Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

HMY 11 - Kenangan

"Kalau kepalamu terlampau berisik, cobalah bersujud, maka akan kau temukan ketenangan tak terbatas di sana."

🏐🏐🏐

"WEH, ADA THE NUN!"

Rica menjerit refleks begitu membuka menemukan sosok hitam berdiri di depannya. Pikirannya langsung mengarah pada yang iya-iya, pada Mbak Kun, Mas Cong, Mas Uwo, dan kawan-kawannya. Apalagi sebelum tidur tadi dia nonton film horor The Nun.

"Mbak Nun, jangan makan aku dulu. Aku belum nikah, aku belum kuliah," mohon Rica sambil gemetaran di pojok kasur.

"Astagfirullah, Ca, ini aku, ih." Sebuah suara lembut keluar dari sosok yang diduga hantu jelmaan Mbak Nun itu.

Seketika ketakutan Rica lenyap begitu saja, kemudian kesadarannya perlahan-lahan terkumpul. "Lho?"

"Ini aku, Syafa," jawab Syafa sambil berjalan mendekat ke kasur.

Karena lampu kamar dimatikan dan sumber cahaya hanya dari lampu meja mini, ruangan pun jadi remang-remang, membuat apa saja terlihat kurang jelas. Lalu, setelah Syafa memencet sakelar dan lampu menyala terang, semuanya terlihat lebih jelas.

Rica refleks meletakkan telapak tangannya di dekat jidat, menghalau sinar lampu yang menyilaukan matanya. Baru setelah menyesuaikan pandangan, dia bisa melihat sosok hitam di depannya adalah Syafa, bukan Mbak Nun atau kawan-kawannya. Namun, ada yang berbeda dari tampilan cewek itu.

"Lho, kamu kok kayak teroris?" celetuk Rica yang masih belum sadar sepenunya.

Begitulah efek kalau terbangun saat baru tidur beberapa saat saja. Selain kesadaran susah pulih, beberapa orang juga kadang menciptakan situasi khusus gara-gara mengigau.

Syafa tertawa geli. "Kamu ini, tadi nyebut aku Mbak Nun, sekarang teroris."

Rica menguap lebar tanpa menutupnya lalu bergeliatan. "Oalah, itu kamu." Suaranya memelan lagi, mirip gumaman. Dia menjatuhkan tubuh ke kasur, mengatur posisi untuk kembali tidur, tetapi rasa kantuknya menguap begitu saja.

"Iya. Mulai hari ini aku mantap mau bercadar," jawab Syafa yang juga ikut naik ke kasur. Namun, di tangannya ada kitab kuning yang tak bisa dibaca judulnya oleh Rica karena ditulis pakai huruf Arab gundul.

"Oh." Rica memandangi langit-langit kamar lekat. "Maaf deh," sambungnya.

"Buat?"

"Tadi ngatain kamu Mbak Nun dan mirip teroris," jawab Rica apa adanya.

Senyum Syafa melebar di balik cadar hitamnya. "Gak apa, aku bisa maklum."

"Haaah, kamu emang si paling pemaaf, deh." Rica berguling ke kiri dan memeluk pinggang kecil Syafa. Cewek itu tampak tak terganggu meski dia mulai asyik membuka lembar kitab kuningnya.

"Haaa, gak bisa tidur lagi," celetuk Rica yang tak bisa membiarkan suasana hening terlalu lama. "Ini jam berapa, sih?" Dia memilih bertanya daripada melihat sendiri jam yang tergantung di dinding.

"Baru pukul 03.15," jawab Syafa.

"Aku baru tidur dua jam." Rica berguling ke kiri, menarik selimut, menguap, tetapi tak bisa memejamkan mata. Jadi, dia berguling ke kanan lagi, begitu terus, membuat gerakan-gerakan yang mengganggu Syafa.

Detak jarum jam mengambil alih suasana tatkala kedua cewek itu tak lagi bicara. Syafa sih fokus pada bacaannya, sementara Rica justru terbayang-bayang Kiki, terutama ucapan cowok itu kemarin siang.

"Kamu bangun jam berapa tadi?" tanya Rica untuk mengusir sepi.

"Jam dua," jawab Syafa.

"Terus ngapain?"

"Tahajud."

"Oh."

Hening lagi.

"Kamu kok jadi bercadar?"

"Alhamdulillah, hidayah Allah sudah meluluhkan hatiku." Syafa menjawab dengan sepenuh hati.

Hidayah? Lagi-lagi kata yang diucapkan sepupunya itu pasti selalu membawa agama.

"Ribet, ah!" Rica bangkit duduk dan mengacak rambutnya yang makin panjang. "Besok ke salon Mama deh kayaknya," katanya begitu merasa kesulitan mengatur rambutnya.

"Boleh." Syafa menjawab pendek.

Lalu, suasana hening lagi. Rica aslinya ingin kembali tidur, tetapi bayangan Kiki terus mengganggunya. Membuatnya berakhir hanya terus bergerak ke sana-sini, cari posisi nyaman yang tak kunjung ditemukan.

"Kalau lagi gelisah, mending salat Tahajud, deh," saran Syafa yang mengerti kegelisahan sepupunya itu. "Kebetulan juga kan, dari kemarin kamu pengin Tahajud tapi suka susah bangun malam."

Rica mempertimbangkan saran itu lebih dulu. "Gak tahu niatnya," katanya.

"Ushallî sunnatat tahajjudi rak'ataini lillâhi ta'âlâ." Syafa memberi tahu.

"Berapa rakaat?" tanya Rica lagi.

"Ada yang dua rakaat, empat, atau bisa delapan rakaat. Cuma kalau baru pertama coba, mending yang dua rakaat dulu, tambah satu salat Witir," jawab Syafa dengan gamblang.

"Lho, emang ada salat yang cuma satu rakaat?" Rica menatap serius pada sepupunya itu.

Syafa menurunkan kitab kuning dari pandangannya dan beralih menatap Rica. Senyumannya melebar. "Iya, salat Witir itu umumnya tiga rakaat, tetapi bisa dikerjakan hanya satu saja. Misal dalam Tahajud, sebagai pelengkap dan penutup."

Rica angguk-angguk paham meski tidak mencerna sepenuhnya. "Niatnya?"

"Ushalli sunnatal witri rak'atan mustaqbilal qiblati adā'an lillāhi ta'ālā," jawab Syafa.

Baiklah, mungkin sekali ini Rica bisa mencoba untuk menunaikan salat malam. Siapa tahu apa yang dikatakan Syafa benar, bahwa masalahnya bisa sedikit ringan sehabis bersujud dan mengadu pada Sang Pencipta. Namun, tentu saja niat utamanya melaksanakan Tahajud kali ini adalah untuk kembali meminta Kiki.

"Ya Allah, aku cuma mau Kiki, aku cuma jatuh cinta pada Rezky Chairil Ramdhansyah, cinta pertamaku. Aku gak mau yang lain, Ya Allah." Rica berdoa sungguh-sungguh sambil mengangkat kedua tangan.

Diam-diam dari atas kasur, Syafa mendengar setiap kata yang diucapkannya. Hati cewek itu entah kenapa terasa ngilu.

"Aamiin," pungkas Rica, lalu mengusapkan kedua telapak tangan ke wajahnya.

Syafa masih menunggui di atas kasur, hendak menyampaikan sesuatu pada Rica begitu sepupunya itu kembali duduk di sisinya. Namun, Rica tak juga kembali. Cewek itu justru merebahkan diri di atas sajadah, tanpa melepaskan mukena putih milik Syafa.

Syafa hanya geleng-geleng. Terpisah kurang lebih delapan tahun dari Rica, membuatnya seperti melihat sosok baru yang asing dari sepupunya itu. Padahal mereka sedari kecil terbilang dekat, ke mana-mana selalu bersama, main bersama, ngaji bersama. Tak heran, rumah kedua orang tua mereka berdekatan, jadi ada banyak waktu yang bisa dihabiskan bersama.

Berbeda dengan pikiran Syafa, Rica justru kembali memikirkan Kiki, tetapi kali ini suasana hatinya lebih bagus. Lalu, tanpa sadar, perlahan kedua matanya terasa berat dan akhirnya menutup sempurna. Padahal sebentar lagi Subuh.

Rica akhirnya tenggelam nyaman dalam mimpi, mimpi yang memperlihatkan kenangan manis masa kecilnya.

🏐🏐🏐

"Halo, nama kamu siapa?"

Ini momen pertemuan pertama Rica dan Kiki. Rica kecil yang tampak punya pipi gembil dengan rambut tipis dikucir dua, berdiri dengan penuh percaya diri di depan seorang anak cowok yang tampak pemalu.

Bocah kecil itu tampak hanya menunduk memandangi sepatu karakternya yang masih bersih. Ada anak cewek yang mengajaknya kenalan, padahal ini hari pertama dia masuk TK.

"Aku Ica, Iyang Cakhela," sambung Rica kecil, menyebutkan namanya dengan tidak jelas. Dia harusnya menyebut 'Riang Syaqueela', tetapi karena masih cadel, tidak bisa menyebut huruf R dengan benar, namanya jadi terpeleset jauh.

"Ayo salaman!" Rica kecil sudah mengulurkan tangan ke depan Kiki yang masih menunduk.

Namun, tangannya hanya menggantung di udara. Hal itu jelas membuat Rica sakit hati.

"Ih, kamu kok jahat sama aku?" serang Rica dengan kedua mata yang berkaca-kaca.

Kiki mengangkat pandangan dan panik menemukan anak manis beraroma stroberi di depannya siap menangis. "Ma–maaf ...," sesalnya. Dia lalu menunduk dan membalas jabatan tangan itu. "Aku Kiki."

Akhirnya senyum Rica kecil melebar, wajahnya juga berubah cerah. "Oh, Kiki, salam kenal!"

Senyum manis Rica sedikit menyihir Kiki. Itu pertemuan pertama yang canggung. Mereka ternyata sekelas. Rumah mereka juga tidak terlalu terpisah jauh.

Selama masa TK, Rica sering mendekati Kiki karena baginya anak gendut itu tampak menggemaskan. Apalagi sikap malu-malu Kiki yang membuatnya tampak susah didekati oleh anak lain. Namun, karena Rica sudah dilatih untuk selalu percaya diri, dia bisa dengan mudah mendekati Kiki.

"Pita kamu keren, lho!" sanjung Rica saat melihat pita hitam Kiki yang melengkapi setelan formalnya.

Hari ini kelulusan TK, jadi setiap anak murid diwajibkan memakai setelan formal untuk proses pengambilan foto dan serangkaian acara lain. Padahal mereka memakai pakaian yang seragam, tetapi Rica hanya memuji penampilan Kiki saja.

Rica selalu begitu, selalu memuji apa pun yang ada pada Kiki. Kiki yang dasarnya pemalu dan kurang percaya diri, jadi merasa lebih keren kalau bersama Rica.

Kiki pikir mereka hanya akan bertemu sebagai teman masa kanak-kanak, tetapi ternyata mereka juga satu sekolah di tahap SD. Hal itu jelas membuat mereka terlibat banyak momen manis khas anak-anak. Dari pernah duduk semeja bareng—karena Rica yang ngotot sampai ngambek ke guru, mengerjakan tugas kelompok bareng, jajan bareng, sampai hal lainnya.

"Kiki, kita sahabatan, ya!" Rica mengajak bersalaman. Dia tersenyum lebar, memperlihatkan gigi depannya yang tanggal dua.

"Huum!" jawab Kiki sambil membalas uluran tangan Rica.

Ini potret mereka pas kelas dua. Kiki jelas sudah lebih akrab dengan Rica sekarang. Dia juga berubah jadi anak yang mulai bisa percaya diri, bahkan pernah berani bicara di depan kelas untuk membacakan sebuah puisi.

Rumah yang berdekatan membuat mereka juga sering bertemu di luar sekolah, meski Kiki jarang main karena habis sekolah dia biasanya mengaji. Ada beberapa momen ketidaksengajaan dari pertemuan kedua orang tua yang membuat Kiki dan Rica akhirnya makin akrab.

"Kiki, aku bakal pindah, lho! Katanya papaku pindah kerja ke Jakarta," ucap Rica di suatu siang yang terik. Dia dan Kiki sedang makan bareng di bawah pohon rindang bertemankan tiupan angin yang menyejukkan.

"Kok, mendadak?" Kiki jelas tak bisa menyembunyikan ekspresi kekecewaannya.

"Gak tahu, Papa juga baru bilang tadi malam," jawab Rica jujur. Kemudian, dia melahap sepotong sosis goreng.

"Yah ...." Kiki menunduk dalam, nafsu makannya hilang begitu saja. Mendadak hatinya diliputi kesedihan yang membuat kedua matanya terasa panas.

"Ih, masa Kiki nangis?" kata Rica kaget.

"Soalnya ... cuma Rica teman baikku," jawab Kiki sambil mengusap bulir air matanya yang mulai berjatuhan.

Mendengarnya, Rica juga jadi ikutan sedih. Dia memang banyak teman di sekolah karena sifatnya yang mudah akrab, tetapi Kiki tuh ada di level berbeda sendiri. Kiki yang dikenalnya sejak TK, Kiki yang pemalu dan pendiam, Kiki yang gembil menggemaskan ....

"Kan, kita tetep temenan," ujar Rica, berusaha menghibur Kiki dan dirinya. Dia juga jadi kepikiran akan nasib persahabatan mereka ke depannya.

"Tapi ... kamu akan ke sini lagi, kan?" tanya Kiki penuh harap.

"Hmmm ... mungkin ...." Rica menjawab ragu.

Sebenarnya saat mendengar kabar bahwa orang tuanya akan pindah ke Jakarta, Rica merasa senang karena itu artinya dia akan mendapat banyak rekan baru. Namun, kalau menyangkut Kiki, dia juga jadi merasa berat.

"Sini peluk!" pinta Rica sambil merentangkan tangan.

Kiki mendekat dan masuk ke pelukannya.

"Jangan lupain aku, ya!" pinta Kiki di sela tangisnya.

"Gak bakal," jawab Rica yang ikut menangis. "Kalau perlu, aku juga jaga hati aku buat kamu."

"Kok gitu?" tanya Kiki tak mengerti.

"Soalnya Kiki itu cowok yang paling ganteng dan keren buat Rica," jawab Rica.

Perkataan itu jelas saja membuat hati Kiki berbunga-bunga. Rica memang selalu memujinya. Rica memang teman terbaiknya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro