Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 5

Mood-ku seketika hancur ketika jari jempolku berhenti menggulir puluhan foto di instagram. Hatiku seketika memanas memandang foto yang dikirim Athaya di akun miliknya. Di sana ia dan teman-temannya—termasuk Hito—sedang mengelilingi satu meja makan. Entah itu di rumah siapa, aku tak peduli. Yang membuat emosiku meluncur ke ubun-ubun adalah kelakuan Hito yang sedang memeluk Athaya. Sedangkan teman-temannya sedang tertawa lepas menatap keduanya. Drama apa lagi ini?

Aku langsung melempar ponsel ke kasur. Untung tak jatuh. Bisa gawat kalau pecah di lantai. Uang jajanku bakal dipotong kalau itu terjadi. Lalu, aku keluar dari kamar. Kubanting pintu keras-keras untuk meluapkan emosi. Sampai-sampai Uni yang lagi makan di depan TV langsung menengadah ke arahku. Ia menatapku tajam, sedangkan aku cuma mengedikkan bahu.

"Malam minggu, nih. Kamu nggak main sama Hito? Daripada rumah roboh, mending kamu pergi, gih," ucap Uni. Kontan aku menjerit histeris. Tak tahukah ia kalau aku sedang kesal luar biasa pada cowok itu?

"Aku mau jalan-jalan. Nggak sama Hito," putusku. Kemudian, kupanggil Pak Arya, sopir pribadi Ayah yang bertugas mengantarku ke mana-mana.

"Heh, yakin kamu mau pergi pakai kaos sama celana trening? Itu pakai sendal ceplek pula. Nggak malu sama pasangan yang lagi berbagi kemesraan di luar?"

Ih, apa, sih? Uni tambah bikin aku kesel.

"Bodo amat!"

Uni melanjutkan makannya dan aku pergi dari rumah. Entah mau ke mana. Yang pasti, saat ini aku butuh hiburan.

Pak Arya melajukan mobilnya pelan. Sangat pelan malahan. Saat kutanya kenapa, ia malah menjawab, "Tujuannya nggak jelas, Non. Makanya ini Bapak juga bingung mau jalan ke mana."

Aku manyun lagi. Aku juga bingung ini mau ke mana. Akhirnya kusuruh Pak Arya berhenti di depan sebuah taman. Kebetulan di sana cukup ramai. Beberapa tenda yang menyediakan makanan berjejer. Banyak anak-anak yang sedang jalan-jalan bersama keluarganya. Huh, ini malam minggu. Dan sepertinya cuma aku yang merasa malam ini kelabu. Sedangkan orang lain merasa senang karena bisa menghabiskan malam ini bersama keluarganya. Andai saja aku juga memiliki keluarga hangat macem mereka.

"Tungguin ya, Pak. Miza mau beli es krim. Bapak mau?" tanyaku pada Pak Arya.

"Enggak, Non."

"Yaudah."

Aku keluar dari mobil dan mendekati salah satu penjual es krim di pinggir taman. Aku duduk di kursi yang disediakan penjual es krim.

"Pak es krim cokelatnya satu cup," pesanku. Tak lama setelah itu, si penjual memberi apa yang ku mau. Setelah transaksi berjalan tanpa hambatan, kunikmati es krim sambil menikmati keindahan lampu taman yang berkelap-kelip.

"Pak, es krimnya sebelas cup."

Aku melirik ke arah cowok yang tadi memesan es krim sangat banyak. Gila aja sebelas cup, mau bikin gigi kesemutan?

"Eh, Herlan," seruku. Cowok yang sedang menunggu es krimnya siap itu lantas menoleh.

"Hai, Miza," sapanya sambil tersenyum ramah.

"Banyak banget beli es krimnya, lagi ngajak keluarga malem mingguan, ya?" tanyaku basa-basi.

"Enggak. Ini aku lagi—"

"Kak, es krimnya ada?"

Ucapan Herlan terpotong oleh seruan anak kecil yang kini menarik ujung kemeja Herlan. Kuperhatikan bocah berumur sekitar lima tahun itu dengan saksama. Kaos biru yang warnanya sudah hampir hitam. Celana pendek yang ujungnya sudah robek. Kaki tanpa alas. Wajahnya tampak lelah dan kotor. Oh, satu lagi, di tangan kirinya ada tutup botol fanta yang disusun kemudian dipaku dalam sebuah kayu kecil. Apabila di gerakkan maka akan menimbulkan bunyi.

"Bentar, ya, Rio."

Anak kecil itu mengangguk. Selanjutnya, ia ikut duduk bersamaku di kursi panjang.

Tanpa berpikir keras pun, aku sudah tahu Rio itu siapa. Pengamen jalanan yang mencari nafkah melalui kecrekan. Bertaruh melawan terik demi sesuap nasi. Anak malang yang seharusnya menghabiskan masa kecil dengan bermain. Sayang, nasibnya tak seberuntung anak-anak yang tadi pergi bersama keluarganya.

Beberapa saat kemudian, Herlan sudah membawa es krim yang dipesannya dan ia memberikan sejumlah uang pada si penjual. Ia menarik tangan Rio agar mengikutinya.

"Miza, aku duluan, ya," katanya.

"Boleh ikut?" tanyaku.

"Boleh."

***

Aku dan Herlan sampai di kolong jembatan yang tak jauh dari taman. Di sana tertata kardus-kardus yang kutahu adalah tempat bernaung pengamen-pengamen kecil semacam Rio tadi. Aku merasa tak enak sebenarnya menyebutnya pengamen, tapi memang begitu faktanya.

Herlan membagikan es krim yang tadi dibelinya pada Rio dan teman-temannya. Sementara itu, aku cuma diam memikirkan nasib kurang beruntung mereka. Aku sempat  berpikir bahwa akulah orang yang paling tidak beruntung di Bumi ini. Aku tak pernah merasakan kasih sayang Ibu karena beliau meninggal usai membantuku melihat dunia. Ayahku terlalu sibuk, sehingga tak pernah memperhatikanku. Ia hanya memberiku uang dan memenuhi kebutuhanku saja, tanpa tahu bahwa sampai sekarang aku sangat membutuhkan dirinya. Namun, setelah melihat kondisi mereka, aku jadi ingin menarik semua keluhanku pada Tuhan. Aku ingin menarik semua sumpah serapah yang pernah kulontarkan tiap kali kesal pada Tuhan. Aku merasa sangat-sangat tolol. See, Rio dan teman-temannya hidup di rumah kardus, sedangkan aku hidup di rumah mewah. Untuk makan, mereka harus bekerja terlebih dahulu. Sedangkan aku, cukup memanggil Mbak Iren untuk menyiapkan makan. Mereka tak memiliki keluarga. Sedangkan aku, masih harus bersyukur karena masih bisa melihat Ayah. Nikmat mana lagi yang kamu dustakan, Miza?!

"Miza, kamu melamun?" Guncangan kecil pada bahuku membuyarkan semua pikiran yang sedari tadi memenuhi kepalaku.

"Kamu sering ke sini?" Tanpa memedulikan pertanyaan Herlan, aku mengalihkan pembicaraan.

"Seminggu sekali. Pas malem minggu aja," jawab Herlan.

Herlan mengajakku jalan-jalan. Menyusuri trotoar yang ramai. Lalu, berhenti di salah satu tenda yang menyediakan makanan cepat saji. Herlan tak memesan apa pun. Setelah duduk, aku dengannya malah mengobrol panjang tentang Rio dan teman-temannya. Aku salut pada Herlan yang peduli pada sesama. Di saat semua muda-mudi sibuk dengan agendanya, sibuk dengan pacarnya, dan segala masalah keluarga—termasuk aku, Herlan malah menyempatkan waktunya untuk berbagi. Ia membahagiakan semua bocah tadi setiap malam minggu. Katanya, "Mereka cukup lelah setiap hari mencari nafkah. Padahal seharusnya, mereka menikmati masa kecilnya dengan bermain dan bersekolah."

"Kadang aku mikir, kenapa mereka nggak dikasih uang aja sama Bank Indonesia? Coba, deh, kalau BI nyetak uang banyak pasti nggak akan ada kemiskinan di Indonesia," ucapku.

"Ngaco, kamu." Herlan terkekeh. "Nyetak uang juga pake modal, Miza."

"Asal kamu tahu, nominal uang kertas itu lebih besar dari bahan pembuatannya," jawabku ketus.

"Oke, betul itu. Tapi gini, kalau suatu negara—dengan alasan miskin—mencetak uang sebanyak-banyaknya, yang terjadi bukan negara itu menjadi kaya, tetapi justru akan semakin miskin. Karena, ketika jumlah uang yang beredar semakin banyak, harga-harga barang akan melambung tinggi, dan inflasi terjadi. Akibatnya, meski uang dicetak terus-menerus, uang itu tidak bisa disebut kekayaan, karena nilainya terus merosot turun."

"Lah ya, tinggal bilang sama para pedagangnya, jangan naikin harga gitu."

"Harga barang, kan, tergantung pada perbandingan jumlah uang dan jumlah persediaan barang. Jika barang lebih banyak dari jumlah uang yang beredar, maka harga akan cenderung turun. Sebaliknya, jika jumlah barang lebih sedikit dibanding jumlah uang yang beredar, maka harga-harga akan cenderung naik. Karena itulah, pencetakan uang secara tak langsung juga ditentukan oleh hal tersebut, agar tidak terjadi inflasi."

"Oh, gitu, ya."

"Kalau kamu tahu, Indonesia juga pernah melakukan pencetakan uang dalam jumlah banyak, pada masa kepresidenan Soekarno. Karena pemerintah belum bisa maksimal memungut pajak dari rakyat waktu itu, Soekarno pun mengambil kebijakan untuk mencetak uang secara berlebih. Semakin banyak uang dicetak, harga barang semakin tinggi, dan terjadi hiperinflasi. Finish-nya, kita tahu, adalah demonstrasi yang terkenal dengan sebutan Tritura (tiga tuntutan rakyat), yang salah satunya permintaan agar harga-harga diturunkan."

"Itu di pelajaran ekonomi apa sejarah, sih, kayaknya aku juga pernah baca masalah itu."

"Ekonomi. Kasus di luar Indonesia yang serupa, terjadi di Zimbabwe. Tahun 2008, pemerintah Zimbabwe mengeluarkan kebijakan untuk mencetak uang dalam jumlah sangat banyak, yang ditujukan untuk memperbanyak pegawai negeri yang diharapkan akan mendukung pemerintah. Hasilnya adalah inflasi yang gila-gilaan. Negara itu bahkan memegang rekor dalam hal inflasi tertinggi di dunia, yaitu 2.200.000% (2,2 juta persen) pada 2008. Pada 20 Juli 2008, bank Zimbabwe bahkan menerbitkan pecahan uang senilai 100 milyar dollar, yang merupakan rekor pecahan uang dengan nominal terbesar di dunia. Uang dengan nominal besar itu, ironisnya, tidak memiliki nilai yang sama besarnya, karena digerus oleh inflasi akibat harga-harga yang melambung luar biasa tinggi. Untuk membeli sembako, misalnya, orang di Zimbabwe harus membawa uang sampai seember."

"Hahaha ... gila aja beli sembako pake duit seember."

"Iya, bayangin aja gimana ribetnya bawa-bawa ember ke mall."

"Ya, kalo aku, mending dikarungin sekalian."

"Iya. Dan pikirin lagi kalau Indonesia nyetak uang banyak. Pasti semua masyarakat Indonesia kaya. Lalu, siapa yang rela jadi petani, jadi sopir angkot, jadi pedagang? Rugi kan kita, kalau nggak ada petani? Mau makan apa coba?"

"Makan daun."

"Sapi, dong."

"Hahaha ..."

Aku ketawa sambil memegangi perut. Ternyata orang yang kuajak bicara ini wawasannya luas sekali. Jadi, malu aku. Namun, banyak juga pelajaran yang bisa kuambil dari ucapannya yang panjang kali lebar itu. Kasihan dia, pasti mulutnya berbusa karena banyak bicara.

"Pak Waryo, teh manis dinginnya dua gelas, ya," ucap Herlan pada seorang bapak-bapak yang kutahu adalah pemilik tenda makanan ini.

"Kamu sudah kenal?"

"Kenal Pak Waryo? Iya. Kamu mau kenalan sama dia juga?"

"Apa, sih? Nggaklah. Aku cuma tanya aja."

Beberapa saat kemudian teh manis yang dipesan Herlan datang. Ia langsung meneguknya. Mungkin teggorokannya sudah kering karena bicara panjang lebar sedari tadi. Aku pun ikut meminum teh manis. Rasanya baru kali ini aku jajan di pinggir jalan. Biasanya Hito mengajakku makan di restoran atau di kafe. Namun, entah mengapa kesan saat bersama Herlan jauh lebih menyenangkan. Mungkin karena Herlan tak pernah kehabisan stok obrolan. Hingga aku tak pernah bosan mendengarnya.

"Non, sudah malam."

Aku menoleh, mendapati Pak Arya dengan wajah lelahnya. Aku menepuk jidat. Saking asyiknya mengobrol dengan Herlan, aku melupakan Pak Arya yang menungguku. Pasti dia dari tadi mencariku karena pergi terlalu lama.

"Maaf, ya, Herlan, aku harus pulang sekarang," pamitku seraya berdiri.

"Iya. Hati-hati di jalan."

***

Uraian masalah inflasi aku comot dari google. Ini link-nya: https://googleweblight.com/i?u=https://m.kaskus.co.id/thread/5216ce351cd719c262000006/mencetak-uang-sebanyak-banyaknya-ini-dia-logikanya/&hl=id-ID

Kenapa aku merepet ke sana? Karena itu memang pertanyaanku waktu tahu kalau uang bisa dicetak 😂 Cetak uang banyak, yok, biar nggak miskin 😅 Alhamdulillah guruku dan Om Google ngasih tahu alasan kenapa uang nggak dicetak banyak-banyak 😊Jadi, aku nggak sesat.

Maapkan aku, ya, karena sedari kemarin cerita ini banyak pelajaran ekonominya. Padahal kan Miza anak IPA 😂 Ini karena akunya yang anak ekonomi huahahahaha 😁 Tapi, moga bermanfaat, ya, untuk kalian. Aku nulis sekalian share ilmu eeaakk, biar dapet pahala 😇

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro