Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

幸福

Soraru ingin mengusap wajahnya, untuk terakhir kalinya.

Ia tak tahu dimana jasad si albino bersemayam. Ia sama sekali tidak diberi tahu. Bahkan ketika ia bertanya, orang-orang hanya saling pandang kecut, kemudian memberi gelengan pelan.

Seolah mereka, tak mengizinkan ia bertemu dengan kesayangannya.

"Keadaan mayatnya mengenaskan sekali," lirih Kashitaro saat mengobrol dengan Naruse dan Araki, "aku yang ditunjuk menjadi ketua autopsi. Aku pun turut ditugaskan mengurusi pemakamannya. Dia... memang telah tiada."

"Kita tak boleh biarkan Soraru-san melihatnya," tambah Araki, "aku takut Soraru-san tidak akan kuat kalau lihat langsung..."

"Ssh!" Naruse mendesis, "kecilkan suaramu. Soraru-san masih di ruang sebelah!"

Ah, mereka tak tahu, bahwa Soraru benar-benar menguping pembicaraan itu.

Aitai...

Aitai na...

Mereka bahkan belum berpamitan dengan benar.

Mengapa, kau berbuat setega ini padaku?

Kembali menangkup wajah, membenam diri dalam isak tangis. Ah, sirna. Semuanya sirna. Pergi, hilang, meninggalkannya.

Sekali lagi setelah sekian lama, Soraru mati terbunuh. Lagi-lagi, dirinya mati terbunuh.

Kurushi na...

Hari demi hari yang ia lalui sebagai pasien terasa amat berat. Bukan hanya bagi dirinya, namun juga orang-orang di sekitarnya. Kashitaro tak berani lagi meninggalkan dia tanpa pengawasan. Karena jika itu terjadi, Soraru bisa saja meraih apapun itu yang sekiranya mampu memotong nadi di pergelangan.

Hari pertama, Soraru nyaris menggantung lehernya. Hari kedua, Naruse dan Ado harus susah payah menahan si raven yang berniat terjun ke dalam sumur. Hari ketiga, Kashitaro nyaris kecolongan saat Soraru meraih pisau bedah miliknya. Hari keempat, jahitan bekas operasi di perutnya terbuka, membuat lukanya menganga lagi.

Hari kelima, dirinya mulai menyerah.

Hari keenam, ia mulai menerima makanan yang diberi Ado.

Hari ketujuh, hari dimana dia mulai benar-benar membisukan diri.

Dua setengah minggu berlalu, barulah luka operasinya dinyatakan tertutup hampir sempurna. Soraru sudah boleh pulang.

Awalnya Kashitaro memerintahkan Naruse dan Ado untuk mengawal kepulangan si raven serta mengawasi agar Soraru tidak melakukan tindakan macam-macam. Tapi Soraru justru tantrum, memukuli siapa saja yang mencoba mendekatinya. Pada akhirnya Kashitaro menyerah, lalu mengizinkan Soraru pulang sendiri.

Langkah demi langkah si raven begitu gontai. Hampa, seakan tiada sukma bersemayam dalam raga. Jalan setapak yang ia pijak seakan kehilangan ronanya. Begitu juga jagat di sekitarnya. Soraru merasa dunia tak lagi berwarna. Bahkan sinar sang purnama di atas sana masih tak mampu memberi terang pada jalannya. Masih belum cukup mengembalikan sinar di sepasang biru samudera itu.

Ini berbeda.

Dia ingin pergi.

Semua sudah berakhir.

Kini, ia benar-benar sebatang kara.

Ia benar-benar telah kehilangan segalanya.

Samishi na...

Sedikit mendongak wajah kuyu yang pucat tirus itu, kehilangan tembam pada pipi yang sebelumnya gempal. Ah, dia sudah sampai. Di rumah kecilnya. Rumah kecil mereka.

Tempat dimana seharusnya mereka kembali bersama.

Tanpa minat tangan itu terulur. Membuka pintu kayu yang dingin.

Kosong. Sepi. Gelap. Tiada hawa kehidupan terasa dari tempat itu. Tanpa menghidupkan satupun sumber penerang, Soraru langsung masuk ke dalam kamar. Biarlah sang purnama yang masuk lewat jendela saja yang jadi pelita di rumah itu.

Derit pintu kayu digantikan denting jam di sudut kamar. Lelaki itu masih membisu, menatap kosong ruang yang juga tak kalah hampa. Sebetulnya tiada minat terpancar pada sorot biru samuderanya kala menyisir setiap sudut tempat itu.

Setidaknya, sampai sudut netra menangkap sepucuk surat yang tergeletak di atas meja di sisi jendela.

Soraru ingat betul benda itu tidak ada disana sebelumnya. Maka raga si raven bergerak mendekat, meraih sepucuk surat itu dan membukanya.

Untuk kesayanganku, Rarucchan.

Kilat air langsung menari-nari di kedua biru samudera matanya yang membulat itu.

Jika aku berhasil membereskannya dan kembali, aku akan langsung membakar surat ini. Tapi, jika surat ini sampai ke tanganmu, itu artinya aku pasti sudah mati.

Maaf, maafkan aku. Aku tak punya pilihan. Dia adalah mimpi burukmu. Aku tidak bisa membiarkannya kembali sewaktu-waktu dan menghancurkan hidupmu lagi.

Dia sudah melakukan dosa yang sama dua kali, Rarucchan. Mana mungkin aku masih bisa memberi maaf padanya? Bahkan, ia telah berkolusi lebih dulu dengan aparat. Cepat atau lambat, aku pasti mati.

Jadi, kuputuskan untuk membawanya jatuh dalam neraka bersamaku, agar dia tak memiliki kesempatan untuk kembali mengusik hidupmu. Sekali lagi, aku minta maaf dari hatiku yang terdalam atas keegoisanku.

Rarucchan...

Mungkin, kita memang tidak akan bertemu lagi. Tapi kuharap, kau bisa terus melanjutkan hidupmu tanpaku. Masih banyak orang-orang baik di sekitarmu yang pasti peduli padamu. Tersenyumlah. Jangan hanyut dalam kesedihan berlarut gara-gara aku. Aku ingin kau menghabiskan sisa hidup yang bahagia, di rumah kecil dengan pohon willow di belakangnya. Rumah kita, tempat kita berdua kembali. Jangan pernah sekalipun berpikir untuk sengaja menyusulku kemari, oke?

Haha, aku ini jahat sekali, ya...

Kau bebas mengutukku sesuka hati, kok. Aku ini memang manusia yang sangat jahat. Dari awal, sebelum semuanya terjadi. Aku ini memang orang yang jahat.

Bencilah padaku, dendamlah padaku, marahlah padaku. Karena pada akhirnya pun, akulah yang meninggalkanmu seorang diri. Akulah yang mengambil risiko menjadikanmu kembali sebatang kara. Hanya karena egoku yang terlalu dalam memberi hati padamu, aku jadi pecundang yang menyelesaikan masalah dengan membuang nyawa sendiri selagi menyeret orang lain ke jurang kematian.

Aku, memang sosok yang pantas mendapat penghakiman tuhan.

Rarucchan...

Sebelum kututup surat ini, aku ingin menyampaikan betapa aku tulus mencintaimu. Bertemu denganmu merupakan keajaiban terbesar yang pernah terjadi dalam hidupku yang carut marut ini. Berapa kalipun aku akan dilahirkan kembali, dalam keadaan apapun, aku yakin, aku pasti akan mencarimu. Akan kupastikan aku bisa menemukanmu. Kita akan berjumpa lagi. Saat itu, mungkin di dunia yang lain, kita bisa menghabiskan hidup berdua. Melakukan hal-hal yang kita sukai, bersama  teman-teman yang kita sayangi. Kita akan melihat dunia dengan cara yang berbeda. Bukan sebagai distopia, melainkan tempat indah dimana kita menemukan kebahagiaan.

Rarucchan, terima kasih telah hadir dan menemani di masa-masa akhir kehidupanku. Terima kasih telah memberikan kesempatan pada lelaki jahat ini. Terima kasih sudah membukakan hatimu. Terima kasih, karena engkau menjadikanku sosok yang sempat mengenal apa itu cinta dan kasih sayang. Aku benar-benar bersyukur memilikimu dalam hidupku.

Selamat tinggal, Rarucchan. Mari kita bertemu lagi suatu saat nanti, di kehidupan yang lain.

Aku selalu mencintaimu.

Kesayanganmu, Mafumafu.

Setetes, dua tetes. Kertas yang sedikit menguning itu mulai basah oleh airmata. Soraru pikir dirinya telah cukup kebal untuk tidak lagi terisak. Namun, rupanya benar ia jatuh terlalu dalam pada lelaki albino itu.

"Kejam..." keluhnya di sela tangis, "kamu memang sangat kejam, Mafu..."

Soraru tidak pernah benar-benar menyangka, bahwa mencintai seorang pendosa memang terasa semenyakitkan ini.

Di sela isaknya lisan itu kembali berucap, "Kau yang paling tahu, bahwa aku takkan mungkin bisa hidup tanpamu... Lalu kau menyuruhku untuk tidak menyusulmu??"

Ia dekap lembar surat itu erat-erat. Soraru bersimpuh, kembali tenggelam dalam suasana berkabung. Jujur saja, ia ingin melanggar permintaan itu. Ia ingin pergi, ia ingin menyusulnya. Soraru sudah tak punya siapa-siapa lagi. Untuk apa dia bertahan?

Tapi, apa dengan begitu pengorbanan albino kesayangannya terbayar?

Apakah harga nyawa seorang Mafumafu memang sepadan dengan kesia-siaan?

Tertegun seorang Soraru. Cukup lama ia berpikir sendiri. Hingga kemudian, sekuat tenaga ia berusaha meredam isak. Susah payah dihapus jejak airmata dan tangis. Ia menarik napas dalam. Masih berkaca-kaca, sulit ia menarik sudut bibir.

Ah, sepertinya. Dia memang belum diizinkan bersua dengan malaikat maut...

"Kau tahu, Mafu?" Lirihnya, "orang bilang, orang baik akan berpasangan dengan orang baik, dan orang yang jahat akan berpasangan dengan yang jahat pula..."

"...Sepertinya, perkataan itu memang benar, Mafu."

-

-

-

Tiga bulan telah bergulir.

Soraru telah lama kembali menjalani hidupnya. Menuai sukacita dari penduduk desa yang merangkulnya, peduli padanya.

Yang berikrar untuk menunaikan wasiat dari seorang lelaki albino.

Di siang menjelang sore itu, Sou melangkah ringan sembari bersenandung. Hari ini pekerjaannya selesai lebih cepat. Kini, pemuda surai kelabu itu punya lebih banyak waktu luang. Makanya ia terlihat senang.

"Oii, Sou-kun!"

Panggilan itu sukses menjeda langkahnya. Sou menoleh, mendapati Araki melambai ke arahnya.

Maka si pemuda surai kelabu mendekat. Selagi berjalan lisannya terbuka untuk bertanya, "Ada apa, Araki-san?"

Araki menyodorkan sebuah kotak. "Hari ini aku masak pie apel spesial. Karena lumayan banyak lebihnya, aku putuskan untuk bagi-bagi ke tetangga."

Seketika wajah Sou berseri. "Woah! Baunya harum... pasti enak, nih. Masakan Araki-san tidak pernah mengecewakan. Makasih banyak, Araki-san!"

Belum sempat pemuda kelabu balik badan, Araki kembali mencegatnya. "Eh, Sou-kun, bisa kau berikan ini ke tempat Soraru-san? Aku yakin dia pasti akan suka ini."

Mendengar permintaan itu, tentu saja Sou tak menolak. Ia tampa satu lagi kotak anyam dari Araki, sambil berujar mantap, "Serahkan padaku, Araki-san!"

"Jangan kau makan sendiri, loh, itu!"

"Ish, ngga akan, ah! Aku ini tahu diri!"

Kembali langkah demi langkah ia bawa menyusuri setapak desa kecil itu. Alamnya yang masih asri sama seperti biasa. Tak ada yang berubah. Tidak ada...

Lima menit berjalan, ia sampai di sebuah rumah kayu kecil di depan padang bunga Canola. Halaman yang asri terawat, bermekaran bebungaan yang tampak sekali telaten diurus. Sou membuka gerbang dan mengucap permisi.

"Soraru-san~ Soraru-san ada di rumah tidak, yaa?"

Pemuda itu mencari ke setiap sudut halaman. Nihil, ia tak bisa menemukan orang itu. Sempat mengintip ke dalam, tapi aksesnya terbatas. Pemuda itu mulai berjalan memutari rumah.

"Soraru-san~ Sou datang bawa makanan enak, loh! Soraru-san dimana?"

Langkah demi langkah mengantar Sou ke padang Canola di belakang rumah. Hamparan kuning sejauh mata memandang itu masih terlihat cantik sebagaimana mestinya.

Di tengah mereka, berdiri sebatang pohon willow yang cukup besar. Pelan Sou berjalan mendekat, yang akhirnya menemukan seorang pria muda berbaring di bawah pohon tersebut. Damai wajah sosok bersurai ikal itu. Kedua mata terpejam, seutas senyum tipis tersimpul pada bibirnya. Kedua tangan diletakkan di depan dada, menggenggam seikat lavender dan daisy putih.

"Rupanya Soraru-san disini... Sou nyarinya kemana-mana, tahu!"

Pemuda itu kemudian bergerak duduk di dekat si pria. Disodorkan kotak pemberian tadi sambil berkata, "Nih, ada bingkisan dari Araki-san. Pie apel buatan Araki-san enak, loh! Soraru-san pasti suka. Sou jamin, deh!"

Tak ada jawaban. Sou melanjutkan, "Sou dengar Soraru-san udah diangkat jadi asisten kepala di klinik sejak minggu kemarin, ya? Sou ikut senang dengarnya! Kalau ada apa-apa, Soraru-san boleh banget main ke rumah Sou sama Eve-san. Mau curhat juga boleh, kok!"

Angin berembus, membelai pelan helaian ikal si lelaki raven yang masih setia menutup mata. Sou terkekeh, "Duh, Soraru-san pasti lagi kecapekan banget ya... kerjaan jadi asisten kepala, kan, gak mudah."

"Oh iya, Soraru-san janji kan mau ajarin aku merawat tanaman herba? Halaman rumahku sepi sekali. Kalau kayak halaman Soraru-san, kan, nanti jadi bagus... Besok jangan lupa, ya, ajarin Sou sesuai janji, hehe... Eh, waduh sudah jam segini! Sou pamit dulu, ya, Soraru-san. Mau bantuin Eve-san di ladang."

Kemudian pemuda itu berdiri. Menepuk sejumlah ilalang yang menempel di celana, sekali lagi Sou melambai sebelum berlari kecil keluar dari kompleks ladang Canola itu.

Meninggalkan Soraru, yang masih tetap tak bergeming damai di tempatnya.

***
The End.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro