11. Kekuatan Bumantara
Raut khawatir tidak dapat disembunyikan dari wajah Bumantara. Cowok itu mondar-mandir di depan ruang perawatan akademi. Menunggu Gegana yang tengah ditangani oleh petugas kesehatan akademi.
"Aku tidak bisa mengontrol emosi dan malah menyakiti Gegana. Semoga dia tidak apa-apa." Harap Bumantara dalam hati.
Gegana ditatap sebagai musuh yang harus dikalahkan oleh Bumantara. Ia tidak menyangka bahwa dirinya akan disulut emosi sebegitu parahnya sampai menyerang Gegana dengan liar. Patra menghentikan aksi Bumantara. Pada awalnya, cowok itu masih bersikeras dan ingin terus menyakiti Gegana. Akan tetapi, Patra berhasil menenangkan dirinya.
"Kau terlihat sangat khawatir. Gegana pasti akan baik-baik saja." Mentari mencoba menenangkan Bumantara yang sejak tadi mondar-mandir.
"Aku merasa sangat bersalah padanya. Entah kenapa aku tidak bisa mengendalikan emosi dengan baik," tukasnya.
"Kau baru mengetahui kekuatan itu. Wajar jika belum bisa mengendalikannya dengan baik. Aku dan teman-teman yang lain pun begitu. Kita sama-sama belajar di sini."
Ucapan Mentari sedikit menenangkan Bumantara. Ia menumbuhkan pikiran positif dalam kepalanya bahwa Gegana akan baik-baik saja.
"Terima kasih, Mentari. Kau sedikit menenangkanku."
"Hmm." Mentari mengangguk pelan.
Pintu ruang perawatan tersebut terbuka. Menampakkan Patra dan seorang wanita berkacamata. Bumantara melesat cepat menghampiri kedua orang tersebut.
"Keadaan Gegana bagaimana?"
"Dia sudah baik-baik saja sekarang," jawab sang wanita.
"Apakah saya boleh melihat Gegana?" tanya Bumantara lagi. Ia ingin memastikan bahwa temannya itu dalam keadaan baik-baik saja secara langsung.
"Anda bisa menjenguk Tuan Gegana," jawab Patra. "Setelah itu, temui saya dan Tuan Andro di ruangannya. Ada yang ingin saya dan Tuan Andro sampaikan pada Anda."
Bumantara meneguk salivanya kasar. "Baik," ucapnya singkat kemudian berlalu memasuki ruang perawatan Gegana.
Cowok pemilik kekuatan besar itu terbaring dengan wajah pucat di ranjang. Perlahan, Bumantara menghampiri Gegana. Ia belum sempat mengatakan apa pun, tetapi Gegana sudah lebih dulu membuka matanya.
"K-kau baik-baik saja?" Bumantara bertanya ragu. Ia tidak tahu apakah pertanyaan itu tepat, tetapi untuk saat ini, hanya itu saja yang terlintas di kepalanya
Gegana mengangguk pelan. "Aku baik-baik saja," jawabnya. "Tapi tidak dapat dipungkiri jika sebelumnya keadaanku tidak sebaik sekarang."
"Aku minta maaf. Aku tidak bermaksud menyakitimu, Gegana. Emosiku tidak dapat dikontrol dengan baik." Bumantara berucap penuh sesal. Melihat keadaan Gegana membuatnya teringat dengan gambaran dalam lampu pemberitahu kekuatan itu. Apakah gambaran tersebut akan menjadi nyata?
"Mau bagaimana lagi. Semuanya telah terjadi dan aku tidak bisa marah padamu. Baik kau dan aku, kita sama-sama seorang amatir yang bahkan tidak mengetahui jika memiliki bakat terpendam. Kita harus berlatih dengan giat lagi, agar kau mampu mengendalikan kekuatan itu dan aku pun mampu memberikan perlawanan meskipun energiku telah diserap olehmu."
"Ya. Aku akan berlatih lebih giat lagi. Aku akan pergi sekarang. Semoga cepat sembuh."
Bumantara meninggalkan ruangan tersebut. Pun dengan teman-temannya yang akan masuk ke ruangan Gegana untuk menjenguknya.
"Apa yang ingin dibicarakan Patra dan kak Andro padaku, ya?" Bumantara bertanya di sela-sela langkahnya. Beberapa detik kemudian, ia menepuk jidat. "Patra dan kak Andro pasti marah denganku," ucapnya menjawab pertanyaan sendiri.
Tidak ingin membuat kedua orang itu menunggu lebih lama, Bumantara bergegas menuju ruangan Andro. Ia mengetuk pintu besar itu. Namun, tidak ada jawaban dari si pemilik ruangan.
"Apakah tidak ada orang?" tanyanya bingung.
Samar-samar, Bumantara mendengar pembicaraan dari ruangan tersebut. Ia menempelkan telinganya ke pintu guna memastikan indera pendengarannya dalam keadaan baik-baik saja. Beberapa detik lalu ia mengetuk, tetapi tidak ada jawaban. Tetapi sekarang, ia mendengar pembicaraan dari dalam ruangan.
"Kau harus melatihnya lebih baik lagi."
"Aku tahu. Kau tidak perlu mengajariku semua hal. Bumantara adalah anak asuhku dan kau tidak perlu ikut campur. Dia adalah tanggung jawabku," tukas lawan bicara yang diketahui pasti oleh Bumantara adalah Andro.
Hening. Patra tidak membalas ucapan Andro. "Anda bisa masuk, Tuan Bumantara."
Si pemilik nama tersentak kaget saat Patra memintanya masuk ke ruangan tersebut.
Bumantara memasuki ruangan tersebut. "Maaf mengganggu," ucapnya gugup. Tidak disangka jika Patra mengetahui bahwa dirinya menguping.
"Kamu mendengar pembicaraan saya dan Patra?" Andro bertanya serius pada anak didiknya itu.
Bumantara menundukkan kepalanya. "I-iya, Kak," jawabnya takut.
Jawaban Bumantara meluncurkan tawa dari bibir Patra. "Kak? Umurmu terlalu tua untuk dipanggil kakak," tukasnya menatap remeh Andro.
"Tsk. Diamlah. Aku tidak ingin menciptakan kesenjangan antara guru dan murid. Aku menginginkan anak didikku menganggapku sebagai seorang teman," jelas Andro membuat pembelaan.
"Katakan saja jika kau tidak ingin dianggap tua oleh anak muridmu," sahut Patra lagi.
"Kau mengkritikku. Tidakkah kau melihat diri sendiri? Orang-orang memanggilmu dengan nama, tanpa embel-embel apa pun. Kau ingin kembali ke masa-masa di mana kau berstatus sebagai siswa akademi?" Andro yang tidak mau kalah membalas ucapan Patra.
"Sejak awal aku sudah dipanggil seperti itu. Tidak sepertimu yang baru saja menetapkan panggilan itu pada Tuan Bumantara." Patra kembali membalas.
"Kau tidak pernah melepaskanku. Selalu saja mengkritik, bahkan mengamati setiap pergerakanku. Kau selalu ada di saat aku menemani Bumantara latihan. Tidak bisakah kau melepaskanku sedikit saja?"
Bumantara melongo di tempatnya. Ia tidak begitu mengerti ke mana arah pembicaraan kedua pria itu. Tetapi, ia tidak ingin beranjak meninggalkan ruangan tersebut. Ini kali pertamanya melihat Andro dan Patra berada dalam satu bingkai yang sama. Melihat keduanya berdampingan seperti itu membuat wajah mereka semakin mirip.
"Tidak. Kau selalu membuat masalah. Aku tidak ingin kau membuat keonaran, tetapi pada akhirnya kau pun menciptakan masalah bagi siswa akademi. Kau tidak bisa melihat Bumantara melalui kacamatamu saja. Janganlah kau mengulang hal yang dulu pernah terjadi," tukas Patra serius.
"Kau bicara tanpa tahu apa-apa. Aku telah berusaha keras dengan menjadi mentor Bumantara. Menurutmu kesalahan yang dilakukannya karenaku?" Andro mulai tersulut emosi.
"Aku tahu kau bisa melakukan hal yang lebih baik dari ini."
"Sejak dulu kau tidak pernah menghargai apa yang kulakukan."
"Akan kuhargai semua jerih payahmu jika kau berhasil melakukannya dengan baik. Sekarang, anak didikmu sedikit banyaknya mengetahui tentang mentornya," tukas Patra lagi.
Andro menoleh ke arah Bumantara yang masih mematung di tempatnya. Atmosfer di ruangan itu tidak lagi sebaiknya saat pertama kali Bumantara memasukinya. Dirinya bahkan tidak mampu menggerakkan kaki meninggalkan ruangan tersebut.
"Maaf jika saya lancang dan tidak keluar dari ruangan ini. Saya merasa tidak bisa menggerakkan kedua kaki saya." Bumantara langsung berucap sebelum Andro menyemprotnya lebih parah.
"Yah, tidak apa-apa. Aku memanggilmu untuk mendiskusikan lebih lanjut mengenai kekuatanmu," tukas Andro yang sudah mulai kembali tenang.
"Saya akan latihan lebih giat lagi dan belajar mengendalikan emosi dengan lebih baik. Saya minta maaf karena telah membuat kekacauan hari ini."
Bersambung...
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro