Bagian 02
Ckiiiitt
Braaakk
Suara tabrakan terdengar nyaring memekakkan telinga. Perlahan matanya terbuka, menatap orang-orang di dalam mobil dengan bingung.
"Ma-mama," panggilnya pada wanita paruh baya di samping kursi kemudi dengan suara lirih. Wanita berumur di sebelahnya mendekapnya dari samping, seakan melindunginya.
"Rara ... baik-baik, kan?" tanya wanita itu lirih.
"Rara baik, Nek ...."
"Iya, Rara pasti baik-baik aja." Setelah mengatakan itu wanita berumur itu menutup mata.
"Nenek!"
Tubuhnya terlonjak bangun setelah bermimpi kecelakaan tadi. Deru napasnya terasa berat,. Dadanya sesak, tenggorokannya kering. Ia segera mengambil air di samping tempat tidurnya dan menenggaknya sampai habis. Napasnya masih tidak teratur.
"Argh, mimpi itu lagi."
Kepalanya menunduk dengan pandangan kosong. Ia tidak mau mengingat kejadian itu lagi. Kejadian yang menghilangkan nyawa orang tersayangnya. Sesekali sebuah pertanyaan muncul di benaknya.
Kenapa waktu itu dirinya tidak ikut pergi bersama mereka saja?
Gadis itu tersadar, ia menggelengkan kepala. Berusaha mengusir pikiran itu. Jangan sampai pikiran itu kembali mengisi kepalanya. Menjadikan pertanyaan yang akan membuatnya menyesali semuanya.
===
Rutinitas selama di sekolah pun masih sama, mengikuti MOS. Kurang dua hari lagi para peserta didik baru akan resmi menjadi murid SMA Bangsa. Pasti ada jenis-jenis orang dari beberapa karakter; si kutu buku, si pintar, si mulut toa, si pendiam, si disiplin, dan si pembuat onar.
Ya, kalo tidak ada keberagaman begitu pasti hari-hari selama di sekolah sangat membosankan. Monoton. Seperti tidak ada warna-warni yang menghiasi. Yah, masa remaja yang menyenangkan dan terjadi hanya sekali seumur hidup. Jangan lewatkan masa itu bersama teman-teman yang ada di sekitarmu. Karena kelak mungkin kalian akan merindukan masa-masa itu.
Oke, stop sampai di sana. Sekarang kembali ke .... Ke mana?
Saat ini kelas 12 IPA 1 sedang kosong alias free class karena guru yang mengajar sedang berhalangan hadir. Jadi, hanya diberikan tugas. Meski sudah diwanti-wanti untuk tidak gaduh selama mengerjakan tugas, memang siapa yang mau diam membiarkan kelasnya sepi tak berpenghuni? Pasti tidak ada.
Mengerjakan tugas pun bisa bergerombol, entah nanti siapa yang memang benar-benar mengerjakan dan siapa yang ujung-ujungnya hanya bergurau dengan temannya.
Jika sudah begini mau suara kelasnya yang ramai sampai terdengar kelas sebelah pun rasanya tidak peduli. Sedang diajar guru atau pun tidak.
Berbeda dengan seorang gadis yang sedang melamun di bangkunya. Fira. Ia hanya hanya memandang buku yang berisi soal itu dengan tangannya bermain-main dengan bolpoinnya. Keadaan kelas yang berisik tidak mengganggunya, malah Fira merasa bosan.
Fira beranjak dari bangkunya. "Liv, gue mau ke toilet bentar. Nanti izinin gue kalau ada ketua nyariin," pesannya. Setelah itu langsung melenggang pergi ke luar kelas.
"Fira kenapa, ya?" gumam Livya. Melihat sikap Fira tadi Livya menyimpulkan bahwa sahabatnya itu pasti ada masalah.
Di luar kelas, Fira berjalan menyusuri koridor menuju toilet sekolah. Sesekali bahkan dirinya hampir terjatuh karena tidak memperhatikan jalan. Untungnya ada seseorang yang menahan tubuhnya agar tidak jatuh.
"Lo kenapa, Fir?"
Fira mendongak untuk melihat siapa yang menolongnya. "Nggak apa. Thanks, ya."
Cowok itu mengangguk. Ah, Fira mengenalnya. Safa, namanya. Tetangga dari salah satu sahabatnya—Umami—yang memiliki perasaan lebih padanya. Entah bagaimana ceritanya cowok itu bisa suka pada Umami sejak dua tahun lalu.
"Kenapa lo bisa di sini? Bukannya anak baru nggak boleh berkeliaran, ya?" tanya Fira. Ia melangkah berdampingan dengan Safa, entah tujuannya sama, yaitu ke toilet atau tidak.
"Ya, izin lah. Masa main kabur aja, yang ada gue kena hukuman. Ya, ogah lah!" jawab Safa. Sebenarnya dirinya memang ingin ke toilet karena panggilan alam, tapi tanpa diduga ternyata bertemu dengan Fira.
"Lo sendiri ngapain jalan sambil ngelamun gitu? Kalo nggak gue tolongin juga lo bakal kesungkur kali, Fir," ejeknya.
"Iya, iya! Lo tuh nggak ada sopan-sopannya, ya, sama kakak kelas. Manggil cuma pake nama lagi, nggak ada embel-embel 'kak'!" Fira geram dengan tetangga rumah Umami satu ini. Memang Fira tahu kalau Safa terbiasa memanggil Umami tanpa embel-embel kak, tapi kenapa juga teman-temannya juga ikut dipanggil nama saja?
"Biarin, Uma aja nggak masalah tuh."
"Ya, itu buat Uma. Bukan teman-temannya juga."
Safa menghela napas. Sahabat Umami satu ini mulutnya cerewet sekali juga seperti toa sama seperti Umami, tapi bedanya dirinya suka saat Umami yang cerewet bukan yang satu ini.
"Udah, ya, gue mau duluan. Jalan sama lo kelamaan, buang-buang waktu, mending kalau sama Uma betah banget gue."
"Bucin banget sama Umami, inget, ya, udah ada yang punya."
"Ya, nggak masalah. Pepatah mengatakan 'sebelum janur kuning melengkung, nggak masalah menikung' gitu."
"Heh! Dasar, ya, lo!"
"Udah lah, bye. Udah nggak kuat ini, gue duluan, Fir. Jangan ngelamun lagi, entar nyungsep nggak ada yang nolongin lagi!" Safa perlahan berlari menjauh sambil melambaikan tangan, seakan tahu hal apa yang akan terjadi.
"Safaaaa!"
===
Perpustakaan merupakan tempat ternyaman jika ingin mendinginkan tubuh di cuaca panas. Apalagi ditambah ada jaringan internet di sana lancarnya sepeti jalan tol, sudah pasti akan betah berlama-lama. Bahkan mungkin ada yang rela bolos demi kelancaran berselancar di dunia maya.
Begitu pun dengan keempat cowok ini; Vano, Asep, Hendra, dan Alfan. Mereka sepakat pergi ke perpus untuk mengerjakan tugas yang diberikan, mereka hanya tidak ingin konsentrasi mengerjakan tugas terganggu dengan kerusuhan kelas ketika tidak ada guru. Padahal sebenarnya mereka juga termasuk siswa perusuh di kelas, terutama Asep dan Alfan. Mereka berdua lah yang sering memulai keributan di kelas, tapi mungkin sekarang mereka sudah berubah. Karena sudah berada di tingkat akhir, pasti akan sibuk dengan ujian-ujian dan pendalaman materi nanti untuk melanjutkan ke jenjang selanjutnya.
"Adem bener di sini," celetuk Alfan.
"Ya, iyalah adem, ada AC noh!" sentak Asep sambil melempar pensil pada Alfan.
"Gue juga tau kali. Maksud gue tuh kalau dingin gini bawaannya ngantuk pengin tidur."
"Ooh, bilang dong."
"Kalian berdua mau ngerjain tugas bareng atau ngobrol? Kerjain tuh sampai kelar baru ngobrol," tegur Vano. Ya, memang Vano itu pintar dan murid teladan, tapi sesekali cowok itu juga bisa bercanda. Kalau waktunya tepat untuk bercanda, apalagi sekarang mereka di perpustakaan untuk mengerjakan tugas. Tentu saja Vano langsing menegur mereka.
"Tuh, dengerin. Jangan ngobrol kalau tugas belum kelar," tambah Hendra.
"Iya-iya."
Asep dan Alfan menjawab malas-malasan, mereka tahu dua temannya itu memang rajin. Akhirnya mereka berempat mulai mengerjakan tugas masing-masing. Sesekali Asep dan Alfan bertanya pada Vano atau Hendra jika mereka kesulitan dan dengan senang hati Vano ataupun Hendra menjelaskan.
Setelah beberapa waktu akhirnya tugas mereka selesai. Mereka memilih menetap di sana karena akses internet yang cepat. Asep sibuk dengan ponselnya, sesekali digerakkan ke kanan dan oke kiri. Sepetinya bermain game. Alfan sudah merebahkan kepalanya untuk bersiap tidur. Sedangkan Vano dan Hendra duduk tenang dengan buku yang sudah ada di depan mereka.
"Aku, serang terus! Jangan mau kalah!" seru Asep.
"Sep, bisa lo kecilin suaranya? Ganggu yang lain, tuh," pinta Hendra. Memang suara dari ponsel Asep menganggu orang lain, apalagi di perpustakaan tidak boleh berisik.
"Yah, nggak seru kalau suaranya nggak ada. Feel-nya nggak dapet," sahut Asep tanpa beralih dari ponselnya.
"Nggak bawa headset lo?"
"Enggak lah, ngapain."
"Tuh, pake di kuping lo." Vano melemparkan sebuah headset ke arah Asep, entah dari mana ia mendapatkannya. Asep langsung berbinar dan memakainya.
"Makasih, Vano!"
Vano hanya memutar bola matanya. Malas menanggapi Asep
"Ssstt!" Teguran dari penghuni perpustakaan lainnya.
"Kan, apa gue bilang. Mereka aja kedengaran sama suara lo yang cemprengnya ngalahin si mulut toa," cibir Hendra.
"Yayang gue itu, jangan panggil mulut toa dong!" sewot Asep tak terima.
"Punya orang kali, Sep. Seenaknya lo panggil yayang." Kali ini Vano menyahut.
Hendra terkekeh. "Kasian banget lo, Sep."
"Lo berdua, ya, kompak banget bully gue. Udah sana baca balik buku lo, nggak usah urusin gue."
Vano dan Hendra terkekeh melihat wajah Asep yang kesal. Setelahnya hening melanda mereka sibuk dengan kegiatan masing-masing.
"Lo masih suka sama Livya?"
Pertanyaan tiba-tiba Vano mengejutkan Hendra. Tentu pertanyaan itu ditujukan padanya karena memang dari kelas kelas 10 ia yang dekat dengaa Livya sebelum Vano pindah.
"Emang kenapa?" Hendra balik bertanya tanpa menatap Vano. Ia masih fokus pada bukunya.
"Gue nggak mau kalau pertemanan kita karena rebutan cewek," tuturnya. Vano menatap Hendra serius.
Kali ini Hendra mendongak balas menatap Vano. Ia sedikit tersenyum tipis. "Jangan tanya karena perasaan gue masih sama ke Livya."
Vano hendak berkata lagi, tapi didahului Hendra yang berujar, "Tapi, lo tenang aja. Gue nggak akan rebut dia dari lo, karena gue tau Livya sukanya sama lo bukan gue."
"Thanks."
"Udah lah, Van. Nggak usah dibahas lagi, lo juga ngapain makasih ke gue?" Hendra mendengkus.
Vano melirik Asep dan Alfan. Kemudian kembali menatap Hendra lagi seakan memberitahu lewat tatapan mata. "Heh, kalian berdua. Jangan pura-pura nggak dengar, ya."
"Nguping aja bisanya. Dasar, pura-pura tidur sama main game lagi."
Alfan dan Asep hanya bisa cengengesan seperti orang ketahuan maling. Konyol memang mereka itu.
"Hehehe .... Ya, gimana, kan biar bisa tahu kalian udah akur belum. Takutnya malah perang dingin, kek AC tuh." Asep menunjuk AC.
"Ho'oh. Kan enak gini dilurusin, jadi nggak ada salah paham lagi," tambah Alfan.
"Udah, kan, ya. Kita mabar skuy nggak enak main sendiri," celetuk Asep.
"Dasar, ya, lo! Ngerusak suasana banget!"
===
Gimana?
Gaje banget kayaknya. Entah, mood nulisnya lagi nggak ada jadi ya maaf kalo gaje 😗
Makasih juga kalo ada yang nandain typonya^^
Udah segitu dulu, jangan lupa tinggalkan jejak. Entah itu vote atau comment.
Sampai jumpa di bagian selanjutnya....
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro