Bab 2
SMA Negeri Pancasila, sekolah bertaraf Nasional dengan segudang prestasi yang patut diacungi jempol. Sering menjadi juara dalam ajang perlombaan, baik itu bidang akademik maupun non akademik. Muridnya rata-rata cerdas, disiplin, dan jarang ada yang nakal. Metode pembelajaran nggak usah diragukan, karena sudah dibuktikan setiap lulusan sekolah ini dapat diterima di Universitas Negeri. Hmm ... kasihan sekali SMA itu karena harus menampung murid macam aku.
Info terbaru, aku dimasukkan di kelas akselerasi yang berpenghuni robot-robot genius. Mereka ke sekolah buat belajar sama baca buku. Sama sekali kagak ada yang seru kalau tinggal di kelas. Hening setiap saat, setiap detik, setiap waktu. Duh ... kasihan ya aku, karena harus cerdas macem anak-anak akselerasi. Salahkan Ayah yang minggu lalu mendaftarkan aku ke sekolah hebat ini. Mentang-mentang aku pernah nggak naik kelas gara-gara sekolah nomaden, imbasnya aku dimasukkan di kelas yang cuma belajar selama dua tahun. Mari, berdoa untuk Hermiza, Kawan! Mudah-mudahan aku bisa keluar dari sekolah ini dengan cepat.
"Hermiza, tugas biologi lo mana?" Pertanyaan Lula--ketua murid kelasku--mengagetkan aku yang sedari tadi bengong.
"Emang ada tugas, ya?" tanyaku. Sukses membuat dia geleng-geleng kepala.
"Iya, Pak Syamsul kan nyuruh sekarang ngumpulinnya."
"Kan biasanya kalau tugas itu dikumpulkannya pertemuan yang akan datang alias minggu depan," gerutuku.
"Pak Syamsul kan mintanya sekarang, Za."
"Ih, ya apa kabar aku yang belum ngerjain?"
"Ya, mana gue tahu."
Eh, kok lama-lama ngeselin ini cewek.
"Aku lihat hasil kerjamu, deh," kataku.
"Ini tugas individu bukan kelompok."
Bener-bener minta dijotos ini cewek.
"Yaudah aku ngumpulin minggu depan aja."
"Sekarang. Minggu depan kan kita udah bahas bab baru lagi."
Aku beristighfar berkali-kali. Jadi kelas akselerasi cuma butuh satu kali pertemuan buat bahas satu bab pelajaran?
Pelajaran tentang sistem eksresi yang baru dibahas tadi aja belum nyampe otak, masa minggu depan udah ganti bab aja.
"Hermiza! Mana tugasnya?"
"Aku belum bikin."
"Yaudah lo bikin sekarang, ntar ngumpulinnya nyusul pas pulang, gue mau ke ruang Pak Syamsul sekarang."
"Heem."
Aku menopang dagu, menunggu jam dinding menunjukkan pukul dua. Nggak ada niat sedikit pun buat mengerjakan tugas Pak Syamsul. Intinya, aku pengin keluar dari kelas berpenghunikan dua puluh dua siswa bisu ini (kecuali aku).
***
Setelah sekian lama nunggu, akhirnya mobil Uni sudah terparkir di depan halte. Ia membuka kaca mobilnya menyuruhku masuk. Aku pun bergegas masuk. Setelah duduk dengan nyaman dan memakai sabuk pengaman, mobil melaju meninggalkan sekolah.
"Gimana sekolah kamu? Temen-temennya pada baik, kan?"
"Iya."
"Nyaman kan sekolah di sana?"
"Nggak."
"Gurunya ada yang ngeselin, nggak?"
"Ada."
"Kenapa, sih? Kok, jadi robot gitu kamu!"
Aku menoleh. Kulihat Uni memasang ekspresi bingung.
"Seminggu tinggal di kelas berpenghuni robot genius membuat aku ikut-ikutan jadi robot, tapi bedanya aku robot bego. Huh ... Uni harus tahu kalau sekolah jahanam itu adalah sekolah yang paling kejam."
Usai aku bicara, gelak tawa Uni terdengar membahana. Aku menutup telinga saking kencengnya dia ketawa. Uni-ku masih waras nggak, sih?
"Hahaha ... terus-terus gimana?"
"Terus, masa tiap bab pelajaran jatah jelasinnya sekali pertemuan. Kalo ada tugas langsung dikumpulin. Apa kabar aku yang suka malas-malasan? Tadi aja aku abis ditegur sama si Lula."
"Lula KM terganas itu?"
"Heem, yang pake softlens itu. Yang rambutnya suka dihias pake jepit, bando, diiket kiri, iket kanan, pokoknya yang itulah. Sebel banget sama dia, mentang-mentang jadi KM seenaknya aja sama orang."
"Seenggaknya dia peduli sama cewek males kayak kamu ini. Buktinya masih negur. Tandanya dia sayang."
"Sayang sayang, pala angsa peang!"
Uni berbelok ke jalan yang bertentangan dengan jalan ke rumahku.
"Loh, Uni mau ke mana?"
"Ke toko buku."
"Ngapain?"
"Nyari jodoh."
Asdfghjkl!@#$/^&*€£¥₩%~'¤♡☆
***
"Uni, bukuku di perpustakaan pribadi udah banyak, loh, ngapa beliin aku buku lagi?" tanyaku setelah keluar dari toko buku dengan tiga kantong plastik berisi puluhan buku pelajaran dan novel.
"Kan kamu harus ngejar ketertinggalan kamu. Uni juga udah masukin kamu ke tempat les dan buku yang tadi kita beli dipake saat les."
"Uni tega!"
Aku misuh-misuh sambil masuk mobil, lalu melempar asal buku-buku baru itu ke jok belakang. Uni yang melihat tingkahku cuma tersenyum lebar. Demi cicak yang ekornya putus, Uni udah nggak waras!
"Kali ini nurut ya, sama Uni." Aku diam, sama sekali nggak berminat merespon Uni. "Semuanya demi kebaikan kamu. Uni nggak mau kamu tinggal kelas lagi dan nggak lulus-lulus cuma karena masalah sepele."
"Masalah segede Gunung Mahameru sepele katamu? Aku pusing mikirin jalan keluar buat masalahku, tapi Uni bilang ini masalah sepele? Aku nyaris bunuh diri karena masalah ini, tapi Uni menganggap masalah ini sepele?!" Emosiku meluap begitu saja. Kumaki Uni yang dengan mudahnya bilang kalau masalah yang kuhadapi ini sepele.
"Dengerin Uni--"
"Apa, sih? Harusnya Uni yang dengerin aku."
"Uni ngerti kalau kamu masih labil. Tapi, jangan jadiin masalah percintaan sebagai alasan kamu mogok sekolah."
"Itu alasan ke sekian yang membuat aku mogok sekolah. Tapi bukan itu alasan utamanya, Uni."
"Iya, Uni tahu, pertama karena ayahmu, kedua karena Hito, ketiga karena Athaya, keempat karena dirimu sendiri, kelima ... "
"Karena Uni."
Uni kontan menautkan alisnya. "Uni jadi alasan kamu mogok sekolah?"
"Uni, kapan Uni akan menikah? Apa Uni nggak capek ngurusin aku dari bayi sampai sekarang? Apa Uni nggak capek terus berkorban untuk aku dan Ayah? Apa Uni nggak mau menata hidup Uni sendiri? Ini masalah besarku Uni, dan sampai kepalaku botak aku belum menemukan jalan keluarnya!"
Uni terdiam cukup lama. Huh, dia tak berniat menjawab deretan pertanyaanku?
Aku keluar dari mobil yang dari tadi masih belum jalan juga. Uni masih mematung dan nggak mengejarku. Pikirin tuh, masalahku. Sampe botak sekalian!
Kutelusuri trotoar sambil menahan pusing akibat memikirkan kejadian di dalam mobil tadi.
Menurut Uni, alasan pertama aku nggak mau sekolah adalah Ayah. Bukan itu sebenarnya. Uni salah paham. Aku ingin diperhatikan Ayah dan masalahnya adalah Ayah selalu cuek bebek sama aku.
Sedari Taman Kanak-Kanak, Uni yang mengantarku sekolah. Aku selalu iri di saat semua teman-temanku diantar oleh Ibu dan Ayahnya. Sampai aku beranjak remaja, keinginan untuk diantar dan diperhatikan oleh Ayah semakin kuat. Aku sudah memberikan yang terbaik awalnya. Menjadi juara di kelas, mengikuti lomba, menjadi siswa teladan, cuma untuk membuat Ayah bangga dan bisa menemuiku setiap waktu di sekolah. Namun, usahaku semuanya sia-sia.
Aku pernah satu kali berbuat nakal di SMP dan Ayah langsung dipanggil guru BK. Mungkin itu kali pertama Ayah menemuiku saat di sekolah. Aku senang, pake banget! Seenggaknya setelah itu Ayah sedikit memperhatikanku. Jadi, kebiasaan buruk itu berlanjut hingga kini. Aku sering berbuat ulah di sekolah. Saat poin kesalahan terkumpul di guru BK, maka aku siap pindah sekolah. Dan aku senang, karena Ayah yang mengantarku dan mendaftarkanku di sekolah itu. Tapi, setelah itu, semuanya biasa lagi. Ayah kembali sibuk dengan pekerjaannya dan lupa lagi sama aku.
Hiks, sedih kalau ingat bagaimana sikap Ayah yang tak pernah peduli padaku. Rasanya ingin ditelan bumi saja. Percuma aku hidup kalau tak pernah diinginkan sama Ayah sendiri.
Untuk masalah kedua dan ketigaku, Hito dan Athaya, nanti sajalah diceritakannya. Aku sedang lapar. Kebetulan di depan sana ada kafe. Kupercepat langkah agar segera sampai di sana.
Seorang pelayan menyambutku ramah. Aku cuma bisa tersenyum ala kadarnya sama dia. Maaf banget nih, keadaan hatiku lagi kacau jadi nggak bisa senyum lebar-lebar. Setelah mencatat pesananku, pelayan itu pun pergi.
Aku melihat sekeliling kafe dan seketika tubuhku menegang saat menangkap sosok familier yang sudah beberapa minggu ini kuhindari. Tak sengaja kuperhatikan gerak-geriknya yang tampak gelisah. Jantungku langsung dugeman saat netranya tiba-tiba bertubrukan dengan mataku. Tanpa kuduga sebelumnya, ia bangkit dan menghampiriku. Tahu-tahu dia sudah duduk di kursi kosong di depanku.
"Sendirian?"
Seakan terhipnotis dengan sorot teduhnya, aku cuma bisa menatapnya dan nggak bicara. Sebagai respon dari pertanyaannya aku cuma bisa mengangguk.
"Kenapa natap gue kayak gitu?"
Aku menggeleng.
"Gue boleh ngomong?"
Perasaan dari tadi Hito ngomong aja, deh.
Aku mengangguk.
"Omongan gue di Stasiun Gambir itu jangan diambil hati, ya," katanya.
Omonganmu sudah diambil hatiku, malah sampe nusuk hatiku, dirobek pula. Sakit!
"Gue nggak bermaksud khianatin lo, Miza."
Terus namanya apa? Kamu jadian sama sahabat aku sendiri. Kamu umumin tanggal jadianmu di depan semua orang. Dan saat itu statusmu masih pacar aku. Namanya bukan khianat? Terus apa?
Duh, aku mau ngomong semua yang ada di kepalaku. Namun, aku nggak bisa. Mendadak bibir ini membisu. Aura yang dipancarkan Hito memang selalu membuat aku tak dapat berkutik. Selalu saja aku terpana dengan binar matanya. Meskipun kemarin dia membuat remuk hatiku, entah kenapa aku masih tak dapat membencinya.
"Lupain aja, Hito."
"Maaf, ya. Gue sama Athaya nggak ada apa-apa, kok. Waktu itu lo cuma salah paham. Saat itu gue cuma mau bikin mantan Athaya cemburu. Makanya gue bilang Athaya pacar gue. Itu cuma setting-an kok, lo percaya, kan?"
Kagak!
Aku mengangguk.
Kenapa di saat seperti ini otak dan gerak nggak berjalan selaras?
"Kita bisa baikan, kan?"
"Emang semuanya masih baik-baik aja, kok."
"Lo ilang hampir dua minggu. Lo hindarin gue. Apa itu artinya lo baik-baik aja?"
"Eng ..."
"Gue mau kita kayak dulu lagi. Gue mau lo juga baikan sama Athaya."
"Baikan sama Athaya, ya? Nanti aku pikirin, deh."
"Balikan sama gue?"
Ekhem, perasaan pas di stasiun aku nggak bilang kata putus, deh. Cuma bilang aku kecewa padanya sambil ngamuk-ngamuk nggak jelas. Tapi ternyata dia nganggep kita sudah putus. Berarti kemarin dia jomblo, ya? Langsung nyari pacar nggak ya, ini kadal?
"Emang kamu udah putusin aku, ya? Kapan?"
Hito menggaruk tengkuknya. "Gue mau sama kayak dulu, Miza. Gue sayang sama lo."
Hito, please! Jangan bikin aku meleleh macem es krim kepanasan. Hito, kamu itu memang bikin aku nggak bisa mikir. Kamu itu bikin aku menjilat ludahku sendiri saat di Stasiun Gambir. Ahelah, sayang sama Hito bikin aku bego, Guys.
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro