1. Pemenang
Bumantara meremas dadanya yang bergejolak hebat. Kerumunan orang yang memenuhi stadion olahraga membuat hatinya gelisah. Buliran keringat meluncur dari pelipis hingga membasahi lehernya dengan deras. Perasaan seperti ini bukanlah yang pertama untuknya, tetapi entah mengapa kali ini terasa berbeda.
"Semangat, Sayang. Ibu yakin kamu menang!"
Teriakan seorang wanita berambut cokelat gelap menarik perhatian penonton lainnya. Namun, hal tersebut tidak membuatnya menurunkan volume suaranya. Satu hal yang diketahuinya saat ini adalah, ia harus memberikan semangat pada anak semata wayangnya.
Bumantara menggeleng pelan. Sejujurnya ia malu, tetapi di saat yang bersamaan ia juga senang karena sang ibu datang mendukungnya secara langsung. Senyum bangga sang ibu yang tergambar jelas membuat rasa gugupnya sedikit berkurang.
"Aku harus berjuang sebaik mungkin dan memenangkan olimpiade." Bumantara berucap dengan tangan terkepal.
Cowok bernetra cokelat itu menarik napas dalam lalu mengembuskannya perlahan. Terlihat jelas di netranya bahwa lawan-lawan yang akan dihadapi merupakan orang-orang berpengalaman yang telah lama berkecimpung di olahraga atletik dan sudah memenangkan beberapa kejuaraan.
"Mereka mungkin profesional, tapi aku juga seorang atlet," ucap Bumantara menyemangati diri sendiri lalu memposisikan diri di garis start.
Tembakan di udara membuat Bumantara dan lawan-lawannya melesat meninggalkan gadis start. Bumantara mengerahkan seluruh tenaga yang dimilikinya agar dapat dengan cepat sampai ke garis finish. Teriakan penuh semangat sang ibu yang didengarnya samar menambah semangat dan kepercayaan dirinya.
Usaha keras yang dilakukan Bumantara tidak sia-sia. Ia keluar sebagai pemenang cabang olahraga atletik, lebih tepatnya pada lari jarak pendek. Lawan-lawannya memberikan apresiasi tinggi, mengingat ia merupakan kontestan termuda dalam ajang olimpiade yang biasa diselenggarakan tiga tahun sekali itu.
"Bumantara, Ibu sangat senang kamu memenangkan olimpiade ini." Wanita yang menyebut dirinya sebagai ibu itu memeluk bangga putranya. Buliran air bahkan menetes di sudut matanya.
"Ini semua berkat Ibu yang terus mendukung Bumantara." Cowok itu berucap dengan rendah hati. Selama ini, yang membuatnya kuat adalah sang ibu.
"Ibu bangga padamu. Begitu juga dengan ayah. Sayang ayahmu tidak bisa melihatmu memenangkan olimpiade. Padahal itu impiannya," tukas sang ibu lagi.
Bumantara mengangguk pelan. "Ya, sayang sekali Ayah pergi lebih dulu meninggalkan kita," balasnya sambil mengulas senyum tipis.
Sang ibu mengelus puncak kepala putranya. Impian bertanding di kejuaraan besar seperti olimpiade Graxland adalah impian sang ayah yang diteruskan Bumantara. Cita-Cita yang diucapkan seorang bocah laki-laki bukan hanya ucapan belaka. Bumantara berusaha keras mewujudkan cita-cita itu dan kini ia berhasil.
"Ibu lihat banyak anak muda seumuranmu yang memenangkan olimpiade. Masa depan Graxland pasti akan cerah di tangan anak-anak berbakat seperti kalian."
Bumantara memperhatikan orang-orang yang memenuhi podium. Terlihat pemenang utama cabang olahraga balap sepeda adalah seorang perempuan yang seumuran dengannya. "Entahlah, Bu. Tapi Bumantara juga senang melihat mereka yang seumuran dengan Bumantara memiliki semangat yang sama dalam mewujudkan impian."
"Ya, kamu benar. Ayo pulang. Ibu akan masakkan makanan kesukaanmu," ajak sang ibu yang langsung dijawab anggukan oleh Bumantara.
***
Sebuah potret yang tertempel di dinding membuat Bumantara melukiskan senyum cerah. Menenangkan olimpiade itu tidak hanya membuatnya senang, tetapi ibunya juga. Sangkin semangatnya, sang ibu memasak banyak makanan yang tidak sanggup dihabiskan olehnya. Ia bisa mati kekenyangan jika memaksa menghabiskan semua makanan yang terhidang di meja itu.
"Ibu terlalu berlebihan dan sepertinya ingin membuatku menjadi gendut." Monolog Bumantara lalu merebahkan diri di kasur. Ia memejamkan mata perlahan saat rasa kantuk mulai menyerang.
Angin kencang membuat jendela kamar Bumantara terbuka. Seorang pria melipat sepasang sayapnya sebelum melangkah masuk melalui jendela itu. Dia melangkah pelan, sampai tidak menimbulkan suara dari tapak sepatunya yang bergesekan dengan lantai. Netra sekelam malam miliknya memperhatikan Bumantara yang tertidur lelap untuk sesaat sebelum melanjutkan langkah.
Potret Bumantara di podium diperhatikan oleh pria asing itu. "Kandidat terakhir telah ditemukan," ucapnya pelan lalu mengambil sesuatu dari saku kemeja di balik jubahnya.
***
Suara kicauan burung membuat Bumantara membuka kelopak matanya. Ia beranjak dari ranjang sambil merenggangkan tubuh. Keningnya berkerut saat mendapati jendela kamarnya terbuka.
"Apakah kemarin aku lupa mengunci jendela?" Dia bertanya pada diri sendiri di depan jendela yang terbuka itu selama beberapa detik. "Mungkin terbuka karena angin," jawabnya atas pertanyaan sendiri.
Sebuah gulungan lagi-lagi membuat Bumantara menatap heran. Gulungan kertas dengan pita bewarna emas itu terlihat sangat menarik. Akan tetapi, Bumantara tidak ingat di mana ia mendapatkan gulungan tersebut.
"Bu!" Bumantara berteriak memanggil ibunya sambil membawa gulungan itu keluar kamar.
"Ada apa, Sayang? Pagi-pagi sudah teriak," sahut sang ibu membawa sebuah panci besar dengan asap mengepul.
"Ibu menerima gulungan ini?" Bumantara bertanya tanpa basa-basi.
Wanita itu meletakan panci sup ke atas meja lalu meraih gulungan tersebut. "Ah, undangan pelatihan khusus? Kemarin, ada seorang laki-laki yang memberitahukan hal ini pada Ibu. Kamu mendapatkan pelatihan khusus selama sebulan dan surat resminya akan disampaikan langsung. Ternyata kamu sudah menerimanya."
"Bumantara tidak menerimanya, Bu. Gulungan itu sudah ada di atas meja belajar. Tidak tahu kapan datangnya. Jendela kamar juga terbuka. Apa mungkin seseorang masuk dan mengantarkan surat dalam bentuk gulungan itu melalui jendela?" Bumantara bertanya penasaran. Selain bentuk surat yang unik, cara ia menemukan surat itu pun tidak biasa.
"Sudahlah. Tidak usah dipikirkan. Mungkin saja si pengirim surat sengaja melakukan itu untuk memberi kejutan." Sang ibu berucap santai.
"Tapi surat ini terlihat aneh, Bu."
"Kamu terlalu berpikir berlebihan. Bukankah bagus kamu mendapatkan undangan itu? Artinya kamu semakin maju dan berkembang. Kapan kamu akan berangkat?" Ibu Bumantara bertanya antusias.
"Tertulis di dalam surat, seharusnya dua hari lagi."
***
Bumantara adalah salah satu pemenang olimpiade. Ia bersama dengan pemenang lainnya mendapatkan surat undangan dalam bentuk gulungan bertinta emas. Hari ini adalah hari keberangkatan dan semua barang keperluan telah aman dalam tas ransel besar.
"Berlatihlah dengan giat. Jaga selalu pola makan dan jangan lupa minum vitamin. Ibu tidak ingin kamu kelelahan." Pesan sang ibu.
Bumantara mengangguk mengerti lalu menyambut pelukan hangat ibunya. Sebagai anak tunggal, hasrat membanggakan orang tua bergejolak hebat dalam dadanya. Namun, di saat yang bersamaan ia juga tidak tega meninggalkan sang ibu berteman dengan sepi.
"Haruskan Bumantara berangkat, Bu? Bumantara tidak ingin Ibu kesepian di rumah."
"Kamu bicara apa, hah? Sana pergi. Ibu tidak akan kesepian. Jangan menyia-nyiakan kesempatan."
Bumantara berpamitan pada ibunya sebelum masuk ke bus. Total ada tujuh orang peserta dalam bus tersebut, dan semuanya masih belia. Namun, status sebagai pemenang olimpiade cabang olahraga yang digeluti membuat mereka berbeda dengan remaja lainnya.
"Entah mengapa firasatku tidak enak." Bumantara berucap dalam hati sebelum mendudukkan dirinya di kursi.
Bersambung...
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro