Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

XI - Mengeluh

Melangkah ke pagi yang membosankan.

Berharap untuk kedamaian untuk diri sendiri dan orang tersayang.

Ini mungkin sulit, jadi aku menyalakan hatiku.

Tidak ada yang akan menjatuhkanku, ketakutan hanyalah ilusi.

Tidak jauh dari fakultas Biologi, sekitar 5 menit dengan berjalan kaki, terdapat sebuah swalayan yang buka hingga larut malam bernama Clarius Jaya. Swalayan yang diberdiri atas bantuan dari koperasi universitas agar para mahasiswa maupun mahasiswi yang tinggal di sekitar kampus tidak kerepotan dalam memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Letaknya berada di dekat pintu keluar kampus, tepat di tengah kebun tanaman obat, sehingga toko itu terlihat paling mencolok dengan gedung berwarna kuningnya. Orang-orang biasanya datang ke sana membawa motor atau berjalan kaki sambil menyelesaikan belanjaan mereka dengan suasana bersahabat antara pelanggan dan staff yang sedang bekerja di sana, kemudian pulang dengan wajah yang puas.

Aku biasanya datang ke sini untuk sekadar membeli cemilan dan minuman manis. Kebiasaanku yang mengonsumsi manis-manisan selama bekerja bukan cuman karena ingin, namun glukosa yang dihasilkan dari makanan tersebut sering mempermudah diriku untuk fokus selama bekerja. Hanya saja, hari ini jumlah belanjaanku tidak biasanya.

Peringatan yang diberikan Pak Peter kepadaku tadi mengganggu pikiranku. Tiap kata, nada suara, dan ekspresinya tadi masih mengiang di dalam kepala. Aura negatif itu menyerap ke dalam sel-sel memori sampai aku muak mengingatnya.

Ditambah dengan tabiat Pak Alvi yang semakin hari semakin menyusahkan, membuatku lelah secara fisik dan batin. Beberapa hari ini aku jadi mudah tertidur di ruang dosen dan kadang lupa menyiapkan bahan ajar. Energiku terkuras entah ke mana.

"Rinda, kamu tidak apa-apa?" Seperti biasa, orang pertama yang menyadari perubahanku adalah Eria.

Dia tadi membuntuti di belakangku. Seakan dia bertanggung jawab atas kondisiku sekarang. Bersiap jika aku akan tumbang kapan saja. Padahal aku sudah mengatakan bahwa aku baik-baik saja. Tapi dia bersikukuh menemaniku berbelanja.

"Aman, Eri. Ada yang mau kamu beli?"

"Tidak juga, sih."

"Kalau begitu, kenapa ikut?"

"Tidak apa-apa, kan? Sekalian olahraga juga, terlalu banyak duduk di ruangan juga tidak baik untuk tulang," kata Eri sambil memainkan ujung rambutnya.

Kusempatkan untuk tersenyum. Walau itu adalah tindakan yang sia-sia. Mata lelahku kentara seperti jerawat yang sedang tumbuh di atas dahi. "Baiklah. Aku mau pergi membayar. Tunggulah di bangku depan."

Eria menggelengkan kepalanya. "Aku akan pergi ke manapun kamu berada."

"Meski itu tempat yang kamu tidak suka?"

"Ya. Jangan meragukan diriku."

"Meski aku pergi menonton film horor?"

"Jangan juga itu, dong! Rinda ... aku nangis, loh."

Kuraih pergelangan tangan Eria, mencoba untuk menengankannya. "Maaf, maaf. Nanti aku ajak kamu nonton film kesukaanmu."

"Beneran? Awas kamu ketiduran pas aku nonton film percintaan."

"Kalau yang itu, aku tidak janji, ya." Aku berlalu sembari tertawa, meninggalkan Eria dengan pipi yang menggembung.

Setelah menyelesaikan transaksi, kami berdua berbincang sambil menghabiskan waktu di jalan. Ternyata Eria sudah lama kenal Peter dari bangku kuliah. Dia beberapa kali sekelas dengannya. Pria itu terkenal baik dan santun pada siapa saja. Namun ada suatu ketika, saat dia sedang mengalami stres dengan tugas dan praktikum, Peter bisa melawan siapa saja yang tidak mau menerima pendapatnya.

"Curigaku, dia sedang cemburu," tebak Eria seolah dia mengenal baik Peter.

"Cemburu? Buat apa? Cemburu denganku karena apa? Aku dan dia jarang sekali menjadi patner penelitian atau mengajar di kelas. Dia orang klinik, sedangkan aku lebih ke sains."

Senyuman penuh arti tampak di wajah Eria. "Dia cemburu kamu dekat sama Pak Alvi."

"Hah? Apa yang kamu bicarakan Eria? Aku dan Pak Alvi tidak punya hubungan apa-apa."

"Kalau gitu, dengan Peter, gimana?"

"Sudah kubilang, aku juga tidak dekat dengannya."

"Hmm ... oke. Nanti aku tanya padanya, kenapa dia bersikap dingin begitu padamu."

"Eh, jangan ... kumohon, Eri. Aku tidak mau masalah ini berkepanjangan."

"Tenang, tenang. Kamu percayakan saja padaku. Peter orang baik, kok. Pasti ada alasan kenapa dia bisa begitu."

"Kalau begitu," Eria menghadap ke arahku, seperti seorang sahabat yang sedang bersiap membuka tangannya lebar-lebar bagi orang-orang yang tersesat dalam sebuah masalah. "Kalau kamu ada keluhan atau masalah, aku pasti akan selalu di sisimu. Ini bukan ngegosip, ya. Kita sebut saja sebagai 'sesi curhat' bukan mengeluh. Gimana?"

Aku tersenyum lebar. Eria kadang bisa menjadi orang yang bijak, dalam artian yang baik. "Oke. Aku suka dengan idemu. Biar tidak terkesan keluhan, biar aku yang memulainya. Apa aku terlalu naif?"

Eria mengangkat satu alisnya. "Jawaban jujur atau setengahnya?"

"Jujur aja."

"Ya, naif. Sekali."

"Ugh ... begitu, ya. Lalu, apa yang harus kulakukan. Aku tidak enak dengan Pak Alvi. Sudah berkali-kali aku menolaknya, tapi dia malah semakin senang mengejarku."

"Iya sih, tapi kenapa cuman Pak Alvi yang kamu tolak? Kenapa tidak dengan teman-teman yang lain? Kamu itu, tuh ... suka sekali diperalat orang lain. Makanya, Pak Alvi mungkin berpikir kamu enak diganggu."

"Jadi, apa yang harus kulakukan?"

"Kamu tau kan apa gunanya aku di sini?"

"Mendengar curhatanku?"

Eria menggeleng pelan. "Bukan cuman itu. Aku juga bisa menjadi perantaramu. Tanganmu. Mulutmu. Misal ... ah, ada yang datang."

Baru saja Eria ingin memberi contoh, datanglah salah satu Bobi yang tampak gelisah. Dia berlari kecil-kecil dengan keringat yang berjujuran di dahinya. Itu artinya antara dia butuh Eria atau lebih tepatnya kepadaku.

"Rinda ... aku mau minta tolong dong--"

Belum selesai berbicara, Eria langsung memotong. "Maaf. Setelah ini Rinda ada janji denganku untuk menyelesaikan bahan ajar."

"Oh ... kalau sudah selesai, aku boleh minta tolong?"

Eria segera menangkis permintaan itu. "Sepertinya tidak bisa. Sehabis ini Rinda dan aku akan pergi ke perpustakaan. Ada penelitian yang harus kami selesaikan."

"Besok gimana?" Dia tampaknya tidak ingin melepaskan diriku dengan mudah.

"Rinda juga sibuk. Rinda tuh juga punya kehidupan, bukan cuman ada untuk bantu orang lain terus. Kalau dia dimarahin sama atasan, siapa coba yang mau tanggung jawab. Kamu?"

"Ih, santai aja kali!" Akhirnya pria bertubuh gembul itu menyerah dan pergi dengan gusar.

"Pantas kamu stress. Orang macam begitu yang kamu ladeni. Hampir aja mau kusodok tuh mulut pakai batu. Ngeyel terus."

Aku tertawa mendengar komentar Eria. Dia memang sahabat yang bisa diandalkan.

--- --- ---

Berkat Eria yang memberi kesempatan kami untuk kabur dari orang-orang di fakultas, dia mengajakku pergi ke perpustakaan universitas sampai jam kerja tiba. Selama kami berada di ruangan yang dipenuhi peraturan yang ketat, akan menyulitkan orang-orang untuk mengganggu diriku dengan permintaan konyol mereka.

Namun perkataan Peter masih mengganggu diriku. Aku memang sempat berbicara dengan Peter dalam beberapa kesempatan, tapi hanya sebatas itu saja. Kami jarang saling menyapa karena ruangan kerjanya ada di laboratorium Taksonomi Tumbuhan. Dia juga lebih sering menghabiskan waktu dengan teman satu gengnya, salah satunya Pak Alvi.

"Aku masih kepikiran peringatan yang diberikan Peter." Aku memulai pembicaraan setelah kami menyelesaikan tugas dalam diam.

Eria yang sedang mengetik di laptop, berhenti dan langsung mendekatkan telinganya padaku penuh penasaran. Padahal tadi dia tampak bosan setengah mati karena ponselnya kehabisan baterai dan dicas di pojokan. Menghabiskan waktu di sini cukup menyenangkan bagiku, tapi tidak untuk Eria.

"Maksudmu, dia suka padamu?" bisik Eria bersemangat.

"Bukaaan, Eria. Mungkin ... dia tidak suka kalau Pak Alvi dekat dengan orang biasa seperti aku. Kan, mereka berdua orang elit di fakultas kita."

"Masa, sih? Dia bukan tipe orang seperti itu, Rin."

"Kok kamu bisa bilang gitu? Lalu, kenapa dia bersikap dingin kepadaku?"

"Makanya, nanti aku tanyakan. Dulu, dia terkenal sebagai cowok misterius di kelas dan jangan sampai kita menjadi lawannya. Bahaya."

Peter memang orang yang tidak bagus dijadikan musuh. Bagaimana tidak, dia sudah cerdas, dosen teladan harapan seluruh petinggi, ditambah lagi orang tuannya adalah salah satu donatur kampus. Orang penting seperti dia jangan sampai menjadi musuh.

Pundakku semakin berat. Pikiranku terlalu kabur. Semua yang kulakukan seperti salah semua. "Sepertinya, aku harus mendatangi Pak Alvi untuk menyelesaikan masalah ini," ucapku dengan mantap. Hanya itu saja pilihan yang ada.

"Kenapa ke Pak Alvi?" tanya Eria yang terkesan kaget dengan pilihanku. Meski sebenarnya Eria makin senang setelah mendengar nama Pak Alvi.

Sudah kuduga, dia ini sebenarnya yang suka dengan Pak Alvi.

"Sumber segala masalah, kan, dari dia."

"Benar juga. Gimana kalau aku temani nanti saat kamu pergi ke tempatnya?"

"Boleh. Terima kasih banyak. Malah tadi aku ingin mengajakmu."

"Hahahaha. Itulah gunanya sahabat. Sebelum diminta, aku sudah siap sedia."

Siapa yang punya sahabat seperti Eria?

Aku punya, dung! Wkwkwkwk.

Menurutku, lebih baik memiliki satu sahabat dibandingkan 100 teman. Sebab dia adalah orang yang bisa menerima kita apa adanya. Tahu akan kejelekan kita dan hebatnya bisa menerima sampai menghadapinya.

Apa ada yang sependapat denganku? Atau ada pendapat yang lain?

Jangan lupa like, komen, dan share, ya. ^^

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro