Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

[17]

Hari ini beneran lupa update Hino. Kalo nggak diingatin, lewat. 😄 Eh pas dilihat, kayaknya part kemaren juga gak rame yang baca. Untung aja udah niat baik (update) gak baik jika diubah.

***

Nazkila berlari-lari kecil ke ruangan Bunda. Rambut hitam ikut bergoyang oleh lompatannya. Hati Nazkila sangat senang setelah bertemu dengan tante tadi. Wajah kecil itu tersenyum ketika menemui sang bunda.

“Ada Tante cantik Bunda. Tante gendut tapi cantik sekali. E eh tantenya bukan gendut tapi lagi hamil Bunda,” jelas Nazkila.

“Ayo, Bunda. Nanti tantenya bosan nungguin Bunda. Ayo!”

Bunda menggelengkan kepala melihat tingkah anak asuhnya itu. Ia ikut saja ketika tangannya ditarik oleh Nazkila.

Bunda langsung mengenali wajah cantik yang duduk di depannya. Wajah anak yang sangat ia rindukan. Bunda mendekat kepada Tania yang sekarang sudah berdiri.

“Bunda,” ucap Tania ketika Bunda datang kepadanya.
Air mata Tania kembali mengaliri wajah putihnya. Kali ini ia menangis karena bahagia sebab bisa memeluk Bunda lagi. Tania telah menjadi wanita cengeng sejak usia kehamilannya memasuki trimester ketiga.

Bunda mengamati wajah cantik Tania lalu mengusap air mata gadis itu. Ia juga baru menyadari perubahan tubuh Tania. Bunda langsung membawa Tania duduk kembali.

“Tania rindu sekali sama Bunda. Maafin Tania, Bunda, karena nggak pulang-pulang,” jelas Tania masih dalam isakan kecil.

“Bunda juga kangen sama kamu,” jawab Bunda.

“Kamu udah menikah,” kata Bunda. Ia melihat wajah sedih Tania ketika disinggung tentang pernikahannya. Tania semakin terisak dan memeluk Bunda dengan erat.

“Maafin Tania, Bunda. Tania nggak ada maksud buat nggak ngasih tahu soal pernikahan Tania. Tania ....”

Bunda mengelus kepala anaknya itu untuk menenangkan Tania. Mengatakan bahwa semuanya baik-baik saja.

“Jadi sekarang kamu tinggal di Bandung?” tanya Bunda setelah Tania menceritakan soal pernikahannya. Tania men-skip bagian saat Lafila dan Aldy menangkap basah dirinya di kamar dalam keadaan yang sangat memalukan pagi itu.

“Iya, Bunda. Kita tinggal di apartemen suami aku. Oh iya, Tania juga udah ketemu Nagi, Bun,” jelas Tania. Senyuman Tania langsung pudar saat mengingat Nagita lagi.

“Bunda dateng ya besok ke rumah mertua aku. Ajak adik-adik, Bun. Mami pasti seneng melihat adik-adik,” ucap Tania.

“Jadi mertua kamu mau bikin acara tujuh bulanan kamu?” tania mengangguk.

“Nggak apa-apa kalau Bunda dateng sama mereka?”

Bunda melihat Nazkila yang berdiri di belakang mereka. Mata gadis itu kelihatan berharap.

“Hmm. Nanti yang bakal datang keluarganya Mami Papi, keluarga Kak Aldy dan Mbak Niza. Kita nggak mengumumkan pernikahan ini ke orang di luar kerabat dekat, Bun,” jelas Tania.

“Aku boleh datang kan, Tante?” tanya Nazkila.

“Panggil Kak Tania, Sayang. Ini kakak kamu. Dulu sering gendong Naz waktu bayi,” tegur Bunda.

“Oh ya, Kak Tan gendong Naz? Waaah ... Nanti kalau adek Kak Tan udah lahir, Naz juga boleh ya gendong adek,” pinta Nazkila. Wajahnya berbinar membayangkan kelucuan adiknya nanti. Tania mengangguk. Tania membawa Nazkila dalam pelukannya.

“Kak Tan kangen sama Nazkila,” ucapnya.

***

Hino menurunkan belanjaan maminya di dapur. Ia segera keluar dan berpapasan dengan Dewi di ruang tamu.

“Mau kemana lagi, No?” tanya Dewi.

“Mau jemput Tania, Mi. Hino pergi, ya.” Hino menyalami tangan Dewi lalu memacu mobilnya ke pinggir kota.

Keluar dari pekarangan rumahnya, Hino berpapasan dengan mobil merah Lafila. Ia menurunkan kaca mobil untuk menyapa pemilik mobil itu.

“Mbak, baru pulang?” tanya Hino kepada Lafila yang menyetir sendiri tanpa suaminya.

“Hai. Iya, No. Mbak baru sampai. Kamu mau ke mana?” tanya Lafila.

“Mau jemput Tania di panti, Mbak. Bang Aldy mana?” tanya Hino.

“Aldy nyusul besok pagi. Oh sampaikan salam Mbak sama Tania ya, No,” pinta Lafila. Mereka lalu bergerak ke tujuan masing-masing. Hino memandu mobilnya dengan kecepatan tinggi ke arah pinggir kota ke Panti Melayu.

“Bunda,” sapa Hino ketika melihat Bunda sedang berdiri bersama anak-anak di halaman.

“Wah, Hino. Apa kabar?” tanya Bunda. Mereka sudah cukup kenal karena Hino sering mengantarkan pesanan Nagita ke panti ini. Setelah bertukar kabar, Hino mencari keberadaan Tania di rumah itu. Bunda melihat Hino yang seperti sedang mencari-cari sesuatu. Ia bertanya siapa yang dicari oleh pemuda itu.

“Istri? Kamu suaminya Tania?” tanya Bunda. Hino langsung mengangguk. Ia melihat wajah bingung Bunda saat mendengar penjelasannya.

“Tania nggak cerita siapa aku sama Bunda?” tanya Hino.

“Bunda kira suaminya adalah pacarnya yang sering ke mari,” cetus Bunda. Bunda lalu menyadari kesalahan omongannya. Ia langsung mengalihkan pembicaraan ke tempat semula.

“Tania di kamar. Kayaknya dia tidur tuh. Sebaiknya nggak usah dibangunin dulu,” ucap Bunda. Hino mengangguk lalu meminta Bunda untuk mengantarkannya kepada Tania. Hino ingin melihat keadaan istrinya yang tadi pagi ia tinggalkan sendirian di kamar.

“Bunda tinggal dulu, ya.”

Hino mengamati setiap mili wajah mulus Tania. Saat ini Hino benar-benar yakin bahwa ia sudah terjerat oleh pesona ibu dari anaknya ini. Istrinya. Hatinya berteriak senang ketika mengucapkan kata itu.

Alangkah beruntungnya Hino dapat memiliki gadis ini sebagai istrinya. Walaupun umur mereka terpaut tiga tahun, wajah gadis ini sama sekali tidak cocok dengan usianya. Ia masih terlihat seperti anak kecil. Apalagi ketika sedang tidur seperti sekarang.

Bunda kira suaminya adalah pacarnya yang sering datang ke sini dulu.”

Kalimat Bunda kembali terngiang di telinga Hino. Ia kini mulai takut bahwa gadis ini tidak akan pernah memiliki perasaan yang sama dengannya. Kilasan masa lalu kembali melintas di ingatannya saat Tania sering kedapatan menangis diam-diam. Saat penentuan tanggal pernikahan mereka dulu. Di sanalah Hino melihat gadis itu tersiksa mendengar keputusan pernikahan mereka. Hino melupakan semua itu karena terlalu menikmati kebersamaannya dengan Tania. Tetapi apakah Tania bahagia hidup dengannya?

Hino mengusap pipi halus istrinya sebelum beranjak meninggalkan kamar Tania. Ia berjalan ke halaman. Banyak anak sedang riang bermain. Hino duduk di sebuah bangku di bawah pohon. Dari sini dia bebas memperhatikan keceriaan anak-anak dengan dunianya. Hino ingin kembali menjadi anak-anak yang terlepas dari masalah. Andai ia mengenal istrinya itu. Banyak sekali yang belum ia ketahui soal Tania. Apalagi tentang masa lalu serta perasaan gadis itu. Hino mengakui bahwa sejak menjadi istrinya, Tania menjalankan perannya dengan baik. Tania melayani Hino dengan ikhlas. Tidak terlihat ada paksaan di matanya. Tetapi Hino tidak yakin hati gadis itu juga baik-baik saja.

“Kakak ngapain sendirian aja di sini? Kakak nggak mau ikut kita main di sana?”

Seorang anak kecil bersama boneka teddy bear pink mendekat ke tempat duduk Hino. Mata jernih anak itu membuat Hino cukup tenang. Apalagi mendengar suara celotehannya. Hino jadi teringat dengan Nagita. Ini pasti Gita versi cilik.

“Kamu mau nemenin Kakak di sini?” tanya Hino. Gadis kecil itu mengangguk.

“Nama Kakak Hino. Nama kamu siapa?” tanya Hino.

“Nazkila. Panggil aku Naz,” jawab Nazkila. Hino memberikan senyuman terbaiknya kepada gadis kecil itu.

“Kakak sebentar lagi akan punya adek bayi, pasti cantik kayak kamu,” puji Hino.

“Siapa namanya, Kak?” tanya Nazkila.

“Eehhmm. Siapa ya namanya? Belum Kakak cari soalnya Kakak belum tahu dia cewek apa cowok,” jelas Hino.

“Oiaaaa. Naz tahu, Kak Hino pasti ayah adeknya Kak Tan iya kan?” tebak Nazkila. Suaranya begitu semangat mengucapkan pertanyaan itu.

“Oh. Kamu udah ketemu dengan Kak Tania?” tanya Hino.

“Iya dong.” Nazkila memamerkan gigi tetapnya yang mulai tumbuh.

“Kak ... Kak Tan ke sini tuh,” beritahu Nazkila.

Hino melihat Tania sedang berjalan ke arahnya. Wajah Tania sudah tidak kelihatan sedih seperti tadi pagi. Ini mungkin karena Tania sudah melepas rindu dengan keluarganya.

Hino menarik lembut tangan Tania untuk duduk di bangkunya tadi. Pandangan mereka berdua beralih kepada Bunda yang melambaikan tangan kepada Nazkila.

“Naz ke Bunda dulu ya, Kak Tan,” pamit gadis kecil itu.

Setelah Nazkila pergi, mereka berdua diliputi dengan keheningan.

“Pulang yuk,” ajak Tania.

Mereka berdua berpamitan kepada Bunda panti. Sebelum itu, Hino mengundang Bunda untuk datang ke acara mereka besok siang. Hino menggenggam jemari Tania menuju mobilnya.

“Assalamualaikum ... Bunda itu tadi mobil Hino sama Kak Tania kan?”

***

Tania sudah memakai kain batik untuk baju dan roknya. Di atas kain batik itu diletakkan rangkaian bunga melati. Rambut panjangnya sengaja dibiarkan jatuh di punggung. Hino berdiri di sebelah Tania untuk menyalami tamu yang datang.

Tidak banyak kerabat yang diundang untuk menghadiri acara tujuh bulanan kehamilan Tania. Dari pagi keluarga Lina, ibu Lafila, beserta suaminya Azzam telah hadir di rumah ini. Anak dan menantu serta cucu Lina tiba dua jam yang lalu. Lafila dan Aldy serta bayi mereka juga sudah tiba di kediaman Alendra sejak pukul sembilan pagi. Melihat keluarga kecil yang bahagia itu, tidak hentinya Dewi Sinta memuji keharmonisan keluarga itu. Hino yang sudah biasa mendengar pujian maminya untuk pasangan Aldy-Lafila hanya bersabar.

Tania tersenyum melihat kedatangan Bunda beserta anak-anak panti. Bunda memeluk Tania lalu memberikan doanya.

“Sekarang aja ya sungkemnya, Bunda nggak bisa menunggu sampai acara ini selesai. Adik-adik besok kan harus sekolah,” jelas Bunda.

Tania dan Hino menuruti keinginan Bunda untuk sungkem meminta maaf. Bunda memberikan doanya untuk Tania dan bayinya.

“Kak Tania. Maafin Nagi ya, Kak. Nagi doakan Kak Tania dan baby sehat. Semoga lahiran nanti lancar. Bahagia ya Kak sama Hino. Maafin Nagi,” ucap Nagita menunduk di lutut Tania yang memang duduk di kursi.

Tania menangkap maksud lain dari permintaan maaf Nagita. Gadis itu sampai menangis di kakinya. Tania memegang tangan Nagita. Gadis itu mendongak ke arahnya.

“Kenapa kamu minta maaf? Kakak yang salah. Maafin Kakak ya,” ucap Tania dengan perih di dadanya.

Nagita menatap mata Tania yang sama basahnya dengan matanya. “Kakak kok minta maaf juga? Untuk apa?” tanyanya bingung.

“Hhmm. Maaf karena Kakak membuat kamu sedih,” ujarnya terbata.

“Hihiihii. Kak Tania nggak pernah melakukan itu. Kak, maaf, Kak. Aku berdoa untuk kebahagiaan Kak Tania. Suatu saat aku pasti akan menceritakannya. Saat ini aku sedang menunggu waktu yang tepat,” ucap Nagita. Ia mendongak kepada Hino.

“Jangan pernah sakiti Kak Tania. Meskipun aku banyak utang budi sama kamu, aku nggak akan biarin kamu tenang kalau kamu berani membuat Kak Tania sedih. Aku akan melakukan apa pun agar nyamuk-nyamuk di sekitarmu tidak mengganggu Kak Tania,” ancam Nagita.

“Jangan mikir yang jelek-jelek. Gue tahu apa yang gue lakukan,” tegas Hino.

“Dan aku juga minta maaf sama kamu, Nono. Semoga inilah jalan Tuhan menyatukan kalian. Jangan memikirkan yang ada di belakang, tapi usahakan melakukan yang terbaik untuk masa depan,” nasihat Nagita.

“Kamu, Nagi?” tanya Tania.

“Iya, Kak,” jawab Nagita spontan.

“Kamu bukan Nagita. Mana Nagi?” tanya Tania sekali lagi.

“Kak Taniaaaaa.” rengek Nagita.

 
***

Prosesi demi prosesi adat Tania lakukan bersama Hino. Setelah acara siraman sore tadi, kini Tania dengan baju kebaya khusus serta selendang menutup kepalanya tengah mengikuti acara syukuran dan doa yang dipimpin oleh imam masjid.

Bunda, Nagita, beserta  adik-adiknya sudah berpamitan pulang usai acara siraman. Tepat saat itu pula, keluarga Assasi datang. Argo beserta istri dan anak gadisnya datang memberikan selamat kepada calon orang tua muda ini. Tania melihat hubungan baik antara Dewi, Ben, dan Argo yang terjalin dengan baik. Apakah ia juga bisa seperti itu jika pernikahannya dengan Hino berakhir?

“Aaah aku mikirin apa sih?” keluh Tania.

Selesainya acara doa, para tamu diajak untuk menikmati makan malam. Makanan disajikan di atas meja panjang. Meja itu kini hampir penuh oleh kehadiran keluarga inti, keluarga Aldy, dan keluarga Lafila. Tiba-tiba sebuah suara menghentikan obrolan mereka.

“Kamu dateng, Gi?”

Istri Argo, ibu Argio, berdiri menyambut putranya yang baru tiba.

“Waaah, anak Mami dateng!” seru Dewi. Ia lalu berjalan menghampiri Argio dan menuntun lelaki itu untuk duduk di samping Hino. Sementara itu, Tania merasa udara di sekitanya kosong. Napasnya sesak dan wajahnya menjadi seputih kapas. Keringat dingin mengalir di pelipisnya ketika Argio duduk di samping Hino.

Tania tidak bisa fokus mendengarkan bualan para orang tua yang menyinggung tentang pernikahan Hino yang melangkahi kakaknya.

“Kapan kamu nyusul adikmu, Gio?” tanya Dewi.

Argio hanya menatap lurus ke depan. Aldy, Lafila, Lina, Azzam, dan Dea menyadari situasi tidak enak ini, tapi mereka tidak bisa melakukan apa-apa. Cinta bukan hanya tentang kebahagiaan, tetapi juga tentang kesakitan. Mereka semua hanya menyerahkan kepada yang bersangkutan untuk merelakan, melepaskan, menerima, dan memaafkan. Mereka lalu menatap Tania yang kini sudah pucat.

“Kayaknya Tania udah capek deh, Tante,” cetus Lafila.

Dewi menghentikan ucapannya lalu menatap sang menantu. “Ya ampun, kamu pucat banget! Hino antar istrimu untuk istirahat!” perintah Dewi Sinta.

Mereka meninggalkan para tamu yang kembali asyik berbual.

***

Bersambung ...

Musi Banyuasin, 1 Februari 2021

Horeeee bulaan baruu.  Gimana, udah melupakan tanggal tua kan? 😅😅😅

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro