Bab 10
Bennett
Jari-jariku berkedut di sisi tubuhku saat melihat Henley mengamati setiap inci rumahku. Walaupun aku suka melihat ekspresi kagumnya, aku merasa gugup. Perasaan memiliki tamu sudah sangat lama tidak kurasakan dan sekarang aku merasa gelisah. Rasanya sudah cukup lama aku membiarkan seseorang datang kemari. Bahkan lebih lama lagi sejak aku memiliki tamu perempuan datang kemari. Aku tidak tahu kenapa aku merasa begitu gugup. Henley terlihat sangat nyaman. Bukankah seharusnya dia yang merasa gelisah? Khususnya setelah insiden dengan kamar saudara laki-lakiku? Aku memang membiarkan pintunya tidak terkunci jadi itu sungguh kesalahanku, tapi tindakan terburu-buruku tampaknya tidak mengganggunya sama sekali.
Gadis yang sedang dipertanyakan kini menekankan wajahnya ke dinding kaca yang memperlihatkan danau dan aku ingin mengatakan kepadanya untuk tidak menodai kacanya, tapi aku berhasil menutup mulutku. Dia berpindah ke dapur, menyeret tangannya ke atas meja marmer dan berhenti pada rak bumbu untuk memeriksa isinya. Aku berdiri berakar di tempatku, tidak yakin apakah harus pergi mengikutinya atau tidak.
Agak mengesalkan memang karena merasa tidak nyaman di rumahku sendiri, tapi ini sudah kuduga ketika aku memutuskan untuk membiarkannya datang. Tidak ada yang pernah datang kemari untuk waktu yang lama. Aku bahkan tidak yakin kenapa aku berpikir untuk membiarkannya datang. Ya, ini memang cara yang paling muda untuk mengelabui ibuku agar berpikir kalau kami serius, tapi masih ada cara lain juga.
"Wow! Kau punya kulkas yang mengeluarkan es yang sudah dihancurkan!" dia berkomentar dengan bersemangat.
Aku mengangkat satu alis. Dari semua benda yang ada di rumahku, dia paling terkesan dengan itu? "Kau tidak memiliki itu?"
Dia menggelengkan kepala dan melanjutkan penjelajahannya, meninggalkan area dapur dan kembali ke bagian utama dari ruang keluarga. Aku berdiri menjulang di atasnya, pada bagian yang tinggi.
"Kau sungguh akan memasak makan malam untukku?" Dia bertanya, menatap ke arahku dengan penuh harap.
Tatapannya yang tiba-tiba membuatku sedikit terkejut dan kaku. "Kau tidak ingin aku melakukannya?"
"Kau tidak punya koki untuk itu?"
Aku mengernyit. "Ada beberapa hal yang aku lakukan untuk diriku sendiri, kau tahu."
"Hmm, aku tidak menyangka," jawabnya. Terdapat senyum jahil di wajahnya, jadi aku tahu tidak perlu merasa tersinggung.
"Di waktu luang, aku suka memasak. Kegiatan itu menurutku menenangkan," kataku kepadanya dan aku tidak tahu kenapa aku mencoba untuk menjelaskan diriku.
"Kau pasti punya banyak waktu luang. Maksudku, kau sudah mencuri seluruh waktu luangku sepanjang minggu ini kurang lebih. Bukankah kau CEO dari hotelmu? Kau tidak harus pergi kerja?"
Aku mencuri waktu luangnya? Apa yang dia maksud dengan kalimat itu? Bukankah aku membayarnya untuk melakukan ini? Dan di samping itu, apa dia sangat tidak suka menghabiskan waktu denganku? "Aku belum menjadi CEO," aku bergumam dan tidak suka betapa lunak suaraku terdengar.
"Belum? Kalau begitu apa ayahmu yang menjadi CEO?"
"Kau punya banyak pertanyaan hari ini," kataku, menyusupkan tangan ke dalam saku celana jean yang aku pakai.
Dia mengedikkan bahu dan mendorong rambut panjangnya ke balik telinga. Aku suka bagaimana rambutnya membingkai wajahnya seperti itu. "Kau bilang kita harus menjadi teman, benarkan? Jadi kita harus mulai dengan pertanyaan dasar. Seperti keluarga."
"Bagaimana dengan keluargamu?" balasku.
"Ah..." Dia terdiam sebentar, menoleh ke tempat lain selain wajahku. "Keluargaku sedikit berantakan. Aku tidak yakin kau ingin mendengarkan."
Sudut bibirku berkedut. Untuk dirinya yang tinggal sendiri pada usia yang sangat muda, aku merasa sesuatu memang ada yang salah. "Hmm, itu lucu, karena kau juga ingin mengatakan hal yang sama."
Dia akhirnya menengadah melihatku dengan satu alis terangkat. "Oh ya? Haruskah kita mulai bertaruh keluarga siapa yang lebih berantakan?"
"Bertaruh?" aku mengulangi, terkejut. Dia ingin membuat semua ini menjadi permainan?
Satu tangannya terangkat ke mulut untuk menutupi tawanya yang meluncur keluar. "Aku hanya bercanda. Jangan terlalu terkejut."
Aku menjernihkan tenggorokanku, merasa sedikit malu. "Tentu saja."
"Aku memang memiliki pertanyaan pribadi. Jadi jika aku bisa menanyakan itu kepadamu, kau juga bisa menanyaiku satu pertanyaan," dia melanjutkan, berjalan sedikit lebih dekat kepadaku.
Mataku fokus pada robekan di celana jeansnya yang ada di atas lutut. Apa dia membelinya sudah seperti itu? Atau celananya memang setua itu? Kau bisa melihat sedikit kulit dari pahanya, putih dan mulus—
"Um, Bennett?"
Aku mengalihkan pandanganku kembali ke wajahnya dan sadar kalau jaraknya hanya sekitar satu kaki sekarang. "Ya," kataku otomatis.
"Oke. Kenapa kau tidak membiarkan orang lain datang ke rumahmu? Apa yang kau maksud dengan satu-satunya tempat yang tersisa bagimu? Aku bisa melihat kau merasa tidak nyaman sekarang. Jika kau merasa tidak nyaman dengan keberadaanku di sini, aku bisa pergi. Aku tidak ingin mengganggu," katanya dan sedikit bergeser.
Aku berpegangan pada kebohongan yang secara langsung melompat ke ujung lidahku. Ini adalah jawaban otomatis—berbohong dan kembali melanjutkan hidup. Kau tidak seharusnya membiarkan seseorang tahu terlalu banyak. Mereka mungkin akan menggunakannya melawanmu. Itu yang biasanya aku rasakan. Tapi aku tidak ingin berbohong kepada Henley. Aku salah saat berpikir kalau Henley adalah orang yang tenang. Dia hanya lebih baik dalam menyembunyikannya daripada aku. "Henley, aku sungguh minta maaf atas tindakanku sebelumnya," aku memulai, "Kau tidak membuatku tidak nyaman. Aku hanya tidak biasa dengan kedatangan seseorang ke sini. Rumahku sangat personal. Itulah kenapa aku tidak membiarkan orang lain ke sini. Ketika kau berada pada posisi tertentu seperti aku, akan lebih baik jika menjaga kehidupan pribadimu tetap rahasia. Jika orang lain menemukan sesuatu yang salah, mereka akan menggunakannya untuk melawanmu."
Dia mengangguk ketika aku bicara. Rasanya cukup canggung menjelaskan ini kepadanya. Seperti alasan yang bodoh.
Aku menarik napas pelan. "Dan kamar lain yang kau coba masuki adalah alasan lain kenapa aku tidak mau orang lain datang. Itu sebenarnya—"
"Ah! Kau tidak harus mengatakannya kepadaku," dia mengintrupsi, mengangkat tangannya. "Maksudku aku sangat penasaran dengan kamar itu, tapi itu sepenuhnya adalah urusanmu." Dia menoleh, wajahnya sedikit memerah dan matanya mengarah kembali ke lantai atas.
Aku punya firasat menjijikkan tentang apa yang dia pikirkan dan kemudian menjentikkan jariku untuk menarik kembali perhatian. "Itu bukan kamar seperti yang ada di 50 Shades of Grey, dasar kau mesum."
Dia menoleh wajahnya semakin merah dan kemudian tertawa sedikit. "Ha ha, aku tidak memikirkan itu."
"Aku agak tersinggung jika kau pikir aku memiliki kamar seperti it."
"Kau cocok dengan peran itu."
"Apa kau dengan sengaja menghinaku?" tuduhku.
Dia menggigit bibirnya agar tidak menyeringai terlalu lebar dan aku menemukan diriku fokus pada hal itu sedikit lebih banyak dari apa yang ingin aku akui. Aku tidak memperhatikan betapa cocok bibirnya dengan wajahnya. Dia sangat kecil dan manis.
"Jika kau bukan orang yang seperti itu, mungkinkah kau adalah seorang pembunuh berantai dan—"
"Tidak." Aku membentak, menyelanya. "Itu kamar lama saudara laki-lakiku."
Dia menutup mulutnya, matanya melebar. "Oh! Aku lupa kau punya saudara laki-laki."
Aku menekankan bibirku, meringis di dalam. Aku tidak ingin membicarakan soal ini. Aku mungkin akan lengah dan tidak sengaja menceritakannya. "Aku tidak suka membicarakan soal dia," kataku dengan tegang.
"Kita tidak perlu membicarakan tentang dia, aku juga merasa begitu dengan kakakku." Dia menjawab dengan mudah.
Aku tetap diam karena tidak ada orang yang melepaskan topik soal saudaraku begitu saja tanpa aku yang merasa marah. Tapi, beberapa saat yang hening berlalu dan Henley tetap diam. Kemudian sesuatu terasa terklik. "Kau punya saudara laki-laki?"
"Apa ini pertanyaan personal yang ingin kau tanyakan kepadaku?"
Aku ragu sejenak dan kemudian mengangguk. Aku merasa sedikit penasaran dengan kehidupan keluarganya, tapi aku akan jadi munafik jika mengorek terlalu dalam.
"Yep, benar. Dia lebih tua dariku tapi kelakuannya lebih muda dariku. Dan dia bertingkah sangat bodoh, tapi dia sebenarnya sangat pintar," katanya, mengernyitkan keningnya. "Ngomong-ngomong soal itu, dia juga sebenarnya agak menyebalkan."
"Dia tidak tinggal denganmu?"
"Dulunya dia tinggal denganku."
"Kenapa dia tidak tinggal denganmu sekarang?"
"Kenapa saudaramu tidak tinggal denganmu?" Dia membalas.
Aku berhenti sebentar. "Touché."
"Jika aku menceritakannya padamu, jangan memberiku tatapan kasihan atau kata-kata bersimpati apa pun." Dia memperingatkanku, memberikan apa yang disebut sebagai tatapan tidak menyenangkan, tapi justru terlihat seolah sesuatu masuk ke dalam matanya dan dia sedang mencoba mengeluarkannya. Aku menyimpan komentar itu untuk diriku sendiri.
"Tidak akan," janjiku kepadanya, karena aku sendiri paham perasaan itu dengan cukup baik.
"Dia ada di penjara," katanya, nada bicaranya seperti seseorang yang sedang mengomentari cuaca.
Aku menatapnya, bertanya-tanya jika aku salah mendengar. kakaknya ada di penjara? Dia adalah kriminal? Tidakkah itu sedikit terlalu intens untuk diucapkan dengan nada sambil lalu? Kenapa dia tidak terlihat sedih? "Jangan bilang padaku kalau kakakmu adalah seorang pembunuh berantai—"
"Tidak!" dia berseru.
"Jadi kau tinggal sendirian karena kakakmu masuk penjara?" tanyaku, mengenyampingkan lelucon.
Dia mengangguk.
"Karena apa?"
"Bukan sesuatu yang mengerikan," dia memberitahukan kepadaku. "Dia akan keluar sebentar lagi."
Dia tidak ingin mengatakan kepadaku kenapa kakaknya masuk penjara? Aku penasaran, tapi tahu untuk tidak mendesaknya. "Boleh aku bertanya soal orangtuamu?"
"Eh, kau mungkin akan tahu nanti kalau kita jadi teman," dia menghela napas. "Singkat cerita, ayahku meninggal karena kanker beberapa tahun yang lalu, dan ibuku meninggalkan kami setelah itu jadi aku juga menganggapnya sudah mati."
Ayahnya meninggal dan ibunya meninggalkan dia? Tidak heran kenapa dia begitu miskin. Sudah berapa lama dia hidup dengan pendapatan yang dia hasilkan sendiri? Dan ayahnya sakit kanker? Apa dia juga membayar tagihan yang ditinggalkan ayahnya di rumah sakit? Apa karena itu dia tidak langsung masuk kuliah setelah lulus dari SMA? Tidak mungkin dia bisa menyimpan uang jika dia menghadapi semuanya sendiri.
Dia tidak punya siapa pun untuk diandalkan.
"Bennett, kau memikirkan tentang ini terlalu dalam," dia menegurku. "Aku bisa melihat tatapan itu dari wajahmu."
"Bagaimana bisa kau mengatakan semua ini dengan begitu santai?" Aku akhirnya mampu mengeluarkan pertanyaan itu, pikiranku terasa campur aduk di dalam kepalaku.
"Kejadian ini sudah terjadi lama dan aku sudah mendapatkan petunjuk kalau hidup tidak memihak kepadaku, jadi apa yang dapat kau lakukan?" dia menjawab dengan tawa renyah. "Sebenarnya situasinya tidak seburuk itu, jadi jangan terlalu memikirkannya."
Aku menoleh ke arah lain; takut kalau rasa simpati yang kurasakan untuknya terlihat di wajahku. Aku tahu kalau sesuatu pasti terjadi—tidak ada yang mau tinggal di apartemen yang dia sewa—tapi itu lebih buruk dari apa yang aku bayangkan. Keluarganya yang tersisa hanyalah kakaknya yang sekarang ada di penjara?
Keluargaku memang tidak normal, tapi setidaknya kami memiliki uang. Bahkan jika ibuku meninggal dan semua orang meninggalkanku, aku bisa hidup dengan nyaman. Tapi, di sinilah Henley, tanpa siapa pun yang mendukungnya selain dirinya sendiri. Dan setahuku, kau tidak bisa mendapatkan banyak uang dari pekerjaan yang dia lakukan.
Aku sudah mengkritik tempat yang dia tinggali, mobil yang dia kendarai, baju yang dia kenakan. Bagaimana dia menata rambutnya. Aku merasa dunia melambat ketika informasi ini menghantamku. Seberapa buruk aku sudah memperlakukan Henley? Kupikir aku akan paham, tapi ternyata tidak sampai detik ini.
Kalimat terakhir saudara laki-lakiku mendadak kembali menggema di dalam kepalaku. Kau tidak akan mengerti betapa sulitnya hidup ini, Bennett.
"Um, maaf, mungkin aku tidak seharusnya mengatakan itu. Kau mungkin ingin memilih siapa saja yang dapat berinteraksi denganmu," Henley memulai lagi, terdengar tidak yakin. "Aku sepenuhnya mengerti jika kau ingin menemukan orang lain untuk membantumu."
"Aku tidak menginginkan itu," kataku langsung dan tanpa berpikir. Aku menoleh kembali ke arahnya, memerangkap pandangannya.
Dia berkedip ke arahku, mulutnya membuka. "O-oh, oke."
Tubuhku mendadak terasa panas, aku menarik kerah bajuku, mencoba untuk mendapatkan udara. Apa dia menyindirku? Kalau aku akan berpikir dia menjijikkan setelah dia mengatakan semua ini? Apa itu yang dia pikirkan tentang aku? Apa ini karena semua komentar tidak sopan yang kubuat? Pasti karena itu. Bagaimana bisa aku menjadi begitu kejam? Bagaimana bisa aku tidak sadar? "Henley, katakan padaku, menurutmu seberapa dangkal aku?"
"Aku tidak benar-benar berpikir kalau kau—"
"Tidak penting di mana kau tinggal atau bagaimana latar belakang keluargamu," kataku, mengepalkan dan melonggarkan genggaman tanganku. "Tolong jangan berpikir kalau apa yang sudah kau ceritakan kepadaku akan mempengaruhi pandanganku terhadapmu. Itu membuatku merasa buruk. Tapi aku mengerti kenapa kau berpikir seperti itu. Aku sudah mengusap kehidupan mewah ini di depan wajahmu. Aku bahkan tidak menyadarinya."
Dia mundur sedikit, napasnya semakin cepat. "Tidak apa-apa, Bennett."
Aku mengusapkan tangan ke keningku. "Kau sudah membantuku dan aku memperlakukanmu seperti orang kaya memperlakukan gadis miskin. Aku berhutang lebih banyak rasa hormat."
"Bennett, aku tidak mengatakan ini supaya mendapatkan sesuatu darimu," katanya dan aku bisa melihat tangannya sedikit gemetar.
Apa aku menakutinya? Bukan itu yang aku inginkan. Aku merasa bersalah. Aku maju ke depannya, yang pasti membuatnya terkejut, karena dia tersentak mundur. Suara terkesiap kecil lolos dari mulutnya ketika dia kehilangan keseimbangan, lupa kalau ruang keluarga punya lantai yang lebih tinggi dari lantai ruangan lain. Aku langsung mengulurkan tangan, mencoba menangkapnya agar dia tidak jatuh.
"Terima kasih." Dia bernapas dan aku bisa merasakan jantungku mengepak di dalam dadaku.
Dia mencoba untuk menarik dirinya, tapi aku memegangi dengan erat. "Bennett?"
"Maafkan aku, aku merasa jijik dengan diriku sendiri sekarang."
Henley menghela napas pelan dan setelah beberapa saat aku bisa merasakan tangan kecilnya melingkari pundakku. "Jangan khawatir, Bennett."
"Aku sudah sangat jahat kepadamu."
"Tidak apa-apa, jadi berhentilah. Kau membuatku merasa bersalah karena sudah menceritakan ini kepadamu. Bukankah sudah kubilang jangan mengasihaniku?" dia mendebat.
Aku sedikit menarik diriku. "Aku tidak mengasihanimu. Aku benar-benar merasa tidak enak dengan caraku memperlakukanmu."
"Selama kau tahu kalau apa yang kau lakukan itu salah, tidak apa-apa. Jangan terlalu menyalahkan dirimu. Aku gadis yang tangguh, aku bisa menghadapinya," dia menjawab dengan angkuh, memberiku seringaian kecilnya.
Jantungku berdetak cepat dan aku mendorongnya menjauh dariku, mendadak khawatir pada seberapa cepat jantungku berdetak. Apa dia bisa merasakannya? Apa yang terjadi? Aku harus tenang. Seharusnya bukan Henley yang menghiburku di situasi ini. Seharusnya sebaliknya. Aku harus membuat situasi ini jadi tidak begitu canggung.
"Aku akan membantumu memasak makan malam, jadi ayo kita mulai," dia bersikeras, melepaskan diri dari pegangan tanganku, dan mencuri rencana dariku. "Kau bilang memasak membuatmu tenang, jadi ayo kita lakukan itu. Kita berdua perlu untuk tenang. Kurasa."
"Ayo kita lakukan," aku setuju dengan begitu cepat.
"Um, tapi terima kasih, Bennett."
"Untuk apa?"
Dia menjulurkan kepalanya ke area penglihatanku dan memberiku senyum cerah. Senyum pertama darinya yang benar-banar aku percayai. "Karena sudah peduli."
Aku tahu itu akan datang. Aku tidak bisa menghentikannya. Aku tidak bisa menyembunyikannya. Yang bisa aku lakukan hanya berdiri diam di sana, ketika semburat merah menyebar di pipiku.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro