[06]
Kadang berkorban itu perlu. Dan pula ada konsekuensi atas setiap perbuatan.
🏓🏓🏓
“Kamu pakai baju ini ya, Tan, pasti cantik banget.”
Tania melihat gaun yang disodorkan Lafila kepadanya. Gaun itu berwarna gading dan dihiasi payet dari leher hingga ke dada. Tania mencoba gaun yang kelihatannya mahal itu dan pas sekali, panjang gaun menutupi mata kaki.
“Kamu dandan yang cantik!” ucap Lafila.
Tania memperhatikan Lafila yang malam ini juga berpakaian semi formal dengan gaun malam biru menjuntai. Rambut panjang Lafila hari ini dijalin menyamping, sehingga kecantikan wanita itu mengalahkan tokoh kartun Elsa.
“Ada acara apa ya, Mbak?”
“Acara makan malam,” jawab Lafila.
“Begini nggak apa-apa kan, Mbak?” tanya Tania.
Tania hanya memakai bedak tanpa alas bedak dan lipkrim merah serta menggulung rambutnya. Anak-anak rambut yang nakal keluar dari tatanan itu, membuat penampilan Tania begitu ayu.
“Yap cantik. Kamu pakai ini,” kata Lafila menyerahkan kotak sepatu. Tania membuka kotak yang berisi high heels dua belas senti berwarna gold.
“Nah sekarang kita berangkat,” ucap Lafila riang.
Tania mengerutkan alis melihat keantusiasan Lafila. Makan malam apa sehingga mereka harus berdandan sedemikian rupa?
Tania dan Lafila masuk ke sedan merah milik Aldy. Tania duduk di belakang bersama Lafila yang tidak mau menemani suaminya di depan. Aldy hanya bisa pasrah menjadi sopir untuk dua wanita kesayangannya.
Mobil Aldy memasuki parkiran hotel bintang lima. Mereka bertiga naik lift menuju lantai teratas gedung tempat restoran yang telah direservasi oleh Aldy berada.
“Dalam rangka merayakan apa sih, Mbak, sampai kita makan malam di hotel ini?” tanya Tania.
Lafila tersenyum penuh arti kepada Tania, sedangkan Aldy merangkul pinggang Lafila dan mereka pun jalan berdampingan.
Tania mengikuti pasangan suami istri itu dengan pikiran yang penuh dengan tanda tanya. Aldy ternyata telah mereservasi sebuah ruangan privasi untuk malam ini. Seorang pramusaji atau entahlah yang berseragam merah hitam dengan rambut disanggul mempersilakan mereka bertiga masuk ke sebuah pintu yang bercat hitam kokoh. Tania mengikuti langkah Aldy. Tania masih berpikir ada acara apa sebenarnya malam ini?
Tania duduk di sebelah Lafila dan di samping Lafila ada Aldy. Anehnya lagi masih ada tiga bangku kosong di depan mereka yang menandakan bahwa makan malam tidak hanya dihadiri mereka saja. Tania melemparkan tatapan bertanya kepada Lafila. Namun Lafila kembali memasang senyuman misterius.
Beberapa menit kemudian pintu terbuka dari luar dan muncullah dua orang yang sudah agak berumur. Ketika dua orang itu, laki-laki dan perempuan, mendekat ke meja, Tania langsung mengenali siapa orang tersebut. Yang laki-laki adalah Ben Alendra, bosnya di kantor dan yang wanita dapat dipastikan adalah Nyonya Dewi Sinta, istri bos Tania.
Kedua pasangan suami istri itu mengambil tempat duduk yang berseberangan dengan Aldy dan Lafila. Mereka memberikan senyuman sebelum duduk kepada Tania, Aldy, dan Lafila.
“Selamat malam, Om Ben,” sapa Aldy.
“Malam, Aldy. Maaf kami terlambat, kalian tidak bosan kan menunggu kami?” tanya Ben berbasa-basi.
“Tidak masalah, Om. Kami akan menunggu dengan sabar,” balas Aldy.
“Halo cantik, bagaimana baby? Sehat?” tanya Dewi menyapa Lafila.
“Baik, Tante. Baby nggak nakal,” jawab Lafila memamerkan senyuman sambil mengelus perutnya.
“Aduh, Sayang, Tante kangen banget sama kalian. Kalian kok jarang pulang sih?” tanya Dewi.
“Hehehe ... Iya lagi banyak pekerjaan, Tan. Tante Dewi apa kabar?” tanya Lafila balik.
“Kami begini-begini aja, Sayang. Sampai berita yang membuat kami jantungan itu kalian sampaikan,” kata Dewi sambil melirik Ben.
“Aduh, Tante, maaf kalau kami nggak nyari waktu yang pas untuk memberikan kabar itu. Kami juga shock,” jawab Lafila.
“Dia mana, Tante?” tanya Aldy.
Tania semakin bingung ke mana arah pembicaraan kedua pasangan ini. Tania menyimpulkan bahwa isi percakapan mereka tentunya menyangkut soal pekerjaan. Orang-orang itu masih terus bercakap-cakap yang isinya tak satu pun yang Tania pahami hingga pintu kembali terbuka dan menampakkan sosok laki-laki tinggi dengan jas hitam. Lelaki itu berjalan dengan tegap menghampiri meja mereka.
“Hah?” Tania terpekik kecil menyadari siapa yang baru saja masuk. Orang itu pun duduk di bangku yang tersisa tepat di depan Tania. Tania tidak berani mengangkat kepalanya. Jantung Tania serasa akan jatuh jika ia tidak kuat-kuat menahan debarannya.
“Maaf semuanya, Hino terlambat,” ucap Hino setelah duduk di bangkunya.
“Nggak apa-apa, No,” jawab Lafila.
“Baiklah bagaimana kalau kita langsung makan saja?” tanya Aldy.
“Iya sudah waktunya makan. Mari,” ucap Ben dengan wibawa kebapakan.
“Fila mau makan apa?” tanya Dewi. Hino melirik ibunya yang mulai kumat dengan penyakitnya.
“Makan yang nggak pedas, Tante. Nanti Lafi sakit perut kalau terlalu pedas,” jawab Aldy.
“Oh. Ini Tante ambilkan steak. Fila harus makan dua porsi untuk kamu dan untuk baby. Nah, Aldy juga kalau Fila mau apa-apa harus kamu kabulkan. Orang hamil biasanya mintanya yang aneh-aneh lho,” kata Dewi.
“Mi, makan. Jangan banyak bicara!” tegur Hino. Dewi tersenyum malu.
“Maaf ya, Mbak. Mami suka berlebihan,” jelas Hino. Lafila hanya tersenyum maklum.
Tania kini sudah mulai pusing dengan orang-orang ini. Mereka seakan tidak menganggap keberadaannya. Dari tadi mereka sibuk membicarakan hal-hal yang tidak Tania mengerti. Bahkan ketika makan, mereka masih saja asyik berbicara. Merasa bingung dengan posisinya di sini, Tania memijit-mijit pelipis kepalanya sambil menunduk.
“Kamu kenapa, Manis? Kamu sakit?” tanya Dewi yang melihat Tania mengurut kepalanya.
Tania mendongak dan menjadi kikuk ketika seluruh perhatian tertuju kepadanya termasuk Hino. Tanpa sengaja Tania menjatuhkan sendoknya.
“Nggak apa-apa, Bu. Ehm, maaf kalau saya membuat kalian kurang nyaman,” ujar Tania dengan suara pelan.
“Kamu nggak apa-apa kan? Apa kami yang justru membuat kamu tidak nyaman?” tanya Dewi yang mulai menunjukkan sikap super perhatiannya kepada orang lain.
“Eng-enggak kok, Bu,” jawab Tania tersenyum malu.
“Eehm.” Ben mulai menarik perhatian semua orang dalam ruangan itu.
“Maaf, Tania, kami telah gagal mendidik anak kami. Saya tahu kamu adalah perempuan baik karena sudah cukup lama mengenal kamu.”
“Maksud, Bapak?” tanya Tania.
“Maksud saya, kami ingin menjadikan kamu menantu di keluarga Alendra. Kami ingin menikahkan anak kami, Hino, dengan kamu, Tania,” ucap Ben tanpa keraguan sedikit pun.
“Saya masih tidak mengerti, Pak, ehm ... Saya belum ada rencana untuk mengubah status saya dalam waktu dekat ini,” ucap Tania.
“Apakah karena kamu sudah memiliki kekasih, Nak?” tanya Dewi.
“Eeeh?” Tania menjadi bingung apakah ia harus jujur. Lalu Tania putuskan untuk mengangguk.
“Tapi kami masih tetap ingin kamu dan Hino menikah. Hino harus bertanggung jawab kepada kamu!” tegas Dewi.
“A—” Pertanyaan Tania langsung dipotong oleh Dewi.
“Iya. Kami ingin kalian menikah karena kejadian itu. Apalagi besar kemungkinannya kamu segera memberikan kami cucu,” ucap Dewi.
Tania tersedak mendengar ucapan Dewi. Wajah Tania menjadi merah sekali lalu ia menunduk. Ia tidak berani mengangkat kepala untuk melihat semua orang di ruangan itu. Saat ini semua mata melihat Tania yang begitu tidak nyaman dengan pembicaraan ini.
“Kamu harus mau menikah dengan Hino! Dia wajib bertanggung jawab. Dan kamu harus bersedia membuka jalan agar Hino bisa membayar kesalahannya,” ucap Aldy.
Tania menunduk. Aldy adalah seseorang yang tidak akan Tania bantah perkataannya. Apalagi mengingat ia telah mengecewakan Aldy. Tania tidak memiliki pilihan lain. Tania harus menikah dengan orang yang tidak ia cintai.
Bagaimana dengan orang yang Tania cintai? Bagaimana dengan Argio? Argio pasti akan marah jika mengetahui Tania menjadi milik orang lain. Dan Tania juga tidak akan bahagia bersama Hino.
“Lupakan dia!” ucap Aldy tegas.
Mendengar kalimat Aldy membuat air mata Tania jatuh. Tania tidak sanggup menyakiti Argio. Tania tidak sanggup kehilangan Argio. Di lain sisi Tania juga tidak bisa membantah perkataan Aldy. Di sini memang Tanialah yang bersalah. Lalu Tania mengangguk. Ia akan menerima apa pun nasibnya.
“Tania sudah setuju. Jadi bagaimana dengan Hino?” tanya Aldy.
“Hino sudah setuju,” jawab Dewi.
Tidak ada yang melihat bagaimana wajah Hino saat ini. Hino merasa bersalah. Hino merasa seperti bajingan yang telah menghapus kebahagiaan seseorang.
Mami benar, Hino telah merusak Tania. Di satu sisi Hino tidak ingin menikahi Tania karena perempuan itu tidak akan bahagia hidup dengan orang yang tidak ia cintai. Di sisi satu lagi, Hino harus menikahi Tania karena ia telah mengambil mahkota perempuan itu. Dalam didikannya, Hino tahu bahwa virginitas sangat dijunjung tinggi di sini. Lalu bisa saja jika saat ini darahnya sedang bertumbuh kembang di rahim Tania. Hino pun juga hanya mampu mengangguk.
“Maka kita tetapkan Hino dan Tania akan menikah pada Jumat tiga hari dari sekarang,” putus Ben Alendra.
“Kalian akan melaksanakan akad nikah saja dan resepsi kita lakukan setelah Hino wisuda. Yang penting kalian sah di mata agama dan negara. Dan pernikahan ini untuk sementara kita rahasiakan dulu dari umum. Kita tidak mau jika kebenaran ini akan membuat kolega Alendra dan Farely berpikir negatif bukan?” tanya Ben retoris dan tidak dapat dibantah.
Semuanya diam dan menerima keputusan seorang Ben. Tania sudah tidak dapat mendengarkan semua percakapan karena sibuk memikirkan bagaimana cara menjelaskan kepada Argio?
***
Bersambung ....
Muba, 21 Januari 2021
Oemji! Ini tanggal cantik ya.
210121
Apa yang bikin hari ini menarik dari kemarin?
Kalo Kasev, sih, hheem ghibah. Ya apa lagi? Awalnya tuh buibu bahas perihal solat, adem banget dah. Mereka mau istikomah ceritanya, biar nabung pahala katanya. Eeh pas ada yg nyinggung bos disetop dah tu, ingat istikomah, jangan bikin dosa lagi. Dan namanya juga gibah dan buibu itu sepaket, yang awalnya istikomah gak mau gibah, sampe jam pulaaaang ngegibahin bos sampe ke akar-akar.
Ya Tuhan, kadang heran sih, kapan sih sehariiii aja gitu, pas duduk nggak ngegibagin bos sendiri? 😅😅
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro