Bab 3
Setelah pertemuan tadi siang dengan Hito, malamnya Athaya datang ke rumahku. Sebagai tuan rumah yang baik dan tidak sombong; rajin nabung dan sopan santun; aku menyambutnya. Meskipun hati ini masih menyimpan luka karena kelakuan bocah satu ini, aku masih berperikemanusiaan dengan tak membiarkan dia menggigil kedinginan karena hujan sambil merengek minta dibukakan pintu.
"Miza, lo masih baik-baik aja, kan?" tanyanya seraya melirik pantulan diriku yang sedang membaca buku di kasur. Sedangkan Athaya sedang mengeringkan rambutnya dengan hair dryer di depan meja rias.
"Memangnya kamu lihat wajahku pucat, ya?" Aku balas menatapnya lewat cermin.
"Bukan itu. Semenjak kejadian itu lo ilang. Lo nggak balas chat gue, lo matiin hp. Sebegitu bencinya lo sama gue?" tanya Athaya lagi. Raut wajahnya menunjukkan kesedihan. Entah kenapa gadis itu merasa sedih, padahal dalam kasus kemarin aku yang tersakiti.
"Aku nggak benci kamu, kok. Tenang wae, kemarin aku emang nggak bawa hp ke Bandung. Ketinggalan, hehe ... Sebenarnya minggu lalu aku juga sibuk nyari sekolah di Bandung. Tapi, Ayah nggak ngizinin. Jadi, aku balik lagi ke Jakarta."
"Lo bener-bener niat buat hindarin gue?
"Apa, sih? Nggak mungkinlah aku hindarin sahabat sendiri."
Bohong banget. Semoga ekspresiku meyakinkan.
"Makasih masih ngakuin gue sebagai sahabat lo. Seenggaknya gue bisa perbaiki hubungan kita yang sempet hancur."
Aku tersenyum kelewat manis saking nggak mau ketahuan sedang berbohong. "Sama-sama."
Athaya telah selesai mengeringkan rambutnya. Ia pun ikut berbaring denganku di kasur.
"Kamu yakin mau nginep di sini?"
"Iya. Boleh, kan?"
"Pake izin segala. Bolehlah, kalo ada kamu aku kan nggak kesepian."
"Uni ke mana?"
"Masih kerja kali, atau udah pulang ke apartemennya." Aku meletakkan buku di nakas. Selanjutnya ikut berbaring di sisi Athaya sambil menatap langit-langit kamar.
"Dia udah jarang nginep di sini?"
"Ya gitu, deh. Kan jarak apartemen sama butiknya deket, tuh, jadi dia kalau pulang larut malem suka ke sana. Dia nginep di sini kalau lagi nggak ada kerjaan aja."
Hening cukup lama, tapi Athaya kembali membuka suara. "Sekolah sepi nggak ada lo."
"Ya ampun, Tha, aku kan udah setahun hengkang dari sekolahmu itu. Masa iya sampe sekarang kamu masih ngerasa sepi?"
"Ya beda aja gitu suasananya. Gue kangen lo tahu. Pas kelas sepuluh kan kita barengan terus."
"Sampe sekarang juga masih barengan, kali." Athaya tak merespon, akhirnya aku melanjutkan ucapanku. "Aku juga kangen sama sekolah itu. Kangen saat kita jalanin MOS sama-sama, kangen jajan di kantin, kangen jailin guru, kangen semuanya, deh, termasuk kangen Hito. Kalau dipikir-pikir, aku lama ya, mendekam di sekolah itu. Itu semua gara-gara Hito. Tapi, ya mau gimana lagi, aku punya problem dan mengharuskan aku keluar dari sana."
"Kalo aja lo masih bareng gue, mungkin kita bakal lulus sama-sama. Gue udah kelas tiga dan lo malah nggak naik kelas."
"Eits, jangan salah! Aku emang masih kelas dua, tapi kita bakal lulus bareng, kok."
Athaya menatapku bingung.
"Karena aku sekarang tinggal di kelas akselerasi yang cuma sekolah dua tahun. Keren, kan?" Aku tersenyum sambil menaik-turunkan alis. Sedangkan Athaya menatapku takjub.
"Seriusan? Gimana caranya lo bisa nyasar di kelas sana?"
"Nggak tahu, sih. Mungkin karena pas tesnya ada malaikat yang bantuin ngisi soalnya."
"Halah, lo kan emang cerdas. Berapa IQ lo?"
"Lupa. Pokoknya kita bakal lulus bareng, terus masuk univ yang sama."
"Awas aja lo kalo sampe keluar lagi dari sekolah sana."
"Doain aja, deh."
Tapi, aku nggak tahu masalahku akan selesai apa nggak. Kalau aku sudah berhasil membuat Ayah peduli padaku, aku pasti nurutin semua perintah Uni buat sukses, kok. Sampai aku lulus dengan nilai bagus dan masuk universitas dengan usahaku sendiri. Tapi ya, kukembalikan lagi semuanya pada Tuhan.
Jujur saja, aku agak sangsi dengan Hito dan Athaya. Aku sudah mengucap janji kalau aku takkan lagi berhubungan dengan keduanya. Tapi, aku juga sudah terlanjur janji sama Athaya untuk menjaga persahabatan yang kita bangun sejak Sekolah Dasar apa pun yang nanti akan terjadi. Jadi, aku harus bagaimana?
Tak mau berlarut-larut dalam kebohongan, akhirnya aku berniat menyudahi percakapan dengan Athaya. "Aku tidur duluan, ya."
"Hem ..."
***
"Majas personifikasi adalah majas yang memanusiakan benda mati. Contohnya dalam kalimat 'pulpen menari-nari di atas kertas', jadi kita buat seolah-olah benda mati ini atau pulpen ini bisa menari. Padahal makna sebenarnya adalah menulis. Paham, kan?"
Aku menopang dagu di atas meja. Sedangkan, seluruh siswa serempak menjawab: paham.
"Hermiza," panggil Bu Laras, membuat aku seketika menegakkan badan.
"Ya, Bu?"
"Tolong beri contoh majas personifikasi," katanya.
Oh, cuma ngasih contoh. Gampang itu mah. Bentar, mikir dulu.
"Angin berbisik tepat di telingaku."
Bu Laras langsung memberiku dua jempol. "Oke, Ibu anggap kalian sudah paham. Kita lanjut ke majas hiperbola ...." bla bla bla.
Aku sudah paham masalah majas-majasan. Toh, aku juga suka menulis. Makanya, aku hapal. Enak kali, ya, kalau aku tidur di kelas sekarang? Lumayan, empat puluh menit. Akhirnya aku bersembunyi di balik buku paket yang terbuka. Aku berlagak seperti orang sedang membaca buku. Padahal aslinya, molor.
Bel berbunyi nyaring. Aku tak berniat terbangun, tapi sedari tadi tubuhku diguncang oleh seseorang.
"Apa?" tanyaku sinis sambil mengangkat kepalaku yang sedari tadi menempel dengan meja. Oh, ternyata yang mengusik tidurku adalah Lula. Kali ini rambutnya dikepang dua. Apalah ini bocah, umur aja lima belas tahun, IQ setinggi gunung Himalaya, tetep aja penampilan macem anak TK.
"Dipanggil Pak Januar di BP," kata Lula sambil berlalu keluar kelas.
Yes!
Segera aku keluar kelas untuk menemui Yang Terhormat Pak Januar untuk diberi something yang istimewa. Hukuman atau DO? Aku berharap opsi kedua. Tapi, ragu juga, karena aku baru pertama kali dipanggil. Harus sampai sepuluh kali dulu baru kena DO. Semangat!
Aku masuk ke ruang BP dengan amat tak sopan. Pak Januar sampai geleng-geleng kepala melihat aku yang tanpa izin langsung duduk di depan meja kerjanya.
"Hermiza, saya dapat laporan kalau kamu tidak mengerjakan tugas biologi. Kamu juga bolos pelajaran sejarah dua kali pertemuan. Benar?"
"Seratus buat Bapak!" Aku bersorak lantang sampai Pak Januar mengelus dada saking kagetnya. Bah, untung dia tak punya penyakit jantung. Kalau punya, bisa ditangkap polisi aku dengan tuduhan membunuh guru sendiri.
"Kamu kesulitan menyesuaikan diri di kelas akselerasi?"
"Iya, Pak. Tinggal di kelas sana berat. Lebih berat dari rindunya Dilan ke Milea."
"Jadi, kamu maunya gimana? Mau saya pindahkan ke kelas sebelas? Atau mau tetep di sana. Konsekuensinya kalau kamu pindah kelas ya nggak akan lulus tahun ini."
"Nggak maulah. Aku udah susah-susah ngerjain soal seratus pas kemarin tes, masa iya pas udah keterima mau pindah kelas. Percuma, dong!"
"Mau berubah?"
"Berubah gimana? Jadi hulk pas lagi marah gitu? Nggaklah, nggak minat rubuhin sekolah."
"Maksud saya mengubah sikap kamu ini biar jadi rajin."
"Ya, tergantung, Pak."
"Tergantung apa?"
"Tergantung tugasnya, Pak. Kalau susah aku nggak mau kerjain, kan susah alias nggak bisa."
"Nanti kamu minta bantuan sama Gabriel, dia cerdas dan pasti bisa bantuin kamu."
"Gabriel yang pake kacamata mirip Harry Potter itu?"
"Hm."
"Mending les aja, Pak. Gak kuat, dia dinginnya kayak es di kutub utara. Kemarin aja, aku nanya masalah piket dia masa nggak jawab. Gimana mau nanya masalah fisika dan kawan-kawannya?"
"Ya, senyaman kamu saja, Miza."
"Hm, makasih."
"Kamu boleh keluar," kata Pak Januar sambil mempersialakanku keluar.
"Nggak jadi di-DO, Pak?"
"Silakan berdiri di bawah tiang bendera sembari hormat sampai istirahat kedua."
"Eh?"
"Sekarang, ya. Jangan coba-coba berbuat ulah karena ingin tujuanmu tercapai. Jangan membuat dirimu seolah-olah bandel dan sejenisnya. Percuma kalau itu semua hanya kepura-puraan. Saya tahu kamu anak yang baik. Dari tatapanmu saja, saya sudah bisa menebaknya."
Ini si Bapak nyuruhnya lembut amat. Kagak ada embel-embel bentak, marah, gertakan, atau apalah. Aku curiga kalau dia ini bukan guru BP, tapi psikolog yang nyasar. Abis dia tahu kalau aku sedang berpura-pura cuma dengan melihat mataku. Aku curiga dia juga bisa baca pikiran. Gawat kalau sudah begini. Pintu untukku keluar semakin tertutup rapat, Genks!
***
Bel tanda masuk berbunyi. Semua siswa yang bergerombol di kantin seketika berlarian masuk ke kelas. Aku yang masih dapat hukuman buat hormat ke bendera bisa apa?
Matahari mulai bergerak ke atas. Hawa panas sudah mulai terasa menyengat kulit. Keringat sudah mulai bercucuran dari keningku. Rambut sudah lepek dan bau. Seragam sudah basah, apalagi di daerah ketiak sudah becek.
Huft, kasihani Hermiza, Tuhan! Kalau masalah ngantuk udah enggak. Kan, tadi udah tidur pas jam pelajaran Bu Laras. Aku cuma belum sempat menikmati nasi goreng di kantin, jadi perutku kukuruyuk. Suer, aku mulai pusing dan mual. Kayaknya maag-ku kambuh.
Sekolah sunyi. Aku mengalihkan pandangan dari bendera ketika indera pendengaranku menangkap bunyi krasak-krusuk di sekitar taman depan ruang kelas akselerasi 2. Kulihat seorang cowok sedang mencari sesuatu di semak-semak. Aku nggak begitu melihat wajahnya karena dia memunggungiku. Karena penasaran sama apa yang dicarinya, akhirnya aku berniat membantunya.
"Nyari apa, Kak?"tanyaku tanpa basa-basi.
"Bolpoin merah. Tadi Rifqi melemparnya keluar."
Dia berdiri lalu membalikkan badannya menghadap ke arahku. Alisnya bertaut, ekspresinya sama persis dengan ekspresiku ketika melihatnya.
"Kamu?" Aku menyentuh kening, mencoba mengingat siapa nama cowok ini. "Kamu yang di kereta itu, kan? Siapa namamu? Aku lupa."
"Herlan."
"Nah iya, Herlan. Masih ingat aku?"
"Hermiza, kan?"
"Wow, seratus buat ingatanmu yang sempurna. Ah, dunia sempit sekali," kataku sambil membenarkan tatanan rambut.
"Dunia luas, kamu nggak akan bisa mengelilinginya cuma dengan cara jalan kaki."
"Ah, ya! Maksudku dunia sempit karena udah mempertemukan kita lagi. See! Ternyata kamu sekolah di sini juga. Sama kayak aku."
"Kamu anak baru?" tanyanya.
"Kamu cenayang? Kok bisa tahu?"
"Aku baru lihat kamu hari ini."
"Padahal aku sudah dua minggu di sini."
"Oh ya, sudah lama ternyata. Selamat datang!"
"Haha ... telat kamu!"
Aku duduk di batu yang berada di pinggir tanaman. Fungsi batu itu untuk mempercantik taman mungil di depan kelas, tapi berguna juga buat duduk melepas lelah.
Herlan masih mencari bendanya yang hilang di semak-semak.
"Herlan, jaketmu masih ada di aku," ucapku memulai pembicaraan.
"Buat kamu saja."
"Loh, memang nggak sayang sama jaketnya?"
"Kalau memberi itu memang harus sesuatu yang paling kita sayang. Jangan yang sudah jelek atau yang sudah tidak kita butuhkan. Anggap saja itu hadiah pertemanan dari aku."
"Makasih kalau begitu."
Herlan sepertinya sudah menemukan apa yang ia cari. "Aku ke kelas duluan ya, soalnya ada tugas."
"Eh, iya."
"Kamu nggak masuk kelas?"
"Lagi dihukum Pak Januar buat hormat bendera."
Herlan hanya mengangguk tanda mengerti, kemudian ia masuk ke kelas.
Aku berniat kembali ke lapangan dan berpanas-panasan ria. Rasa sakit di lambungku perlahan hilang. Pusingku juga sudah agak mendingan.
"Miza, tunggu!" Baru tiga langkah aku meninggalkan batu tempatku duduk tadi, Herlan memanggilku lagi.
"Apa?"
Dia menyerahkan topi dan sebotol air. "Biar nggak panas. Airnya, biar kamu nggak jalan jauh ke kantin cuma karena haus. Lama, kan, kamu di sana?"
"Sampai istirahat kedua."
"Oke, aku duluan."
Kamu emang malaikat, Herlan. Selalu saja ada tiap aku butuh pertolongan.
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro