IX - Sihir
Beginilah cara manusia memulai.
Terlahir sebagai manusia, belajar menjadi manusia.
Mencintai seperti manusia, dicintai seperti manusia.
Bertindak sebagai manusia, berpura-pura sebagai manusia.
Itulah manusia.
Penawaran dari Pak Alvi terdengar aneh sekaligus menarik. Terapi hipnotis bukanlah hal asing yang pernah kudengar. Bukan cuman sering ditanyangkan di saluran televisi lokal, benua raksasa macam Eropa juga masih menggunakan teknik tersebut.
Sugesti positif yang diberikan seorang ahli kejiwaan agar seorang wanita yang fobia dengan laba-laba bisa dikurung dalam lemari kaca yang dipenuhi hewan berkaki delapan itu tanpa pingsan. Atau menekan sifat hedonisme seseorang atau disebut juga kebiasaan membelanjakan uang pada hal-hal yang sebenarnya tidak akan pernah dia gunakan sama sekali.
Hedon ....
Kalau aku bisa melakukan hal yang sama seperti Pak Alvi, apakah kebiasaan buruk Eria bisa dihentikan?
Apakah sifat posesif Ibu juga bisa kulenyapkan?
"Bagaimana? Kamu tertarik?" tanya Pak Alvi sembari bersedekap. Iris hitamnya yang melebar karena cahaya ruangan yang sangat sedikit, mengingatkanku dengan anak anjing yang dipelihara dekat sekolah, sedang menatap penuh harap untuk diberi makanan.
Kuremas kedua tangan yang lembab. Padahal tempat ini begitu dingin, namun pori-pori di kulitku tidak ada hentinya mengeluarkan keringat. Aku merasa tidak enakan dengan Pak Alvi. Pertama, aku sudah membuat kegiatan rutin ini berantakan. Kedua, aku sudah membuatnya cemas. Belum lagi aku sempat berlari kesetanan saking syoknya. Kalau aku menolak, sudah tiga hal buruk dilakukan hari ini.
"Bo-boleh ... kalau Bapak tidak keberatan." Akhirnya aku menerima tawaran itu. Dengan sangat terpaksa.
"Tentu saja aku tidak keberatan," balas Pak Alvi sembari tersenyum ringan. Dia pun berjalan ke belakang layar, mengambil sebuah mikrofon, kemudian memberikannya kepadaku. "Mari berkeliling. Kita cari mangsa."
"Maksudnya, Pak?"
"Kamu kira, jadi asistenku itu artinya membantu membangunkan yang lainnya?" Pak Alvi tertawa ketika aku mengganguk. "Bukanlah. Ayo."
Keraguan mulai memenuhi kepalaku. Tidak seperti yang kubayangkan. Tingkah Pak Alvi sulit ditebak.
Saat aku melangkah menuju kursi yang terlihat biasa-biasa itu, telapak kakiku sulit sekali diangkat. Bagaikan terjebak dalam lumpur hisap, aku tidak bisa ke mana-mana.
"Ba-baiklah ...."
***
Aku sempat bercita-cita menjadi seorang penyihir. Impian itu terbentuk setelah menonton film Harry Potter. Aku sangat ingin menaiki sapu terbang, sampai Ibu harus membelikan sapu khusus untukku bermain karena putri semata wayangnya ini sering lupa mengembalikannya ke tempat semula. Itu contoh kecilnya.
Saat aku berada di sekolah menengah, sebuah acara pencarian bakat sering memperlihatkan orang-orang yang bisa melakukan berbagai jenis 'sihir'. Dari menghilangkan benda, melayang di udara, hingga menghipnotis. Orang-orang yang melakukan pertunjukan itu pasti mengenakan pakaian serba hitam--mau itu pria atau wanita--entah apa alasan di balik dress code itu, para penyihir moderen itu selalu mencuri perhatianku.
Setiap hari minggu, aku pasti akan menguasai televisi dari pagi hingga petang. Acara yang dibintangi salah satu mentalis tersohor di Indonesia tampil dengan percaya diri. Di awali dengan menunjuk penonton secara acak, perkenalan, lalu satu per satu penonton yang terpilih tertidur, menuruti segala perintah dari sang mentalis.
Secara buka-bukaan mereka menceritakan apa saja; keluarga, pacar, ketakutan, ingatan yang terlupakan, sampai rahasia kelam di pertontonkan secara langsung ke muka umum. Entah mereka sudah diberi tahu akan dipermalukan, atau diberi upah besar untuk mengikuti skenario yang ada, Ayah selalu mendengus kesal ketika ikut menonton bersamaku.
"Jangan percaya yang seperti itu. Hanya settingan. Tidak ada manusia yang bisa membaca isi kepala manusia yang lainnya. Kalau pun mereka tahu, bukan urusan mereka untuk menggangu kehidupan orang lain." Ayah mengucapkannya dengan sebal.
Namun anehnya, aku malah semakin penasaran. Kalau bisa punya kekuatan lebih, aku ingin membaca isi hati orang lain. Aku ingin menunjukkannya kepada Ibu, bahwa apa yang dia kira hanyalah delusi semata. Perangsangka buruk yang tidak kuat dan berdasar.
"Kamu masih gugup? Sini, tidak apa-apa. Kamu bisa mempercayaiku," pinta Pak Alvi dengan lembut sembari menagadahkan tangan kanannya. Mempersilakanku untuk menggenggam tangannya.
Aku segera mengindahkan perintah dari Pak Alvi tanpa banyak berkomentar. Mungkin saja ... seperti yang dibilang Pak Alvi, semua ini demi kebaikan bersama. Mungkin saja aku bisa belajar dari sini dan bisa menggunakannya demi orang sekitarku. Terutama untuk Ibu. Aku ingin menyembuhkannya dari penderitaannya.
Aku bisa merasakannya. Bahuku disentuh tangan Pak Alvi. Telapak tangan yang lebar itu terasa hangat. Satu detik kemudian aku bisa merasakan sengatan di sekujur tubuhku. Mirip ketika aku tidak sengaja menyentuh kabel yang rusak dengan tangan basah. Setruman yang begitu mengagetkan itu sampai membuatku terlonjak dan jatuh ke lantai panggung dengan keras.
"Rinda!" Suara teriakan Pak Alvi bisa kudengar amat jelas. Berbeda dengan pandangan mataku yang berkabut seperti kaca yang terkena uap panas dari air yang mendidih.
Secepat mungkin aku mengerjabkan mata berkali-kali. Lalu kubuka perlahan-lahan, pandanganku mengabur hitam bagaikan teropong yang hanya fokus pada satu titik. Dan kejadian aneh mulai terjadi.
Ada satu hal yang bisa kulihat dengan jelas--seekor kupu-kupu berwarna biru terbang ke sana ke mari di dalam ruangan yang gelap gulita. Bersinar seperti kunang-kunang, menaburkan serbuk sari yang bercahaya, dan perlahan menghilang begitu saja. Apa itu ilusi?
"Rinda? Rinda? Kamu tidak apa-apa?" Pak Alvi mengguncangkan badanku cukup keras.
Aku spontan menoleh dan menelan ludah. "I-iya, Pak. Saya cuman kaget."
"Apa yang terjadi padamu?"
"Cuman sedikit pusing, Pak. Sekarang saya sudah tidak apa-apa." jawabku dengan merintih.
"Kamu yakin? Sekarang belum terlambat untuk kembali ke kamar."
"Jangan, Pak. Saya benar-benar baik-baik saja."
Pak Alvi mengelus dagunya. "Baiklah. Aku sudah memperingati, loh. Kalau begitu, coba kamu tepuk salah satu temanmu dan tanyakan apa saja kepada mereka."
"Eh? Buat apa, Pak?
"Lah, tadi kan kamu mau membantuku, ya ini tugasmu."
"Cuman menepuk? Itu saja?"
"Ya, itu saja."
Aku melihat sekitar dan mencari tempat dudukku. Ah, itu dia. Maafkan aku Melly, aku penasaran sebenarnya apa yang kamu pikirkan selama ini. Di mataku, kamu selalu sempurna. Walau semua orang sering membicarakanmu dari belakang, tapi senyuman itu tidak pernah pudar. Aku juga tidak pernah melihatnya menangis atau mengeluh. Kadang ... aku iri padanya.
"Tepuk pundaknya dan katakan apa saja yang kamu inginkan."
Aku menganguk dan menepuk bahu Melly tanpa keraguan. "Melly, kamu bisa mendengarku?"
Tiba-tiba aku bisa melihat kepalanya bergerak, mengangguk sekali. Lambat dan halus. Hal itu sontak membuatku takjub. "Melly, apa kamu bahagia?"
"Tidak," jawab Melly jelas, tanpa membuka matanya sedikit pun.
"Lalu, kenapa kamu memaksakan diri untuk tersenyum?"
"Karena aku tidak tahu harus membalas seperti apa."
"Kenapa kamu berkata seperti itu?"
"Papa selalu bilang, anak Papa harus murah senyum. Baik ke semua orang. Menjadi gadis yang baik. Walau Papa akan memukulku atau tidak memberi makan sampai kelaparan."
Jawaban itu jelas dan tanpa kebohongan sama sekali. Aku yang mendengarnya langsung meringis karena hal itu mengerikan sekaligus menyedihkan.
Pak Alvi menepuk pundakku. Sekilas aku bisa melihat wajahnya menyiratkan keseriusan yang dalam. "Papamu masih menyakitimu?"
"Masih."
"Kamu tidak melawan?"
"Tidak bisa. Papa akan marah besar."
"Apa yang papamu lakukan kalau dia marah?"
"Papa mengurungku di dalam wc semalaman. Aku tidak suka di sana. Sempit."
Aku sekarang marah dan jijik. Bisa-bisanya Papa Melly melakukan hal sekejam itu kepada putrinya sendiri. Apa dia tidak sayang? Apa dia sudah kehilangan kewarasaannya?
"Kamu ingin semua ini berhenti?"
"Iya, ingin sekali."
"Kalau begitu ... bisakah kamu lebih jujur pada dirimu sendiri? Meski sebentar saja?" Pak Alvi
Aku bisa melihat Melly menitikkan air mata, meski dalam keadaan tidak sadarkan diri. Ternyata ... tidak hanya diriku yang mengalami hal sial di rumah. Masih ada yang lebih parah.
"Nah, kamu lihat, kan? Mereka memang terlihat kuat atau normal dari luar, namun bagian dalamnya begitu rapuh dan hampir menghilang keberadaannya. Bagaikan hidup tapi mati dari dalam." Sorot mata Pak Alvi terlihat sendu.
"Iya, Pak ...," jawabku.
"Kalau begitu, kita akhiri saja sesi ini." Pak Alvi menepuk tangannya keras-keras sembari memberi kode pada para psikolog yang bersiaga di atas panggung.
Perlahan suara musik yang menenangkan memenuhi seluruh ruangan dan seekor kupu-kupu biru terbang menuju langit-langit.
Sampai sini, udah seru, kah?
Aku akan BERUSAHA untuk update setiap hari. Sampai tamat!
Semangat!!!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro