Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 9

06:16:26

Kucatat dalam memori otakku yang nggak minim-minim amat ini, bahwa saat ini ada kejadian paling menakjubkan yang baru kurasakan selama tujuh belas tahun aku hidup.

Sarapan keluarga besar.

Meski menurutmu bukan sesuatu yang W-A-H, tetapi percaya sama aku kalau ini adalah kali pertama sarapanku ditemani oleh beberapa orang. Karena aku memang belum pernah mengadakan sarapan keluarga dalam satu meja makan. Sarapan bersama adalah hal yang mustahil dalam sejarah keluargaku.

Ada Om Rully Sandi Antonio sebagai kepala keluarga yang duduk di ujung meja makan berbentuk persegi panjang ini. Ada Tante Kayla Antonio di sampingku. Lalu, ada Herlan Antonio Gilbert Natanael di depan Tante Kayla. Serta ada Lula Rizuki Ghea Antonio di hadapanku. Sedangkan aku, Hermiza Alyssa Daniar yang hanya secuil upil yang menclok di keluarga Antonio ini seenak jidat membayangkan kalau aku menjadi bagian dari keluarga harmonis ini.

Kuposisikan diriku sebagai upik abu yang dipungut untuk dijadikan anak asuh. Lalu, dengan tanpa uang sedolar langsung diberi gelar Antonio. Aku akan jadi anak tengah, sebagai adik Herlan dan kakaknya Lula. Beuh, mantep tingkat Monas. Hidupku bakal berubah 1000% dari yang kurang perhatian jadi kelebihan sorotan. Tiap menit detik pasti akan bahagia karena memiliki keluarga yang peduli lahir batin padaku.

Mimpiku udah keren belum, Genks?

Tapi ya sekeren apa pun mimpi, kalau kitanya bangun pasti buyar semua. Alhasil, alih-alih jadi anak kesayangan aku malah jadi babu di sini karena harus ikutan Lula cuci piring bekas sarapan. Ya cari muka dikitlah. Tahu diri juga. Masa iya numpang makan tapi nggak mau bantu beres-beres. Icikiwir, sekalian unjuk kemampuanlah sama Herlan. Aku nggak bego-bego amat kalau urusan cuci piring. Bisalah dipertimbangkan buat masuk kriteria istri idaman Herlan. Wkwkwk.

"Gue sekeluarga mau pergi ke gereja, nih." Lula memulai obrolan di sela-sela kegiatan kami mencuci piring.

"Itu kata-kata halus buat ngusir aku, Dek?" Aku mendramatisir seolah-olah aku nista sekali hingga harus diusir pake kode.

"Nggak gitu." Lula memasang ekspresi bersalah.

"Hehe ... bercanda. Iya nanti kalau kamu pergi aku pesen ojek onlen buat anterin aku pulang."

"Jangan. Lo, gue anterin balik. Sampe selamat sampe tujuan tanpa lecet."

"Ntar kamu telat ibadahnya. Nggak papa, nanti aku pesen ojek onlen, suer. Aku yakin tukang ojeknya sudah berikrar untuk mengantar penumpang tanpa lecet."

"Dari mana lo tahu?"

"Aku ngarang aja sih sebenernya. Tapi, beneran deh aku bakal balik dengan slamet. Itu pun kalo iya nama tukang ojeknya Slamet. Kalo namanya Makmur, berarti aku pulang dengam makmur. Tapi, intinya aku pulang sama Mas ojek onlen."

"Gak jelas lo."

"Kamu meragukan skil naik ojekku, hem?"

"Iyalah, tiap hari kan lo diantar jemput sama mobil, mana pernah gue lihat lo naik ojek. Kali aja sekarang lo khilaf gitu gelitikin abang ojeknya, ntar kalian nyusruk bareng diaspal."

"Astagfirullah, mulutnya--"

BRAK!

Suara gebrakan di meja makan membuat aku dan Lula sama-sama menoleh ke belakang. Kulihat wajah murka Om Rully yang sudah mirip singa mau menerkam mangsa. Di depannya Herlan sudah menenggelamkan wajahnya. Tubuh Herlan bergetar hebat. Mungkin itu reaksi kaget bercampur takut. Namun, kenapa Herlan bisa membuat Ayahnya semurka itu?

Bayangan keluarga harmonis yang beberapa menit lalu kubayangkan langsung hancur berkeping-keping. Aku tak sanggup memungutinya lagi. Karena yang kulihat sekarang adalah keganasan Om Rully yang melebihi ganasnya Ayah saat aku menyembunyikan laptopnya.

"Kamu bantah Papa?" Om Rully membentak Herlan lagi.

"Pa, tapi ...."

"Siapa yang sudah mencuci otakmu itu? Ustadz Hafiz? Atau anaknya, si Hanum itu?"

Herlan agaknya bingung harus berbuat apa. Aku juga ngerti sih, gimana pikiran Herlan. Ya mau jawab takut disangka ngelawan orang tua, nggak jawab salah juga.

"Kenapa diam?"

Suasana masih tegang, Pemirsah. Lula sendiri sudah mematung tepat di belakangku. Ternyata marahnya Om Rully pada Herlan berimbas juga pada Lula. Namun, mengapa dampaknya bisa sedahsyat ini? Kalau Lula punya gangguan mental bagaimana?

Pelan-pelan kutarik tangan Lula untuk berjalan menuju kamarnya. Meskipun aku masih kepo dengan permasalahan antara Om Rully dengan Herlan, tapi kondisi Lula juga harus kupikirkan.

"Lula, are you okay?"

"Gue takut."

"Tenang. Tarik napas dulu, buang perlahan." Aku menginstruksikan Lula agar rileks. Selanjutnya, yuk ah interogasi. Eh, nggak jadi deng, takut dia mewek di sini kan nanti berabe. Aku nggak bakat bikin orang berhenti nangis. Yang ada nanti aku malah kabur karena risih.

"Gue takut, Kak."

Aish, tumben manggil Kakak? Oke, lupakan, Miza! Ini bukan saatnya untuk nanya ini dan itu pada Lula.

Kudekati Lula, lalu kubawa dia dalam pelukanku. "Udah dong, jangan sampe nangis. Aku nggak bakat hibur orang yang nangis."

"Udah sebulan ini Kak Herlan dimarahi sama Papa. Gue nggak tega. Mau belain dia juga gue takut sama Papa. Sebelumnya Papa nggak suka marahin kita. Papa terlalu baik, dia juga paling sabar ngadepin sikap kita, sabar mendidik kita. Gue nggak nyangka marahnya Papa bisa sehebat ini."

Ah, ternyata pepatah yang mengatakan marahnya orang sabar lebih dahsyat dari orang yang sering marah-marah memang sudah terbukti.

Lula melepaskan pelukannya. Lalu, ia kembali bercerita. "Gue juga nggak tahu kenapa Kak Herlan bisa melawan Papa. Biasanya dia akan iya-iya aja kalau Papa sudah mengaturnya, toh gue sama dia juga tahu kalau nasihat Papa memang untuk kebaikan kita semua."

"Terus alasan yang membuat Papa kamu marah?"

"Kak Herlan sering ke Bandung buat belajar masalah agama islam sama Ustadz Hafiz. Tempatnya di pesantren milik Ustadz Hafiz. Setelah banyak belajar dengan beliau, dia mengutarakan maksudnya untuk pindah agama dan itu membuat amarah Papa meledak. Beberapa minggu yang lalu, Kak Herlan kalut karena Papa mengusirnya. Dia malah pergi ke Bandung menemui Ustadz Hafiz di rumahnya cuma berbekal alamat dari Mama. Mama mendukung Kakak karena beliau memang dulunya beragama islam."

Wait! Jadi, saat naik Argo Parahyangan waktu itu aku dan Herlan pergi bawa masalah? Duh, jodoh nih kayaknya. Eh, ya ampun pikiranku malah ke sana.

"Bentar, Tante Kayla muslim?"

Lula mengangguk. "Dulu nama Mama Aisyah Wulandari, semenjak dia memutuskan menikah dengan Papa, Mama mengganti namanya menjadi Kayla. Dia pindah agama mengikuti Papa. Tapi sampai sekarang, gue masih suka lihat Mama sholat."

"Hah? Mana bisa satu orang memeluk dua agama?"

Lula cuma mengedikkan bahu.

Aku masih ingin bertanya banyak pada Lula, tapi Tante Kayla sudah menyuruh Lula untuk pergi ke tempat ibadah. Saat aku dan Lula keluar kamar, Om Rully sudah keluar duluan. Tante Kayla tersenyum padaku dan berpamitan. Katanya kalau aku mau main dulu di rumahnya nggak papa.

"Mending lo temenin Kak Herlan di tempatnya bereksperimen. Gue rasa dia udah bosen curhat sama piano."

Aku cuma mengangkat kedua jempol.

***

Aku ragu untuk membuka pintu kamar Herlan, tapi aku kepo juga sama dia dan masalah keluarganya. Akhirnya kuberanikan diri untuk mengetuk pintu kamarnya. Sekali. Dua kali. Tak ada jawaban. Akhirnya, kubuka pintu kamarnya. Hal pertama yang kulihat adalah sosok Herlan yang sedang terduduk di lantai sembari memainkan ponselnya.

"Herlan?"

Herlan menoleh. Matanya yang merah bekas menangis langsung bertubrukan dengan mataku.

"Kenapa?"

Aku melangkah mendekatinya dan ikut duduk di sampingnya.

"Aku ketok-ketok pintunya, kok nggak disahut?"

"Aku mau sendiri, Miza."

"Kata Lula kamu bosen curhat sama piano, mending curhat sama aku."

"Lula suka bercanda. Aku nggak suka curhat sama piano. Nanti aku disangka gila karena ngomong sama benda mati."

Ngelawak, ya? Kok, garing, Lan? Eh, yaampun.

"Hemmm, sebenernya aku mau lihat ruang eksperimen kamu, sih. Kata Lula lebih banyak alat musik daripada alat-alat IPA."

"Boleh. Itu pintunya." Herlan menunjuk satu ruangan di samping lemarinya.

"Serius?"

"Iya."

"Kamu juga ikut, dong."

Herlan bangkit dari duduknya dan mempersilakan aku untuk memasuki ruangan rahasianya.

Aku dibuat takjub dengan berbagai lukisan yang tertempel di dindingnya. Gaya lukisan naturalis mendominasi. Namun, lukisan yang abstrak sangat menarik mata. Di sebelah kiri ruangan ada drum, piano, gitar, biola. Di sebelah kanannya ada kanvas dan alat-alat melukis, di samping alat lukis ada alat-alat IPA. Uhuy, ini lebih keren dari ruangan Lula.

"Bisa main piano?" tanya Herlan.

"Bisa. Tapi, nggak jago-jago amat."

"Main, gih. Lumayan buat hiburan."

"Bayar, ya."

"Pake apa?"

"Pake cinta."

Herlan tertawa. Lah, masa iya digombalin kayak gitu bukannya mesem-mesem malah ngakak?

"Kamu main piano, nanti aku kasih lukisan kamu saat main."

"Demi apa?"

"Aku serius."

Aku sih, nggak bisa nolak.

Aku membawakan lagu All Of Me milik John Legend, karena yang kubisa cuma lagu itu. Wkwkwk. Yang lain juga bisa, tapi nanti saat aku sudah selesai kursus sama Ayah. Ah, aku jadi kangen Ayah. Beliau suka sekali main piano. Namun, sayang sekali karena baru satu kali saja aku diajarinya main piano. Ya lagu si John ini. Itu pun mendadak. Karena dulu aku memergokinya sedang main piano dan aku memaksanya untuk mengajariku sampai hapal.

Usai menyelesaikan lagu ini, Herlan memberikan hasil lukisannya padaku. Aku agak kecewa sih, karena ternyata dia cuma menggambar sketsa wajahku sama pianonya saja, nggak dikasih warna. Saat kutanya, dia menjawab: waktunya kurang kalau sekalian dilukis.

Heem-in aja dah.

"Kamu mau pulang?" tanya Herlan.

"Nanti, masih betah."

"Oke."

"Hm."

"Suaraku kamu bagus juga."

"Keliatan banget boongnya."

"Serius."

Aku cuma garuk tengkuk karena salah tingkah.

"So, kapan kita bisa jadi partner duet? Ntar kita nyanyi di kafe biar dapat uang sekalian. Kan nggak sia-sia tuh nyanyinya." Aku mengusulkan hal bodoh ini.

"Boleh juga. Ntar kalo aku diusir Papa aku nggak kesusahan nyari duit."

Eng ... Aku nggak maksud ke sana loh, sumpah!

Aku cuma memasang tampang datar.

"Aku merasa nyaman saat sholat. Kurasa aku memang lebih yakin sama Allah. Aku belum pernah merasakan ini sebelumnya. Aku taat ibadah di gereja, tapi aku merasakan yang lain saat di masjid. Makanya aku memiliki keinginan untuk lebih dekat sama Allah. Aku yakin sama islam. Tapi, Papa melarangku. Papa mengharuskan aku satu keyakinan dengannya karena aku adalah keturunannya. Padahal Mama mendukung keinginanku pindah agama. Karena Mama juga dulunya beragama islam. Mungkin sampai sekarang. Aku sering melihat Mama sholat. Aku juga sering memergokinya tak ikut menyanyi di gereja. Papa tak mempermasalahkan itu. Tapi, kenapa aku tidak diperbolehkan seperti Mama?"

Duh, aku nggak tahu harus ngomong apaan. Kata orang: diam itu emas. Oke, mungkin mendingan diem aja. Tapi, tadi aku udah bilang ke Herlan biar curhat ke aku. Manggut-manggut aja kali, ya? Daripada kayak patung diem mulu.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro