[25]
Karena ceritanya mau tamat, siap-siap yaah pisah ama Hino Tania. Makasih buat yang menikmati cerita ini. Kasev tahu mungkin banyak yang salah dan nggak layak ditulis apalagi dipublish. Pedenya tetap aku post 😅😅
***
”Akhirnya! Lo lulus duluan!” Mario memeluk Hino dengan rasa bangga. Hino mampu menyelesaikan studinya dalam tiga setengah tahun.
Mario sendiri masih tertatih bimbingan skripsi, sedangkan Jason tidak ada kabar sejak pindah ke luar kota. Semenjak itu, Nagita juga ikut hilang dari kumpulan mereka. Banyak hal telah berubah beberapa bulan ini.
”Wes, nggak usah diulang-ulang. Gue udah hafal alasan lo!” larang Mario, menyetop kata-kata yang akan diucapkan Hino.
”Elo wajib lulus sesegera mungkin biar ortu lo ngizinin Tania dikenalin sebagai istri lo dan Al sebagai anak lo—ya memang anak lo, gue tau. Gak usah melotot! Sumpah lo yang kayak gini nggak asyik. Gue lanjut. Karena tiap lo pulang ke Palembang, orang ngiranya Tania itu istrinya kakak lo dan itu bikin dada lo berasap. Padahal mereka kaga tau malemnya Tania—”
”Lo kalo nggak bacot, nggak bisa hidup, ya.” Hino menggampar kepala Mario dengan toga.
”Pusing gue pusing. Tinggal gue doang di sini. Habis ini lo nyusul Tania?”
”Otak lo emang nggak pernah di-restart. Sebelum ada Tania, gue udah distempel bokap ambil alih usaha dia. Bisa nggak, nggak usah dikit-dikit Tania?”
”Bajingan kayak lo emang sudah distempel untuk menyakiti hati wanita. Nggak heran lagi Tania sampai kabur ke rumah emak lo.”
”Si-sialan!” Hino menarik lengan panjang jubahnya, mengipas-ngipas wajahnya dengan toga.
”Hidup lo udah ketergantungan sama si Cebol. Lihat kan waktu dia pergi, nggak ada yang bisa menghalau cewek yang deketin elo. Makanya dari dulu lo harus tegas! Bego sih dipelihara. Nolak cewek aja pake perasaan.”
Hino ingin marah. Kepada Tania yang tidak bisa percaya. Kepada Nagita yang pergi entah ke mana. Kepada Jason yang menjadi sumber hilangnya Nagita. Dan kepada Juventus dalang dari semua masalah ini. Lalu haruskah Hino marah kepada diri sendiri? Lelaki yang baru saja wisuda itu menggertakkan giginya.
Begitu tersiar kabar bahwa Hino tidak lagi memiliki Nagita sebagai guardian angel, para cewek kembali mendekati Hino. Mantan yang diputuskan Hino lewat Nagita pun datang silih berganti. Hanya dalam tiga bulan, rumah tangga Hino dan Tania diserang badai. Tidak ada lagi keharmonisan dalam kehidupan mereka.
Tania melihat Hino bersama perempuan yang berbeda-beda, baik di ponsel lelaki itu atau secara langsung. Hino berduaan dengan wanita lain di malam hujan, berpelukan, bermesraan, berciuman, dan berjalan keluar dari hotel. Yang jelas semua itu hanya tuduhan Tania karena Tania tidak ingin mendengarkan penjelasan Hino.
Sekarang Hino menyadari dialah yang sangat salah. Hino selalu emosi jika Tania mulai mencurigainya. Hino tidak sempat menjelaskan apa-apa karena dia bisanya hanya marah, menyalahkan Tania yang tidak mempercayai dirinya sedikit pun.
Sudah tiga bulan Tania di rumah orang tua Hino. Mami mengusulkan agar mereka berpisah dulu sampai Hino tamat dan bisa fokus kepada masalah rumah tangga. Mereka berdua sepakat tidak memberitahu kedua orang tua. Hino mengatakan pada Dewi Sinta bahwa Tania dan Algasha perlu tinggal di rumah, bukan apartemen. Hino akan menyusul anak dan istri begitu menyelesaikan kuliahnya.
”Tuh Mami Dewi dan bokap lo udah manggil dari sana. Dan kayaknya mereka bawa kejutan.”
Hino pun berbalik badan untuk melihat kejutan apa yang dibawa Dewi dan Ben. Hino berharap Tania dan Algasha juga datang di hari kelulusan Hino, meskipun kata maminya Tania tidak bisa ikut karena demam.
Sebuket bunga. Hadiah yang Mario maksud hanya sepangkuan bunga yang dibawa Dewi dengan kedua tangannya. Melihat itu Hino jadi lesu.
Bahu Hino terasa ditusuk-tusuk. Sepertinya ada yang iseng mencuilnya. Hino ingin memarahi orang yang dia pikir pasti perempuan pencari perhatian. Sebelum Hino melakukan kekerasan verbal, matanya dikejutkan oleh dua orang yang paling dia rindukan.
”Algasha!” panggil Hino dengan nada gemas kepada putranya yang berada dalam gendongan Tania. Hino langsung mengambil alih anaknya ke dalam gendongannya sendiri.
”Ya ampun! Kamu benar-benar kasih Papa surprise. Kamu hadiah yang Papa Hino tunggu, Sayang. Jagoan Papa Hino.” Hino mencium pipi anaknya, mengungkapkan kerinduannya selama tiga bulan.
”Lalu bunga dari Mami nggak diterima?” sela Dewi Sinta sudah berdiri di sebelah Hino. Hino mencium bunga dari Dewi, tapi tidak mengambilnya. Hino hanya tersenyum lebar kepada ibu kandungnya.
”Dan Tania bukan hadiah?” sela Ben mengingatkan.
Hino dengan cepat merangkul Tania dalam pelukannya. ”Cuma Tuhan yang tahu, betapa aku bahagia melihat kalian ada di sini. Aku rindu berat sama kamu dan Al. Kamu boleh nggak percaya. Tan ... terima kasih kamu mau datang.” Semua itu hanya Hino bisikkan di telinga Tania.
”Kayaknya bunga Mami buat Mario aja. Hino nggak mau ambil,” ujar Dewi Sinta. Dia cukup bahagia melihat anak dan menantunya saling lempar senyum dalam tatapan mesra.
”Mar,” kata Hino. ”Tolong antar bokap nyokap gue ke apartemen.”
Mario sebetulnya punya kepekaan yang tinggi. Dia tahu apa yang akan Hino lakukan di belakang orang tuanya. Mario dengan sangat piawai mengajak orang tua Hino pergi lebih dulu meninggalkan tempat itu. Mario harus merayu Dewi yang tidak mau pulang tanpa Hino. Ben Alendra akan mengikuti kata istrinya. Jika Dewi tinggal, Ben juga tinggal. Jika Dewi pergi, Ben juga pergi.
Seperginya mereka bertiga, Tania lekas-lekas menjauh dari Hino. Tentunya Tania tadi hanya ingin terlihat baik di depan mertuanya saja.
”Mau ke mana?” tarik Hino pada tangan Tania yang sudah beberapa langkah di depannya.
”Pulang. Kembaliin Al ke aku aja. Kamu bisa bersenang-senang.” Tania hendak menarik Algasha. Hino mempertahankannya.
”Yah kok pulang? Temenin dong.”
Tania memandangi wajah tanpa dosa dan tiada masalah. Mata penuh harapan dan juga kerinduan. Tania menyadari selama pergi ia tidak bisa melupakan Hino. Hati tidak bisa berbohong. Semarah apa pun Tania, Tania masih memaafkan Hino. Tania mengakui satu hal yang baru-baru ini ia sadari. Ia sudah mencintai Hino. Tania sangat marah karena melihat Hino dengan perempuan lain. Tania cemburu. Ketika jauh, Tania rindu.
Sejak dia tiba, Tania dapat melihat ada beberapa gadis yang ingin mendekat kepada Hino. Barangkali ingin mengucapkan selamat. Mungkin salah satunya adalah pacar Hino. Tania hanya ingin menyelamatkan perasaannya pulang.
”Al sama Mama,” kata Tania mengulurkan tangan.
Algasha mungkin dalam hatinya berkata ‘terserah’. Al anak mama dan papa. Siapa pun silakan bawa Al. Asal jangan tinggalkan Al di tempat ramai ini sendirian. Anak itu mengamati wajah Tania, menunggu.
”Al sama Papa. Papa kangen Algasha.” Hino masih dalam posisi bertahan. ”Mamanya juga nggak boleh jauh-jauh dari Papa. Papa kangen sama Mama juga.”
Suara apa itu? bisik batin Tania. Sepertinya ada yang meledak di dalam dadanya. Bisa jadi itu mercon, sampai-sampai Tania merasa hangat. Muka Tania terasa ikut memanas. Terlebih waktu Hino menyelipkan jari-jemarinya pada Tania.
”Tan, maaf ya, waktu kamu wisuda, aku nggak ada. Tapi waktu aku wisuda, aku ingin kamu ada di samping aku. Aku liat spot foto bagus tuh di sana. Kita ambil foto.”
Hino betul-betul menepati janji pernikahan mereka. Tania dia kenalkan kepada teman-temannya sebagai istri. Banyak yang tidak percaya, terutama perempuan yang menyukai Hino. Namun, dengan nada bangga Hino berkata dia bukan cuma sudah memiliki istri, tapi juga putra dan akan membuat lebih banyak keturunan bersama istrinya.
Tania ingin segera pulang.
***
Ruangan gelap dan pengap. Sebuah cahaya kecil dari ponsel menjadi satu-satunya yang dapat dilihat. Sang pemilik, Nagita Rayanna, menunggu seseorang menjawab teleponnya.
”Hino,” bisiknya.
”Git! Elo ke mana aja? Tau nggak kita semua pada nyariin lo?”
”Siapa?” Suara Nagita sangat berbeda dari dirinya yang biasa. ”Kamu? Atau Mario?”
Hino tidak menjawab.
”Kamu sama dia nggak usah repot nyari aku. Bukan kalian yang aku mau. No, selamat udah berhasil. Kasih tahu Kak Tania aku baik-baik aja. Sehat.”
”Tania ada di sini. Lo bisa ngomong langsung sama dia. Sebentar gue kasih ke Tania.”
”Kalau gitu aku udah. Bye, Nono. Salamku untuk Al, oke? It’s okay, Nono. Bilang pada Kak Tan, aku rindu, tapi belum bisa pulang.”
Hino memegang HP-nya kuat-kuat. Menunduk. Bernapas pelan. Menengadah. Bertemulah sepasang matanya dengan Tania yang juga meminta penjelasan.
”Nagi? Katanya kalian sahabat. Kenapa kamu diam aja, sahabat kamu pergi? Kamu nggak melakukan apa-apa.”
”Tau masalahnya? Dia nggak ingin kita cari. Nagita itu udah gede. Dia menemukan tujuan hidup dia. Jangan anggap Nagita anak kecil lagi. Dia bisa menjaga diri.”
”Nagita itu perempuan! Selamanya dia berada dalam bahaya tanpa pengawasan. Dia nggak bisa membedakan orang baik dan orang jahat. Dia belum bisa hidup sendirian yang benar-benar sendiri. Kenapa sih kamu nggak bertanya alamat dia?”
”Kita akan cari Nagita. Kamu nggak usah marah. Kita ini baru baikan. Please, jangan emosi, Tania.” Hino memegang tangan Tania. Bicara dengan lembut, penuh bujukan khas buaya darat. ”Ayo romantisan lagi. Bibirnya senyum dulu dong. Senyum yang cantik. Tenang. Aku akan cari Nagita, bahkan Jason dan si jabrik itu juga.”
***
Bersambung ....
Muba, 9 Feb 2021
Besok tamat. Kasev nggak bikin ekstra part loh. Gak usah ditagih ya. 🙂 Sengaja dipercepat biar lekas happy ending untuk tokoh sentral kita.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro