Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

VI - Keluh

Tak ada yang bisa diterima, sebab aku takkan pernah bisa berubah.

Dan kau takkan pernah bisa mengerti penderitaanku.

Mengeluh tidak akan mengubah apapun. Itu benar. Namun, untuk kali ini saja, beri aku kesempatan untuk berkeluh kesah.

Sebenarnya jadwal hari ini berjalan dengan lancar. Hanya ada beberapa bagian yang tidak pernah kubayangkan akan terjadi hari ini.

Pagi hari, kami habiskan untuk berjalan-jalan melintasi alam, sesekali berpapasan dengan penduduk sekitar yang ramah, dan berkesempatan bertemu dengan gerombolan monyet merah di lereng yang landai.

Sayangnya momen langka itu seketika terganggu sesaat Pak Alvi menarikku ikut bersamanya ke sebuah gua sakral yang konon menjadi tempat peristirahatan terakhir sepasang kekasih yang kabur dari penjara saat Belanda menjajah Indonesia. Dia memperlakukanku seolah kami sudah menjadi teman dekat. Parahnya lagi disaksikan secara langsung oleh rekan-rekan kerja dan para petinggi. Sepanjang jalan aku hanya merunduk malu dan tidak berani melihat sekitarku.

Siangnya kami habiskan dengan berlari melintasi hutan hingga menemukan air terjun mini yang mempesona nan jernih. Kami segera menyemplungkan diri ke sungai, tidak peduli dengan kaos dan celana training yang kami kenakan menjadi semakin berat terendam air. Semua orang menikmatinya. Suara tawa dan senyuman selalu muncul tiap menitnya.

Tapi kedamaian itu segera berakhir ketika Pak Alvi mulai menunjukkan kebolehannya melompat indah dari tebing. Semua mata tertuju pada tubuhnya yang dia pamerkan dengan penuh kebanggaan, yang serupa dengan roti sobek putih nan montok sebelum dicelup ke dalam segelas cokelat panas. Tatapan mata kami sempat bertemu dan spontan dia melambaikan tangan kepadaku. Untungnya aku sedang berada di tengah-tengah kerumunan fansnya, jadi mereka bisa mewakilkan diriku.

Aku kira liburan kali ini dapat melepaskan penatku sejenak. Namun nyatanya malah beban pikiran yang kudapatkan. Setiap kali Pak Alvi muncul, seketika energi kehidupanku terkuras sangat banyak.

Untung saja ada jeda selepas kegiatan di air terjun. Kami diberi kebebasan untuk beristirahat sebelum kegiatan malam dilaksanakan.

Sesampainya di vila, kami pun bisa melakukan hal sesuka hati. Ada ruang tamu yang luas, ruang hiburan dengan berbagai macam permainan tradisional hingga moderen, perpustakaan dengan koleksi buku lengkap dan langka, lalu ruang makan yang luas. Persediaan makanan di sini juga melebihi cukup untuk empat puluh orang, termasuk pembantu, tukang masak, dan petugas keamanan yang bekerja di vila ini.

Sambil merasakan angin sepoi-sepoi yang begitu kontras dengan panasnya udara siang, aku seakan terisap oleh pendar cahaya yang mengambang di udara, menembus dari jendela dan pintu geser di balkon kamarku bersama Eria. Perlahan aku mencium bau sedap, kombinasi dari bau bawang putih serta kotak berbagai macam bumbu dapur.

Karena aku tidak ingin berada di kamar terlalu lama, akhirnya aku memilih pergi ke dapur membantu dua bibi yang sedang mempersiapkan jamuan makan malam nanti. Sesaat aku menawarkan bantuan, betapa bahagianya mereka mendengarnya. Tentu saja hal itu membuatku ikut senang. Salah satu ajaran Ayah ketika bertamu di rumah orang; setidaknya kita membantu pekerjaan mereka meskipun sedikit.

Di dapur yang tak bersekat, terpisah dari gedung utama, aku bisa melihat kegiatan teman-teman di lantai dasar. Hanya pilar-pilar yang terbuat dari batu alam yang memberi pembatas tiap tempat sehingga vila mewah ini terasa amat luas.

"Kamu pintar ya meracik bumbu ini. Rasanya pas sekali," ujar bibi yang bersanggul tinggi sambil mencicipi tumisan ayam asam manis buatanku.

Aku yang sibuk mengupas kentang dan wortel menoleh dan tersenyum. "Saya belajar dari Ibu. Beliau adalah guru terbaik saya, maka dari itu ... saya harus lebih jago darinya."

Bibi yang mengenakan jepitan rambut merah mengangguk dalam. "Benar. Anak gadis harusnya begitu. Bukan cuman belajar di sekolah, tapi di dapur juga."

"Betul ... anakku sekarang jadi lebih suka makan sembarangan di kota. Katanya malas masak. Alasan macam apa itu? Padahal dia dulu cita-citannya mau jadi koki--sekarang malah jadi kasir di swalayan," sambung bibi bersanggul yang terlihat mengaduk tumisan ayam dengan gusar.

Mau pergi ke mana pun, keluhan demi keluhan pasti akan lolos di mulut tiap orang. Di mana kaum Hawa berkumpul, di situ pasti ada pembahasan yang kurang sedap tentang orang yang tidak ada di tempat tersebut.

Aku harus fokus memasak. Aku sudah terlanjur berada di sini. Tidak enak kalau pergi begitu saja.

"Coba aku punya anak seperti kamu, Mbak. Tidurku bisa nyenyak tiap malam," ucap Bibi yang mengenakan jepit rambut merah. Aku hanya bisa tersenyum semabari mengangguk kecil.

Tepat setelah curhat para bibi seputar anak mereka yang merantau, masuklah seorang laki-laki dengan senyum mengembang memenuhi wajahnya. Dia mengenakan kemeja biru dongker berkerah. Tubuhnya jangkung, rambut hitamnya terlihat dipotong rapi. Wajahnya tampan serta terkesan kalem. Satu-satunya hal dari penampilannya yang mengganggu dan mengundang rasa penasaran hanyalah perban yang melilit pergelangan tangannya.

Seketika itu juga--meski hanya sekilas--aku merasakan sinar mata yang begitu dingin darinya. Seakan-akan dia sedang menilaiku dengan penuh ketenangan. Tidak. Tatapannya menembus hingga kedalaman inti jiwa seseorang.

Namun, tatapan itu hanya berlangsung sekejap mata, sebelum akhirnya kembali ke wajah ramah yang sejak awal dia tunjukkkan. Aku menenangkan diri dan mulai bertanya kepadanya.

"Ada bisa dibantu, Pak Peter?"

"Ah, sebenarnya bukan hal yang terlalu penting. Saya cuman ingin memberitahu kalau saya akan telat untuk makan malam."

"Wah, kenapa bisa? Oh--maaf. Saya tidak sepantasnya bertanya."

"Tidak apa-apa. Saya tidak keberatan. Saya dan Pak Tono harus pergi menjemput tamu. Jadi saya minta tolong untuk disimpankan konsumsi untuk lima orang."

Bibi yang mengenakan sanggul berseru dengan penuh semangat, "Siap, laksanakan!"

Tanpa berlama-lama, Pak Peter meninggalkan dapur. Sontak saja dapur langsung heboh.

"Gantengnya! Ya Tuhan! Coba saya masih gadis, pasti bakalan saya dekati dia."

"Duh, Bibi. Ada-ada aja, deh."

Tidak terasa makan malam pun berakhir dan secepat kilat aku kembali ke dalam kamar, sebelum Pak Alvi mencari gara-gara. Baru saja aku berbaring di atas kasur, Melly yang selonjoran di kasur yang tepat ada di sebelahku, memandang dengan tatapan yang lebar. Nuansa remang-remang di kamar kami sekejap membuat sahabatku ini seperti burung hantu yang mengawasi mangsanya tanpa berkedip. Aku pun hampir memekik saking kagetnya.

Melihat responku tadi, Eria malah tertawa cekikikan.

"Eh, Rinda, kamu tahu tidak apa yang kutunggu dari perjalanan ini?"

"Membeli oleh-oleh?"

"Bukan ... masa kamu tidak mengerti."

Tapi perjalanan ini adalah hal baru bagiku--aku ingin membalasnya demikian, tapi mulutku sudah berbicara sebelum diperintah. "Lalu, apa?"

"Character building," katanya dengan mantap.

"Acara seperti apa itu?" Aku yang tidak mengerti dengan pernyataan itu mengerutkan dahi dalam-dalam.

"Kamu baru pertama kali ikut dengan kami, kan? Aku yakin malam ini bakalan lebih seru dan membuatmu semakin ingin ikut terus kegiatan yang ada," kata Eria sembari bangkit dari kasur dan berjalan menuju pintu masuk kamar.

Sejujurnya aku tahu apa itu character buidling. Itu adalah pelatihan yang biasanya dipimpin psikolog di mana biasanya akan ada sesi materi, permainan, dan curhat. Saat aku menjadi mahasiswa di awal ajaran baru, kegiatan seperti ini sering dilakukan untuk membentuk karakter manusia yang tahan banting dan beretika.

Oh, aku paham sekarang. Jelas sudah alasan kenapa Pak Peter pergi tadi, sepertinya dia sedang menjemput para pemateri.

"Memangnya apa yang spesial dari pelatihan itu?"

"Lebih seru dari yang kamu bayangkan sekarang," celetuk Pak Alvi membuyarkan pikiranku. Badan pria itu muncul setengah dari celah pintu yang Eria buka. "Kamu pasti suka, Rin." Dia menjawab dengan nada menggantung kemudian meninggalkan kami begitu saja.

Tanpa sadar aku mendecakkan lidah.

"Wow ... Rin. Sudah seberapa jauh hubungan kalian berdua?"

"Itukah yang harus kamu tanyakan? Bukannya kamu seharusnya mempertanyakan apa yang dia lakukan di depan kamar kita?"

"Ayolah, Rin. Jangan malu-malu gitu, dong. Semuanya kelihatan jelas. Tadi pagi kalian bergandengan tangan di gua. Lalu dia unjuk kebolehan di depanmu. Itu pertanda, Rin! Kali ini, jangan sia-siakan!"

"Apa yang kamu bicarakan, sih? Dari awal aku tidak dekat dengannya." Eria menatap penuh selidik, membuatku segera memberikan pembelaan. "Kenapa? Memang ada yang salah denganku?"

"Tidak. Tapi kalau kamu beneran sama Pak Alvi. Aku ikhlas, kok. Malah aku amat sangat mendukungmu, loh."

"Eri! Please, jangan bilang gitu."

Aku berikrar pada diriku sendiri. Saat kegiatan nanti berlangsung, sebisa mungkin aku menjauh dari Pak Alvi. Sebab pada momen seperti itulah, semua orang akan membuka kartunya secara terang-terangan. Aku tidak mau sampai kecolongan seperti sebelumnya.

Awas saja nanti ....

Jeng, jeng, jeng! Apa yang akan terjadi selanjutnya? Apakah Rinda bisa menjaga dirinya dari Pak Alvi? Tunggu jawabannya besok yaw, awowowowok.

Kalau disuruh pilih, kalian pilih Pak Alvi atau Pak Peter?

Hayooo, cuman bisa pilih satu aja. Kalau penulisnya, mah, bisa embat dua-duanya wkwkwkwk.

Jangan lupa vote, komen, dan share yaw. ^^

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro