Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

[16]

Sebulan lamanya Nagita menjalani aktivitas barunya. Setiap pagi gadis itu harus berkeringat mencari sarapan untuk Juventus. Dan sepanjang hari dengan bersungut-sungut ia melaksanakan perintah lelaki itu. Akibatnya Nagita jadi jarang berkumpul dengan sahabat-sahabatnya.

“Jupri!”

Nagita memekik di telinga Juventus yang sedang tidur. Saat ini mereka berada di atap gedung kampus. Setelah mendapatkan makanan pesanan Juventus, lelaki itu meminta Nagita naik ke atap gedung hingga sudah dua jam mereka berada di sini. Nagita masih menunggu Juventus memenuhi janjinya.

“Jupri bangun!”

Nagita mengguncang-guncang bahu Juventus. Lelaki itu masih tidak terusik, sepertinya dia sengaja. Oleh karena itu, Nagita berniat akan mengerjai balik lelaki songong itu. Nagita beranjak dari lantai tempat Juventus berbaring untuk mengambil sebuah ember. Kebetulan sekali berisi air. Nagita tersenyum iblis dan mendekat ke Juventus. Nagita menyiram Juventus dengan air di ember itu.

Merasakan tubuhnya basah, Juventus langsung bangkit lalu memegang tungkai Nagita. Nagita oleng dan tersungkur di lantai. Dengan sigap tangannya menahan bobot tubuhnya sendiri agar tidak membentur lantai.

“Lo kasar banget sih?” kesal Nagita.

Juventus lalu membalas Nagita dengan menyiram tubuh gadis itu dengan sisa air di ember.

“Bercanda kamu keterlaluan tahu nggak!” bentak Nagita. Ia memeluk tubuhnya yang basah. Kemeja tipis yang ia gunakan tidak dapat menyembunyikan apa yang ada di baliknya.

Sial.

“Lo mau tahu gue naruh apa di minuman itu?” tanya Juventus.

“Lo kasih obat kan?” tebak Nagita.

“Gimana? Pasti nikmatin banget efek obat itu.”

Nagita menatap mata Juventus dengan penuh amarah. “Setan lo, Juventus!” pekik Nagita. “Gue salah apa ama lo?” tambahnya.

“Nggak inget? Atau pura-pura lupa?” tanya Juventus. Ada kilatan api dalam bola matanya. Kedua tangan pemuda itu mencengkeram pundak Nagita.

“A-aku nggak sengaja melihat mereka. Aku nggak bohong. Kamu harus percaya omongan aku. Dia itu memang perempuan nggak bener. Aku ke sana untuk nyelesein hubungan Hino dengan perempuan itu, tapi aku malah melihat sesuatu yang menjijikkan kayak gitu,” jelas Nagita lancar.

Juventus melonggarkan cengkeramannya.

“Waktu itu aku pikir Hino satu-satunya pacar perempuan itu. Aku nggak nyangka ternyata hal itulah yang jadi alasan Hino mutusin dia. Aku nggak tahu sama sekali kamu juga terlibat sama dia,” tambah Nagita.

“Kenapa baru sekarang lo jujur? Kenapa?” Ada penyesalan dalam kalimat Juventus.

Nagita menyeka air matanya yang tanpa sadar sudah luruh. Tubuhnya mulai kedinginan. Gadis itu menyesali tindakannya dulu. Karena dia, kemalangan menimpa Tania. Harusnya dia menjelaskan kejadian sebenarnya kepada Juventus. Bukan malah memprovokasi lelaki itu, sehingga ia sakit hati kepada Nagita.

Nagita sengaja mengolok-olok Juventus yang tertarik kepada Voni. Voni adalah perempuan yang tidur dengan banyak lelaki ketika statusnya berpacaran dengan sahabat Nagita. Hino memang asal menerima saja siapa pun untuk menjadi pacarnya.

“Iya aku yang salah. Maafin Nagi, Kak,” ucap Nagita sambil memeluk lututnya. Ia ingat keadaan Tania saat ini. Nagita dapat merasakan apa yang Tania rasakan. Banyak pihak yang tersakiti. Seharusnya Nagita yang mengalami nasib sial itu. Kenapa harus Kak Tania?

***

Tania sedang mengajak calon bayinya berbicara. Usia kandungannya sudah tujuh bulan. Berat badan Tania pun semakin naik. Tania bahagia menunggu kehadiran buah hatinya. Kedua calon orang tua muda itu sengaja ingin menjadikan kejutan jenis kelamin anak mereka.

“Sayang.” Sebuah suara menyapa gendang telinga Tania. Dadanya berdebar mendengar panggilan itu. Tania mendongak dan melihat suaminya sudah duduk bersila di samping Tania. Hino mengelus perut Tania dan ikut menyapa calon anak mereka.

“Apa kabar, anak Papa?”

Hino terpana ketika merasakan pergerakan bayi mereka. Ia pun semakin intens menyapa calon anaknya itu. Sebuah ringisan keluar dari mulut Tania karena gerakan janin di dalam perutnya.

“Sayang, sakit ya? Anak Papa kenapa? Jangan sakitin Mama, ya,” ucap Hino sembari mengelus perut buncit sang istri.

“Nggak apa-apa, kok. Baby -nya lagi seneng karena mendengar suara papanya,” hibur Tania lembut.

“Sayang, sebelum pergi kita cek dulu ya baby-nya,” jelas Hino.

Tiga hari lagi Tania dan Hino akan berangkat ke Palembang. Mereka akan mengadakan acara tujuh bulanan di rumah Dewi Sinta. Mami Hino yang satu-satunya itu sangat antusias menyambut calon cucu pertama mereka. Sejak kepindahan Tania ke apartemen Hino di Bandung, sudah sering Dewi menginap di sana. Dewi sering memaksa Ben untuk menemaninya mengunjungi anak dan menantu serta calon cucu mereka.

Sayup-sayup Tania mendengar suara bel pintu. Ia melirik Hino, meminta suaminya untuk mencari tahu siapa yang bertamu.

“Siapa sih yang namu malem-malen? Ganggu kualiti time orang aja,” gerutu Hino namun tetap melangkahkan kakinya ke depan.

“Elo?” Mata Hino melotot melihat tamu kecil di depannya.

“Ngapain datang malem-malem?” tanya Hino kepada sahabat ajaibnya. Siapa lagi kalau bukan Nagita Rayanna.

Nagita melompat lalu menggeplak kepala lelaki tinggi itu. Wajah kusut Nagita berubah sedikit tenang. Sedikit senyuman mengintip di wajahnya melihat reaksi marah Hino. Nagita memeluk tubuh tinggi Hino membuat lelaki itu risih.

“Maafin aku ya, Nono,” ucap Nagita dengan penuh penyesalan. Hino terpaku mendengar Nagita yang tidak biasanya menjadi serius. Mereka masih berpelukan tanpa menyadari kehadiran seseorang yang melihat mereka di balik pintu kamar.

“Ada apa?” tanya Hino setelah melerai pelukan gadis itu.

“Kak Tania?” tanya Nagita.

“Sebentar gue panggilin, tunggu di sini aja,” ancam Hino.

Nagita mengerti lalu duduk di sofa ruang tamu. Nagita sangat merasa bersalah kepada kedua orang ini. Satu adalah kakaknya dan satu lagi adalah sahabatnya.

Tania pura-pura tidur ketika mendengar Nagita menanyakan dirinya. Dia sengaja tidur miring agar membelakangi Hino.

“Sayang?”

Suara itu merasuk ke jantungnya. Bodohnya Tania tidak tahu ada hubungan apa antara Nagita dan Hino. Tidak cukup dengan menyakiti hati Argio, Tania dan Hino. Kini ia juga merasa sakit melihat adegan tadi. Tania ingin marah, tetapi tidak berhak. Ia sedih karena apa? Tania pun bingung dengan perasaannya sendiri.
Ia teringat akan mimpinya beberapa minggu lalu. Ia mendengar Hino mengucapkan tiga kata itu. Sejak mimpi itulah Tania mulai menelaah perasaannya kepada Hino. Entah kapan mulai ada perasaan itu dalam hatinya. Tetapi kapan pula mimpi itu menjadi kenyataan?

“Aku mencintaimu, istriku.”

Tania mendengar Hino melangkah ke luar kamar. Mungkin karena Hino mengira Tania sudah tidur.

“Tania sudah tidur,” jelas Hino.

“Lain kali aja aku ketemu dia lagi,” kata Nagita.

“Lagi ada masalah? Ke mana aja lo sebulan ini?” tanya Hino.

“Aku sedang menjalankan misi penting,” jawab Nagita. “Ya udah deh aku balik dulu, ya. Salam buat Kak Tania.”

***

Setibanya Tania dan Hino di kediaman Ben Alendra, mereka disambut dengan gegap gempita oleh Dewi Sinta. Calon nenek itu segera memeluk menantunya dengan sayang. Tidak lupa juga putra kesayangannya yang selalu membuat ia kesepian sejak pindah ke Bandung. Dewi tidak menyadari raut wajah Tania yang kurang ceria.

Ben Alendra pun menginterupsi acara kangen-kangenan ibu, anak, dan menantu itu. “Sebaiknya biarkan mereka istirahat dulu, Mi. Lihat Tania sepertinya capek!” nasihat Ben kepada istrinya.

“Eh, maaf, Sayang Tania pasti lelah. Ajak istrimu istirahat, No,” ucap Dewi.

Tania dan Hino beranjak ke lantai dua, kamar mereka berada, di rumah ini. Sesampainya di kamar, Tania langsung merebahkan diri di ranjang. Kakinya terasa pegal dan seluruh tubuhnya lelah. Tania memejamkan matanya mencoba untuk tidur. Begitu matanya terpejam, gambaran Nagita dan Hino yang sedang berpelukan terbayang di kepalanya. Tania merasakan seluruh tubuhnya bergetar. Tiba-tiba napasnya berubah sesak.

“Kenapa kamu menangis?” tanya Hino yang dari tadi memperhatikan dirinya.

Tania mengusap air mata lalu bangkit dari tempat tidur. Ia tidak menghiraukan Hino yang sedari tadi sangat intens memperhatikannya. Tania mengunci pintu kamar mandi lalu memutar keran air. Ia menangis lagi lebih keras dari tadi di dalam sana. Perasaannya saat ini sama sekali tidak tenang. Air mata berebut ingin keluar. Isakannya teredam oleh suara air keran.

Setelah puas menangis, perasaan Tania sedikit lega. Baru kali ini Tania sangat cengeng semenjak kehamilannya. Penyebab ia menangis pun Tania tidak tahu. Ia hanya ingin menangis saja ketika teringat kedatangan Nagita ke apartemen tiga hari yang lalu. Mungkin karena terlalu lama menangis membuat Tania mengantuk. Ia keluar dari kamar mandi dan langsung merebahkan diri di ranjang. Tania juga masih belum mau menghiraukan kehadiran Hino. Ia hanya ingin tidur. Baru sepuluh detik ketika ia berbaring, Tania sudah lelap dengan tenang.

Hino mengembuskan napas lelah melihat keadaan Tania. Mood gadis ini selalu berubah-ubah. Tetapi baru kali ini Tania membuat Hino frustrasi karena sikapnya. Perubahan Tania ini terjadi sejak tiga hari yang lalu. Tania tidak lagi manja seperti biasanya. Ia juga tidak galak dan menyuruh Hino yang macam-macam. Tania lebih pendiam bahkan sejak dari apartemen hingga sekarang gadis itu tidak mengeluarkan suara sedikit pun. Ditambah lagi sejak dalam perjalanan tadi Tania banyak tidur.

Hino menghampiri Tania dan mengusap kening istrinya dengan sayang. Hino tidak mengerti, hormon apa yang dialami oleh ibu hamil. Hino berharap Tania dan bayinya selalu sehat dan lahir dengan selamat. Hino mengecup kening Tania sebelum keluar dari kamar mereka dan membiarkan Tania beristirahat.

“Kamu kalau lagi ada masalah, cerita sama aku. Aku nggak mau kamu banyak pikiran. Aku nggak suka melihat wajah sedih kamu, Sayang,” ucap Hino sebelum menutup pintu.

***

Tania terbangun tanpa mendapati kehadiran Hino di kamar. Kini Tania merasa lebih segar. Tubuhnya sudah tidak lelah lagi dan perasaannya menjadi jauh lebih baik. Tania masuk ke kamar mandi lalu mandi dengan cepat.

Baju terusan berwarna putih berbahan siffon tanpa lengan ia padankan dengan kardigan pink. Tania menggelung rambut ikalnya dan memasang bando hitam di atas poni. Riasan wajah natural dan sandal flat melengkapi penampilannya.

Tania turun dan menyadari keadaan rumah yang kosong. Hino dan mertuanya tidak nampak di mana-mana.

“Hino kemana, ya?” tanya Tania sambil berjalan keluar. Ia menghentikan taksi yang kebetulan lewat begitu tiba di pinggir jalan. Tania langsung mengirim pesan kepada Hino begitu masuk taksi.

“Aku ke panti ya, No,” tulis Tania.

Hino segera membalas pesan Tania hanya dalam lima belas detik.

“Hati-hati. Nanti aku susul ke sana. Sekarang aku lagi di supermarket sama Mami. Tunggu aku di sana!”

Tania tidak membalas pesan tersebut. Ia mengalihkan pandangannya ke luar jendela mobil. Rindu. Sudah bertahun-tahun lamanya Tania tidak melewati tempat ini. Banyak yang berubah sejak enam tahun yang lalu. Jalan yang dulunya tidak rata dan berbatu kini telah licin. Tidak terasa kini taksi yang ditumpanginya telah memasuki halaman Panti Asuhan Melayu.

Panti Melayu tetap sama seperti saat ia masih tinggal di sini. Halaman panti yang sejuk menjadi tempat bermain anak-anak. Setelah keluar dari taksi, Tania memperhatikan keriangan anak-anak yang sedang bermain. Tania melewati anak-anak yang tidak menyadari kadatangannya karena terlalu asyik bermain. Dan Tania sudah sampai di depan pintu panti.

Seorang anak perempuan cantik kira-kira berusia tujuh tahun menyambut Tania. Senyuman gadis kecil itu begitu manis yang membuat Tania juga ikut tersenyum. Gadis kecil itu menggenggam tangan Tania dan mengajak Tania duduk di ruang tamu. Tania memperhatikan wajah kecil yang dibingkai rambut hitam lurus tanpa poni itu. Wajah putih gadis kecil itu semakin menawan dengan lesung pipi di kedua pipinya.

“Tante cantik duduk di sini dulu, ya. Naz mau manggilin Bunda,” ucap gadis kecil itu.

Tania tersenyum dan mengangguk. Ia juga dulu melakukan hal yang sama ketika ada tamu yang datang. Karena memang setiap tamu pasti ingin bertemu dengan Bunda. Kemudian Tania berusaha mengingat siapa gadis kecil yang lincah tadi. Naz ...

“Nazkila!” seru Tania senang. Ya gadis kecil itu adalah Nazkila. Adiknya yang tidak rewel dan selalu senang jika ada tamu panti yang menggendongnya.

***

Bersambung ....

31 Januari 2021

Selamat tanggal tuaa.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro