Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

[23]

Sampailaah pada episode yang belum pernah ada di wattpad. Cerita ini akan tamat pada episode 26.
Jaadi, siap-siap pisah ama Hino, Tania, dan Al.
Happy reading.


😘😘😘

”Ya Tuhan! Gue telat!” Hino berteriak kemudian cepat-cepat masuk kamar mandi. Tidak sempat mandi, hanya menggosok gigi dan membasuh muka.

”Eh lo! Kenapa nggak bangunin gue?” bentak Hino melihat Tania sedang minum teh dengan santai.

Mendengar kekasaran Hino, hati Tania Merasa terpilin. Ia merasa semuanya sudah berubah. Perhatian Hino selama ini hanya karena bayi yang Tania kandung. Tania tidak menghiraukan kekesalan suaminya. Orang kesal jika diladeni akan panjang urusannya.

”Sialan! Budeg ya, lo? Gue telat karena elo, Kebo! Anak nangis malah enak-enakan tidur!”

Memang benar Hino ikut begadang menidurkan bayi mereka. Saat Tania memberikan ASI, Tania enggan membuka matanya. Hino harus tetap bangun dan menemani Tania ngobrol agar wanita itu tidak mengantuk dan bayi mendapatkan ASI. Bukannya mudah bagi Hino yang merasakan siksaan akibat hasrat tak tahu diri yang tiba-tiba saja datang saat melihat benda yang diminum bayinya.

Pikiran Hino mulai tercemar. Ia menggeleng sambil menampar kepalanya sendiri. Hampir saja ia menggeram kepada Tania saking kesalnya melihat wanita itu.

”Kalau merasa udah telat, ya, berangkat dong. Apa gunanya kamu marah-marah sama aku? Nggak ngehabisin waktu?” sindir Tania membuat Hino mengumpat pelan.

”Algasha. Panggil putra gue Algasha. No debat!” perintah Hino sebelum memasang sepatu.

Tania awalnya tidak mengerti apa yang Hino katakan sampai waktu Hino telah menutup pintu apartemen Tania tersentak.

”Aku ibuknya! Aku yang melahirkan, enak aja jadi putra kamu sendiri!” teriak Tania sia-sia.

***

”Lo jangan macam-macam, Bol, di kening Hino tertulis ‘senggol bacok’, duduk diam di sebelahnya.”

”Pada kampret semua tuh dosen. Kita kuliah di sini bayar mahal. Mereka enak banget datang sesuka hati. Tau begitu gue masih tidur!” kesal Hino, lalu kepalanya direbahkan ke meja.

Empat sekawan itu tengah berada di kantin seperti biasa. Segelas kopi hitam sudah ditandaskan Hino. Efeknya sama sekali tidak manjur. Dia masih ingin tidur, tapi jam mata kuliah masih menunggu Hino setengah jam lagi. Ia tidak bisa pulang dan memeluk Tania—shit, umpat Hino. Maksud dia adalah bantal guling. Juga tidak bisa memeluk bayinya dan mencium wanginya.

Baby, nanti temenin aku ke rumah Kak Tania, yuk. Kamu belum liat bayinya.” Nagita seperti biasanya mengalungkan lengannya ke tangan Jason.

Mario di bawah sana menendang kaki Nagita membuat gadis manis itu mengaduh. Tak ingin melepaskan belitan tangan sebab tidak mau Mario menang.

”Markom, apaan si kamu sirik aja ama kita? Kalo mau manja-manja, cari cewek sana! Cuma kamu yang jomblo di sini!”

Mario menoleh ke sebelahnya kepada Hino lalu menaik-turunkan alisnya. Kau salah, Cebol, dia juga jomlo ngenes. Kira-kira seperti itu maksud Mario.

”Ya kalau Nono kan tiap waktu ada cewek nembak dia,” kata Nagita gelagapan sebab ditatap juga oleh Hino dengan tatapan mematikan. Hino masih marah karena mengatakan kepada Mario  bahwa suami Tania adalah Argio.

Mampus! Nagita kini ingat mengapa ia merasa telah melakukan kesalahan besar, tapi melupakannya. Ternyata ini. Hino waktu itu tidak bisa membantah karena memang pernikahan itu masih dirahasiakan.

”Aku masih boleh main ‘kan?” tanya Nagita dengan menunjukkan mata berharap kepada Hino, tapi wajahnya menghadap Mario, dan tubuhnya menempel di badan Jason.

”Bah! Berasa punya peliharaan tuyul gue lama-lama. Eh, kalau mau pergi, sana pergi! Kagak pake drama!” kesal Mario, memisahkan Nagita dari Jason, membuat Nagita memelototi bujangan mengesalkan itu.

”Lo!” tunjuk Hino pada Nagita. ”Dilarang—”

”Dilarang?” sambar Mario dengan wajah songong, seakan Hino sedang mendukung dirinya.

Hino terbatuk kecil hampir keceplosan. ”Awas kalau lama!” Kemudian Hino meninggalkan teman-temannya, menjadi mahasiswa teladan yang paling dulu duduk di kelas.

”Anak Papa lagi ngapain?” Hino membantin dan mengeluarkan ponselnya untuk menelepon istrinya.
Lama sekali panggilan itu baru dijawab Tania.

”Algasha udah bangun?” tanyanya langsung pada detik pertama ketika teleponnya ditanggapi.

Udah nih, tapi belum bisa ngomong,” jawab Tania, lalu kedengaran tawa renyahnya. Bibir Hino ikut tersenyum.

”Emangnya aku sebodoh itu. Coba dekatin ke telinga dia, aku mau bicara,” perintah Hino.

Udah. Ngomong,” kata Tania lembut seolah tadi pagi mereka tidak beradu mulut.

Hino menyandarkan punggungnya di kursi dan kakinya dia selonjorkan. ”Hello, anak Papa Hino.”

Anakku juga,” protes Tania.

Hino berdecak. ”Tahu nggak sih, Papa mudah kangen sama kamu. Mau ikut Papa? Kamu nanti Papa ajak lihat-lihat cewek cantik—”

Nggak ada, ya! Awas kamu ngajarin anak aku yang enggak benar!” sentak Tania.

Hino menggaruk tengkuknya dan tertawa. ”Tan, kamu mau temanin aku nanti?”

”Mau ditemani untuk apa dulu?”

”Ehem ... Kita, kamu sama aku, kayaknya butuh banyak belajar mengurus bayi. Kita beli bukunya, yuk. Nanti aku jemput sepulang kuliah. Sekalian bawa Algasha jalan. Terus ....”

Terus?”

”Kalau teman aku datang, jangan dibukain pintu.”

Pencegahan ini sudah seharusnya Hino lakukan. Walau tidak menutup kemungkinan Nagita dan Jason tetap memaksa ke apartemen. Barangkali kalau Tania mendapati mereka di pintu, Tania akan memblokir sepasang manusia itu masuk.

Siapa yang datang? Nagi, ya?” tanya Tania setelah itu terdengar suara bel. ”Kayaknya ada tamu. Udah dulu, ya, barangkali Mami. Bye, Papa, kata Algasha. Kok kepanjangan ya, No? Aku boleh panggil Al aja?”

”Al bagus. Ya udah, bol—” Tania mematikan telepon itu.  ”Tania!” kesal Hino yang hanya bisa mendengkus kasar kepada telepon genggam.

”Woy! Kenapa kenapa? Tania yang baru lahiran itu?”

Mario datang menepuk bahu Hino dan duduk di sebelah Hino.

”Tuh kan! Gue nggak salah dong suka sama Tania walau sudah jadi istri orang! Cantik gitu, ya nggak, No?”

Hino menyikut rusuk Mario dengan sikunya.

”No! Lo nggak lagi berusaha ngelarang gue ‘kan? Wah parah, jangan punya pikiran jadi perebut istri orang lo! Nggak berkelas!”

”Bacot!” Hino memukul belakang kepala Mario keras-keras.

”Hajar aja, Nono! Sampai mampus!” teriak Nagita sebelum terbahak. ”Mampus lo, Markom!”

***

”Gio.” Tania kaget melihat kedatangan Argio.

”Hello, My Tan.” Argio tersenyum. ”Boleh aku masuk?” tanyanya.

Argio kelihatan tampan dan ceria. Tania tidak yakin bahwa Argio sudah bisa menerima pengkhiatannya. Bukannya Tania curiga Argio akan berbuat jahat. Hanya saja Tania merasa Argio sedang berusaha untuk tersenyum. Dia sebenarnya sedang hancur dan berlagak semua baik-baik saja.

”Tapi di rumah nggak ada siapa-siapa,” jawab Tania refleks. Dan itu membuat Argio terkejut, menyebabkan rasa bersalah Tania semakin besar.

”Masuk aja. Ayo, Gio,” ralatnya.

”Ada apa?” tanya Tania gugup. Ia duduk jauh dari Argio. Kedua tangannya berada di atas pangkuan.

”Mau lihat keadaan kamu.” Argio juga merasa gugup. Tadinya dia sangat bersemangat datang ke rumah Tania tanpa persiapan.

”Aku sehat. Hm ... kamu udah makan?”

Tania menggigit bibirnya. Apa maksud dari pertanyaannya? Tania lalu tersenyum kepada Argio seakan dia memang bermaksud menanyakannya.

”Pasti belum! Kamu tunggu di sini, ya, aku siapkan.”

”Enggak usah, Tan!” Argio berusaha mengubah panggilannya. Hati Argio kembali murung mengingat bahwa Tania bukan miliknya lagi. Atau pernahkah Tania dia miliki?

”Jangan menolak! Aku nggak mau bisanya cuma ngasih kamu luka. Aku ingin memberi kamu ... makanan. Cuma ini yang aku bisa.” Tania meneriakkan kalimat itu sebab dia sudah berada dapur.

Argio sangat mencintai Tania. Lalu kenapa mereka tidak dibolehkan bersama? Argio terdiam di tempat duduknya mengingat perjuangannya dulu merebut hati Tania dari Aldyano. Apakah usahanya masih kurang, sehingga Tania tidak diperuntukkan bagi Argio?

”Hey, Gio, melamun?” Tania membangunkan lamunan Argio. ”Ayo, di meja sana,” ajaknya.

”Tan ....”

Melihat Argio, Tania merasa diminta mendekat. Tania duduk di depan Argio.

”Kamu tau kenapa Aldy benci banget sama aku dan selalu mendoakan agar aku dan kamu tidak bersama?”

He protected me?”  tebak Tania. Bukan karena cinta atau sayang, lebih karena peduli kepada Tania sebagai adik. Ya, sebutan itu sangat mengecewakan sebelum Argio merasuk pelan ke hati Tania.

Argio menggeleng. Senyuman manis yang selalu menemani hari-hari Tania dulu, sekarang mekar di wajah Argio.

”Dia emang benci sama aku.”

”Kenapa?!” Tania merasa tidak ada alasan untuk membenci Argio kecuali saat Tania masih mencintai Aldy dan Argio selalu menganggu Tania.

”Aku dulu selingkuh sama Lafila.”

”Argio! Rasanya aku pernah dengar, tapi kok aku lupa? Kenapa kamu itu baj—” Tania hampir mengumpat. Lalu ia tertawa, benar-benar lucu. ”Ih kamu udah nyebelin dari dulu, ya.”

”Mereka itu pasangan yang membosankan, Tan. Mereka pacaran, tapi coba tebak ngapain aja?”

Mana Tania tahu! sewotnya. Tania tidak mengenal Lafila sebelum Aldy yang mengenalkan mereka. Sebetulnya dia mengetahui Lafila sebagai Bu Nizanya Nagita. Hanya sebatas gurunya Nagita.

”Pacarannya kalau nggak belajar, ya belajar. Nggak ada yang lain. Di sekolah mereka berduaan, belajar. Pulang sekolah paling akhir karena belajar. Nge-date juga belajar. Nggak tau kalau malam minggu. Aku rasa Aldy juga ngajak Lafila belajar.”

”Jadi?”

”Lafila bosan. Lafila memilih aku daripada Aldy.”

Tania kelihatan bingung. Aldy sebaik itu kok bisa ditinggalkan demi Argio?

”Aldy belum pernah mencium Lafila.”

Tania tahu lanjutan kisah itu. Pasti Argio memanfaatkan rasa ingin tahu Lafila. Artinya Argio dulu mencium Lafila dan kenapa dengan Tania tidak pernah?

Oh, Tania, stupid! Hentikan pikiran itu, bentak batinnya.

”Aldy memutuskan Lafila. Lafila awalnya biasa aja. Kita jalan, tapi lama-lama dia menyesal. Akhirnya waktu kita ketemu lagi, Aldy masih dendam sama aku. Aku juga gunain kamu untuk membalas Aldy. Makanya dia benci banget. Apa karena itu, Tan? Aku kena batunya.”

Kalau Tania tahu ceritanya begini, Tania juga  mungkin membenci Argio. Argio sangat jahat kepada Kak Aldy-nya. Wajar jika Aldy membenci Argio, tapi perpisahan mereka bukan karena Argio. Semuanya salah Tania.

”Gio ...” Apakah sebaiknya dia jujur?

”Memangnya kamu percaya karma? Semua itu bohong. Kamu nggak bisa menyalahkan diri kamu karena yang salah, salah banget, itu aku.”

Tania hendak bercerita dan terpaksa diundur karena bayinya menangis. Dan Tania tidak mungkin menyusui putranya di luar. Tania permisi untuk ke kamar. Saat itulah, dia tidak mendengar suara bel. Sebab saat belnya baru saja berbunyi, Argio sudah membukakan si tamu pintu.

***

Bersambung ....

Muba, 7 Februari 2021

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro