HMY 10 - Oleng Dikit
"Enakan jadi jomlo, bebas mau ngejar yang mana, spek fiksi, spek dua dimensi, sampai idol-idol spek dewa cetakan agensi."
🏐🏐🏐
Kiki menjauhi Rica, Rica yakin itu. Soalnya setiap ada kesempatan untuk modus, Kiki pasti langsung kabur, atau paling parah malah mengabaikannya. Beberapa kali Rica merasa dirinya berubah jadi seupil nyamuk yang tak dianggap padahal sedang mencerocos panjang lebar pada Kiki.
Kayak sekarang.
"Ki, aku mau ngomong! Aku tuh gak bisa didiamin begini," rengek Rica pada Kiki yang hanya fokus berjalan meninggalkan lapangan.
Tim voli putra SemanTu baru saja menyelesaikan pertandingan dengan hasil memuaskan. Yap, kemenangan 2-1 atas SMAN 18 Garut.
"Nat, nanti pulang antar ke pujasera dulu, ya," kata Kiki tanpa melirik sedikit pun pada Rica yang berjalan cepat untuk menyusul langkah-langkah lebarnya.
"Oke!" Nathan mengacungkan jempol.
Kiki pun mempercepat langkah, bahkan berlari-lari kecil dan langsung menuju toilet cowok. Otomatis Rica tak bisa lagi mengejar. Cewek itu berdecak sebal lantas berkacak pinggang.
Tak kehabisan akal, Rica langsung mengambil ponsel dan menelepon seseorang. "Vi, aku bayar seratus ribu kalau kamu mau nurutin kemauanku," katanya begitu telepon terhubung.
"Ha? Gimana, Kak? Kakak sekarang di mana?" Suara Avi terdengar diikuti oleh kebisingan mirip suara kresek.
"Di lapangan. Kutungu lima menit, cepat!" pungkas Rica sebelum memutus telepon.
Rica lalu memainkan ponsel sebentar. Jempolnya bergerak acak dan cepat, mendadak semua yang dia lihat di ponselnya itu memuakkan. Kedua alisnya bertaut dan tangan kirinya berkacak pinggang.
"Kak Icaaa!" Teriakan itu membuat Rica menoleh dan mendengkus. Akhirnya orang yang dia tunggu-tunggu datang juga.
"Jadi gimana, Kak?" tanya Avi begitu tiba di depan Rica dengan napas putus-putus. Jelas saja dia kelelahan habis berlari dari gedung kantin ke sini yang jaraknya lumayan jauh. Namun, demi uang, apa sih yang bisa menghalanginya?
Rica mengamati Avi sebentar sebelum mengutarakan keinginannya. "Bikinin sesi wawancara aku sama Kiki dong, kalau bisa bikin kami foto bareng. Kalau bisa, aku transfer dua kali lipat," katanya sungguh-sungguh.
Mendengar angka yang cukup fantastis itu, jelas saja kedua mata Avi langsung membulat sempurna. Namun, ini pekerjaan yang gampang-gampang susah. Kalau berurusan dengan Rica sih jelas muda, tetapi beda cerita kalau dengan Kiki. Cowok satu itu cukup susah diajak kerja sama kalau berurusan dengan cewek.
Avi pernah beberapa kali berurusan dengan Kiki, terutama kalau cowok itu habis mencetak prestasi. Jelas saja untuk bahan berita sosmed sekolah. Kiki cenderung tak banyak berulah, tetapi jawaban yang singkat, padat, dan seperlunya kadang bikin Avi putar otak untuk melancarkan sesi wawancara.
"Oke, aku terima!" putus Avi yakin. Setelah melakukan pertimbangan yang lebih condong pada uang, dia pun mantap untuk mengambil pekerjaan tambahan itu.
"Sini nomor dompet digitalmu, aku bayar DP dulu. Aku gak bawa uang cash," kata Rica yang sudah membuka aplikasi dompet digitalnya.
Avi pun mendekat dan sambil tersenyum lebar memperlihatkan QR Code akunnya. Uang pun masuk tak lama kemudian.
"Sip. Terima kasih, Kak!" ucap cewek itu kesenangan.
Keduanya lalu berpisah. Rica sendiri kebingungan mau ke mana sekarang. Dia memang terpisah dari rombongan teman-temannya. Syafa juga pasti lagi nongkrong di masjid karena tadi pamit mau Duha. Eri dan Ibel juga tadi izin hunting seblak di kantin.
"Hai, Cantik!"
Tiba-tiba seseorang muncul. Saat berbalik, Rica menemukan Dewa yang basah kuyup oleh keringat, tengah berdiri menjulang di depannya, menghalangi sinar matahari yang mulai meninggi.
"Eh, hai juga, De," balas Rica kaget.
Dia merotasikan pandangan ke sekeliling, menemukan penonton yang tengah bersorak heboh karena kedua tim yang akan bertanding sudah memasuki lapangan. Babak perempat final memang tampak lebih meriah daripada pertandingan hari sebelumnya. Sekarang malah banyak warga setempat yang ikut menonton sampai ada yang rela naik ke atas pohon demi bisa nonton.
"Yah, aku kalah dari sekolah kamu. Kasih semangat, dong," pinta Dewa dengan nada manja. Tak hanya itu, cowok itu juga membuat ekspresi sedih yang menyihir kedua mata Rica.
Waduh, kalau lihat cowok ganteng lagi sedih gini rasanya bikin Rica langsung pengin manjain.
"Kamunya kurang jago, tuh." Rica malah dengan usil menggoda, bikin Dewa merengut sedih. Namun, cewek itu tertawa dengan lepas, seolah-olah menganggap Dewa betulan lucu. "Bercanda."
"Ih, ayang mah gitu." Dewa mengacak puncak kepala Rica.
"Ih, kok ayang?" protes Rica kaget.
"Emang gak boleh, hm?" Dengan lihai, Dewa meraih tangan kanan Rica dan menciumnya lembut.
Tindakan itu jelas saja membuat Rica salah tingkah dan deg-degan. Mau bagaimanapun, pesona Dewa yang kayak oppa Lee Jong Suk ini terlalu sayang untuk ditolak.
"Temenin jajan di kantin, yuk! Sekalian balikin mood. Kayaknya kalau aku makan disuapin kamu, semangatku bisa langsung balik," pinta Dewa sambil memainkan jemari tangan Rica.
Apa Rica punya kekuatan untuk menolak? Oh, jelas tidak. Tanpa pemberontakan, tubuhnya bergerak begitu saja mengikuti tuntunan Dewa yang masih terus menggenggam tangannya.
Pesona buaya memang semenyilaukan ini, ya?
Saat keduanya berjalan pergi menuju kantin, Rica tak menyadari dua pasang mata yang menatap sinis ke arahnya dari kerumunan penonton. Dua cewek itu menatap kepergian Rica sambil membatin.
Salah satunya berdecak jengkel. "Tu anak plin-plan banget, yak," celetuk Eri seraya menyedot Pop Ice rasa jeruk yang didinginkan dengan tiga butir es batu.
Ibel mengangguk. "Ngejar si Kiki kayak orang bener, eh dipepet buaya cap biawak aja langsung oleng."
"Emang si Rica ngejar Kiki kayak orang bener?" tanya Eri spontan.
"Lah, iya juga. Kan, si Rica kalau sama Kiki kayak udah gak ada urat malu," jawab Ibel blak-blakan.
Keduanya lalu menyedot minuman masing-masing dulu. Di depan sana, peluit wasit menandai awal pertandingan. Kedua tim tampak siap bertanding dengan semangat masih full.
"Coba kalau aku doyan si Kiki, udah pasti kuembat itu cowok, biar si Rica potek sekalian." Lagi-lagi Ibel menceletuk dengan asal.
"Jangan," kata Eri serius, "nanti kau disantet sama dia, meninggoy ntar."
Ibel bergidik. "Cinta-cinta, tai kucing, lah."
"Haah, enakan jadi jomlo. Bebas mau ngejar yang mana, spek fiksi, spek dua dimensi, sampai idol-idol spek dewa bikinan agensi, semua bisa diembat," jawab Eri tanpa mengalihkan pandangan dari pertandingan di depan sana.
"Yah, minus lo dikira gila doang," ujar Ibel.
"Gak apa-apa dianggap gila, daripada ngejar-ngejar si Kiki yang kayak gak doyan cewek."
Kali ini, Ibel mengangguk setuju. Setelahnya, dia memilih fokus ke lapangan, tak melanjutkan obrolan yang makin random.
🏐🏐🏐
Tiba di kantin, Rica dan Dewa berhasil menemukan tempat duduk yang kosong. Posisinya strategis lagi, di pojok ruangan yang kanan-kirinya alam terbuka karena kantin itu bukan ada di ruangan tertutup. Jadi, Rica juga masih bisa melihat lalu-lalang orang-orang di koridor.
"Mau apa? Pesen aja apa pun," kata Dewa dengan kerennya. Kan, cowok kalau banyak uang terus royal itu kadar gantengnya jadi dua kali lipat.
"Emm, aku lagi pengin makan bakso, sih," jawab Rica seraya membayangkan semangkuk bakso pedas yang menggugah selera.
"Ya udah, pesanlah. Aku juga samain aja pesanannya kayak kamu."
Entah kenapa, Dewa selalu melakukan hal itu kalau mereka pergi makan bareng. Rasanya buat Rica terlalu istimewa. Bikin baper. Bahaya.
O ya, belakangan mereka juga jadi sering berinteraksi di sosmed. Entah di WhatsApp, Instagram, TikTok, bahkan sampai sering call. Jujur saja Rica merasa nyaman dengan keberadaan Dewa, yang meski selalu membanjirinya dengan kata-kata manis, cowok itu terkesan tak terlalu agresif. Jadi, Rica beranggapan bahwa mereka mungkin bisa menjadi teman.
"Eh, bikin video TikTok, yuk!" ajak Rica setelah Dewa kembali habis menyebutkan pesanan.
Dewa mengangguk. "Boleh."
Namun, sebelum hal itu dilakukan, tiba-tiba ada panggilan masuk dari Avi. Melihat nama itu, jelas saja Rica langsung mengangkat telepon sambil berharap ada kabar baik.
"Kak, ini udah siap, ke sini, ya. Aku stand by di belakang gedung kelas X-MIPA." Suara Avi langsung terdengar begitu tombol hijau digeser.
"Oh, oke," jawab Rica.
Lalu, telepon pun berakhir.
Cewek itu beralih pada Dewa yang masih menunggu dengan anteng di kursinya sambil main ponsel.
"De, aku minta maaf sebelumnya, tapi aku barusan ditelepon, ada urusan mendadak. Jadi, aku harus pergi sekarang," kata Rica dengan agak tak enak hati.
"Lho, sekarang?"
Rica mengangguk.
"Terus makannya?" sambung Dewa. Terlihat sekali dia agak kecewa setelah mendengar penuturan Rica.
"Emm ..., aku ganti dengan makan bareng nanti lagi?" Rica melakukan penawaran sebagai permohonan maaf. Syukurnya, hal itu disetujui oleh Dewa. Jadi, dia pun bisa langsung pergi menuju lokasi Avi.
Pasti cewek itu berhasil menggaet Kiki meski entah bagaiamana caranya. Rica tak boleh membuang waktu, sebelum Kiki-nya kabur lagi. Jadi, cewek itu terus berlari dari kantin menuju gedung kelas X-MIPA yang jaraknya lumayan jauh.
Saat tiba di belakang gedung kelas, Rica langsung menemukan kehadiran Kiki yang tengah berdiri membelakanginya. Ada Avi dan dua rekannya di sana. Mereka sedang mengobrol ringan.
"Hai, Ki!" sapa Rica begitu telah berhasil berdiri di sebelah Kiki.
Cowok itu tampak kaget akan kemunculannya. Dia langsung melempar pandangan pada Avi dan dua rekannya yang terus menahan-nahannya sejak tadi dengan alasan ada wawancara penting.
Belakang sekolah ini cukup sepi, terlihat selian mereka, hanya ada beberapa cewek atau cowok yang sibuk sendiri dengan urusan masing-masing. Namun, meski banyak orang, entah kenapa Kiki tetap saja merasa kurang nyaman karena ada Rica di dekatnya.
"Aku pamit, ya," pamit Kiki, hendak melangkah pergi.
Namun, belum sempat langkah pertama diambil, Avi lebih dulu menahannya.
"Mau ke mana, Kak? Ini sesi wawancaranya udah mau mulai. Aku bisa kena amuk kalau gak lakuin wawancara ini karena konten untuk bulan ini masih sedikit," bujuk Avi berkilah.
Oh, jelas saja yang dikatakannya tak semua benar. Toh, kata-kata itu hanya agar bisa menahan Kiki.
"Lagian wawancara ini hanya seputar pertandingan voli kali ini, kok," sambung Avi, berusaha meyakinkan.
Kiki hela napas lantas mengalihkan pada langit biru yang tampak cerah di akhir Agustus ini. Sepertinya tak akan turun hujan, tetapi hari kemarin juga seperti ini. Awalnya cerah, eh pas sore mendadak hujan deras. Cuaca memang tak bisa tebak, seperti Kiki kalau menurut Rica.
"Berapa pertanyaan?" tanya Kiki serius.
Seorang Kiki kalau sudah menautkan alis dan menatap tajam, itu pertanda bahwa mereka harus bersiaga. Meski cowok itu tak pernah sekali pun menunjukkan kemarahan di hadapan publik, tetap saja sekali-dua kali ada peringatan—seperti ini—sebagai aba-aba agar mereka tidak terlalu bersikap berlebihan.
Namun, kalau bagi Rica sih, sudah beberapa kali melihat Kiki mode marah.
"Cuma empat, kok!" Avi menjawab sambil mengacungkan tiga jari tangannya.
Kiki akhirnya mengangguk.
"Kan, Kak Ica sama Kak Iki tuh bintang lapangan, jadi aku berencana buat wawancara kalian aja," sambung Avi yang mengecek persiapan kedua rekannya.
Si cewek yang paling kurus, namanya Ilia, tugasnya sebagai pemegang kamera. Satunya lagi, si cewek paling pendek, namanya Tata, tugasnya sebagai notulis.
"Terus, kenapa nggak sama anak-anak yang lain aja? Wawancara per tim gitu?" tanya Kiki penuh curiga.
Sebelum menjawab, Avi pasang senyum cengengesan dulu. "Kan, repot, Kak, kalau harus nyatuin anak-anak voli yang udah berpencar dulu," jawabnya setengah jujur setengah tidak.
Jawaban itu tak membuat Kiki kembali bertanya. Jadi, mereka pun bisa memulai sesi wawancara. Awalnya memang berjalan normal, pertanyaan yang diajukan pun tidak aneh. Kiki dan Rica diberi kesempatan masing-masing untuk menjawab, tentu saja dengan jarak cukup jauh yang memisahkan keduanya. Bikin Ilia yang meliput jadi harus mundur jauh agar bisa merekam keduanya sekaligus.
"Nah, pertanyaan terakhir nih, Kak Ica, Kak Iki," kata Avi yang mulai merasa lega karena pekerjaannya hampir selesai.
"Apa, tuh?" tanya Rica, masih dengan ekspresi cerah ceria yang tak juga luntur meski terik matahari siang mulai menggigit.
Avi berdeham. "Ini agak pribadi, nih, tapi aku sering dapat pertanyaan ini dari teman-teman di sosmed," katanya sambil pura-pura sibuk melihat isi ponsel. Kemudian, cewek berkerudung hitam itu menatap Rica dulu sebelum mengatakan pertanyaannya.
"Banyak yang penasaran nih, Kak, kalian kan dicap sebagai bintang lapangan, Raja dan Ratu voli SemanTu. Seberapa berpengaruh sih jabatan itu?" tanya Avi yang terpaksa tak langsung mengajukan pertanyaan inti. Dia takut Kiki langsung mengakhiri sesi wawancara ini saja.
"Kak Ica dulu kayaknya, ya. Kan, ledies first." Avi mengarahkan ponsel satunya lagi sebagai perekam kepada Rica.
"Hmmm ...." Rica tampak menerawang langit cerah. "Mungkin itu berpengaruh banget sih buatku, karena itu tanda sayang dari para fans. Itu membuktikan seberapa hebat aku diakui," jawabnya mantap.
"Wah, wah, memang sih, apa yang dibilang Kak Ica benar juga. Kak Ica kan jago banget kalau sudah turun ke lapangan." Avi menyanjung dengan jujur. Kemudian, dia beralih menghadap Kiki yang ada di sebelah kirinya. "Selanjutnya, bagi Kak Iki nih, silakan menjawab."
Kiki berdeham sebelum menjawab, "Saya cuma mau berterima kasih aja untuk siapa pun yang memberikan saya kepercayaan sebagai pemain inti tim voli sekolah. Cuma kalau perkara kehebatan, harusnya gelar 'raja' itu tak perlu disematkan karena ada yang lain yang lebih layak karena lebih jago dari saya."
Jawaban yang bertolak belakang. Diam-diam Rica melirik Kiki yang tampak makin ganteng kalau sedang bicara serius, apalagi dari jarak sedekat ini.
"Terus nih, Kak, aku sering dapat pertanyaan dan pernyataan juga, katanya kalian cocok banget sebagai couple goals di SemanTu," sambung Avi yang membuat senyuman Rica melebar.
Ini yang ditunggu-tunggu. Dia lalu melirik Kiki dengan sudut matanya. Cowok itu kelihatan mengerutkan kening.
"Itu kurang bagus. Seperti yang kalian tahu, saya tidak akan pernah berpacaran, apalagi memiliki orang terdekat dalam waktu dekat." Jawaban Kiki mewujud bak petir yang menyambar di siang bolong bagi Rica. Membuatnya habis kata-kata dan merasakan sedikit ngilu di ulu hati.
"Masih fokus pendidikan ya, Kak? Tapi nih," Avi terpaksa bicara cepat karena melihat gelagat tak nyaman dari Kiki, "banyak yang kepo, kriteria wanita idaman Kakak tuh yang gimana?"
"Waduh, kenapa jadi hal pribadi kayak gini, ya?" sindir Kiki sambil senyum miring. "Tapi karena banyak yang penasaran, baiklah, akan saya jawab."
Di samping kirinya, dua langkah darinya, Rica memasang kuping baik-baik atas apa yang akan dikatakan oleh cowok jangkung itu.
"Sebenarnya saya tidak punya tipe spesifik, tapi saya suka wanita salihah yang bisa menjaga martabatnya, auratnya, dan akhlaknya," sambung Kiki, menatap dalam-dalam ke arah kamera.
"Seperti siapa, tuh?" tanya Avi spontan.
"Seperti ...." Kiki sengaja menggantung ucapannya. "Seperti ummi saya."
Tahu apa yang terjadi pada Rica? Cewek itu benar-benar mati kutu, seperti seluruh saraf otaknya dilumpuhkan, belum lagi ada pedang tak kasatmata yang menghunus dadanya.
Salehah, tertutup, berakhlak mulia ... bukankah semua itu ada pada Syafa?
"Pesan buat cewek-cewek yang ngejar Kakak?" tanya Avi lagi.
Sebenarnya Kiki sudah merasa tak nyaman, tetapi khusus untuk pertanyaan ini, dia punya semangat untuk menjawabnya.
"Jangan turunkan harga diri untuk sesuatu yang tidak pasti. Jodoh itu sudah ditentukan oleh Allah, tinggal perbaiki dan jaga diri sebaik mungkin. Hakikatnya, perempuan itu diperjuangkan, bukan berjuang," jawab Kiki. Jawaban tersebut sebetulnya diarahkan untuk Rica. "Satu lagi, jangan ngejar yang tidak mau dikejar, jangan memaksa orang yang tidak mau dipaksa. Itu bukan cinta, melainkan obsesi. Karena pembuktian cinta yang sesungguhnya adalah dengan jalur langit."
Jawaban Kiki sukses membuat mata Avi berkaca-kaca. Cewek itu sampai bengong selama beberapa detik karena perlu waktu untuk menata kembali pikirannya yang sempat ke mana-mana.
Di sisi lain, Rica benar-benar kena ulti habis-habisan. Saat ini, Kiki seolah-olah bicara padanya, menolaknya, dan mengusirnya agar berhenti mengejar-ngejar cowok itu.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro