Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

[21]

Kasev di awal udah kasih tau kalo cerita ini lapak lama. Cuman publish ulang tanpa revisi. Jadi, nanti ketahuan deh kalau cerita ini setting-nya tua banget. Hehehee. Sekadar info, part 22 (yang terakhir Kasev tulis), itu dipublish tanggal 22 April 2017. Dan,, ceritanya bentar lagi ending... Akan ada lapak baru, series Status Gantung. Oke, selamat membaca.

***

Kejadian kemarin menjadi masalah pernikahan pertama antara Hino dan Tania. Sebagai pasangan yang menikah tiba-tiba tanpa adanya cinta, hubungan di antara Hino dan Tania termasuk hubungan yang normal. Mereka menjadi pasangan suami dan istri pada umumnya,  hingga kini pasangan itu hampir dikaruniai seorang anak.

Tidak ada hubungan yang berjalan lancar-lancar saja dari awal hingga akhir. Menikah adalah menggabungkan dua manusia berlawanan jenis yang masing-masing memiliki kepribadian berbeda. Manusia itu unik karena tidak ada manusia yang persis sama.  Itu sudah menjadi ketentuan alam. Sehingga ketika terjadi pernikahan, maka kedua pasangan yang berbeda harus saling melengkapi dan mengisi agar pernikahan itu menjadikan mereka sebuah keluarga yang bahagia.

Dalam suatu hubungan, apalagi sebuah pernikahan, perasaan cemburu sudah biasa terjadi. Manusiawi. Setiap manusia akan mengklaim apa yang mereka miliki maka tidak boleh dibagi kepada orang lain. Cemburu dalam suatu pernikahan juga wajar di saat kamu melihat pasanganmu dekat dengan lawan jenis.

Itulah yang Hino rasakan saat melihat Tania berjalan di samping Juventus di tempat umum. Di saat ia mengusahakan sebuah hubungan yang harmonis bersama Tania, ia justru diberikan sebuah pemandangan yang menaikkan emosinya.

“Kalian akan melaksanakan akad nikah saja dan resepsi kita lakukan setelah Hino wisuda. Yang penting kalian sah di mata agama dan negara. Dan pernikahan ini untuk sementara kita rahasiakan dulu dari umum. Kita tidak mau kan jika kebenaran ini akan membuat kolega Alendra dan Farely berpikir negatif?” tanya Ben Alendra retoris ketika itu.

Itulah alasan Hino tidak mendekat kepada Tania dan Juventus saat mendapati mereka berdua di hypermart. Hino selalu mengingat permintaan ayahnya untuk merahasiakan pernikahan mereka. Oleh sebab itu pula, Hino jarang menampakkan diri bersama Tania di tempat umum. Walaupun Hino sebenarnya tidak terlalu ingin mengikuti permintaan Ben karena mereka bukan di tempat orang akan mengenal mereka sebagai bagian dari Alendra maupun Farely milik Aldyano.

Hino duduk di sisi Tania yang kini tengah memejamkan mata di ranjang rumah sakit. Kedua bola mata yang tertutup itu berkedip-kedip seperti ada sesuatu yang mengganggu si empunya mata. Kening Tania sedikit berkerut di saat jemarinya yang dipasangi infus menunjukkan pergerakan. Secara slow motion, tangan Tania yang tidak dipasangi infus bergerak menuju perutnya.

Hino menyadari kalau Tania mulai sadar lalu menekan tombol di dekat Tania untuk memanggil dokter. Dalam beberapa menit kemudian, seorang dokter laki-laki dan seorang perawat membuka pintu ruang perawatan Tania. Hino mendengar suara orang bertanya dengan nada cemas ketika dokter tiba di pintu ruangan. Dan memang ternyata dokter sedang berbicara dengan seorang lelaki yang hanya tampak punggungnya saja dari tempat duduk Hino. Setelah itu barulah dokter bersama perawatnya masuk untuk memeriksa Tania.

Tania membuka matanya perlahan setelah mendengar suara dokter. Hal yang pertama kali ia lihat adalah atap-atap kamar bercat putih dan aroma obat-obatan yang sangat kental. Sambil mengerjab-kerjabkan matanya, Tania menyentuh perutnya, tempat calon anaknya sedang bertumbuh.
Tania menghela napas lega. Ia masih memilikinya, dia masih bersamanya. Ah Tania merasa senang karena kandungannya tidak apa-apa.

Setelah dokter dan perawat itu pergi, Hino menarik kursi di sisi Tania. Ia duduk di sana lalu terdiam, tidak tahu ingin memulai dari mana.

“Kamu ... ehm ... kamu nggak apa-apa? Atau ada yang sakit?” tanya Hino. “Jangan khawatir, baby kuat kok,” hibur Hino. “Mau makan? Kamu harus makan agar ....”

“Agar apa?” tanya Tania ketus. Dia masih ingat apa yang telah dilakukan Hino tadi pagi. Hino bahkan tidak mau mengucapkan maaf.

“Kamu sadar nggak, karena kamu nggak makan, makanya kamu sampai drop begini, dan ini bahaya buat baby. Untung aja baby kita kuat.”

Hino melimpahkan kesalahan kepada Tania. Jujur saja sebenarnya Hino tidak bermaksud memarahi Tania. Ia hanya terlalu khawatir. Iya, khawatir kepada calon anaknya dan juga kepada ibu anaknya.

Tania ikut emosi mendengar kata-kata Hino. Walaupun ia cukup terkejut karena Hino mengatakan baby kita yang artinya milik mereka, tapi itu memang benar ‘kan?

“Kamu jahat, No.” 

Tania tidak ingin mengeluarkan kata-kata yang sudah berada di ujung lidahnya. Ia tidak ingin seperti Hino, dengan mudah, menyalahkan dirinya. Tania harus lebih dewasa di sini karena memang secara usia dia lebih tua daripada Hino. Tapi hati Tania tidak bisa menepis bahwa ia merasa perih.

“Hey, aku nggak bermaksud ....”

“Udahlah, No. Kalau kamu masih mau nyalahin aku, aku minta maaf. Iya aku nggak hati-hati menjaga anak kita. Sekarang aku minta kamu keluar dulu, aku mau istirahat!”

Tania membelakangi Hino. Sebenarnya Tania bingung kenapa Hino bisa berubah seperti itu? Kalau Hino marah soal kejadian tempo hari, seharusnya Hino memberikannya kesempatan untuk menjelaskan kejadian yang sebenarnya. Bukan malah menuduh Tania macam-macam, membuat kekacauan di apartemen, dan marah-marah kepadanya. Apalagi sampai tega menuduhnya mencelakai anaknya sendiri. Tania tidak mungkin rela anaknya kenapa-kenapa. Hati Tania sakit dibuat seperti ini. Tanpa ia sadari setetes air matanya mengalir ke bantal rumah sakit yang ia tiduri.

Sekitar lima menit setelah keheningan, Tania mendengar suara pintu ruangan itu dibuka. Pasti Hino keluar menuruti permintaannya tadi, begitu yang Tania perkirakan. Namun sebuah suara yang sangat ia kenal tanpa disangka menyapa gendang telinga Tania.

“Kamu nggak apa-apa, Tan? Apa yang terjadi, No? Kenapa Tania bisa masuk rumah sakit?” tanya Argio dengan wajah cemas.

“Gio ....” ucap Tania. 

Tania mengubah posisi dari berbaring kini duduk di ranjang. Dengan sigap Hino menegakkan bantal untuk sandaran Tania. Argio mendekati mereka.

“Bang Gio ... Lo tahu kita di sini?”

Kepala Hino dipenuhi pertanyaan, darimana Argio mengetahui kabar Tania masuk rumah sakit? Ia tidak memperhatikan bagaimana wajah khawatir Argio terhadap Tania. Juga tidak melihat reaksi Tania ketika Argio mendekat kepada mereka. Tania merasakan pasokan udara di dadanya menipis.

“Waktu gue sampai apartemen, Tania sudah begini, Bang. Kata dokter, Tania kecapekan dan itu semakin parah karena dia nggak makan apa-apa sejak tadi pagi,” jelas Hino. Kepalanya menunduk, suaranya terdengar sarat penyesalan.

Tania melihat kedua kakak-beradik itu. Argio dan Hino ternyata memiliki warna mata yang sama. Begitu pekat seolah dapat menelan segala ketakutan yang sedang Tania rasakan.

Argio mengarahkan perhatian kepada Tania.
Jantung Tania berdetak dengan frekuensi lebih cepat dari biasanya. Ia melebarkan bola mata sambil berusaha menahan debaran jantungnya. Tubuhnya terasa bergetar karena takut ... atau masih adakah perasaan itu? Sementara itu, Argio meneliti wajah cantik yang selama ini ia rindukan. Miliknya dulu. Miliknya yang dengan susah payah ia raih.

Argio menyerap dalam-dalam ekspresi gadisnya.
Wajah semulus porselen dengan mata yang sedang menatap dalam-dalam kepadanya. Bibir pink lembut yang agak terbuka, hingga membuat sedikit giginya mengintip di dalam sana. Membuat Tania begitu menggemaskan. Ditambah lagi dengan kedua pipinya yang sekarang agak berisi, pipi yang selalu berubah merah muda jika Argio menggodanya. Lalu poni halus yang selalu ia acak jika gadisnya sudah bersikap  menggemaskan.

Tania bukan Tanianya lagi. Argio menyadari perubahan itu dari wajah Tania. Pipi itu bukan pipi Tanianya. Poni itu bukan miliknya. Bibir pink itu juga bukan lagi miliknya. Lalu Argio mengalihkan pandangan ke bawah, ke bagian perut Tania yang tertutup selimut.
Anak itu bukan anaknya.

Tania bertambah gugup ditatap seperti itu oleh Argio. Saat Argio melihat perutnya, refleks Tania menaikkan selimutnya. Tania tidak tahu apakah yang ia lakukan ini berpengaruh buruk terhadap Argio atau tidak. Dirinya seolah-olah ingin melindungi anaknya dari Argio. 

Sekali lagi Tania melihat luka itu di mata Argio. Ia salah. Seharusnya ia tidak bersikap seperti tadi. Seharusnya ia biasa saja kepada kakak iparnya itu. Seharusnya ia tersenyum tulus ketika Argio datang. Bertanya kabar atau mengatakan bahwa ia dan bayinya tidak apa-apa.

Tania ingin menyentuh wajah Argio. Sungguh saat ini Tania merasa jahat. Dan ... Memeluk lelaki itu.
Tania merindukan Argio. Ia sangat merindukan berada dekat dengan Argio. Perasaan itu masih ada.

“Gio.” Ucapan lembut Tania tidak tertangkap oleh telinga Argio karena tepat saat itu Argio menoleh ke arah pintu.

Hino juga ikut menoleh ke arah suara berisik dari daun pintu yang ternganga. Ada tiga orang yang baru saja masuk dari pintu itu, Mario, Nagita, dan Juventus.

“Kak Tania,” ucap Nagita lalu berlari dan menghambur ke pelukan Tania.

***

“Ih, dasar lelaki menjengkelkan. Ini nih sosok suami yang harus dilenyapkan dari muka bumi. Seenaknya main kawin lagi. Dasar mentang-mentang istrinya nggak sekolah, terus dia kegatelan sama cewek kota yang sekolah tinggi. Lihat, Anandhi bodoh. Kamu harusnya nggak usah menangisi lelaki brengsek kayak Jagdish. Masih banyak cowok baik buat kamu yang udah ngorbanin masa kecil kamu buat keluarga besar itu. Aaaah kalau aku ketemu cowok kayak dia, aku patahin lehernya. Lihat aja. Dan lo cewek gatel, yang berani-beraninya ngambil laki orang, gue botakin kepala lo.”

Nagita terus mengomeli pemain drama bollywood yang sedang tayang siang itu. Ia sampai berdiri dari kursinya dan berkacak pinggang sambil menyumpah-serapah. Sepertinya drama tersebut sangat membakar emosinya. Omelan Nagita berhenti karena suara deringan ponselnya.

“Hallo, Kak,” sapa Nagita ceria. Emosinya karena drama India kini lenyap. Senyuman Tania merekah ketika melihat nama Tania muncul di layar ponselnya.

“Hallo, Nagi,” sapa suara di seberang sana.

“Bisakah kamu datang ke sini?” tanya Tania. Suaranya seperti berbisik.

“Kak Tania di mana?”

“Di rumah sakit.”

Lima menit kemudian Nagita sudah berdiri di bus stop. Dia mengentak-entakkan kakinya ke lantai.

“Semoga Kak Tania nggak apa-apa. Semoga debay nggak kenapa-kenapa,” begitu terus Nagita mengulang-ulang kalimatnya. Matanya melilau mencari penampakan busway yang menuju rumah sakit.

“Ini bus pada ke mana lagi?”

Beberapa orang melihat ke arah Nagita ketika ia membentak. Nagita kembali mencak-mencak saat bus yang datang bukan busnya. Mulutnya mengeluarkan cacian kepada supir busway yang tidak berdosa. Lelah dengan mengentakkan kaki, Nagita pun mondar mandir seperti setrikaan panas.

Tiiiin tiiiiin tiiiiiin

Nagita melihat sebuah sedan putih berhenti di depannya. Sopir mobil mewah itu menurunkan kaca mobil hingga tampaklah seseorang yang berada di balik kemudi.

“Ngapain lo kayak orang gila di sini?” tanya lelaki itu.

“Tuhaaaan. Apa salah Nagi? Aku lagi panik dan khawatir plus dongkol sama perusahaan busway, kenapa masih ditambah kesialanku hari ini, ya Tuhan?” Nagi memijit pelipisnya sambil berkomat-komat kembali.

“Ngapain cabe keriting ini di sini, Tuhan?” bisik Nagi.

“Hei ... lo beneran kayak orang gila tahu nggak? Ngomong sendiri lagi.” Mario membuat ekspresi seolah-seolah ketakutan. Ini membuat Nagita bertambah emosi.

“Lo ngapain munculin diri di sini sih?” tanya Nagita. Mario hanya mengangkat bahu.

“Aduh ... mana sih busnya? Tuhan ... Kak Tania.” Nagita menjadi resah sebab tadi suara Tania yang pelan sekali membuatnya berpikiran yang tidak-tidak.

“Mau ke mana?” tanya Mario.

“Ayo naik! Buang gengsi lo! Gue juga punya sisi baik sedikit buat elo,” tawar Mario.

Tanpa babibu Nagita membuka pintu mobil Mario. Biarlah hari ini dia kalah. Dia sedang tidak ingin berdebat dengan Mario. Dan lagi dia butuh tumpangan. Ini urusan urgent, Bang!

“Hari ini aja,” cetus Mario sebelum melajukan mobilnya.

Setelah perjalanan panjang dalam keheningan, akhirnya sampailah Nagita dan Mario di rumah sakit tempat Tania dirawat. Ini merupakan rekor untuk mereka karena bisa menghabiskan waktu empat puluh menit tanpa berperang urat leher serta perang mulut.

“Tunggu tunggu. Dia kayaknya aku kenal deh. Siapa ya? Kok berdiri di luar ruangan Kak Tania?”

Nagita menajamkan penglihatannya saat melihat siluet laki-laki dari jarak jauh. Ia mempercepat langkahnya karena penasaran. Juga ingin membuktikan jika dia tidak salah dalam mengenali orang.

Mario ikut mempercepat langkah mengikutinya.

“Kan bener. Jupri!” panggil Nagita setelah mendekat kepada sosok laki-laki yang tadi membuatnya bermain tebak-tebakan. Tebakannya tepat karena laki-laki itu memang benar Jupri alias Juventus.
Juventus menoleh ke asal suara. Ia melihat Nagita dan cowok-tidak-perlu-diketahui-namanya atau Mario yang datang bersama. Sementara itu, Mario memasang kabel di kepalanya untuk mencari tahu siapa Jupri yang ada di hadapannya ini.

“Kamu ngapain di luar ruangan ini? Nguntit suster-suster cantik, ya?”

Juventus memasang wajah malas mendengarkan dan Mario mengernyitkan kening dengan bingung.

“Dia siapa, Bol?” tanya Mario.

“Jupri. Eh iya kamu ngapain di sini, Jup?” tanya Nagita lagi. “Tuh ada suster lewat.”

Juventus bertahan dengan diamnya

“Bukan, ya? Nah itu mak-mak pakai daster tapi bahenol,” tunjuk Nagita kepada seorang wanita yang sedang mendorong kursi roda melewati mereka.

“Lo nggak jadi masuk ke dalam?” bisik Mario.

“Oh iya. Aku lupa. Kamu ikut masuk aja deh, Jup, daripada bengong di sini.”

Nagita membuka pintu ruangan perawatan itu. Semua orang di dalam kaget mendengar suaranya, tapi ia tidak peduli. Nagita langsung memeluk Tania yang sedang duduk di ranjang rumah sakit.

***

Bersambung

Muba, 5 Feb 2021

Ini beneran aneeh, 🏃🏃🏃🏃

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro