Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

6. Seppera Academy

Benda pipih itu diotak atik oleh Bumantara. Namun, tidak memberikan pengaruh apa pun. Ponsel pintar itu tidak berguna di dalam akademi, termasuk dalam pulau tersebut.

"Ponsel tidak bisa digunakan di sini," gumam Bumantara sambil mendesah panjang.

Ia mengarahkan pandangan ke lapangan luas yang ada di depannya. Lapangan yang ditumbuhi rerumputan tinggi dan tidak terawat.

"Mengapa akademi ini tidak memiliki seorang siswa? Apakah akademi ini tidak cukup terkenal?" Bumantara bertanya pada diri sendiri.

"Kau tidak tahu, tetapi dengan berani mengatakan akan menjadi siswa akademi. Apakah kau masih waras?"

Suara seseorang sontak membuat Bumantara mencari keberadaan si pemilik suara. Mentari tepat berdiri di sampingnya lalu duduk menemani cowok itu. 

"Tidak ada pilihan lain."

Mentari mengangguk pelan. "Yah, kau benar. Jika kita tetap bersikeras pergi meninggalkan tempat ini, maka dapat dipastikan kita kehilangan nyawa. Dapat kulihat sorot mata Patra yang menatap tajam. Dia berucap serius dan jujur aku merasa terintimidasi dengan tatapannya itu," jelas gadis berambut keriting itu.

"Tapi kau terlihat sangat berani di depan Patra."

Mentari mengedikkan bahu. "Kau juga terlihat berani di depan Patra, padahal kau tidak banyak bicara dan malah membuat keputusan besar. Aku tidak tahu apakah kita bisa memenangkan turnamen itu, tapi aku akan melakukan yang terbaik. Kau juga akan melakukannya, kan?"

Bumantara mengangguk. "Ya. Aku akan melakukan yang terbaik dalam turnamen itu."

"Patra mengatakan kita boleh melihat-lihat di sekitar akademi. Kau mau ikut tidak?" Mentari bertanya seraya beranjak dari tempat duduknya.

"Apakah tidak apa-apa? Kau tidak pergi dengan Rembulan dan Pijar?"

"Mereka lagi sibuk makan. Satu-satunya yang senggang di sini, ya, hanya kau saja."

Bumantara akhirnya setuju untuk pergi bersama Mentari melihat-lihat akademi. Secara kasat mata, akademi itu terlihat tidak terurus, tetapi mereka dapat merasakan energi kehidupan di akademi tersebut. Fasilitas akademi pun cukup lengkap dan berada di tempatnya masing-masing.

"Lampu itu menunjukkan kekuatan apa?"

Bumantara menunjuk dirinya sendiri. "Kekuatanku?" tanyanya bingung.

"Tentu saja. Menurutmu aku bicara dengan orang lain?"

Bumantara menggaruk tengkuk lehernya yang tidak gatal. "Tidak jauh-jauh dari kemampuanku, yaitu lari. Tapi lariku jauh lebih cepat dari yang biasanya," jelasnya singkat.

"Sama sepertiku, tapi aku memanah target yang tepat. Sepertinya aku memiliki penglihatan yang sangat tajam." Mentari berucap antusias. Jika kekuatan itu dapat dikembangkan dan digunakan dalam perlombaan ataupun kejuaraan seperti olimpiade, maka dapat dipastikan ia menang dengan mudah.

"Sepertinya kekuatan kita tidak jauh berbeda dengan kemampuan kita sendiri, tapi dalam versi yang telah ditingkatkan."

Penuturan Bumantara memunculkan tawa Mentari. "Kau terlihat pendiam, tapi ternyata kau banyak bicara juga, ya. Kau tidak seburuk yang aku pikirkan."

"H-hah? A-apa maksudnya?" Bumantara seketika gugup.

"Kau terlihat sangat membosankan dan lemah, tapi punya keberanian. Aku salut denganmu yang mau menerima keputusan Patra dan kepala sekolah yang menahan kita di sini."

"Aku hanya ingin cepat menyelesaikan tugas kita di sini dan kembali ke rumah."

Mentari mengangguk lalu mendahului langkah Bumantara. Sebuah pohon besar menjadi tempat pemberhentiannya. Di bawah pohon tersebut, tumbuh jamur beraneka warna. Ada serangga-serangga kecil di jamur itu. Pun dengan kupu-kupu yang berterbangan di sekitarnya.

"Hati-hati beracun." Peringat Bumantara pada Mentari yang hendak menyentuh dan memetik jamur tersebut.

"Jamurnya indah," kata Mentari lagi.

"Jangan dipetik. Aku takut jamurnya beracun."

Mentari tersenyum miring lalu kembali melanjutkan langkah. Mereka memutuskan kembali ke tempat di mana teman-teman yang lain berada. Di sana, mereka dijamu dengan berbagai makanan enak yang sayang untuk dilewatkan begitu saja.

"Kau dari mana saja, Tari?" Pijar bertanya dengan mulut penuh.

"Hanya berkeliling." Mentari menarik kursi lalu mendudukkan diri di sana.

"Makanlah. Kau pasti lapar karena belum memakan apa pun." Rembulan ikut bersuara sambil menyodorkan sepiring makanan di depan Mentari.

"Apakah kalian tidak takut diracun?"

Pertanyaan Mentari sontak membuat mereka yang berada di meja makan itu berhenti mengunyah dan mengarahkan pandangan ke arah gadis yang pandai memanah itu.

"Kau merusak kesenangan saja," tukas Ancala sambil menyeka bibir dengan selembar tisu.

"Aku mengatakan hal terburuk yang mungkin dilakukan Patra pada kita," kata Mentari lagi.

"Tapi kami baik-baik saja. Makanan di sini juga enak-enak semua," sahut Samudera angkat suara.

"Aku tahu kau khawatir, tapi menurutku, Patra tidak mungkin meracuni kita. Hal itu hanya akan membuatnya rugi, karena keberadaan kita dibutuhkan di sini." Gegana memberikan penjelasan yang masuk akal. Patra tidak mungkin melukai orang-orang yang keberadaannya dibutuhkan bagi akademi.

"Aku setuju dengan Gegana." Bumantara menyahut lalu mencomot salah satu kue yang ada di meja itu.

Mentari memperhatikan teman-temannya dan mereka terlihat baik-baik saja. "Terdengar masuk akal." Ia lalu mencomot buah-buahan yang ada di meja itu. Sejujurnya, ia merasa sangat lapar, tetapi rasa khawatirnya jauh lebih tinggi. Namun, hanya dirinya saja yang memikirkan hal itu, sedangkan teman-temannya tidak.

"Tidakkah kalian bertanya-tanya mengapa keberadaan akademi ini penting bagi Graxland? Juga, benarkah kita berada di Graxland yang sama dengan Graxland yang kita tinggali? Pulau ini bahkan tidak terdeteksi sebelumnya. Apakah pulau dan akademi ini berada di dunia paralel? Tepatnya Graxland di dunia yang berbeda?" Gegana tiba-tiba mengajukan pertanyaan.

Samudera mengedikkan bahu. "Aku juga penasaran dengan keberadaan pulau ini, tapi Patra juga tidak memberitahukan detail akademi, terutama pulau ini pada kita."

"Menurutku kita tidak seharusnya memikirkan hal itu. Fokus utama kita ialah mengikuti turnamen," sahut Rembulan.

"Tapi, Lan, aku juga penasaran dengan apa yang dikatakan Gegana. Terutama tentang akademi ini. Kenapa begitu penting bagi akademi?" Pijar juga ikut dalam obrolan tersebut.

"Dari yang kulihat, akademi ini tidak terurus, tapi aura akademi ini sendiri sangat kuat. Mungkin telah melahirkan siswa-siswi berbakat yang sekarang menjadi orang-orang penting di Graxland. Mengenai Graxland ini sendiri pun, kita tidak akan tahu jika tidak menjelajahinya langsung. Sayangnya kita belum mendapatkan izin keluar dari akademi," tukas Mentari memperjelas.

"Kalian hanya menyakiti diri sendiri. Memikirkan hal-hal yang tidak kalian tahu. Sebaiknya lakukan saja apa yang harus dilakukan tanpa mengetahuinya secara dalam jika tidak ingin terikat." Ancala yang tidak tahan akhirnya bersuara.

"Kau setuju mengikuti turnamen itu?" Entah apa yang merasuki Bumantara, tetapi dengan berani ia menanyakan hal itu pada cowok yang terkenal keras kepala.

"Tidak ada pilihan, kan? Lagipula aku tidak ingin mati terjerat akar-akar itu," jawab Ancala.

"Hari ini sebaiknya kalian beristirahat, karena mulai besok, akan menjadi hari yang melelahkan. Saya tidak akan memberikan toleransi apa pun pada kalian semua." Patra berucap tiba-tiba. Pria itu berada tepat di belakang Bumantara. Seluruh mata memandang ke arahnya.

Bersambung...

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro