Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

HMY 13 - Kekacauan

"Perasaan yang dipermainkan itu terasa seperti sebuah hinaan paling merendahkan"

***



"Pacaran, yuk!"

Sontak Dewa terbatuk-batuk karena tersedak es kopi kemasan botol yang baru saja diteguknya. Dia sampai membungkuk-bungkuk dengan tidak tampan.

Rica, cewek yang mengatakan kalimat sakti dengan nada datar itu, hanya menghela napas dengan kedua tangan bersedekap.

"A–apa?" Dewa akhirnya berhenti batuk-batuk. Dia langsung bertanya dan menghadap Rica yang berdiri tepat di depannya.

"Ki-ta pa-ca-ran!" jawab Rica gemas sendiri. "Kan, kemarin kamu yang nembak, ya udah sekarang aku yang ngajak. You and I, klepek-klepek slebew jadi bucin, okay?" Dia menunjuk-nunjuk dada Dewa yang berdiri menjulang.

Ini mengejutkan dan mencurigakan. Masa perjuangan Dewa untuk dapatin si bintang lapangan ini berakhir begitu saja? Rasa-rasanya ada yang kurang gitu.

"Oh, gak mau?" tanya Rica begitu pernyatannya tadi tak juga mendapat respons dari cowok cakep di depannya.

Jadi, Rica memutuskan akan pergi dengan segera, sebelum suasana hatinya bertambah buruk karena mendapat penolakan dari dua cowok dalam waktu berdekatan. Namun, tiba-tiba ada tangan yang menahan langkahnya. Dewa menggenggam pergelangan tangannya dengan sedikit kuat.

"Tunggu!" tahan Dewa sambil mengendurkan genggaman. "Ya, aku mau. Kita pacaran."

"OK. Hari ini kita pacaran," balas Rica.

Namun, bukannya ada pelukan atau skinship romantis ala-ala remaja bucin, Rica malah lebih dulu kabur meninggalkan Dewa yang belum bisa mencerna kejadian sepenuhnya.

"Pake pelet apa kamu?"

Dewa refleks menoleh pada tiga sahabatnya yang tadi sedang asyik nongkrong bareng dia sambil bahas topik sana-sini. Senyum angkuhnya terbit.

"Halah, muka udah ganteng kuadrat gini mah gak level sama pelet." Dewa kembali duduk di kursinya, berhadapan dengan kawannya yang botak.

"Dih, najis!"

***

Ada yang berbeda dengan pertandingan kali ini. Kalau dia adalah sebuah bom atom, rasanya Rica ingin meledakkan dirinya detik itu juga, di lapangan, biar menghancurkan apa pun. Biar bukan cuma hatinya doang yang hancur.

Entahlah, padahal dia sudah jadian dengan Dewa dan harusnya bahagia akan hal itu. Namun, hati tak bisa dibohongi meski ini bukan tentang hubungan tanpa cinta. Keputusannya untuk menjalin hubungan dengan Dewa adalah tindakan impulsif. Dia juga bingung kenapa mulutnya sampai mengucapkan kalimat-kalimat tak bertata krama begitu.

"Ca, fokus!" amuk Asti.

Itu sudah teguran yang kesekian. Sejak putaran pertama, Asti tampak lebih emosi dari biasanya. Ya bagaimana tidak emosi, orang setiap gerak-gerik Rica selalu menguji kesabaran. Cewek itu tampak lebih ambis kali ini, yang jelas saja membuat ritme tim terganggu parah.

Setiap bola kembali ke lapangan tim, Rica pasti langsung berusaha mengambilnya. Jelas saja kadang dia menabrak pemain lain, kadang pula justru membuat bola keluar dari lapangan.

"Ck! Niat maen gak sih?" Eri ikutan tersulut emosi usai mengalami tubrukan yang membuat dirinya jatuh berguling di lapangan. Pakaiannya kotor, mukanya juga cemong-cemong, belum lagi ada goresan kecil di sikutnya.

Ini tabrakan kedua. Penyebabnya adalah Rica yang merebut bola untuknya.

"Tau! Kamu kenapa, sih? Jelas-jelas itu bola milik Eri, kenapa kamu rebut?" sambung Ibel yang juga menumpuk kedongkolan sejak tadi.

Sadar situasi makin memanas, beberapa perhatian penonton—termasuk tim dari SMAN 3 Garut di seberang lapangan—tertuju pada mereka.

"Udah-udah." Asti menengahi sebelum keadaan timnya makin parah. "Fokus, guys, kita udah ketinggalan lima poin dari musuh. Musuh kali ini cukup kuat, jadi kita gak boleh lengah apalagi main-main!"

Meski emosi masih bergolak di hati masing-masing, mereka lebih memilih untuk melanjutkan permainan dan berusaha fokus. Kedudukan 11-16, tim musuh unggul.

Rica? Begitu mendapat teguran dari timnya tadi, bukannya introspeksi diri, dia malah makin kebakaran. Kedongkolan terus membesar seiring detik demi detik menegangkan di lapangan berjalan. Di awal-awal dia mengalah, tetapi begitu poin tim musuh terus unggul dan mencapai angka 20, emosinya kembali lepas kendali.

Dia merasa timnya tidak becus. Dia merasa tak ada yang lebih jago dan lebih baik darinya di tim.

"Payah!" hardik Rica begitu melihat Ibel tak berhasil mengemballikan bola dengan baik. Memang Ibel yang bikin kesalahan kecil karena meski umpan lambung dibuat sebaik mungkin, dia tak bisa melakukan smash yang pedas dan tajam, justru melipir ke samping lapangan.

Namun, jelas saja gestur Rica itu memancing reaksi yang lain. Suasana di lapangan yang memang sudah panas, ditambah dengan konflik yang mulai timbul antar pemain, membuat pikiran keenam cewek itu makin terbagi saja. Mereka harus fokus ke pertandingan, tetapi sambil meredam emosi itu sulitnya bukan main.

"Out!" teriak wasit usai meniup peluit.

Bola pukulan dari Asti menyerempet garis lapangan tim musuh, tetapi bola lebih banyak menginjak area luar lapangan. Jadilah satu poin tambahan yang membuat enam cewek di lapangan seberan itu loncat-loncat kegirangan.

Kedudukan 23:17. Tim SMAN 97 Garut makin tertinggal jauh, sementara putaran pertama mereka tadi sudah menelan kekalahan.

Tidak, mereka tidak boleh kalah.

Tiba-tiba peluit ditiup lagi.

Pak Adit melambai ke arah Rica, tatapan pria itu juga terfokus padanya. Ada Neva yang sedang melakukan pemanasan kecil di samping guru bertubuh tinggi itu. Dari sana, Rica paham apa yang akan dilakukan pelatihnya itu. Kedua tangannya mengepal bulat, napasnya juga menderu. Kepalanya tertunduk dalam begitu kedua kakinya yang sudah sedikit pegal ini mulai melangkah meninggalkan lapangan.

Rica digantikan oleh Neva, padahal pertandingan selesai sebentar lagi selesai. Itu menyakiti harga dirinya. Namun, sebagai pemain, dia bisa apa? Protes pada pelatih?

Rica akhirnya tiba di pinggir lapangan. Dia langsung menjatuhkan tubuhnya di salah satu kursi kosong, tempat para pemain cadangan duduk manis menyimak pertandingan.

Ada beberapa kalimat sapaan yang datang padanya, tetapi Rica tak ada mood untuk menjawab. Keriuhan para penonoton di anak tangga di belakangnya bikin suasana hati cewek itu makin buruk.

Entahlah, hari ini suasana hatinya terus buruk sejak pagi tadi. Sampai-sampai Syafa beneran tak jadi ikut melihat pertandingan karena Rica ngomel-ngomel terus. Pas di jalan juga, Rica jadi doyan mencet klakson sambil melempari siapa pun dengan umpatan.

"Kok cemberut, Yang?"

Dewa muncul, bertanya dengan nada lembut dan mengusap kepalanya penuh sayang. Namun, tindakan itu tak membuat hatinya membaik. Malah yang ada, Rica tambah badmood.

Cewek itu mengedarkan pandangan, melihat keramaian penonton yang memenuhi area lapangan. Tak ada wajah yang dicarinya di antara mereka. Bahkan, sejak Rica melakukan pencarian tadi pagi, orang yang dicarinya memang tak hadir sekarang.

Kiki tak ikut tanding karena cowok itu mengikuti pertandingan pencak silat mewakili sekolah.

Ya, sekarang Rica yakin bahwa dia badmood gara-gara tak ada Kiki di sekitarnya. Padahal dia sudah nembak Dewa, dengan motif lain adalah ingin membuat Kiki cemburu. Rencananya hari ini dia mau memanas-manasi Kiki dengan bermesraan sama Dewa.

"Yah ...."

Rica mengerjap, tersadar bahwa pertandingan akhirnya selesai. Saat melihat papan skor yang dijaga seorang cowok berbaju Pramuka, dia menyunggingkan senyum. Ternyata timnya bukan apa-apa tanpa dirinya.

Asti dan yang lain tampak lesu menyalami tim musuh. Mereka kemudian berjalan pelan dengan wajah kental akan kekekecewaan.

"Semangat, guys!" hibur Pak Adit seraya menepukkan tangan beberapa kali.

Selanjutnya, para pemain cadangan ikut berdiri, termasuk Rica. Mereka membentuk lingkaran untuk mendengarkan evaluasi singkat dari pelatih. Semua perhatian langsung tertuju pada Pak Adit begitu pria itu mulai berbicara.

"Ada banyak catatan yang mau Bapak sampaikan setelah pertandingan hari ini, tetapi itu nanti saja di hari-hari latih biasa." Pak Adit memulai evaluasi. "Singkatnya, kekompakan tim kita hari ini goyah banget. Bapak bisa melihat kalian yang bertindak egois, tak ada kerja sama, saling menyalahkan. Sikap seperti itu hanya akan membuat tim makin kalah ...."

Sepanjang penjelasan Pak Adit, Rica hanya terus menyalahkan tim di dalam hatinya. Dia mengingat detail kesalahan-kesalahan yang dibuat oleh Asti dan kawan-kawan.

"Segitu saja yang ingin Bapak sampaikan. Bapak tahu, kalian hari ini lelah, jadi lebih baik sekarang beristirahat dan membebaskan diri dulu," pungkas Pak Adit.

Lalu, mereka saling bertumpu tangan—meski tetap dengan suasana yang masih panas—untuk melakukan tos sebelum bubar.

"Kasihan, ternyata tim voli kita tanpa aku hanya tim biasa yang gak bisa apa-apa," celetuk Rica tepat saat dia berhadapan dengan Asti. Cewek itu bersedekap dada, senyum miring, dan pasang tampang yang bagi Asti terkesan mencela.

Asti hendak menjawab, tetapi Ivy lebih dulu menahannya, sampai akhirnya Rica pergi sendiri. Senang? Tidak, hatinya tidak senang atau lega sama sekali. Kekalahan timnya, ketidakhadiran Kiki, dan hubungan barunya dengan Dewa. Entah kenapa Rica amat sebal dengan tiga hal itu.

Tiba-tiba sebuah ide muncul begitu saja di kepalanya. Jadi, Rica buru-buru mencari Dewa.

Dewa
Aku di kantin.

Oke, Rica tak perlu pusing mencari. Dia hanya perlu berjalan ke kantin sekolah yang selalu ramai itu. Saat tiba di sana, Rica langsung bisa menemukan cowok itu karena dia ingat warna jaket yang dipakai Dewa—merah muda-hitam. Ada lima cowok lain di meja Dewa.

"Eh, Ayang," sapa Dewa begitu melihat kemunculan Rica.

Teman-temannya otomatis diam, tetapi mereka melemparkan tatapan menggoda ke arahnya.

"Kita putus, ya," kata Rica tanpa basa-basi.

Sontak saja kalimatnya membuat Dewa bangkit berdiri dengan alis berkerut dalam. "Apa?"

"Kita putus!" ulang Rica dengan kesal.

Kenapa sih, Dewa jadi mendadak lola dan menyebalkan begini? Ah, atau dia mau PMS sampai emosinya tak terkendali begini.

"Tapi ...."

Rica lebih dulu berbalik dan melangkah pergi. Dewa hendak mengejar, tetapi gerakannya lebih dulu terhenti karena dia mendadak kebingungan. "Yang!" panggilnya. Namun, Rica tak menggubris sama sekali.

"Lah, jadian tadi jam sembilan pagi, jam satu siang udah putus," celetuk rekannya.

"Trial doang kali," sambung yang lain yang memancing tawa geng mereka.

Dewa meninju udara sebelum kembali duduk dengan dongkol. "Gak apa-apa deh, yang penting kan gue udah selesaiin tantangan dari kalian," katanya diakhiri senyuman miring.

Sementara itu, Rica tengah berjalan di lorong sekolah. Hatinya justru makin dongkol dan kepalanya kian kusut. Di antara semua kemelut yang muncul, Rica hanya memikirkan Kiki. Penolakan Kiki terlalu menyakitkan untuk diterima hatinya, membuatnya kehilangan pijakan sepenuhnya.

Sepanjang perjalanan tanpa arah itu, Rica terus bertanya-tanya terkait apa kurangnya. Banyak yang memujinya punya paras cantik, prestasi non akademik yang baik terutama di bidang voli, bintang lapangan, followers sosmed-nya juga banyak, dan banyak cowok yang mengejar-ngejarnya.

Ini Kiki lho, cowok yang amat diistimewakan oleh Rica. Posisi yang diidam-idamkan para fans-nya. Namun, kenapa pula cowok itu terus menolaknya?

"Tunggu!"

Langkah Rica terhenti. Saat berbalik, dia menemukan Asti, Eri, dan Ivy berdiri di ujung sana.

"Gue mau bicara sama lo!" sambung Asti dengan nada tidak ramah.

Rica hanya menaikkan sebelah alis, bertanya dengan polos apa gerangan yang membuat kaptennya sampai pasang tampang merah padam menyeramkan begitu.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro