[07]
Sehari setelah makan malam yang artinya tinggal dua hari lagi Tania akan menikah, perempuan itu tidak bekerja. Izin langsung Tania dapatkan dari presdir yang sekaligus menjadi calon mertua. Karena tidak ada kegiatan, Tania hanya tidur-tiduran di kamarnya. Dia merencanakan perkataan yang akan ia ucapkan kepada kekasihnya.
Setelah menimbang-nimbang, Tania memutuskan untuk menghubungi Argio dan meminta agar mereka bertemu di Restaurant Chi Chi. Tania langsung melajukan motor matic miliknya menuju tempat tersebut.
“Udah lama, My Tan?” tanya Argio.
“Nggak. Tapi aku tadi udah pesankan makanan untuk kamu seperti biasa. Kita makan dulu,” ucap Tania.
Melihat Tania yang tidak berbasa basi dulu, Argio pun menurut saja. Setelah pesanan mereka datang, Argio makan dengan cepat.
“Kamu nggak makan?” tanya Argio begitu melihat Tania hanya memandangi Argio yang sedang makan.
“Kamu makan aja,” ucap Tania.
“Aku udah kenyang,” jawab Argio lalu mengelap bibirnya.
“Ehm ... Gio,” panggil Tania.
“Ada apa, My Tan?”
“Aku udah bilang belum kalau kamu itu adalah lelaki terbaik setelah Kak Aldy di hidup aku?” tanya Tania.
“Sebenarnya aku ingin mendengar kamu bilang kalau aku adalah lelaki terbaik di hidup kamu,” balas Argio.
“Tapi nggak apa-apa. Aku senang mendengarnya,” kata Argio melanjutkan dengan senyuman tulusnya. Argio memang tahu jika dalam hidup Tania, Aldy adalah malaikat.
“Tapi aku pernah bilang nggak sih, kamu adalah satu-satunya lelaki yang aku cintai?”
Argio membelalakkan mata serta membuka mulut selebarnya. Argio berkedip setelah Tania melanjutkan kalimatnya.
“Aku mencintai kamu, Gio.”
“A-apa? Aku nggak salah dengar kan, My Tan?”
Tania menggeleng. “Aku nggak tahu kapan aku punya perasaan ini. Tapi aku merasa senang berada di dekat kamu. Aku bahagia dengan perhatian kamu. Aku tersenyum melihat segala tingkahmu dan aku sayang kamu,” ucap Tania tersenyum. Senyuman itu menular kepada Argio.
“Tapi ....”
“Tapi apa, My Tan?”
“Aku nggak pantes buat kamu,” ucap Tania tercekat.
“Siapa yang mengatakan itu? Apa kurangku, My Tan?”
“Bukan kamu, Gio. Aku yang nggak cocok buat kamu. Aku yang nggak pantes mendapatkan kamu. Kamu bisa mendapatkan perempuan yang lebih baik dari aku,” jelas Tania.
“Kenapa kamu berpikir terlalu jauh? Kamu sempurna. Kamu terlalu baik buat lelaki seperti aku. Tapi aku janji aku akan membuat kamu bahagia.”
“Nggak, Gio. Aku nggak bisa. Kamu harus mendapatkan seseorang yang lebih baik daripada aku. Terima kasih, Gio. Selamat tinggal.”
Tania keluar restoran meninggalkan Argio yang masih terpaku di tempat duduknya. Tania menyeka air matanya lalu memasang helm. Tania melajukan motor maticnya menuju rumah Aldy.
“Mbak.” Tania segera memeluk Lafila begitu Lafila membuka pintu rumahnya.
“Kamu kenapa, Tan?”
“Semuanya selesai, Mbak. Hancur. Aku telah menyakitinya. Tapi aku nggak bisa jujur kepadanya, Mbak. Aku nggak mau bikin dia lebih sakit jika mengetahui aku telah mengkhianatinya.”
“Udah. Udah. Kamu tenang, ya. Kamu pasti bisa melewatinya. Mbak yakin, Argio kuat. Kamu pun juga harus kuat. Mbak yakin, jodohmu sudah ditulis dengan siapa. Jadi kita ikutin alur yang Tuhan tentukan. Semoga kamu bahagia bersama Hino,” bujuk Lafila. Tania menangis semakin jadi dalam pelukan Lafila.
***
Siang ini Tania berada di rumah keluarga Alendra. Sejak pukul sembilan pagi, Tania resmi menjadi menantu di keluarga Alendra. Tania menangis lagi mengingat nasib yang harus ia jalani. Apakah ini hukuman akibat perbuatannya?
Tania segera menghapus air matanya begitu mendengar pintu kamar dibuka. Saat ini Tania sedang berada di kamar pengantin. Akad nikah tadi pagi hanya dihadiri oleh Ben dan Dewi dari keluarga Hino. Sedangkan dari pihak Tania hanya ada Aldy, Lafila, dan kedua orang tua Lafila. Itu pun karena mereka bertetangga. Walaupun hanya akad nikah saja, tetapi kamar yang saat ini Tania tempati dihias sedemikian cantik.
“Kamu nangis lagi?” tanya Hino yang baru saja masuk ke kamarnya. Tania menggeleng.
“Aku kehilangan masa bebasku. Aaaaah ... Oh aku lupa, aku masih bebas selama masih kuliah,” ucap Hino.
“Maaf,” cicit Tania.
“Ckckck.”
Hino berlalu ke kamar mandi. Memang benar-benar gadis bodoh. Kenapa dia yang meminta maaf? Hhh. Mami bilang dia gadis pintar.
“Maaf,” gumam Hino lalu mengguyur seluruh tubuhnya.
Hino sebenarnya tidak tega melihat air mata Tania. Tetapi Hino tidak memiliki keberanian untuk mengatakan penyesalannya. Jadi di sini, yang sebenarnya bodoh itu Hino kan?
Hino keluar dari kamar mandi dengan wajah lebih segar. Ia sudah memakai baju di kamar mandi. Hino melihat ke ranjangnya, saat ini ranjangnya bersama Tania, perempuan itu sudah terlelap. Hino memperhatikan wajah rileks Tania yang sedang tidur. Entah keberanian dari mana, Hino duduk di sisi Tania tidur kemudian menyentuh alis Tania.
“Ckckck ... Kamu biasa banget sih?”
Hino membaringkan tubuhnya di samping Tania. Tania mengganti posisi tidur menjadi menghadap Hino.
“Siapa pria beruntung itu?” tanya Hino kepada Tania dan hanya dijawab oleh keheningan. Lama-kelamaan mata Hino juga ingin menyusul Tania ke alam mimpi.
***
Tania bangun dengan perasaan yang lebih baik. Ketika melihat sekeliling kamar yang begitu indah, Tania langsung ingat bahwa dirinya bukan lagi Tania yang dulu. Kini Tania sudah menjadi seorang istri. Ikhlas tidak ikhlas, Tuhan telah menuliskan jodoh Tania adalah suaminya. Didikan Tania sejak kecil mengajarkan bahwa Tania harus berbakti kepada suami. Karena sejak seorang perempuan menikah, maka surganya berpindah kepada suami. Tania akan berusaha menjadi istri yang saleha. Tania akan belajar untuk mencintai suaminya. Dan sejak ia menikah, tidak ada lagi laki-laki lain selain Hino.
Tania memperhatikan suami berondongnya. Tania tersenyum begitu mengingat jarak usianya dengan Hino. Saat ini Tania sudah dua puluh empat, sedangkan Hino dua puluh satu. Tania telah selesai kuliah dan bekerja di perusahaan bagus, sedangkan suaminya masih kuliah.
“Udah puas melihat pemandangan indah?” Suara Hino menyentak Tania yang sedang tersenyum mengingat umur mereka.
“Suka?” tanya Hino.
Tania langsung bangkit menuju kamar mandi dengan wajah panas. Saat ini muka Tania sudah semerah tomat masak. Tania baru saja diledek oleh suaminya yang masih bocah.
Setelah mandi, Tania mengingat kebodohan dirinya yang lupa membawa handuk ke kamar mandi. Jangankan pakaian ganti, handuk saja Tania lupa.
“Bagaimana ini?” gumam Tania.
“Lama banget sih? Kamu pingsan, ya, di dalam?” tanya Hino sambil mengetuk pintu kamar mandi.
Tania diam.
“Tan! Kamu nggak kenapa-napa kan?” tanya Hino.
“Eng ... No ... Bisa tolong ambilkan handuk nggak?” tanya Tania pelan.
“Apa?” ulang Hino tidak percaya.
“Bisa tolong ambilkan handuk aku?” tanya Tania.
“Sial. Kenapa nggak kamu bawa aja ke dalam tadi?” rutuk Hino berjalan mencari handuk Tania.
“Ini,” ucap Hino mengulurkan handuk ke pintu kamar mandi.
Tania menjangkau handuk dengan sebelah tangan. Menyadari tangan putih yang menyembul dari balik pintu, membuat Hino berpikir macam-macam. Hino meneguk air ludahnya membayangkan yang iya-iya.
“Dia tidak memakai apa-apa kan?” bisik Hino.
Pintu kamar mandi kembali tertutup meninggalkan Hino dengan pikiran yang melantur. Setelah pintu itu tertutup, Hino mengembuskan napas.
“Dia bukan tipe lo, Hino!” bisik batinnya.
“Dia yang pertama buat lo Hino dan sekarang dia istri lo. Hak elo,” bisik batinnya yang lain.
“Aaaaaaah.” Hino mengacak-acak rambut hitamnya frustrasi.
“Kamu kenapa?” tanya Tania begitu keluar dari pintu kamar mandi.
Hino melihat Tania yang hanya mengenakan selembar handuk putih. Rambut basah perempuan itu ia sanggul menampakkan leher jenjangnya.
“Sial.” Mata Hino sudah merah dan tubuhnya sangat panas. Apalagi dengan tatapan bingung Tania yang semakin membuat perempuan itu menggemaskan.
Hino mendekat ke arah Tania. Tania membelalakkan mata melihat mata Hino yang dipenuhi kabut. Tania mundur dan meneguk air liurnya sendiri. Melihat Hino dalam keadaan seperti ini, Tania pun merasakan dorongan yang kuat untuk maju dan bukannya mundur.
Tania berhenti mundur karena posisinya telah menyandar di dinding. Tania memperhatikan tangan Hino yang terangkat ke sisi tubuh Tania. Tania merasa dialiri ribuan volt listrik ketika tangan Hino menyentuh lengan telanjangnya. Hino menyusuri lengan mulus Tania dengan jari telunjuk membuat Tania memejamkan matanya. Tania merasa ada yang memberontak di dalam dirinya. Lalu tiba-tiba bibirnya sudah dilumat dengan ganas.
Saat Tania hampir kehabisan napas, Hino melepaskan ciumannya lalu beralih ke leher Tania. Cukup lama mereka berdiri. Sebenarnya kini Tania bergantung pada pundak Hino. Tania sudah tidak sanggup berdiri karena kakinya terasa seperti jelly. Bahkan Tania tidak menyadari sejak kapan ia berada di atas ranjang pengantin mereka. Hingga beberapa waktu selanjutnya mereka sama-sama hanyut melakukan ibadah suami dan istri pada pagi hari pertama mereka sah di mata agama.
***
Tania terbangun dengan tubuh letih. Saat mengingat kejadian tadi pagi, wajah Tania tiba-tiba memerah lagi. Tania tidak ingin Hino melihat keadaannya saat ini. Dengan menjangkau selimut yang terbang ke bawah kakinya saat kegiatan mereka, Tania membungkus tubuhnya dengan selimut itu. Lalu masuk ke dalam kamar mandi. Kali ini Tania tidak lupa membawa handuk dan pakaian ganti.
Tania menyisir rambut yang sudah ia keringkan kemudian memakai bedak tabur. Saat itulah Hino terbangun. Hino memperhatikan Tania yang sudah rapi lalu bangkit ke kamar mandi. Lagi-lagi Tania harus melihat Hino dalam keadaan seperti itu berjalan ke kamar mandi. Seperti dejavu? Pikir Tania.
“Kok cowok nggak ada malunya?” pikir Tania lalu melanjutkan kegiatannya.
***
Bersambung ....
Muba, 23 Januari 2021
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro