Bab 4 Kasih Sayang Sesaat Membutakan Hati
"Jika memang Allah hanya memberikan kenikmatan sesaat, mengapa harus sesakit ini saat melihat dia menemukan kebahagiaan yang lebih." ~ Niken Anjani
Niken merasakan dadanya sangat sesak ketika mengingat masa kecilnya, dia merindukan Khalil yang selalu ada untuk dirinya. Merindukan sosok lelaki pemberani yang rela mendapatkan cemoohan dari geng yang terkenal sangat berandalan semasa duduk dibangku SMA, hingga pening itu menyerang Niken tertidur pulas diatas tempat tidurnya. Sementara Khalil baru saja selesai membereskan beberapa pakaiannya ke dalam koper yang akan dia bawa ke bandung untuk melakukan pencarian, sudah tiba waktunya lelaki itu untuk menjemput adik kesayangannya.
Saat langkah kakinya tepat di depan pintu sepupunya itu, Khalil membuka pintu kamar Niken untuk berpamitan tetapi keberuntungan bukan pada lelaki itu. Pintu kamar Niken terkunci dari dalam, Khalil hanya menghela nafas mungkin nanti pada saat lelaki itu sampai di Bandung akan langsung menghubungi sepupu kesayangannya itu.
Khalil melangkahkan kakinya menuruni anak tangga, sementara Sabrina sudah menyiapkan beberapa menu makanan kesukaan keponakannya itu yang akan dimakan pada saat diperjalanan. Khalil mencium punggung tangan Ummah Sabrina, lalu perempuan paruh baya itu memeluk keponakan kesayangannya yang sudah dia anggap seperti putranya sendiri.
"Hati-hati di jalan Nak, ingat selama di Bandung Kamu jangan sampai telat makan dan jangan tidur malam-malam. Bawalah Khadijah kembali ke rumah ini, pintu rumah ini selalu terbuka lebar menunggu kedatangan kalian berdua," lirih Ummah Sabrina dengan mata berkaca-kaca.
"Terima kasih Ummah, Khalil akan membawa Khadijah untuk berkunjung kesini. Ummah sehat-sehat dan jaga terus kesehatan selama Khalil tidak ada, titip pesan pada Niken kalau Abang kesayangan dia ini sangat menyayanginya. Untuk pekerjaan di perusahaan Abi yang disini akan dipegang sementara oleh Paman Sadam selama Khalil tidak ada dan mengurus perusahaan cabang yang ada disana," ucap Khalil lalu mencium punggung tangan Ummah Sabrina lalu menarik koper dan meninggalkan rumah itu, supir yang bertugas untuk mengantar Khalil ke bandara sudah menunggu di dalam mobil.
Disepanjang perjalanan Khalil hanya menatap layar wallpaper ponselnya, dimana seorang gadis berumur 15 tahun sedang tersenyum kearah kamera. Tatapan mata gadis itu membuat Khalil rindu sekali ingin segera bertemu dengan adik kesayangannya itu, dan memeluknya. tak terasa tetesan air mata membasahi pipinya karena kerinduan yang amat sangat mendalam.
****
Sementara Khadijah dan teman-temannya sedang di berjalan menuju pondok pesantren putri tempat mereka mengajar, mereka bertiga akhirnya sampai di tempat tujuan. Khadijah berjalan terlebih dulu meninggalkan kedua sahabatnya, Sulis hanya bisa menggelengkan kepala saat melihat sahabatnya memasuki pondok putri.
Khadijah memasuki ruang guru untuk mengambil beberapa buku hadis yang akan dia bawa ke kelas saat mengajar nanti, Fazmi yang baru saja sampai di ruang guru pun melihat Khadijah mencari sesuatu lalu menghampirinya.
"Afwan, Ustazah Khadijah, ukhti mencari apa yah? Biar ana bantu mencarikan barang yang hilang, karena sebentar lagi jam pergantian pelajaran akan selesai?" tanya Ustaz Fazmi pada wanita di depannya itu.
"Begini Ustaz, ana mencari buku Fatimah Az-Zahra. Kemarin sih masih ada di meja ana, tapi sekarang kemana yah?" tanya Khadijah sambil terus mencari di mejanya.
"Coba ukhti cari lagi pelan-pelan, dan ingat-ingat apakah ada yang meminjam buku itu. Karena sejak tadi pagi saya tidak melihat buku itu ada diatas meja ukhti, kalau begitu biar ana bantu untuk mencari bukunya," ujar Ustaz Fazmi sambil merapihkan pecinya.
"Tidak, Ustaz Fazmi, karena di dalam buku itu ada barang yang bisa membawa saya pada kakak kandung saya. Tapi setau saya, kemarin sebelum saya pulang masih disini masa iya sih hilang begitu saja."
Sementara Sulis dan Marsya baru saja sampai di depan ruang guru, mereka berdua melihat Khadijah yang panik mencari sesuatu. Akhirnya mereka berdua menghampiri Khadijah lalu menenangkan gadis itu, sementara Fazmi membantu mencari di meja guru-guru yang lain hingga ketukan pintu membuyarkan mereka berempat.
"Masuk aja kali Ustaz Noer! oh iya apakah kamu melihat buku Fatimah Az-Zahra milik Khadijah?" tanya Fazmi pada lelaki yang dihadapannya.
"Oh buku Fatimah Az-Zahra, kemarin saya yang menemukannya di taman samping aula masjid. Pas saya lihat nama yang tertera di buku itu akhirnya saya taruh lagi di dalam laci meja. Sebentar saya ambilkan." Noer berjalan ke meja nya dan membuka laci untuk mengambil buku tersebut. Sementara Khadijah langsung menghampiri Noer dan melihat apakah buku itu betul miliknya.
"Syukron Jiddan Ustaz Noer, karena sudah menemukan buku kesayangan saya ini. Huh! Jika saya tidak menemukan buku ini maka pupus sudah harapan selama ini," lirih Khadijah dengan nada sendu disetiap ucapannya.
"Apa pentingnya buku itu Ustazah, perasaan di toko buku saja sudah banyak yang menjualnya. Kenapa tadi kamu sepanik itu, apakah ada sesuatu yang penting dalam novel itu?" tanya Ustaz Noer dengan hati-hati.
Sementara Khadijah yang mendengar ucapan Ustaz Noer membuat hatinya sangat sakit, dia tidak berniat untuk membalas pertanyaan Ustaz Noer dan lebih memilih untuk meninggalkan ruang guru dengan membawa buku kesayangannya itu, Sulis dan Marsya hanya berpandangan satu sama lain. Mereka sudah tau semua rahasia yang selama ini sahabatnya sembunyikan, bahkan setiap perempuan itu membaca buku Fatimah Az-Zahra selalu saja menangis. Apalagi satu buah poto usang yang terselip di buku itu sangatlah berarti untuk Khadijah.
****
Tepat Azan Asar berkumandang, Khalil sudah menginjakkan kedua kakinya Bandara Udara Internasional Husein Sastranegara. Menghirup udara sore yang sangat segar, ini kedua kalinya lelaki itu menapaki tanah kelahirannya. Khalil duduk di lounge bandara, sambil menunggu seseorang yang menjemput dia memilih untuk memejamkan kedua matanya. Mengingat potong demi potongan kenangan kecil dimana Abinya itu selalu mengajak kedua kakak beradik itu jalan-jalan, bahkan menemaninya untuk belajar setiap malam. Tetesan airmata membasahi pipi lelaki itu mengingat kilasan kenangan terindah yang dia miliki.
"Ummi, Abi, doakan putramu ini. Semoga Khalil bisa menjemput putri kesayangan kalian saat ini. Ridhoi langkah kaki putramu ini Bi, Ummi, semoga kalian tenang di alam sana," gumam Khalil dalam hati.
Riko memakai jas hitam dan kacamata yang bertengger dihidung mancungnya menghampiri Khalil yang sedang duduk sambil memejamkan matanya, lelaki itu menepuk pundak sahabatnya, merasakan ada yang menepuk pundaknya Khalil segera membuka matanya dan tersenyum kearah seseorang yang tepat disebelahnya. Riko tersenyum dan mengambil alih koper yang dipegang Khalil, mereka berdua berjalan ke arah mobil yang sudah terparkir tidak jauh dari mereka berdua duduk di ruang tunggu.
"Kita akan kemana dulu, Pak Khalil?" tanya Riko saat memasukan koper milik atasannya itu ke dalam bagasi mobilnya.
"Sebaiknya kita menuju lokasi yang kamu berikan dulu, kita lihat dari jarak jauh saja baru kamu bisa antarkan saya ke apartement nantinya untuk istirahat!" perintah Khalil pada Riko orang kepercayaannya selama ini.
Setelah keduanya memutuskan untuk menuju pesantren tempat Khadijah mengajar dan menimba ilmu selama ini, Khalil memasuki mobil itu lalu kembali memejamkan mata untuk mengistirahatkan sejenak pikirannya yang terasa penat. Sepanjang perjalanan Riko melirik ke arah bangku penumpang dimana Khalil tengah tertidur, senyuman terukir dibibir Riko.
Selama ini Khalil selalu semangat untuk mencari keberadaan adiknya, dengan kecepatan sedang akhirnya mobil avansa hitam milik Riko sudah sampai di komplek perumahan, lelaki itu sengaja hanya memantau dari jarak kurang lebih seratus meter yang tak jauh dari rumah Alm. Ummi Aisyah. Riko yang hendak membangunkan sahabatnya itu merasa tidak tega melihatnya, tetapi tatapan lelaki itu masih menyusuri salah satu pintu gerbang yang terbuka.
****
Sulis memberikan dan Marsya menemani Khadijah ke kantin yang terdapat dipondok pesantren Nurul Huda, keduanya menatap bola mata Khadijah yang terlihat kosong, pikirannya melayang entah kemana. Kedua tangannya menggenggam erat buku yang baru saja ditemukan itu, Marsya memang sudah meminta izin Ustazah Hasna untuk menggantikan Khadijah mengajar hari ini. Sulis membawa es teh manis tidak lupa dengan cemilan yang akan mereka bertiga makan.
"Khadijah, jika kamu memiliki masalah jangan sungkan untuk mengatakan apa yang kau rasakan pada kami," ujar Marsya sambil menggenggam tangan sahabatnya itu.
"Afwan Marsya, saat ini Khadijah sedang tidak ingin mengatakan apapun masalah pada kalian. Sebaiknya kalian kembali untuk mengajar dan tinggalkan ku sendiri untuk saat ini," lirih Khadijah dengan pandangan yang sudah buram akibat matanya berkaca-kaca.
"Baiklah jika kamu tidak ingin bercerita pada kami Khadijah, kamu itu tidak sendirian saat ini. Kami akan selalu ada disampingmu dalam suka dan duka, Marsya tahu kok, bagaimana sakitnya saat kehilangan seseorang yang kita sayang," ucap Marsya dengan wajah puppy eyes.
"Yee, Sya, ini masalah beda lagi. Kamu kehilangan Furqon karena salah sendiri di ajak Nikah malah menolaknya, akhirnya dia dijodohkan oleh wanita lain yang lebih baik akhlaqnya dari kamu," bela Sulis sambil terkikik geli melihat wajah Marsya yang memerah karena menahan amarah.
Khadijah tertawa melihat kedua sahabatnya tengah berdebat, dering ponsel yang sangat nyaring membuat ketiganya terdiam. Khadijah merogoh saku gamisnya dan langsung menggeser tombol hijau untuk mengangkat telpon tersebut.
"Assalammua'laikum Bibi, tumben menelpon Khadijah dijam segini. Biasanya Bibi akan menelpon setiap malam," ucap Khadijah pada seseorang disebrang sana.
"Wa'alaikumussalam sayang, masa Bibi tidak boleh menghubungi kamu sekarang ? apakah kamu sedang sibuk, Nak?" tanya Bibi Diana.
"Tidak Bi, bagaimana kabar Bibi dan Paman disana? Khadijah merindukan kalian berdua," lirih Khadijah dengan airmata yang lolos membasahi kedua pipinya.
"Alhamdulillah kami baik, yasudah kamu pulang dulu saja sayang. Sebenarnya niat Bibi menelpon ingin memberitahukan hal penting padamu, tapi alangkah baiknya setelah kamu pulang saja ya!" perintah Bibi Diana.
"Khadijah akan pulang hari ini Bibi, bisakah Pak Jono menjemputku di pondok pesantren nanti sore?" tanya Khadijah.
"Baiklah nanti Bibi akan menyuruh Pak Jono agar menjemputmu, oh iya ada kejutan yang akan kamu dapat besok pagi."
"Jangan buat Khadijah makin penasaran Bibi," ucap Khadijah dengan penuh antusias.
"Sudah-sudah, kalau begitu sampai bertemu nanti sore ya sayang. Assalammua'laikum."
Telpon terputus, Khadijah semakin penasaran dengan teka-teki yang diberitahu oleh Bibi Diana. Tapi memang sudah waktunya minggu ini dia kembali pulang kerumah Bibi Diana setelah sidang S1 usai, tinggal wisuda saja yang didepan mata. Khadijah berharap seluruh keluarganya datang, bolehkah ia bermimpi saat dinobatkan menjadi lulusan terbaik ditahun ini oleh rektor dan dilihat oleh banyak mahasiswa/I yang ikut menghadiri, lelaki yang menjadi kakak kandungnya itu hadir. Tapi itu hanya angan-angan saja, apakah impiannya akan terwujud dalam waktu dekat ini.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro