Bab 10
Kenal sama Abraham Maslow? Iya, orang yang beranggapan bahwa kebutuhan-kebutuhan di tingkat rendah harus terpenuhi atau paling tidak cukup terpenuhi terlebih dahulu sebelum kebutuhan-kebutuhan di tingkat lebih tinggi menjadi hal yang memotivasi.
Berdasarkan hierarki yang dijabarkan beliau ada kebutuhan fisiologis di paling bawah, artinya itu kebutuhan yang wajib, kudu, harus dipenuhi lebih dulu. Semacam makan, minum, gitu-gitulah yang kalau nggak dipenuhi kita modar. Urutan kedua kebutuhan akan asa aman. Oke, aku sudah merasa aman tinggal di Negara Demokrasi ini, jadi kebutuhan itu kuanggap sudah terpenuhi. Urutan ketiga yaitu kebutuhan rasa sayang dan rasa memiliki serta dimiliki. Nah, ini yang akan aku permasalahkan saat ini. Karena kebutuhanku yang itu belum juga terpenuhi. Tahu kan, gimana Ayah dan segala aktivitasnya yang padat sampai mirip Bang Toyib yang nggak pulang-pulang? Aku kurang kasih sayang, kurang dibelai, jomblo lagi, nggak ada yang memiliki. Sedih, Mbok. Aku tuh pengin garuk tanah dan ngubur diri sendiri jadinya.
Gimana aku mendapat kebutuhan harga diri kalau rasa sayang aja nggak aku dapatkan? Aku jadi merasa diriku ini nggak ada harganya sama sekali, nggak pantes dimiliki, nggak pantes diberi perhatian lebih. Imbasnya pada aku juga nggak bisa memenuhi kebutuhan aktualisasi diri. Aku nggak bisa mencapai target-targetku dan mendapat penghargaan. Aku mentok di urutan ketiga dan nggak bisa melangkah ke urutan empat dan lima. Salahkan Ayah yang berbuat semena-mena padaku.
Apa aku ini sebenarnya anak pungut ya, sampai Ayah nggak pernah memedulikanku? Dari zaman orok sampe sekarang, coba deh hitung berapa kali Ayah gendong aku? Pas ngadzanin doang. Ekhem, seperih itu hidupku tak dianggap kehadirannya oleh Ayah sendiri.
Atau aku ini anak yang tertukar di rumah sakit, sampai Ayah nggak punya ikatan batin denganku? Karena aku bukan keturunannya. Hiks, sedih sekali.
Di sela-sela pikiranku yang melantur, percakapanku dengan Herlan dua hari yang lalu melesak masuk ke otak. Diproses sih, tapi aku masih bingung mau memberi tanggapan apa pada masalahnya. Aku sendiri belum bisa menyelesaikan masalahku. Hm.
Kalau dipikir-pikir, Herlan sudah mendapatkan semua kebutuhannya. Cuma ya salah dia sendiri yang mengacaukan apa yang sudah didapatkannya. Sehingga ayahnya yang tadinya sayang padanya berbalik kecewa. Salah sendiri mau pindah agama. Itu bukan suatu hal yang biasa. Mengingat Herlan adalah cowok yang taat ibadah di gereja. Mana bisa dia memutuskan meninggalkan Tuhannya yang selalu dipuja-puja? Tapi aku nggak bisa menghakimi dia juga. Berdasarkan Pasal 29 ayat (2) UUD 1945, "Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu." Jadi, pindah agama juga bukan tindakan yang dilarang negara. Namun, mungkin ada hukuman tertentu dalam setiap agama. Duh, belibet aku ngomong.
Aku baca di internet, orang-orang yang pindah agama adalah orang yang tersesat. Dan apabila dia sadar maka dia telah diberi hidayah. Namun, aku nggak mau jauh-jauh ngomongin beginian. Karena masalah keyakinan emang sensitif. Aku takut kena semprot orang. Kalau diajak debat tapi nggak tahu ilmunya kan sama aja debat kusir ntarnya. Bisa-bisa aku digorok massa karena bicara tanpa tahu dalilnya.
Angin sore menemaniku dalam sesaknya otak karena berbagai masalah minta diproses dan meminta diselesaikan segera. Dalam hitungan menit mungkin aku akan mencari Bodrex. Ah, aku tak kuat. Pusing ini semakin menjadi. Jomblo ini semakin membunuhku. Eh, apa sih.
Kuputuskan untuk masuk ke kamar dan berbaring di kasur. Kupejamkan mata sambil memijit pelipis pelan. Aku berniat tidur, tapi suara ketukan pada pintu membuatku melotot lagi.
"Siapa?"
"Uni."
"Weh, Uni masuk!" Aku langsung duduk bersila dan menaruh bantal di atas paha.
"Perawan sore-sore gini molor?"
"Jangan ngeledek. Uni juga perawan, kok nggak jalan sama pacar?"
"Pacarnya minta kepastian. Uni nggak bisa kasih. Karena ya gitu ...."
"Uni udah punya pacar? Seriusan? Kok, belum ngasih PJ?"
"Apaan PJ?"
"Pajak Jadian." Aku nyengir tak berdosa.
"Ntar aja uni kasih PM."
"PM?"
"Pajak Menikah."
"Aselole, sante kali, Mak. Masa iya langsung nikah aja. Pacaran baru dua hari juga."
"Enak aja dua hari. Kenal udah enam tahun kali."
"Itu kenal, kan kalo pacaran baru kemarin, ye?"
"Dia nggak minta jadi pacar Uni, dia maunya jadi suami Uni."
Ebuset, selangkah lebih maju. Emang siapa sih, yang nyantol sama pemilik butik ternama ini? Dia nggak tahu apa kelakuan busuknya Uni kalau lagi ngambek? Dia udah bisa pasang kuda-kuda nggak kalau Uni lagi menstruasi? Dia punya badan sekuat besi nggak buat melindunginya dari pukulan Uni? Uni ini ganas loh, jangan disepelekan. Emang dia manis, cantik, cewek idaman, pinter masak, tapi keahliannya mukul orang udah mirip Jekicen.
Harusnya aku bersyukur Uni sudah menemukan orang yang tepat. Namun, kenapa aku malah sedih susah hati gini, ya? Nanti siapa yang bakal siapin semua perlengkapan sekolahku, siapin sarapan, antar jemput ke sekolah, siapa yang bakal nemenin aku tiap waktu? Aku belum siap kehilangan. Persetan dengan hierarki Maslow, yang paling kubutuhkan adalah Uni. Meskipun nggak makan, aku kuat kok. Asal bareng Uni. Nanti kita modar sama-sama. Pokoknya aku butuh Uni.
Tak disangka air mataku meluncur begitu saja. Raut wajah Uni berubah jadi khawatir.
"Kenapa, Za?"
"Sedih, masa gitu aja nggak tahu."
Aduh, mulut suka kurang ajar sama yang tua.
"Ya, sedih kenapa? Yang lagi ada masalah Uni, tahu!"
"Kalo masalah Uni selesai, aku yang punya masalah."
"Duh, belibet. Kenapa sebenarnya?"
"Aku nggak rela Uni menikah dengan orang lain. Aku masih mau sama Uni."
"Miza, bukannya kamu yang minta Uni buat mikirin masa depan Uni sendiri?"
Kutarik kata-kataku itu. Sekarang aku nggak mau kehilangan Uni.
Kupeluk Uni dan menangis sepuasnya dalam dekapannya. Bodo amat baju mahalnya dipake lap ingusku. Pokoknya aku mau jadi bayinya Uni aja. Aku mau selamanya diurusi oleh Uni.
"Cengeng."
"Biarin."
Beberapa menit setelah puas menangis, kuurai pelukan itu dan pasang telinga buat dengar curhatan ala orang dewasa ini.
"Namanya Hendra. Dulu pernah ke sini. Uni udah bilang sama Ayahmu. Dia bilang: NO!"
"What? Kenapa?"
"Hendra dan Uni berbeda keyakinan."
Heh? Masalah keyakinan lagi?
"Tapi, Ayah seharusnya nggak bisa gitu aja nolak Kak Hendra, dong. Dia punya hak apa untuk menentukan jodoh Uni?"
"Dia mau yang terbaik untuk Uni, Miza."
"Dengan cara pisahin kalian? Katanya Ayah mau Uni cepat menikah. Katanya Ayah mau aku belajar dewasa biar nggak terus-terusan bergantung sama Uni. Terus kenapa sekarang jadi begini?"
"Ayahmu malam nanti pulang untuk menyelesaikan masalah ini. Hendra juga diundang ke sini. Kita akan menemukan solusinya."
"Uni rela kalau solusinya adalah Uni yang mengikuti keyakinan Kak Hendra?"
"Sebaiknya Uni yang membuat Kak Hendra ikut Uni."
Aku berharap harapan Uni dikabulkan oleh Allah.
Obrolan kami terhenti saat suara ketukan pintu terdengar. Mbak Iren memberitahu kalau ada temanku datang. Siapa?
Segera aku berlari ke bawah untuk melihat orang yang bertamu sore-sore begini.
"Lula?" Aku terkejut melihat Lula dan penampilannya yang acak-acakan. "Kamu kenapa?"
"Kak Herlan." 1000% aku yakin kalau Lula akan menangis. Jadi, aku membawanya masuk dulu dan duduk di sofa. Kuberikan air putih padanya agar tenang.
"Kenapa?"
"Kak Herlan nggak pulang, Kak, dari kemarin."
"Hah? Dia ke mana?"
"Gue nggak tahu. Bantuin gue cari dia."
Aku langsung berpamitan pada Uni dan pergi dengan Lula. Ada Kak Dodi juga yang menyetir mobil. Ternyata Lula ditemani pacarnya ke sini. Ya kali dia nyetir dalam keadaan sekalap ini. Bisa-bisa nyawanya melayang mendadak.
Kita mencari Herlan ke rumah teman-temannya, tapi hasilnya nol gede. Nyari ke tempat lesnya, nihil. Nyari di seluruh penjuru sekolah, nggak ada. Nyari di kolong jembatan tempat Rio, tak ditemukan. Nyari di area taman, kosong. Hingga Lula sampai pada kesimpulan. "Kak Herlan pasti ke Bandung!"
"Kamu yakin?"
"Iya."
"Terus?" Itu Kak Dodi yang nanya.
"Kita ke Bandung sekarang."
"Hah?" Aku dan Kak Dodi kompakan kagetnya.
"Kalian nggak mau nemenin gue?"
"Bukan gitu, Yang. Tapi, ini udah malem. Kamu mau kita naik mobil ke sana tanpa persiapan? Kalau ada apa-apa di jalan gimana?"
"Iya, Lula. Lagipula aku harus pulang sekarang."
"Lo nggak mau bantu gue?"
Duh, gimana? Prioritasku saat ini adalah Ayah. Kepulangannya yang merupakan keajaiban harus kusambut dengan baik. Aku rindu Ayah dan mau menghabiskan waktuku dengannya selagi dia ada di rumah. Dia nggak tahu sih, kalau saat ini aku sedang merangkak menuju tingkatan ke tiga hierarki Maslow.
"Yaudah gue sendiri aja. Naik kereta."
"Nggak, nggak bisa!" ucap Kak Dodi penuh penekanan. "Kita jernihkan pikiran dulu. Kita pulang. Kamu nggak bisa pergi malem-malem gini. Kamu belum makan. Aku nggak bisa biarin kamu kenapa-kenapa di jalan demi Herlan."
"Dia kakakku, Kak."
"Oke, aku ngerti. Tapi, mungkin besok kita baru bisa pergi. Biar aku juga ada persiapan."
"Janji?"
"Oke, janji."
Pencarian Herlan cukup sampai di sini. Kukesampingkan dulu rasa khawatir ini demi Ayah. Meskipun dalam hati aku merapal doa untuk keselamatan Herlan dan berharap dia akan pulang.
***
Diketik baru tadi dan langsung pub karena bulan depan ada kegiatan. Makanya mau cepet2 selesain ini. Kalo nemu typo dan sejenisnya, komen aja ya. Maaf belum bisa ngasih yang terbaik.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro