[22]
Rameeikan yaah,,, besok lanjutan part baruuh.
***
“Kak Tania.” Nagita memeluk Tania yang sedang duduk bersandar di ranjang rumah sakit.
“Aw,” rintih Tania.
Nagita langsung bergeser satu meter setelah itu karena ....
“Apaan sih, No?” sungut Nagita karena Hino mendorongnya tanpa perasaan menjauh dari Tania.
“Nggak denger apa lo kalau dia kesakitan?” bentak Hino. Matanya terlihat kejam. Nagita mengerjap-kerjabkan biji mata dengan mulut seperti mulut ikan. Melongo.
“Santai dong, nggak usah bentak-bentak gitu bisa kan?” tegur Mario yang melihat sikap temannya terlalu berlebihan. Hino tidak menanggapi.
Suasana di dalam ruangan itu agak memanas akibat suara keras Hino. Ditambah tindakan Mario yang bisa-bisanya membela Nagita.
Tania melihat wajah mereka satu per satu. Nagita dengan wajah bingungnya. Hino masih kelihatan emosi. Ada apa dengan Hino? batin Tania. Lalu ia melihat Juventus, lelaki yang ia temui di halte, ternyata juga berada di ruangan ini. Pantas saja, pikirnya.
Juventus sedang melihat ke arah Tania juga. Cepat-cepat Tania tersenyum kepada Juventus, pemuda baik hati yang telah menolongnya beberapa waktu lalu. Tania merasakan satu lagi tatapan tajam yang diberikan oleh seseorang. Dan ternyata orang itu adalah Argio. Tania menatap mata lelaki itu, tapi hanya sebentar lalu ia menunduk.
“E eh ada Kak Gio,” ucap Nagita.
“Halo, Nagi,” sapa Argio.
Ia tersenyum. Sudah lama Nagita tidak melihat senyuman tulus itu. Terakhir kali Nagita bertemu Argio adalah saat lelaki itu memaksanya meminta alamat Tania.
“Rame ya,” ucap Tania.
Ia melihat Mario, mereka pernah bertemu di mall waktu itu.
“Hmm. Makasih semua udah dateng,” kata Tania kepada Mario dan Juventus.
“Iya tadi kebetulan gue ketemu sama Nagita. Jadi sekalian,” jawab Mario.
“Ah ternyata Nagita bawa gue kepada wanita cantik.” Mario mulai dengan aksinya yang menurut Nagita itu menyebalkan.
“Lu kalau mau modusin istri orang, jangan depan lakinya dong,” tegur Nagita.
“Lho ada suaminya di sini? Nggak mungkin elo,” tunjuk Mario kepada Juventus. Juventus menatap kepadanya dengan pandangan, gue nggak bilang kalau itu gue.
“Iya. Ini Kak Gio, suaminya Kak Tania,” jawab Nagita.
***
Tangisan bayi membangunkan Tania. Ia segera memberikan ASI kepada bayinya. Bayi itu langsung tenang. Tania memegang tangan mungil yang hangat itu. Tangan rapuh yang akan melindunginya kelak ketika dewasa.
Bayi belum bernama itu terlahir secara normal. Kehadirannya agak meredam pertikaian yang sedang terjadi di antara kedua orang tuanya. Saat ini, Tania sudah tidak kesal lagi dengan sikap-sikap kasar Hino dahulu. Mungkin dulu ia dipengaruhi hormon kehamilan. Yang jelas ia sudah tidak marah kepada Hino seperti yang terjadi di rumah sakit.
Hanya saja sikap Hino kepada Tania mulai berubah. Lelaki itu sangat sayang kepada bayi mereka, tetapi terhadap ibu si bayi, Hino terkesan memberi jarak. Tania pun bingung, apa yang menyebabkan perubahan Hino itu? Lihat saja, saat ini Hino tertidur di sofa bukan di sampingnya.
“Mahasiswa labil, udah jadi bapak masih saja bersikap nggak jelas,” gumam Tania.
Setelah bayinya terlelap, Tania membesihkan diri dan menyiapkan keperluan suaminya. Kekanakan begitu, Hino tetap suami yang wajib ia layani. Dosa jika ia mengabaikan lelaki itu apalagi melawan.
Suara bel terdengar ketika Tania sedang berkutat di dapur. Setelah mematikan kompor, ia segera melihat siapakah yang bertamu pagi-pagi.
“Mami! Ayo masuk, Mi.”
Tania menyambut ibu mertuanya dengan riang. Sejak bayinya lahir, Dewi sering datang ke apartemen mereka. Karena terlalu antusias mendapatkan cucu, Dewi memilih tinggal di kota ini agar ia bisa lebih mudah menemui sang cucu dan anak menantu kesayangannya.
Tania merasa bahagia sebab di kala ia melahirkan ada seorang ibu yang mendampingi. Mertuanya memiliki peran yang begitu besar saat ia tidak tahu apa-apa perihal mengurus bayi.
Meskipun di panti ia cukup banyak menjaga bayi, untuk bayi yang baru lahir, terlebih anak sendiri, ia memiliki banyak kecemasan. Tania takut kalau-kalau tindakannya akan melukai sang bayi.
“Hino pasti belum bangun kan, Sayang?” tanya Dewi sambil berjalan ke kamar Tania, tempat sang bayi terlelap.
“Belum, Mi, sekarang jadwal Hino sudah tidak terlalu padat,” jelas Tania sekenanya.
“Kalau begitu, aku bangunkan Hino dulu ya, Mi. Dia ketiduran di sofa semalam,” lanjutnya.
Hino merasa seseorang menepuk pipinya. Suara Tania memanggil namanya pun samar terdengar. Ia kini bukan lagi Hino sang raja tidur yang susah dibangunkan. Sejak bayi mereka lahir, otomatis ia menjadi papa siaga saat bayinya terbangun tengah malam. Jadi, suara kecil sekalipun mampu membangunkannya.
“No, bangun dong! Ada Mami tuh,” jelas Tania dengan suara pelan. Ia tidak ingin memancing kekesalan Hino yang berencana ingin tidur lebih lama selagi kuliah libur.
“Bentar lagi, aku masih ngantuk.” Suaminya menutup wajah dengan selimut.
Tania beranjak dari sofa yang ditiduri Hino. Ia akan membiarkan Hino tidur sebentar lagi. Kasihan Hino pikir Tania. Tadi malam karena terlalu capek, Tania tidur lebih awal.
“Hino masih ngantuk, Mi. Bentar lagi dia bangun.”
Tania melanjutkan kegiatannya yang tertunda. Setelah masakan itu jadi, ia menyiapkan di meja makan dan segera memanggil mertuanya.
“Kalian masih belum dapat nama untuk anak kalian?”
Mertuanya langsung menyodorkan pertanyaan itu ketika Tania masuk ke kamar. Dilihatnya bayi laki-lakinya masih tidur dengan tenang. Adanya sang nenek tidak mengganggu tidur bayi itu.
“Belum. Kita bingung mau masih nama apa,” jawab Tania.
Beberapa kali ia dan suaminya berdiskusi menentukan nama yang baik untuk sang bayi. Setiap diskusi bukannya memecahkan masalah nama, justru semakin menambah pertikaian mereka. Tania merasa Hino sekarang pemarah. Ah, bukan pemarah, tapi sensi. Mudah kesal dan tidak mau mendengarkannya. Setiap perdebatan, pasti Tania yang akan mengalah. Jika tidak, mereka akan mendiamkan satu sama lain.
“Cepatlah berikan nama, nanti Mami lho yang masih nama. Mami sudah punya nama yang bagus buat cucu Mami,” ancam Dewi.
Tania ingin mengatakan bahwa ia bersedia memakai nama dari mertuanya untuk sang bayi. Tetapi kalau Hino tidak setuju, bisa kiamat. Mereka pasti akan bertengkar lagi.
“Mi, udah lama sampai?” tanya Hino. Ia masuk ke kamar dengan penampilan segar sehabis mandi.
“Udah lama, Sayang. Hino nggak kuliah hari ini?” tanya Dewi kepada sang putra. Dewi masih saja memperlakukan ayah seorang anak ini seperti anak laki-laki.
“Hino sedang free hari ini, Mi.”
Hino mengelus pipi bayinya dengan telunjuk. Bayi itu bergerak tak tenang, Hino tersenyum melihatnya.
“Kalian ini bagaimana? Sampai sekarang masih belum mendapatkan nama untuk anak kalian!” Dewi memulai topik yang akhir-akhir ini sering ia perdebatkan bersama sang istri.
“Mami, nyari nama yang cocok itu nggak gampang. Menurut Hino baik, Tania bilang nggak baik.”
“Aku udah dapat nama yang baik dan cocok untuk baby, kamu bilang nggak bagus!” sela Tania kesal. Jika suaminya ingin menyalahkannya, Tania tidak akan terima.
Hino mengangkat bahu tidak peduli. Ia masih bermain-main dengan sang bayi. Hino mengangkat bayinya lalu memeluk bayi itu. Hino tidak tahu sejak kapan ia mahir menggendong bayi. Bahkan bayi ini terlalu rapuh. Salah sedikit saja, bayinya ini akan celaka. Namun, Hino yakin ia mampu menjaga bayinya dengan baik.
“Ya udah, Mami balik ke hotel. Sepertinya cucu Mami nggak mau diganggu,” ucap Dewi.
Sebelum pergi, ia kembali mengancam orang tua cucunya, jika mereka belum memberikan nama juga, ia yang akan memberikan nama. Hino dan Tania harus setuju.
***
Bersambung ....
Muba, 6 Feb 2021
Kelupaan updateee.
Kirain sudaah loh..
Oke nemenin malam Minggu.
Lapak sebelah juga Kasev update.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro