. Datanglah agak sedikit terlambat besok."

Dia tertawa singkat. "Bahkan jika aku datang terlambat, aku akan lebih dulu ada di kantor dari pada kau."

Bibirku mencebik. "Kau harusnya lebih menghormatiku mulai dari sekarang ini."

"Oh, maaf. Aku akan datang sebelum Anda Sir," dia memperbaiki dan kemudian terdengar suara klik saat dia menutup teleponnya.

Aku menggelengkan kepala. Benar-benar dia itu. Butuh keberanian untuk menjahili atasanmu seperti itu. Tapi kuhargai. Tidak akan ada yang cukup berani bicara seperti itu ke ibuku. Dia akan memecat mereka. Aku tidak. Aku berbeda dari dia. Sebagai contoh, aku tidak akan pernah menggunakan nama saudara laki-lakiku untuk memaksa dia melakukan sesuatu. Itu kejam. Bagaimana bisa dia membawa-bawa nama saudaraku? Apa dia ingin kehilangan dua putra daripada hanya satu? Dia seperti tidak peduli.

Aku tersenyum masam, meletakkan kepalaku di atas tangan. Dia mungkin memang tidak peduli. Dia lebih peduli pada hotel daripada kedua putranya. Putra-putranya yang terlalu stress untuk menangani begitu banyak sekaligus. Itulah kenapa Lee...

"Bennett?"

Dengan cepat aku menegakkan punggungku, menoleh ke arah Henley yang menuruni tangga. Terdapat kerutan di keningnya saat dia menarik celana piama kebesaran yang kupinjamkan padanya agar dia tidak tersandung saat turun. Kaos yang kupinjamkan padanya juga terlalu besar, sehingga lengannya mengepak-ngepak ketika dia berjalan. Pikiranku yang sekarang mulai buyar, digantikan dengan satu hal: Manis.

"Terima kasih sudah membiarkanku meminjam pakaianmu," katanya ketika dia semakin dekat, mendorong lengan kaosnya hingga ke siku. Setelah beberapa detik gulungan itu kembali turun.

Aku tidak pernah kehilangan kata-kata. Tapi di dekat Henley, aku menemukan hal itu cukup sering terjadi. Khususnya ketika dia tengah mengenakan pakaianku. "Masalah tidak," ucapku setelah beberapa saat, terpeleset dengan kata-kataku sendiri.

"Oke, Yoda," dia merespon dengan tawa kecil.

Aku menekankan bibirku dengan rapat dan meringis di dalam hati. Smooth. Dia berlama-lama di sisi sofa seolah tidak yakin apa dia harus duduk atau tidak. Rambutnya meneteskan air, menjatuhkan butiran air di atas kulit sofa mahal ini. Aku langsung berdiri dan meraihnya, berpikir untuk mengusapkan rambutnya dengan handuk yang menggantung di lehernya, tapi kemudian menarik kembali tanganku ketika perasaan malu yang sangat besar menghampiri saat aku melihat bagian lehernya yang terekspos dan juga tulang selangkanya.

Mata Henley melebar dan dia bergeser. "Apa?"

"Airnya," mulaiku, tapi menghentikan omonganku sendiri. Apa aku sungguh akan mengeluh karena beberapa tetes air? Itu hanya akan membuatnya merasa lebih tidak nyaman daripada yang dia sudah rasakan. "Keringkan rambutmu dengan benar," kataku akhirnya.

Dia mengangkat sejumput rambut basah itu. "Aku lebih suka tidak mengeringkan rambutku dengan handuk jika tidak diperlukan. Itu hanya akan membuat rambutku mengembang."

Sebuah keheningan yang canggung hadir ketika aku tidak menjawab. Aku tidak yakin apa yang harus dikatakan. Kau bisa merusak kulit sofanya? Bagaimana kalau kau sakit? Itu terdengar sedikit klise. Jadi aku menjernihkan tenggorokanku dan kembali duduk di sofa, memberikan tanda untuknya agar duduk di sebelahku. Dia melakukannya dengan berhati-hati dan aku bisa melihat seberapa besar jarak yang dia sisakan di antara kami.

Keheningan berlanjut ketika tidak ada yang bicara di antara kami. Aku berpikir untuk menyalakan T.V, tapi bertanya-tanya apakah itu akan menyinggungnya. Bagaimana jika dia berpikir aku mengabaikannya? Apa ini perasaan yang lumrah dirasakan pemilik rumah ketika memiliki tamu? Aku bisa mendengar detik jam di dapur. Aku juga mungkin bisa mendengar jarum yang jatuh ke lantai.

"Maaf soal hari ini," Henley bicara, menakutiku.

Aku mencoba untuk menutupinya dengan meregangkan tubuh. "Kau tidak perlu meminta maaf."

"Aku akan keluar dari sini besok," dia melanjutkan, menatap ke atas pangkuannya.

"Henley, menurutku kau tidak seharusnya kembali ke apartemen itu," kataku padanya, mengernyit. "Kau harus menemukan tempat tinggal baru."

Dia kembali mengangkat kepalanya, ekspresinya terlihat terkejut. "Apa? kenapa?"

"Tempat itu hampir tidak layak huni. Jika sekarang bisa dibobol, siapa yang bisa menjamin kalau tempat itu tidak akan dibobol lagi?"

"Tapi itu tempat paling terjangkau," dia mendebat. "Aku tidak ingin menyerah hanya karena masalah kecil."

Kecil? Dia menganggap itu masalah kecil? "Aku akan menemukan tempat yang lebih baik untukmu. Aku yakin mengenal seseorang yang dapat memberikan penawaran yang bagus. Aku tidak keberatan memberikanmu beberapa uang untuk membayarnya juga—"

"Tidak," dia memotong perkataanku dengan nada yang keras. "Aku bukan tempat amal, Bennett. Jika kau ingin menyumbangkan uangmu, berikan saja ke panti asuhan."

"Aku memang memberikan uang ke panti asuhan," kataku, terhina. "Aku berdonasi dan menggalang dana beberapa kali dalam setahun. Aku tidak menganggapmu sebagai tempat amal. Aku menawarkan karena aku..." kenapa aku menawarkan? Biasanya aku tidak akan peduli dengan kehidupan personal orang lain, tapi aku tidak bisa meninggalkan Henley sendiri. Dia menilaiku sejenak, sambil menggigit bibir bagian bawahnya. Aku ragu, tidak yakin bagaimana harus menyelesaikan kalimatku. Teman membantu satu sama lain kan? Aku akan membantu Sebastian tanpa ragu. Henley juga begitu. "Kita teman, kan?" kataku dengan berhati-hati.

Dia mempertimbangkan ini untuk beberapa saat dan akhirnya mengangguk. "Kau benar. Jika aku bisa membantumu, aku juga pasti akan melakukannya. Tapi aku tidak akan menerima lebih banyak uang darimu. Aku sudah punya cukup banyak untuk menemukan tempat tinggal baru."

"Jadi kau akan menemukan tempat tinggal baru sendirian?"

"Aku tidak bicara begitu," dia menjawab, tapi bisa kulihat dia tengah memikirkan sesuatu. "Mungkin aku akan mencari tempat baru. Tapi sampai aku menemukannya aku masih harus tetap tinggal di sana, jadi mungkin penyewa bisa memperbaikinya."

"Kau bisa tinggal di sini," aku menemukan diriku mengatakan ini sebelum sadar apa yang baru saja aku tawarkan.

Matanya melebar lagi. "Apa?"

"Tinggal di sini," ulangku, lebih percaya diri.

"Entahlah—"

"Pikirkan ini sebagai bagian dari kontrak kita," tawarku. "Jika ibuku menemukan kalau kita tinggal bersama, mungkin dia akan meninggalkanku sendirian."

Henley mulai bermain dengan ujung rambutnya untuk menghindari tatapanku. "Aku tidak ingin mengganggu."

"Hanya sampai kau menemukan tempat baru. Aku tidak keberatan sama sekali."

"Sofamu mungkin akan mendapatkan jejak dariku."

Jadi dia tahu kalau sofa ini berharga. Disamping itu, aku sadar kalau dia akhirnya menyerah dan setuju untuk tinggal. "Tidak apa-apa, aku bisa menggantinya dengan mudah."

Dia memberiku senyum renyah dan aku langsung merasa lega. "Oke, aku akan tinggal di sini sebentar. Paling lama satu minggu. Jika aku tidak bisa menemukan tempat tinggal yang murah, aku akan kembali ke apartemenku. Aku masih punya hak di sana selama sisa bulan ini."

Seminggu? Itu sepertinya bukan waktu yang cukup. "Bukankah sebaiknya kau mulai mencari tempat dengan dua-kamar tidur?" aku bertanya. "Kakak laki-lakimu akan keluar dari penjara."

Dia tampaknya baru teringat dan langsung tersenyum lebar. "Oh, itu benar! Itu poin yang bagus."

Aku menemukan diriku menyeringai sedikit. Meyakinkan orang lain untuk melakukan sesuatu memang merupakan salah satu point terkuatku. "Aku akan menanyakannya nanti."

"Aku menghargainya, Bennett," katanya, memberikanku senyum malu. "Sudah lama sejak ada orang yang membantuku seperti ini. Aku tidak tahu apa yang harus kurasakan dan tidak yakin apa yang harus dikatakan."

"Bukan apa-apa," aku menjawab, mengangkat tanganku. Aku tidak ingin kecanggungan saat ingin menjelaskan tindakan terjadi lagi.

"Jika kau butuh apa pun untuk dilakukan di rumah ini, tinggalkan padaku. Memasak atau mencuci atau apa pun," dia melanjutkan, lebih bersemangat sekarang. "Sejujurnya, aku sedikit takut kembali ke apartemenku. Tidak kusangka kau adalah seorang pria yang baik."

Aku mengangguk dan kemudian menyipitkan mataku ke arahnya. "Apa? Kau sangka? Apa maksudnya itu?"

"Hmm, tidak ada."

"Apa itu hinaan secara tidak langsung?"

"Hmm, mungkin."

Mulutku menganga sedikit. "Setelah aku dengan—"

Dia terbahak, dengan ampuh mendiamkanku. "Aku hanya bercanda, Bennett. Kau cukup mudah untuk digoda, huh?"

Aku melipat tanganku ke depan dadaku. "Kau pikir kau lucu."

"Aku akan berada di sini selama seminggu," balasnya dengan mengedipkan mata.

Itu benar. Dia akan berada di sini selama seminggu. Seminggu bersama Henley. Di rumahku. Tinggal denganku. Dengan rambut basah...

Aku memberikannya ekspresi separuh-tersenyum separuh-meringis, mendadak tidak merasa percaya diri dengan situasi ini.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro