Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

HMY 6 - Babak Penyisihan

"Cowok ganteng emang gampang bikin oleng."

🏐🏐🏐

Lapangan itu banjir oleh manusia-manusia yang tengah bersorak heboh dengan tegang. Angin yang berembus sedikit kencang meniup apa saja: hiasan kertas beragam warna, hiasan plastik beragam bentuk, bendera-bendera, pamplet-pamplet, dan apa saja yang dilaluinya.

Turnamen kali ini masih dalam rangka agustusan, jadi tak heran hiasannya lebih meriah dengan peserta turnamen yang melimpah. Terdaftar ada 30 klub yang akan mengikuti turnamen porkab kali ini, dengan hadiah utama yang diperebutkan senilai 10 juta.

"AYANG KIKIII! SEMANGAAAT, SAYAAANG!"

Teriakan itu menyerang telinga para penonton yang tengah ribut meramaikan suasana. Namun, suara cempreng cewek yang membawa sepasang pompom merah muda itu lebih kencang.

"Aduh, Ricaaa, gendang telingaku robek, neh! Diganti pake kulit sapi kan kagak bisa!" Ibel ngomel sambil natap sinis pada Rica yang cuek bebek. Cewek itu malah kembali melompat-lompat kecil dengan tangan kiri mengacungkan kamera dan tangan kanan menggerak-gerakkan kedua pompom.

"Pegangin, ih!" Tanpa merasa bersalah, Rica justru menyerahkan satu pompom pada Ibel.

Ibel ingin nolak, tetapi mana sempat suaranya keluar karena Rica lebih dulu menyerahkan pompom rampasan dari adek kelas padanya. Lagian tenaganya sudah terkuras habis setelah menghajar habis-habisan tim voli putri dari SMK Talegong.

Ya, pada akhirnya tim mereka kembali ke formula awal, hanya Chloe yang digantikan oleh Neva di pertandingan pertama.

"Ayang Kikiii! Suamikuuu, semangaaat!"

Rica teriak-teriak makin gila, ganggu cewek-cewek imut yang duduk di sampingnya. Mereka natap risi ke arahnya sambil tutup kuping, terus saling lempar tatapan.

"Sya, pegangin hapeku, dong!"

Syafa yang sejak tadi mati kutu di samping Rica, agak kaget saat tiba-tiba sepupunya itu berteriak padanya. Dia refleks berdiri sambil nunduk dalam-dalam, enggan menatap ke depan.

"Ih, ni anak ngapain deh nunduk-nunduk kayak lagi disetrap?" omel Rica tak sabaran. Kiki sedang menggila di lapangan, jadi dia pengin buru-buru melakukan siaran langsung ala-ala reporter kenamaan.

"Ke–kenapa nggak sama yang lain aja, Ca?" tanya Syafa patah-patah. Dia tampak salah tingkah.

Rica memutar bola mata, malas. "Ck! Kan, kamu yang paling deket sama aku, Sya. Lagian kenapa deh kamu sejak tadi aneh gitu?"

Suara Syafa hampir selalu tenggelam oleh keramaian karena pertandingan makin sengit saja. Orang-orang terus berteriak menyuarakan semangat dan mengekspresikan isi hati.

Jujur saja Syafa kurang nyaman ada di situasi begitu. Selain karena teriakan yang mengganggu telinga dan kadang membuat jantungnya nyaris berhenti berdetak, Syafa juga kurang nyaman dengan pemandangan sekeliling. Bagaimana tidak, cowok-cowok yang di lapangan tampak sedang serius bertanding, tetapi acuh dengan penampilan yang terbuka dan terkesan menggoda.

Cowok kalau pakai kaus yang basah keringat otomatis menempel ke badan, kan? Belum lagi mereka cuma pakai kolor selutut yang kadang dinaikkan kalau sedang aba-aba.

Seumur-umur, Syafa yang hidup di lingkungan pesantren dan dalam pengawasan ketat kedua orang tua, jarang sekali melihat cowok pakai celana, apalagi koloran. Jadi, dia punya alasan kuat kenapa sampai merasa risi ada di tempat itu. Kalau saja dia tidak dipaksa Syafa buat ikut, sudah sejak pagi dia memilih pulang. Soalnya karena turnamen, jam pelajaran pun dikosongkan.

"Ih, ya udah deh! Bel, pegangin hapeku!" Rica beralih pada Ibel yang asyik mengunyah permen karet rasa stroberi di sebelah Syafa.

Ibel menerima ponsel Rica dengan cekatan, kemudian mulai memeganginya, mengarahkan pada Rica yang mulai berbicara penuh ekspresif di depan kamera.

Azan Ashar berkumandang merdu dari masjid bercat hijau yang hanya terlihat kubahnya di arah selatan itu. Rica dan yang lain tampak cuek, seperti tak mendengar panggilan dari Sang Pencipta.

"Ri, aku pamit ke masjid, ya?" Syafa bicara setelah mendekatkan diri pada Eri.

Eri sedikit mengernyit, memproses kalimat yang diucapkan Syafa karena suara cewek itu tenggelam oleh keramaian. "Mau salat?" tanyanya.

Syafa mengangguk semangat. Kedua mata cewek itu berkaca-kaca, tampak polos. Bikin Eri kagum karena ternyata sohibnya yang sesat kuadrat itu punya sepupu super alim.

"Ya udah, sama aku aja," putus Eri meski setengah ragu. Niatnya hanya ingin menunjukkan jalan pada Syafa, siapa tahu cewek itu nyasar, kan? Namun, tidak salah kan kalau dia juga sekalian salat?

"Alhamdulillah," kata Syafa semangat.

"Yok!" ajak Eri sambil menggandeng tangan kecil Syafa.

Ibel tampak memberi kode dengan lirikan, bertanya tanpa suara. Eri pun langsung menjawab dengan suara sedikit dikencangkan.

"Ih, yang bener dong rekamnya!" tegur Rica.

"Ck, iya-iya, Yang Mulia Ratu!" jawab Ibel mode nyindir.

Sementara itu, di lapangan, kedudukan poin kedua tim sudah 18:17. Kedua tim bertanding dengan sengit. Tim putra SemanTu (singkatan dari SMAN 97 Garut) mengobarkan api semangat yang lebih besar untuk mengejar ketertinggalan satu poin dari SMK YPD Garut.

Musuh mereka memiliki badan yang rata-rata lebih tinggi. Gerakan musuh juga gesit dan tangkas, bikin bola nyaris kesusahan menyentuh permukaan lapangan. Kalaupun sampai menyentuh tanah, pasti dengan pukulan keras yang bikin penonton menjerit heboh.

Kiki berdiri di tengah lapangan dengan jantung berdebar. Sebagai middle blocker, dia memiliki partner Nathan yang tingginya setara. Gerakan keduanya juga sudah seirama hasil dari banyak ikut pertandingan. Bikin block mereka dijuluki tembok anti badai. Namun, di hadapan YPD Garut, pertahanan mereka sudah tiga kali dibobol. Sang ace yang punya tubuh paling tinggi di ujung sana punya smash pedas yang bikin tangan pedih kalau sampai kena.

"Fokus!" Gavri, selaku kapten tim, berteriak lantang. Kedua matanya bergerak gesit mengikuti pergerakan bola.

Bola melambung tinggi, berputar cepat di atas langit, tersorot matahari sore yang menyilaukan. Tim SemanTu bergerak mengikuti bola. Kiki dan Al yang ada di sayap kiri jelas mendapat tanggung jawab untuk menerima bola itu.

Hap! Bola didapat Kiki dan langsung dioper dengan manis kepada Chepi selaku setter. Chepi melihat celah baik di seberang dan langsung mengoper bola pada Hasan dalam umpan lambung yang enak buat di-smash.

Sang ace SemanTu jelas langsung melakukan smash dengan kekuatan penuh sampai bikin tubuhnya melengking cantik. Namun, bola tak langsung mati di lapangan musuh. Anak-anak YPD langsung mengolah bola, siap mengembalikan dalam serangan yang bikin tim SemanTu waswas.

Perbedaan mencolok pertandingan voli cewek-cowok itu di durasi. Cowok-cowok biasanya lebih senang pamer skill dan adu kekuatan sampai untuk dapat satu poin pun memakan waktu sampai bermenit-menit. Kalau belum adu smash kayaknya belum cocok satu poin diakhiri. Namun, jelas bukan karena itu saja. Katakan saja kedua tim sama-sama jago, jadi bikin pertandingan tambah seru setiap menitnya.

Rica merasa suaranya akan habis karena terus meneriakkan kalimat penyemangat untuk Kiki. Untuk hari itu, dia membutakan mata dari cowok-cowok ganteng yang tampak tertarik padanya. Pokoknya selama Kiki tanding, dia hanya fokus pada cowok itu.

"Nih, minum!" Eri menyodorkan sebotol minuman dingin rasa jeruk pada Rica.

Rica menerimanya dengan senang. Mukanya sudah banjir keringat, bikin beberapa helai rambut hitamnya yang sepanjang punggung itu lepek. Namun, jelas saja semangat Rica belum surut sedikit pun. Apalagi sekarang memasuki match point, ayangnya sedang berjuang keras di lapangan sana.

"Suamikuuu, semangat!" Rica teriak lagi, kali ini dengan nada lebih kencang.

Untuk pertama kalinya, Kiki akhirnya menoleh dari lapangan. Cowok itu tampak menarik-embuskan napas dengan kencang, tampak memesona bagi Rica, sampai rasanya bikin dia mau pingsan detik itu juga.

Rica pikir, cowok itu mulai melihat perjuangannya. Jadi, dengan semangat penuh dia melambaikan tangan sampai lompat-lompat heboh.

"Cieee."

Kiki noleh pada Nathan yang langsung ngakak dengan ganteng. Dia berdecih risi. Alasan kenapa dia sampai mau menoleh ke pinggir lapangan adalah karena refleks, juga memberi kode bahwa dia ingin meminta Rica agar berhenti meneriakinya dengan kata "ayang" atau "suami".

"Sempat-sempatnya ya ngebucin di lapangan." Gavri menegur dengan galak. Kebetulan cowok itu tepat ada di samping kiri Kiki.

Mereka pun kembali fokus. Kedudukan poin sudah 25:24. Tinggal satu poin lagi untuk kemenangan mereka, jadi tak boleh ada kesalahan kalau tak ingin ada penyesalan.

Giliran Uzi yang melakukan servis. Dengan mudahnya cowok tinggi anak kelas 12 IPA itu melakukan jump shoot pedas. Sang ace musuh menerima bola dengan sedikit tidak sempurna. Bikin bola melenceng tinggi ke kiri. Namun, dua sayap kiri YPD Garut langsung mengejar bola bak anjing mengejar mangsa. Bola pun berhasil dikembalikan ke dalam.

Penonton bersorak makin heboh dan terus membuat suara setiap satu gerakan para pemain. Bikin suasana makin memanas.

"Si Syafa mana?" Ibel baru menyadari ketidakhadiran sepupu Rica yang belakangan juga menjadi bagian dari geng mereka.

"Di masjid, ngaji dia," jawab Eri, agak teriak sambil deketin mulut ke telinga Ibel yang masih memegangi ponsel Rica.

"Lah, rajin amat tuh anak," komentar Ibel sebelum balik jadi reporter dadakan Rica.

"Iya, beda banget dah ama sepupunya." Eri membalas dengan cuek.

"YEAAAAYYYYY!" Rica teriak heboh dengan yang lain. Terus melompat-lompat kegirangan sampai meluk Ibel dan Eri yang kebingungan. Mereka tak menyimak pertandingan karena asyik mengobrol, jadi melewatkan momen emas saat Kiki dengan sempurna melakukan smash yang menutup pertandingan.

"SAYAAAANG, KAMU HEBAAAT!" teriak Rica, tak peduli Ibel yang ingin segera melepaskan diri darinya karena merasa risi.

"Oiii! Aku sesek iniiii!" Ibel meronta-ronta, minta tolong pada Eri yang lebih dulu melepaskan diri dari pelukan maut Rica.

Rica mana peduli padanya, terlalu sibuk merasakan euforia atas kemenangan Kiki.

Tim SemanTu tampak berkumpul dan melakukan pelukan selamat. Namun, kemudian ada pemandangan yang selalu menjadi favorit Rica, yakni ketika Kiki mengangkat kedua tangannya, menunduk dalam kekhidmatan yang tak terganggu oleh kebisingan sekitar.

"Ayaaang Kikiii! I love youuu pulu-puluuuu!" Rica teriak sekenanya. Asyik melompat-lompat dengan yang lain. Meski ini kemenangan pertama dari serangkaian babak sebelum final, tetap saja bagi Rica di pertandingan ini Kiki bertanding dengan keren.

"Lebay, deh. Lepas, ihhh!" sembur Ibel yang sudah habis kesabaran.

Rica akhirnya melepaskan diri. Namun, cewek itu buru-buru turun ke lapangan untuk menjumpai Kiki yang mulai berbaris untuk melakukan salam perpisahan.

"Kikiii!" panggil Rica saat melihat Kiki akan langsung meninggalkan lapangan.

Di ujung sana, Kiki tampak diam selama beberapa detik sebelum kemudian memutuskan untuk berjalan menuju Rica.

"Ya, kenapa?" tanya Kiki setelah berdiri dua langkah dari Rica.

Sebelum menjawab, Rica mengulurkan tangan. "Selamat!" katanya sambil tersenyum lebar sampai bikin kedua matanya menyipit.

Namun, tangan itu menggantung di udara. Rica sadar akan sesuatu, jadi langsung saja menarik tangannya dan kembali diulurkan, kali ini sambil memegang sebotol air.

"Nih, minum! Kamu pasti haus, kan?" kata Rica, masih dengan senyuman manisnya.

Kiki hanya memandangi botol air mineral itu dalam diam. "Buat kamu aja," tolaknya halus. "Aku bisa beli sendiri nanti, sekalian mau istirahat dulu sebelum pulang."

Diam-diam Rica menelan kecewa. Namun, penolakan kecil seperti ini bukan untuk yang pertama, jadi dia sudah terbiasa dan bisa menanganinya dengan baik.

"Hmm, ya udah deh." Rica pasang muka kecewa, tetapi senyumannya tak meluntur sedikit pun. "Sekali lagi selamat!"

"Terima kasih," balas Kiki sambil mengangguk sekali. "Ya udah, aku pamit ya, mau istirahat."

Ah, Rica kecewa dengan obrolan mereka yang garing krispi begini. Padahal kan dia mau mengucapkan banyak kalimat manis sebagai ucapan selamat. Namun, kalau respons Kiki dingin begini, mana bisa lidahnya tetap bergerak lincah.

"Eh, tapi nanti kamu pulang sama siapa? Soalnya ... soalnya Eri pulang sama Syafa, jadi aku sendirian," ujar Rica, tak habis bahan obrolan.

Kiki paham akan ke arah mana obrolan ini. "Sama Ujang, soalnya kan aku ikut dia," jawabnya jujur.

Lagi-lagi Rica harus menelan kecewa.

"Ya udah, kamu ke pinggir lapangan gih, soalnya tim selanjutnya udah mau masuk. Aku juga mau istirahat dulu," titah Kiki, bicara panjang lebar yang bikin Rica salah paham.

Duh, calon suami perhatian banget, deh! batin cewek itu salah tingkah.

Kiki kemudian berbalik dan melangkah pergi tanpa sepatah kata pun. Meninggalkan Rica yang jadi gemas sendiri karena membiarkan cowok itu pergi begitu saja. Namun, kalau mengingat obrolan barusan, dia jadi tak bisa menahan senyumannya.

"Ihhh, dia perhatian banget sama gueee!" Rica bicara sendiri sambil mesem-mesem.

Dia tak menyadari bahwa ada dua cowok yang berjalan mendekat padanya.

"Hai, Kak!"

Rica berdeham dan pasang tampang senormal mungkin. "Eh, ya? Kenapa?" tanyanya yang tak langsung dilanjutkan saat melihat penampakan dua cowok di depannya ini.

Salah, bukan dua cowok. Rica lebih senang menyebut salah satu cowok di depannya ini sebagai titisan Dewa Apollo. Ganteng banget! Mana tinggi, kulitnya cokelat sawo matang, terus tatapannya itu lho, menyihir banget.

"Boleh kenalan?"

Sumpah, Rica mau pingsan saja rasanya gara-gara diajak kenalan sama titisan Dewa Apollo.

"Bo–boleh! Boleh, kok, hehe." Rica jawab sambil salah tingkah. Dia garuk-garuk tengkuk.

"Oh, syukurlah. Aku Dewa, salam kenal. Pertandingan kamu tadi keren banget." Cowok itu mengulurkan tangan, ajak kenalan.

OMG! Namanya sesuai banget sama mukanyaaa. Rica merem sambil membatin brutal. Dia godaan banget, ih! Kok, aku baru lihat sekarang, ya?

Rica berdeham, kemudian balas mengulurkan tangan. Keduanya pun berjabatan. "Aku Rica, salam kenal juga. Eh, tadi kamu nonton?"

Dewa mengangguk. "Ya, sambil nunggu giliran main."

Diam-diam Rica memandangi kaus yang dipaki Dewa. Ada tulisan 'SMAN 18 Garut.' Wah, pantas saja dia baru pertama kali melihat cowok ganteng spek dewa kayak Dewa, orang cowok itu berasal dari kota.

"Wah, makasih!" Rica jawab dengan semangat. Refleks saja dia bicara dengan lebih ekspresif kalau sama cowok ganteng.

Dewa senyum dan langsung muncul dua lesung pipit di pipinya.

IH, TRIPLE KILL INI, MAH! Rica mau teriak rasanya. Pesona Dewa terlalu menyihir, silau, bikin dia lupa daratan!

"Eh, ya udah, kita lanjut ngobrol di tempat lain, yuk? Kantin mau? Aku yang traktir, deh," tawar Dewa yang bikin Rica makin kesenengan.

"Boleh sih, aku mah ikut aja," jawab cewek itu.

"Baguslah." Dewa kemudian mengulurkan tangan. "Ayok!"

Rica diam, memproses kenapa tangan cowok itu terulur ke arahnya. Dewa ngajak gandengan, kah? Ragu-ragu dia mengulurkan tangan yang ternyata langsung ditarik oleh Dewa.

Sontak tindakan itu bikin Rica salah tingkah brutal sampai kedua matanya memelotot, seperti akan melompat ke luar. Eri dan Ibel yang melihatnya hanya bisa geleng-geleng.

"Jangan kelamaan! Nanti ditinggal pulang!" teriak Ibel yang tak direspons sedikit pun oleh Rica.

"Ck, ck, ck," Eri geleng-geleng, "tuh anak labil amat. Gampang oleng. Ngejar Kiki sampai kayak orang gila, tapi lihat yang ganteng dikit langsung oleng." Dia menghela napas berat.

"Pantas aja ya, susah dapatin Kiki," sahut Ibel.

Eri mengangguk. Keduanya lalu meninggalkan lokasi.

Sementara itu, Kiki baru selesai mandi dengan menumpang pada rumah kerabat Ujang. Lokasi tanding kali ini diadakan di Talegong selaku tuan rumah. Beruntungnya, Ujang punya saudara di sana. Jadi, Kiki bisa sedikit lega karena ada tempat yang cocok untuk direpotkan.

"Ke masjid dulu, yak!" pamit Kiki pada Ujang yang tengah ngunyah camilan di teras belakang.

Ujang cuma balas dengan gumaman.

Kiki pun langsung menuju masjid yang kebetulan cukup dekat dari rumah saudara Ujang. Ini sudah pukul setengah lima sore. Dia cukup terlambat untuk menunaikan salat Ashar-nya.

Sampai di pelataran masjid, suasana sejuk langsung menyambut. Apalagi kabut mulai turun. Langit juga sudah mendung, seperti siap menumpahkan air kapan saja. Kiki mempercepat langkah untuk segera mengambil air wudu. Namun, saat tiba di ambang pintu, dia sedikit terdiam karena mendengar sesuatu.

Ada yang tengah mengaji dengan merdu. Seorang cewek. Suaranya terasa familier buat Kiki.

Kiki mencoba melongok ke dalam masjid dan menemukan seseorang yang duduk di pojokan masjid, tengah menunduk dengan khusyuk, dan ada Al-Qur'an di depannya.

Syafa.

MasyaAllah, batin Kiki refleks.

Dia menahan pandangannya pada cewek itu yang tampak begitu fokus sampai tak menyadari kehadirannya.

"Astagfirullah," gumam Kiki begitu tersadar. Dia segera mengalihkan pandangan ke arah lain dan lanjut melangkah.

Kiki langsung menunaikan salat Ashar-nya yang tertinggal dengan khidmat. Syafa jelas menyadari kehadiran cowok itu, apalagi masjid ini tak ada penghalang. Sebenarnya ada tirai penghalang jemaah warna hijau, tetapi tak dipasang dan hanya digulung di sudut masjid.

Syafa melirik jam elektronik di depan masjid dan langsung beristigfar. Terlalu fokus murojaah membuatnya lupa waktu. Syafa jadi takut ditinggal karena Eri tak kunjung kembali untuk menjemputnya.

"Shadaqallahul adzim." Syafa menutup Al-Qur'an dan menciumnya. Dia lalu mencopot mukena usai menyimpan Al-Qur'an ke tempat semula.

Namun, saat akan ke luar, tiba-tiba hujan turun dengan deras. Syafa jadi panik karena tertahan di sini, bersama seorang lawan jenis lagi, meski cowok itu masih salat. Syafa berharap hujan ini akan segera berhenti agar dia bisa kembali ke sekolah dan mencari Rica. Dia tak bawa ponsel karena memang jarang memakai benda itu, jadi sekarang bingung bagaimana mengabari saudaranya.

Sepuluh menit menunggu, hujan tak kunjung reda dan tak ada orang yang berlalu lalang di depan masjid. Minimal ada anak SMA yang lewat, tetapi ini tidak ada sama sekali.

"Asalamualaikum."

Syafa sedikit terkejut saat mendengar suara cowok itu. Kiki akhirnya mengajaknya bicara, hal yang paling ingin dihindarinya.

"Wa–waalaikumsalam," jawab Syafa sambil menunduk dalam.

"Maaf, apa kamu sedang terburu-buru?" Kiki bertanya dengan ragu-ragu.

Syafa menggeleng dan tetap menunduk, bikin Kiki kebingungan padahal ingin menawarkan bantuan. Sejak tadi dia diam-diam mengamati Syafa dan sepertinya cewek itu tengah panik. Soalnya dia terus menatap langit sambil bergumam.

"Kamu bawa hape? Mungkin kamu bisa hubungi sepupumu untuk menjemputmu ke sini?" lanjut Kiki, mencoba memberi solusi.

Sebenarnya dia hanya menerka-nerka karena tampaknya cewek itu tengah begitu gelisah. Dia paham, Syafa anak baru, lalu terjebak sendirian di kampung orang, pasti cewek itu cukup sedikit panik.

Lagi-lagi Syafa hanya menggeleng. Karena melihat respons cewek itu, Kiki pun memutuskan untuk tak lagi berbicara. Dia hanya memandangi langit dari pelataran masjid yang sepi, berharap hujan akan segera berhenti.

Lagi pula mereka harus pulang. Kalau hujan terus turun, masa mereka harus menerobosnya, sementara jarak dari Talegong ke Cisewu kurang lebih satu jam, dengan jalannya yang memiliki kelokan atau tanjakan curam. Berkendara saat hujan jelas bukan tindakan yang mudah.

Beruntungnya, lima menit kemudian hujan mulai reda dan akhirnya benar-benar berhenti meski langit masih mendung.

"Syafaaa!" Eri teriak dari ujung gang sambil pegang payung motif Doraemon.

Syafa begitu lega saat melihat kemunculan cewek itu. "Ya Allah, alhamdulillah, akhirnya," katanya tanpa sadar.

Mendengar itu, diam-diam Kiki melebarkan senyum. Entahlah, dia hanya ikut senang melihat bagaimana cewek itu akhirnya bisa tersenyum.

"Maaf, lupa jemput. Tapi kamu tetap ditungguin kok, soalnya anak-anak yang lain juga belum kumpul semua. Pak Adit sama guru yang lain juga baru ngumpulin anak-anak di kelas," jelas Eri panjang lebar.

Syafa mengangguk-angguk. "Iya, gak apa-apa. Makasih udah jemput dan maaf jadinya ngerepotin," katanya dengan suara lembut.

Dari tempatnya berdiri, Kiki mendengar setiap kata yang dikeluarkan Syafa dengan tanpa sadar sambil tersenyum.

Namun, Eri sepertinya baru menyadari kehadiran Kiki sehingga refleks menyapa, "Eh, Ki, kamu di sini juga?"

Senyum manis Kiki langsung luntur. Cowok itu berdeham. "Iya, habis salat Ashar, tapi kejebak hujan," jawabnya jujur.

"Oh." Eri bingung harus bilang apa lagi. Jadi, dia memilih beralih pada Syafa saja. "Ayo, Sya!" ajaknya sambil melipat payung karena hujan sudah benar-benar berhenti.

Syafa mengangguk dan langsung berjalan meninggalkan pelataran masjid. Tiba-tiba ponsel Eri berdering panjang, tanda ada panggilan masuk.

"Ya, Ca? Ini Syafa udah sama aku, kok. Anaknya kejebak di masjid," lapor Eri sambil jalan.

"Ya udah, cepet! Pak Adit udah ngomel ini," kata Rica, terdengar bete.

"Iya, iya. Si Kiki juga masih di sini kok, yakali anak emas Pak Adit ditinggal." Eri ngomong dengan santainya.

"APAAA? MAKSUDMU GIMANA?" Rica langsung teriak, bikin Eri refleks jauhin ponsel dari telinga.

Kemudian, cewek beralis tebal itu baru menyadari sesuatu. Dia tepuk jidat.

"Kiki kok bisa sama Syafa?" tanya Rica mode galak. "Mereka ngapain aja, hah? Kok sampe berduaan! Astaga, masa jadi sepupu adalah maut!"

Eri hela napas, harus ekstra sabar hadapin Rica yang sedang mode kambuh. "Mereka di masjid, Ca. Kamu pikir mereka ngapain di masjid? Yakali main gundu atau TikTok-an. Jelas lah habis salat."

"IHHH! MANA BISA BEGITU!" Rica ngegas lagi.

Syafa jelas bisa mendengar suara sepupunya itu. "Ca, aku bisa jelasin—"

"GAK! POKOKNYA KAMU PULANG SENDIRI SANA!"

Telepon pun berakhir.

"Caca, maaf ...." Suara Syafa menggantung di udara. Telepon sudah berakhir. Sekarang hatinya dipenuhi kepanikan yang mulai merayap ke sana-sini.

Rica marah, bagaimana cara membujuknya?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro