Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 1


Henley

"Hattie, meja nomor empat sudah menunggu lebih dari dua menit untuk seseorang datang dan mengambil pesanan minuman mereka," Collin, manajer yang sedang bertugas, berkata ketika dia sedang berjalan di sampingku menuju ke stan hostes.

Aku mengerjap padanya, mencoba mengabaikan fakta bahwa pria itu telah salah menyebut namaku untuk yang keseribu kalinya sambil bertanya-tanya apakah dia tidak melihat tanganku dipenuhi piring makanan untuk meja yang berbeda sebelumnya. Ketika dia melirik dari bahunya dan mengerutkan kening ke arahku, aku memberinya senyuman palsu terbaik yang bisa aku hasilkan. "Aku akan segera ke sana."

"Bagus."

Memutar bola mataku, aku bergegas kembali ke meja nomor tujuh. Aku benci meja nomor tujuh. Aku tidak tahu apakah meja itu memang meja keberuntunganku, atau justru kutukan, tetapi siapa pun yang duduk di sana pada akhirnya selalu menjadi tamu paling kasar dan paling kejam dan paling suka merendahkan manusia lain di muka bumi ini. Kali ini ada sekelompok pengusaha berjas ramping yang selalu seakan ingin mencoba membuka bajuku setiap kali aku membungkuk untuk membersihkan piring atau gelas.

"Chicken Cordon Bleu," aku mengumumkannya ketika meletakkan salah satu piring di hadapan seorang pria berperawakan besar yang mengenakan dasi bintang-bintang.

"Sedap," komentarnya dan aku tidak tahu apakah dia sedang berbicara tentang dada ayam itu atau dadaku.

Tentu saja, aku menahan lidahku. Jika aku terus bersikap cukup baik, orang-orang ini pasti akan memberiku tip dengan murah hati.

"Apakah ada lagi yang kau butuhkan sebelum aku pergi?" tanyaku seusai meletakkan semua hidangannya. Tolong katakan tidak, aku memohon dalam hati.

"Tolong Blue Moon-nya lagi," si Bodoh Berdasi Bintang-Bintang itu memintanya.

Aku tersenyum padanya. "Segera."

Ketika aku berbalik, aku melihat Collin menatapku dan menunjuk ke meja nomor empat dengan panik. "Apakah hanya aku satu-satunya yang bekerja di sini?" aku bergumam pada diriku sendiri ketika aku berbalik ke arah meja yang dimintanya. Menyadari hanya ada dua orang yang duduk di situ, aku merasa bisa sedikit lebih tenang. Setidaknya ini akan lebih mudah.

"Hai, aku Henley, aku yang akan bertugas melayani pesananmu malam ini," aku menyapa mereka, menawarkan keduanya senyuman lebar.

Kedua pria itu menoleh ke arahku di saat yang bersamaan dan seketika aku merasa kepercayaan diriku menurun saat aku mengenali kedua manusia itu. Mereka datang setidaknya seminggu sekali dan mereka berdua sangat rupawan. Sampai di titik ini aku mengira sudah terbiasa dengan pria tampan dan wanita cantik datang ke restoran ini, tetapi nyatanya perasaan rendah diri itu tidak pernah hilang. Terlebih mereka ini berasal dari kalangan benar-benar atas. Malam ini mereka berdua mengenakan kemeja dengan lengan baju tergulung yang memperlihatkan vena mereka. Salah satu dari mereka mengenakan kemeja hitam dengan dasi putih, sementara yang lain memakai kemeja putih dengan dasi hitam. Aku tidak tahu apakah itu memang disengaja atau tidak, tetapi mereka adalah duo yang sangat hebat.

Semua ini membuatku sedikit kesal. Kenapa orang-orang kaya sangat menarik? Apakah masih belum cukup dengan hanya memiliki kelebihan uang? Kenapa mereka harus mencuri semua kesempurnaan wajah juga? Ini sangat tidak adil. Atau mungkin aku yang terlalu menyedihkan.

"Nama yang aneh, tapi kurasa itu tidak penting," kata pria di sebelah kanan, nadanya lembut dan penuh akan rasa ingin tahu. Dia memiliki rambut gelap, dengan bagian depan bergelombang yang ditegakkan ke atas. Sementara bagian belakangnya ditata sehingga tampak kusut. Dia mengamati wajahku, matanya yang hijau gelap menyipit.

Pria satunya mencoba untuk menutupi tawanya dan mataku beralih ke arahnya. Dia tampak seperti deskripsi khasmu tentang seorang The Boy Next Door—rambutnya berwarna cokelat, mata cokelat, wajah rupawan, dan senyum ramah.

"Aha, orang-orang sering berkomentar seperti itu ketika mendengar namaku..." kataku, entah mengapa rasanya seakan aku telah menatap mereka selama lebih dari lima menit padahal kenyataannya hanya lima detik. Komentarnya agak menggangguku. Aku pernah bertugas melayaninya beberapa kali sebelumnya. Apakah ini benar-benar pertama kalinya dia memperhatikan namaku?

"Namanya menggemaskan tahu," jawab si The Boy Next Door, tersenyum sopan padaku.

Aku menatap ke arah giginya, merasakan tusukan menembus hatiku. Tentu saja dia memiliki gigi yang sempurna. Berjajar rapi, sangat putih. Kenapa juga aku mengharapkan hal sebaliknya? Mereka berdua berada di level yang sangat berbeda denganku. Aku bahkan tidak akan bisa terlihat sesempurna mereka meski aku sudah bersiap-siap selama lima jam penuh setiap hari.

"Bolehkan aku membantumu untuk memulainya dengan sesuatu untuk diminum?" aku mengajukan pertanyaan, bertanya-tanya apakah suaraku terdengar setertekan perasaanku. Setiap detik yang berlalu di hadapan mereka bagai tendangan keras untuk moralku.

"Satu gelas Lagavulin untukku, Henley," kata si pria berambut gelap, yang bahkan tidak mau repot-repot mengintip menu minuman.

"Baik. Tapi maaf untuk yang satu ini, aku harus melihat kartu identitasmu," jawabku, seraya memberinya setengah senyuman. Dia tidak terlihat di bawah umur dan aku cukup yakin aku pernah memberinya alkohol sebelum ini, tetapi lebih baik bermain aman daripada menyesal.

"Apa? Kau tidak tahu siapa aku?"

"Apakah aku seharusnya tahu...?"

Dia tampak kesal selama beberapa saat sebelum sesuatu menyadarkannya dan dia mengangguk. "Kurasa aku tidak seharusnya berharap orang sepertimu tahu."

Sesuatu tentang caranya mengatakan itu membuatku jengkel. Apakah dia seorang selebriti? Dia memang tampak seperti seorang aktor atau mungkin seorang musisi. Namun, sekali lagi seseorang seperti aku pasti akan tahu kalau dia memang selebriti. Dia mungkin seorang putra dari keluarga kaya raya yang mencari nafkah dengan membuat pesawat terbang. Aku tidak terlalu peduli siapa dia. "Kartu identitasmu," aku mengulanginya.

Pria itu mengeluarkan dompet kulit hitam yang memiliki ukiran kata Hermes di sisi kiri bawahnya dari celana jeans-nya. Dia mengulurkan tangannya. "Ini."

Aku mengambil kartu ID itu darinya, dan seketika mataku bergerak meluncur ke bagian kartu yang menuliskan namanya sebelum aku bisa menghentikan diriku sendiri. Bennett Calloway. Benarkah? Pikirku. Bennet? Nama apa itu? Namanya juga tidak pernah kudengar, jadi dia mungkin tidak seterkenal itu. Mengerucutkan bibirku, aku memindai tanggal lahirnya. 25/12/89. "Kau berulang tahun di hari Natal?" kataku, mengembalikan kartu itu padanya.

Bennett mengangguk, memasukkan kembali kartu identitasnya ke dalam dompet. "Sejak hari aku dilahirkan."

Aku merasakan bibirku berkedut membentuk senyuman sebelum aku bisa menahan diriku lagi. "Bukannya itu agak menyebalkan? Aku yakin hadiah Natal dan ulang tahunmu akan digabungkan menjadi satu."

Tanpa berkedip tanggapannya adalah acuh tak acuh, "Tidak, tidak pernah begitu."

Aku hanya bisa tertawa canggung. Harusnya aku sudah bisa menebaknya. "Apa yang kau inginkan?" tanyaku beralih pada pria di sebelahnya.

"Aku mau air es," katanya.

"Tidak, dia tidak boleh memesan itu. Dia harus menikmati segelas wiski bersamaku," potong Bennett. "Berikan padanya kartu identitasmu."

"Aku tetap hanya akan minum air mineral."

Bennett menggelengkan kepalanya, memberikan tatapan tajam pada temannya. "Aku sedang mengalami krisis sekarang dan itu adalah tugasmu sebagai sahabatku untuk minum sepanjang malam bersamaku. Berikan kartu identitasmu padanya."

Aku bertanya-tanya keadaan krisis macam apa yang mungkin dialami oleh orang kaya raya berumur dua puluh lima tahun ini, tetapi aku kira lebih baik tidak mengetahuinya. Jika aku mendengar sesuatu seperti "tidak mampu membeli tiga Porsche" aku mungkin akan kesal sendiri. Aku benci memercayai kesan pertama, tetapi pria ini terlihat seperti anak manja yang akan menganggap hal semacam itu sebagai keadaan krisisnya.

"Ben, aku rasa agak berlebihan kalau menyebutnya sebagai krisis—"

Aha! Mungkin dugaanku tentang tiga Porsche benar! Dunia apa yang aku tinggali ini.

"Seb, kita membuat gadis cantik ini tidak dapat melakukan pekerjaannya. Berikan saja kartu identitasmu, aku berjanji tidak akan membuatmu mengambil lebih dari beberapa gelas. Aku tahu kau orang yang mudah mabuk."

Pria berambut terang itu ragu-ragu sejenak sebelum menyeringai dan mengeluarkan dompetnya. "Kau menyebalkan sekali."

"Buat dua gelas Lagavulin," kata Bennett dengan puas.

Setelah memeriksa kartu identitas temannya—Sebastian adalah namanya dan itu sangat cocok untuknya—aku pergi ke bar untuk memberikan pesanannya kepada pramutama bar kami, Trav. Ketika aku melirik kembali ke meja mereka, aku melihat Bennett menatapku dan aku balas menatapnya sampai dia menyadarinya. Sampai di titik ini biasanya pihak lain akan memalingkan muka, malu tertangkap basah, tetapi pria ini terus mengunci tatapanku dengan ekspresi puas di wajahnya. Merasa canggung, aku berbalik terlebih dahulu dan melihat si Bodoh Berdasi Bintang-Bintang di meja nomor tujuh, melambaikan tangannya ke arahku.

Sial. Blue Moon-nya.

"Bisakah kau memberiku sebotol Blue Moon?" aku berkata kepada Trav. "Aku benar-benar lupa kalau aku seharusnya mengantarkan itu."

Trav melepaskan tutupnya di ujung bar dan menyerahkan botol yang sudah terbuka itu padaku. "Dia mengawasimu seperti elang sepanjang malam. Taruhan dua puluh dolar, dia akan meminta nomormu."

Aku pura-pura muntah ketika aku berjalan pergi, dengan enggan kembali ke meja nomor tujuh. Ketika aku semakin dekat, aku memberinya senyuman termanis yang bisa kubentuk. "Aku minta maaf karena membuatmu menunggu untuk ini, Sir."

"Mungkin aku akan memaafkanmu kalau kau memberikanku sebuah ciuman," candanya, membuat semua rekan bajingannya tertawa bersamanya.

Untuk tip, untuk tip, untuk tip, aku meneriakkan kalimat itu di kepala aku. "Mungkin ketika aku sudah selesai," aku menggodanya.

Matanya bergerak ke atas dan ke bawah tubuhku dan tiba-tiba aku merasakan kulitku merinding. Ew, pokoknya ew. "Apa ada yang kau butuhkan lagi?" aku bertanya.

Salah satu dari pria itu menggumamkan sesuatu yang mungkin tidak ingin kudengar dengan pelan. Aku memutuskan untuk menerima keterdiaman mereka sebagai tidak, jadi aku melontarkan sebuah senyuman kilat dan bergegas pergi. Meja nomor dua dan delapan masih perlu dibersihkan dan aku tak kunjung melihat salah satu dari dua pelayan laki-laki yang bertugas bersamaku membersihkannya.

Tepat ketika aku menoleh ke belakang, Collin muncul di depanku, sedikit membuatku takut. "Ya ampun, jangan mendekati seorang gadis seperti seorang ninja begitu."

"Tolong bersihkan meja nomor dua dan delapan," dia memerintahku, sambil menarik dasinya. "Mereka sudah dibiarkan kotor selama hampir lima belas menit."

"Aku tahu," kataku, membiarkan sedikit rasa jengkel terdengar dalam nadaku. Kenapa dia selalu merasa perlu menyuruhku melakukan sesuatu? Aku tahu apa yang harus kulakukan sebelum dia mungkin memikirkannya. Dia membuatku kesal saja.

"Oh—sekarang tamu datang lagi, sapa mereka Hadley. Apa yang kau tunggu?"

"Namaku Henley," koreksiku sebelum berlalu untuk melakukan pekerjaan hostes sekarang.

Sejujurnya, bekerja di Michelangelo's itu payah. Sangat menguras tenaga. Untungnya, uang yang kuhasilkan? Tidak payah. Karena ini adalah restoran berkelas untuk orang-orang kelas atas, aku menghasilkan banyak uang setiap kali aku bekerja. Jadi meskipun aku harus berganti peran sebagai pramusaji/tukang bersih-bersih/hostes/pramutama bar sementara karyawan lain bahkan hampir tidak melakukan satu pekerjaan mereka dengan benar, uang di sinilah yang membuatku mau terus maju. Aku bisa menganggap Collin sebagai makhluk aneh yang tidak pernah tahu namaku. Aku bisa berurusan dengan pengusaha tua yang menyeramkan itu sepanjang malam. Aku bisa berurusan dengan semua itu karena aku butuh uang dan uang di sini cukup sepadan.

Jadi aku selalu berusaha menyapa para tamu baru senyaman mungkin, walaupun di satu sisi masih aku berusaha untuk tidak merasa rendah diri dengan rok pensil hitam dan blus putihku ketika harus berdiri di samping wanita cantik dengan gaun koktail merah sutra.

Dan kemudian aku membersihkan meja-meja kotor itu.

Dan kemudian aku mendapatkan pesanan bir lainnya dari si Bodoh Berdasi Bintang-Bintang dan aku tahu seseorang harus mencarikan sopir untuknya.

Dan kemudian aku benar-benar lupa tentang meja nomor empat sampai Collin berada di dekatku karena aku melupakan pesanan mereka. Untungnya, Trav yang melihatku berlari seperti ayam dengan kepala terpotong sudah mengirimkan pesanan gelas wiski mereka, yang mana sudah kosong di atas meja ketika aku akhirnya kembali menghadap mereka berdua.

"Aku mohon maaf sebesar-besarnya," kataku segera, menundukkan kepalaku dan berdoa mereka tidak akan meneriaki aku. Bayang-bayang tentang tip bagus itu lenyap seketika.

Sebastian memberiku senyuman simpatik ketika aku mengangkat kepala. "Jangan khawatir."

"Apakah kau sudah siap untuk memesan? Ah, kau pasti sudah siap. Aku tadi pergi hampir selama lima tahun. Aku sangat menyesal."

"Hiperbola, kau hanya pergi selama lima belas menit," Bennett memberitahuku, melirik arlojinya. "Apakah kau biasanya membuat pelangganmu menunggu selama ini untuk mengambil pesanan makanan mereka?"

Aku membuka mulut untuk menjawab, tetapi aku agak terlalu terkejut ketika mendengar kata-kata singkatnya untuk sempat memikirkan apa pun. "Maaf?" akhirnya hanya itu yang kukatakan.

"Biasanya seorang pelanggan harus menghabiskan kurang lebih sekitar satu jam di sebuah restoran. Pesanan minuman diambil pada saat kedatangan mereka sesegera mungkin, pesanan makanan diambil setelah lima menit. Lalu mungkin dibutuhkan sekitar dua puluh menit untuk menyiapkan makanan dan sekitar setengah jam bagi pelanggan untuk mengonsumsinya," jelasnya, berbicara tanpa basa-basi dan sangat elegan. "Kami sudah berada di sini lebih dari setengah jam dan pesanan minuman kami baru ditarik ketika pada saat ini dalam kunjungan kami, kami seharusnya sudah menerima makanan kami."

Sebastian bergeser di kursinya. Aku melongo ke arah Bennett, tidak bisa berkata-kata. Aku sangat tidak membutuhkan hal semacam ini hari ini. "Um, baiklah. Maaf."

"Maaf tidak dapat menebus pelayanan yang buruk."

Tetap tenang, Henley, tetap tenang. "Maaf," kataku lagi.

"Aku ingin tahu apa yang dipikirkan pemiliknya tentang bagaimana pegawainya mengelola tempat ini. Tentunya ini tidak cocok untukmu. Berapa yang kau hasilkan untuk melakukan semua ini?"

"Dengar, aku sudah meminta maaf. Apakah kau benar-benar harus menjadi orang brengsek hanya untuk hal semacam ini?" bentakku, merasakan tanganku mulai bergetar karena rasa malu. Apakah dia benar-benar harus mengolok-olok fakta bahwa aku bekerja sebagai pelayan? Aku tidak dibayar cukup untuk bertahan menghadapi hal-hal seperti ini.

Bennett menyentakkan kepalanya ke belakang. "Apa?"

"Aku benar-benar minta maaf karena telah melupakan mejamu dan aku akui itu kesalahanku, tapi ini hanya lima belas menit. Kau bisa melambaikan tangan kepadaku, atau orang lain dalam hal ini."

"Aku tidak berharap kau tahu siapa aku, tapi—"

"Maaf, tapi aku sungguh tidak terlalu peduli tentang siapa dirimu," aku menyela. "Apakah ada tingkat kepentingan tertentu yang membuatmu dapat dengan bebas mengolok-olok pekerjaan seseorang? Jika kau ingin pelayan baru, baiklah, aku akan mengirim seseorang datang kemari. Walau begitu, aku tidak bisa berjanji kau akan mendapatkan pelayan yang lebih baik karena sedari tadi bahkan aku juga harus terlibat dalam mengurus meja-meja lainnya."

Bennett mengernyitkan alisnya. "Itu bukan ancaman. Aku hanya ingin mengatakan aku mengagumi keberanianmu untuk membela dirimu sendiri."

"Uh." Aku berkedip. "Oh."

"Aku juga tidak sedang mencoba memarahimu. Itu hanya sepotong informasi yang mungkin akan berguna bagimu untuk diberitahukan kepada atasanmu. Aku tidak berharap tempat ini memiliki standar tinggi."

"Bennett." Sebastian menghela napas.

"Tidak ada yang kutujukan kepadamu," tambah Bennett, kepadaku. "Kata-kataku sesungguhnya ditujukan kepada rekan kerjamu yang tampaknya berpikir bahwa mengobrol di belakang lebih penting daripada tamu di sini. Ketika aku bertanya berapa yang kau hasilkan, itu karena kau jelas pantas mendapatkan yang lebih banyak lagi."

Aku melihat ke arah mereka berdua, merasa bingung. Jadi dia tidak sedang mencoba menjadi orang brengsek? Dia hanya membagikan ilmunya...? Entah yang mana pun, aku mungkin seharusnya tidak membentaknya. Aku sungguh beruntung dia tidak tersinggung karena itu.

"Bennett sering kali tidak menyadari cara bicaranya, jadi kau harus memakluminya," kata Sebastian padaku. "Maksudnya baik... biasanya."

"Oh, um, tidak apa-apa. Aku seharusnya tidak membentakmu juga. Maaf."

"Apakah kau menghasilkan cukup uang di sini untuk hidup layak?" tanya Bennett.

"Apa?"

Sebastian menyikut sisi tubuh Bennett. "Abaikan dia. Kami sudah cukup lama menahanmu. Dapatkah kami memberimu pesanan kami?"

"Oh, ya! Maaf."

"Tidak perlu meminta maaf," kata Bennett, sambil mengusap sisi tubuhnya. "Aku akan memesan daging rempah cincang dengan asparagus. Tolong, satu gelas Lagavulin lagi."

Aku mengangguk, membuat catatan transparan di kepalaku.

"Aku ingin Mahi-Mahi yang dikilapkan dengan jahe," kata Sebastian, mengambil menu dari meja dan mengembalikannya kepadaku. "Dan segelas air mineral."

"Tentu dan maaf sekali lagi."

"Aku akan membiarkanmu pergi kali ini, karena kau tampaknya bekerja dengan baik," kata Bennett, duduk kembali di kursinya.

Aku mengangkat sebelah alis. Orang kaya memiliki kepribadian yang aneh.

Satu Jam berikutnya terasa berjalan dengan lambat. Pengusaha di meja nomor tujuh terus semakin mabuk di setiap menit yang berlalu dan aku jadi bertanya-tanya apa yang akan dikatakan Bennett tentang waktu konsumen rata-rata mereka. Semua orang-orang itu telah berada di sini selama lebih dari dua jam. Bukannya Bennett benar-benar masih bisa berceloteh juga, karena pria itu sendiri mulai agak mabuk dan dalam perjalanan untuk semakin mabuk, jadi dia mungkin akan bertahan di sini selama beberapa waktu juga. Kini dia sudah beralih meminum bir.

Tepat ketika aku akan mulai membersihkan bagian atas meja konter, aku melihat seseorang melambai padaku dari sudut mataku. Mengerang, aku kembali ke meja nomor tujuh. "Kita sudah s—siap untuk tagihannya," salah satu dari mereka mengucapkannya dengan kurang jelas.

"Dan taksinya, ya?" aku bercanda.

"Aku ingin kau yang membawaku pulang," si Bodoh Berdasi Bintang-Bintang melantur, matanya berbinar dengan sorot nakal.

Berusaha untuk tidak membuat ekspresi tertentu, aku memaksakan diriku untuk tertawa. "Ah, kalau saja aku bisa meninggalkan tempat ini. Apakah kalian ingin aku membuat tagihannya terpisah?"

"Buat semuanya atas namaku," si Bodoh Berdasi Bintang-Bintang berkata dan aku mengambil kartu kreditnya dan membawanya ke kasir untuk proses tagihannya. Aku membelalak saat melihat total akhirnya. Tagihan itu lebih daripada apa yang bisa kubuat dalam dua malam pada akhir pekan sebagai pelayan. Aku tidak menyadari seberapa banyak pesanan mereka sampai sebelum ini. Dan pria itu membiarkan semua tagihannya ada di kartunya? Sungguh dermawan.

Dalam perjalananku kembali ke meja nomor tujuh, sebuah tangan muncul tiba-tiba dan meraih lenganku. Aku sedikit terlonjak, dan baru merasa tenang ketika aku melihat itu hanyalah Bennett. "Kamar kecil," katanya.

Aku menunjuk ke sudut paling kiri restoran. "Sebelah sana."

Menggunakan tubuhku sebagai pendukung dan hampir saja membuatku jatuh, dia bangkit dan kemudian melangkah menuju kamar mandi, sambil menggumamkan sesuatu tentang pernikahan. Aku melirik Sebastian, yang mengangkat bahunya ke arahku.

Aku mengembalikan kartu kredit itu kepada si Bodoh Berdasi Bintang-Bintang dan dia mengisi bagian tip dan menandatangani tanda terimanya, lalu mengembalikan buku catatan itu kepada aku. Sulit bagiku menahan keinginan untuk melihat seberapa banyak dia memberiku tip, tetapi pada akhirnya aku berhasil memasukkannya ke saku belakangku. "Terima kasih banyak, selamat malam, Tuan. Pulanglah dengan hati-hati."

Ketika aku berbalik untuk berjalan pergi, aku merasakan sebuah lengan berat di bahuku. "Kau bilang, kau akan pulang ke rumah bersamaku."

Aku melihat ke arah dasi berkelipnya dan tiba-tiba merasa perutku bergejolak. "Tolong jangan sentuh aku."

"Aku tahu kau menyukaiku. Kau mengawasiku sepanjang malam. Beruntungnya dirimu, gadis pirang kecil sepertimu adalah favoritku."

Aku mencoba merunduk di bawah genggamannya, tetapi dia justru memegangku lebih erat. Dia meletakkan tangan lainnya di rambutku, napasnya berat di leherku. "Aku harus memeriksa meja-meja lain," kataku.

"Apa kau tadi hanya menggodaku?"

Saat ini ketika kau mendaftar untuk menjadi seorang pelayan, itu artinya kau juga mendaftar untuk berurusan dengan sedikit pelecehan dari pelanggan yang menyeramkan. Hal seperti ini umum terjadi di seluruh pekerjaan bidang pelayanan pelanggan, sungguh. Jadi ya, aku agak kesal pada orang ini, tapi aku bisa mengatasinya. Aku pernah melakukannya sebelumnya. Jika aku membuatnya marah, itu akan membuat manajerku juga marah, karena kau tidak pernah tahu siapa orang-orang ini dan pengaruh apa yang mereka miliki. Ketika aku membentak Bennett, itu adalah kesalahan yang bisa saja menjadi sepuluh kali lipat lebih buruk daripada awalnya. Aku tidak bisa membiarkan hal semacam itu terjadi lagi.

Jadi aku mengambil napas dalam-dalam. "Maaf, aku hanya sangat sibuk."

"Jadi, kau tertarik?"

Bagaimana kalimatku dapat diterjemahkan menjadi itu, aku tidak tahu. "Tolong, biarkan aku pergi."

Saat itulah aku merasakannya. Sebuah tangan besar di pinggulku, menggerayangiku dengan kasar.

Aku merasakan darah mengalir deras ke wajahku dan seketika gelombang mual itu menjalari diriku. Oke, ini sudah melewati batas. Ini adalah penyerangan seksual. Aku tidak yakin apa yang harus aku lakukan. Aku tidak ingin menimbulkan keributan. Ini bisa membuat aku kehilangan pekerjaan. Tetapi apakah aku harus menghubungi manajerku? Memanggil polisi? Aku tidak bisa membiarkan dia terus menyentuhku.

"Pukul dia!" bentak seseorang.

Dan tanpa benar-benar berpikir, aku mendengarkan suara itu, mengangkat kepalan tanganku langsung mengarah ke rahang si mesum ini. Dia melepaskanku dan aku mendorong diriku menjauh darinya dengan segenap tenaga. Sejenak kami berdua terhuyung-huyung, tetapi kemudian sepasang lengan meraih pundakku, menstabilkan tubuhku. Aku menoleh dan melihat itu adalah Bennett.

"Dasar jalang," si Bodoh Berdasi Bintang-Bintang meludah, bergerak ke arahku.

Aku sedikit tersentak, menekan diriku lebih kuat ke arah Bennett.

"Cukup," kata Bennett.

"Kau pikir kau sedang bicara dengan siapa?"

Bennett mengangkat sebelah alisnya pada pria tua itu. "Kau pikir kau sedang berbicara dengan siapa, Mr. Curtis Voham?"

Si Bodoh Berdasi Bintang-Bintang—baiklah, Curtis namanya—membeku, matanya melebar setelah mengenali suara itu dan mungkin kini ketakutan? Aku melirik Bennett, yang mengambil sepotong kain dari bajunya dan mengibaskannya ke tanah. Tidak ada banyak orang di restoran, tetapi mereka semua menatap kami. Aku melihat Collin di sudut jauh tampak seperti seseorang yang baru saja mendapati kucingnya menjadi korban tabrak lari dan aku tahu aku dalam kesulitan.

"M-Mr. Calloway," sapa Curtis, keringat mulai terbentuk di lehernya yang gemuk. "Senang melihatmu."

Rasanya mengejutkan untukku melihat orang mesum ini—yang tentu saja memiliki lebih dari dua ratus pound daripada Bennett dan mungkin usianya dua kali lipat—terlihat sangat ketakutan pada pria yang lebih muda ini. Kenapa begitu? Apakah Bennett anggota mafia atau semacamnya?

"Seandainya saja aku dapat mengatakan hal yang sama tentangmu," komentar Bennett. "Tapi, siapa pun yang menyaksikan apa yang baru saja kusaksikan dan masih merasa senang berteman dengan pria yang baru saja terlibat dalam kejadian itu, tidak akan lagi menjadi kawanku. Mungkin aku harus memikirkan kembali pertemanan di antara kita."

"Ini salahnya—"

Aku berdecih. "Oh, ya Tuhan—"

"Tidak peduli itu salahnya atau bukan, kau tidak bisa menyentuh wanita tanpa seizin mereka," kata Bennett. "Silakan pergi sekarang."

Dan yang menakjubkan, Curtis melakukan hal itu. Bahkan tidak membantahnya sepatah kata pun. Sekelompok pria yang bersamanya juga telah berpencar, meninggalkannya untuk berjalan sendirian dengan kepala tertunduk.

Aku menghembuskan napas panjang. Tubuhku terasa kotor dan aku tahu aku harus mandi air panas dengan lama untuk merasa bersih lagi. Di mana para laki-laki belajar untuk bertingkah sesuka hati mereka kepada para perempuan? Aku seharusnya meninju pria itu lebih dari sekali.

"Sial, benar juga. Aku baru saja meninjunya," gumamku. "Dan bos melihat itu. Dia pasti akan memecatku. Aku kacau sekali."

"Orang itu pantas mendapatkannya."

"Kau yang seharusnya tadi meninjunya, bukannya malah memberi sugesti agar aku melakukannya," sergahku cepat. "Dengan begitu pekerjaanku tidak akan terancam."

Bennett menatapku dengan datar. "Tanganku terlalu suci."

Aku mendapati diriku menatap tangannya. Mereka memang terlihat sangat cantik... tidak, aku seharusnya tidak memikirkan itu. Aku menggaruk kepalaku dan kembali bergumam, "Aku benar-benar tidak bisa kehilangan pekerjaan ini. Aku tidak bisa kehilangan uangku. Apa yang harus aku lakukan? Aku rasa aku tidak akan menemukan tempat lain untuk menghasilkan banyak uang. Ahh, sial sekali."

"Jadi, kau memang butuh uang ya," Bennett bergumam pelan dan aku nyaris tidak mendengarnya. Dia cegukan dan aku mengabaikannya, terlalu sibuk dengan kegilaan kecilku.

Perlu beberapa saat bagiku untuk menyadari bahwa tubuhnya limbung. Sampai akhirnya tangannya menemukan bahuku lagi, berusaha mengamankan dirinya sendiri. "Sepertinya aku akan muntah," katanya, mengeluarkan sendawa paling menjijikkan yang pernah kudengar.

"Ugh, ew, ayolah," keluhku, meletakkan lenganku di pinggangnya dan bergegas kembali ke kamar kecil pria. Setelah meletakkannya di sebuah bilik, aku meninggalkan kamar mandi dan mendengar desisan aneh. Berhenti sebentar, aku melihat sekeliling, tetapi tidak melihat apa-apa.

"Harley," dia mulai lagi.

Kepalaku terayun ke ruang belakang, tempat ke arah Collin memanggilku, menyembunyikan setengah tubuhnya di belakang pintu. Dia sangat aneh . "Namaku Henley," kataku padanya ketika aku mendekat. "Dan tolong dengar, pria itu menggerayangi pantatku—"

"Jaga bahasamu," dia memperingatkan dengan nyaring. "Kau baru saja meninju seorang tamu."

"Ya, tapi—"

"Tamu yang sangat penting."

"Ya, tapi—"

"Apa kau tahu siapa dia?" tanya Collin dengan suara penuh ketegangan. Aku yakin jika dia menaikkan nadanya lebih tinggi lagi, dia akan mencapai tingkatan di mana hanya anjing yang bisa mendengarnya.

Aku merasakan perlahan bahuku merosot. Yep, aku tahu aku dalam masalah. Meskipun itu sebenarnya bukan salahku sama sekali. "Tidak, aku tidak tahu, tapi—"

"Apa pun alasannya aku tidak bisa membiarkan ini berlalu begitu saja," kata Collin padaku, menghela napas panjang. "Kau tidak dapat memukul pelanggan semaumu. Itu namanya tindakan kekerasan."

"Aku punya hak untuk itu," kataku cepat sehingga dia tidak bisa menginterupsiku lagi.

"Aku harusnya langsung memecatmu di tempat."

Jantungku berdegup kencang. Memecatku? Oh tidak, aku tidak akan sanggup jika harus dipecat. "Aku benar-benar minta maaf," kataku, memutuskan untuk meminta maaf daripada marah. Aku harus tetap memiliki pekerjaan ini. "Aku tidak akan melakukannya lagi. Maaf, aku tidak berpikir lebih jauh."

"Kau memang menggunakan otakmu. Tapi seperti yang aku katakan, aku tidak bisa berpura-pura kejadian ini tidak terjadi. Seluruh orang di restoran menyaksikan itu terjadi. Aku harus memberikan kupon pelanggan untuk menebusnya. Kupon, Hardy."

"Namaku Henley," kataku kepadanya, tetapi di titik seperti ini rasanya namaku tidak lagi penting untuk diperdebatkan.

"Kau akan diskors selama sebulan," dia memutuskan. "Kau pekerja yang baik. Aku tidak ingin kehilanganmu. Tapi jika aku membiarkan ini berlalu tanpa konsekuensi, siapa yang tahu seseorang akan berpikir mereka dapat memukul pelanggan berikutnya yang tidak mereka sukai? Kita harus memiliki sedikit jeda agar semua orang lupa."

Aku ingin mengatakan bahwa tidak ada yang melakukan hal semacam itu, bahwa tidak ada yang akan memukul pelanggan hanya karena mereka tidak menyukainya. Aku ingin mengatakan bahwa aku sangat memiliki hak untuk memukul orang mesum itu. Aku ingin mengatakan bahwa rasanya menyedihkan harus mendapatkan masalah untuk hal seperti ini. Aku ingin mengatakan bahwa persetan dengan aturan gila dan kepribadian anehnya, aku akan keluar dari sini.

Namun, aku tidak melakukannya.

Karena aku butuh uang.

"Maaf," aku meminta maaf lagi. Aku tahu pembicaraan ini sudah selesai. Tidak ada gunanya mencoba untuk melawannya lagi.

"Minta maaf kepada para tamu dan selesaikan pekerjaanmu dengan meja nomor empat dan kemudian kau bisa pulang," perintah Collin, meletakkan tangan di dahinya. "Ya ampun, aku sangat lelah."

Aku merasa rasa kesalku akan berkobar lagi. Dia sangat lelah? Entah bagaimana pada akhirnya aku berhasil tidak mengatakan sepatah kata pun. Aku yakin aku pasti bisa memenangkan penghargaan untuk kategori Kesabaran Terbaik Saat Berurusan dengan Orang Bodoh. Jadi kemudian aku berkeliling mengunjungi semua tamu dan meminta maaf atas perilakuku. Untungnya mayoritas dari mereka memberi selamat kepadaku karena telah meninju bajingan itu dan mereka juga memberi tahuku jika pria itu memberiku masalah lagi, mereka tahu perusahaan apa yang dimilikinya.

Ketika aku sampai di meja nomor empat lagi, aku menyadari bahwa baik Sebastian dan Bennett sudah menghilang. Saat bergerak lebih mendekat, aku menemukan tanda terima mereka. Keduanya pasti pergi ke hostes sendiri untuk mendapatkan tagihan mereka. Apa, mereka tidak bisa menungguku kembali? Aku merasa sangat kecewa. Aku belum berterima kasih pada Bennett atau mengucapkan selamat tinggal pada Sebastian. Namun, aku curiga Sebastian pasti memutuskan untuk membawa pergi Bennett yang tadi muntah untuk segera pulang. Jika orang-orang seperti mereka benar-benar penting bagi kalangan kelas atas, mabuk sampai-sampai muntah di restoran bintang lima mungkin tidak terdengar terlalu bagus

Jadi, seperti pelayan baik lainnya, aku mengambil slipnya untuk memeriksa tipnya. Ada catatan kecil tertulis di bagian atas tanda terima yang hampir tidak dapat kupahami, tetapi kemudian aku berhasil menguraikannya. Aku pikir menulis saat mabuk sama halnya seperti saat mencoba untuk berjalan. Aku memberinya acungan jempol karena bagaimanapun tulisannya tampak sedikit lebih mendekati hasil cetakan daripada hieroglif.

Henley,

Kau butuh uang. Aku butuh kekasih. Aku pikir kita akan menjadi partner bisnis yang sempurna. Silakan hubungi aku segera setelah kau merasa nyaman, tetapi jangan lakukan itu sebelum pukul 09:00.

x-xxx-xxx-xxxx

Bennett Calloway.

P.S tipmu adalah uang mukanya.

Mengesampingkan rasa penasaran, aku melihat jumlah tipnya.

$10.000,43

Aku hampir pingsan.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro