Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

31 >> Fakta yang Ada

Budayakan membaca notes, vote, dan comment ya😊

Sorry for any typo(s)

Selamat membaca🤗

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

Saat ini Salwa dan Gabriella tengah membantu Bu Sarah menyiapkan makan siang untuk seluruh anak-anak panti. Mereka telah membagi tugas, Gabriella dan Bu Sarah yang memasak, sedangkan Salwa yang menatanya di meja.

"Makanan sudah siap," ucap Salwa.

"Alhamdulillah makanan udah siap nih," ujar Jamal yang juga diikuti oleh beberapa anak panti lainnya. Mata mereka berbinar seolah-olah begitu menantikan hal ini sedari tadi.

"Oke semuanya cuci tangan dulu ya abis itu kita makan bareng," ucap Gabriella.

Seluruh anak panti berbondong-bondong untuk segera mencuci tangan. Gabriella haya tersenyum kecil melihatnya, mereka begitu antusias. Netranya tak sengaja melihat Nadia yang diam saja tidak seperti yang lain. Gabriella pun berjalan mendekatinya.

"Nadia," sapa Gabriella dengan ramah. Gadis kecil itu semakin memundurkan dirinya dan ingin menjauh dari Gabriella.

"Kamu nggak usah takut, Kak Bella nggak nggigit kok," ujar Gabriella dengan diikuti kekehan kecil.

"Ayo kita makan, Kakak tadi masak ayam goreng loh,"

Nadia hanya diam tak bergeming. Gabriella dengan sabar terus membujuk Nadia untuk ikut membaur dengan yang lain.

"Ayo, nanti ayamnya diambil sama yang lain loh," Gabriella mengulurkan tangannya mengajak Nadia. Awalnya Nadia hanya diam, tapi lambat laun gadis kecil itu menerima uluran tangan Gabriella. Gabriella pun tersenyum, ia telah berhasil membujuk Nadia.

Di sisi lain ada seseorang yang mengamati setiap pergerakan Gabriella, dia adalah Nizam. Lelaki itu menyunggingkan senyumnya ketika melihat Gabriella dengan gigih mengajak Nadia. Gadis itu tak putus semangat untuk tetap mengajak Nadia. Bahkan dirinya saja sangat sulit mengajak gadis kecil itu, namun Gabriella berhasil melakukannya.

"Gak usah diliatin gitu, dia gak bakalan pergi kok,"

Nizam sontak menoleh ke arah kanannya disana sudah ada Adrian.

"Ngangetin aja,"

Adrian terkekeh, "Abisnya serius banget ngeliatin Bella,"

"Nggak juga," elak Nizam.

Adrian hanya mengangguk-angguk kecil mencoba mempercayai ucapan Nizam, tapi ya tidak sepenuhnya percaya.

"Kamu juga kalo ngeliatin Salwa biasa aja,"

Adrian pun langsung mendelik, "Siapa yang lagi ngeliatin sih,"

Nizam pun tertawa melihat reaksi Adrian yang berlebih, "Tuh kan, ketahuan banget kalo lagi ngeliatin," goda Nizam.

"Terserah terserah bully aja terus,"

Nizam hanya tertawa tak ada habis-habisnya bahkan hingga kelopaknya mengeluarkan air mata.

"Kakak aja tuh, makanya cepet cari calon. Inget sama usia," ucap Adrian.

"Eh kok kamu ngeselin sih lama-lama,"

"Abisnya Kakak juga ngeselin sih, satu sama,"

Nizam hanya menggeleng pelan, lalu merasakan ponselnya bergetar dari dalam saku jeansnya.

"Kamu makan dulu aja, aku mau ngangkat telpon dulu," Adrian pun mengangguk dan pergi menuju meja makan.

"Wah--wah kok ayamnya abis? Ini gara-gara Jamal pasti," celetuk Adrian.

"Eh apa-apaan ane cuma makan satu doang," protes Jamal.

"Udahlah gak usah berantem, gitu aja dipermasalahin. Mendingan kamu segera duduk deh Ad, abis itu makan," ujar Salwa.

"Tuh dengerin apa kata Neng Salwa,"

"Berisik lu,"

"Oh ya Mas Nizam kemana?" tanya Gabriella.

"Dia lagi diluar ngangkat telpon," jawab Adrian.

"Tenang aja Bell, Kak Nizam bakalan balik kok," imbuhnya dengan diselingi tawa kecil.

Gabriella hanya mengerjap pelan, lalu turut duduk untuk makan siang bersama.

"Adrian,"

Seluruh orang yang tengah makan langsung menolehkan diri melihat Nizam dengan raut wajah yang tidak bisa ditebak.

"Ada apa Kak?" tanya Adrian.

Air mata Nizam menetes begitu saja. Hal itu membuat Adrian dan yang lain bingung sekaligus penasaran apa yang sebenarnya terjadi.

"Papa kritis,"

Adrian langsung terpaku pada dua kata yang membuat seluruh dunianya seakan runtuh.

***

Ketika mengetahui keadaan sang ayah kritis, Adrian dan Nizam langsung menuju rumah sakit dimana ayah mereka dirawat. Selama ini keluarganya tinggal di Surabaya, namun karena keadaan ayah mereka yang kritis akhirnya ayahnya dirawat di salah satu rumah sakit di Jakarta.

Kedua lelaki itu berlari sepanjang koridor rumah sakit mencari ruangan dimana ayah mereka dirawat. Keduanya berhenti saat ada seorang wanita tengah duduk di ruang tunggu dengan menundukkan kepala, itu adalah ibu Adrian dan Nizam.

"Ayo kesana," ajak Nizam.

Namun, Adrian hanya diam terpaku. Ia melihat seseorang yang sangat disayanginya dalam titik paling rendah. Ia kembali melihat ibunya menangis, padahal ibunya adalah seorang wanita yang begitu tegar. Namun, untuk kedua kalinya ia melihat sang ibu menangis.

"Aku belum siap Kak," ucap Adrian lirih.

Nizam mulai geram melihat Adrian yang tidak bisa bersikap tegas. Ia memegang kedua bahu sang adik.

"Apalagi yang kamu tunggu, Mama butuh dukungan kamu. Beliau butuh kamu," ujar Nizam meyakinkan Adrian.

Adrian menatap Nizam sebentar lalu mengalihkan pandangannya pada sang ibu. Jujur, ia ingin sekali memeluk ibunya, ia begitu rindu dengannya.

"Tunggu apa lagi Adrian, ayo,"

Adrian menghembuskan napas besar, siap tidak siap ia harus siap melewati semuanya. Akhirnya mereka berdua pun kembali melanjutkan langkahnya mendekati sang ibu. Namun, Adrian memilih mengambil jarak dari Nizam.

"Ma," panggil Nizam.

Sang ibu mendongak, matanya sembab, raut wajah yang sudah tak lagi muda dihiasi dengan kesenduan. Melihat hal itu Adrian begitu merasa bersalah dengan perbuatannya selama ini. Bagaimana ia yang sering mengacuhkan sang ibu.

"Kamu darimana saja Nak?" tanya sang ibu pada Nizam. Nizam pun langsung merengkuh sang ibu dengan hangat.

"Maafkan Nizam Ma,"

Adrian semakin tak kuasa membendung air matanya. Ia benar-benar tak bisa jika melihat sang ibu menangis.

Nizam melepaskan rengkuhannya, "Bagaimana keadaan Papa?"

"Dokter masih memeriksanya di dalam, Mama begitu khawatir saat kondisi Papamu semakin hari semakin menurun,"

"Mama tenang, sekarang Mama tidak sendiri karena ada kami,"

Kening sang ibu mengerut, "Maksudnya?"

Nizam menoleh ke kiri diikuti sang ibu. Sang ibu tak bisa menyembunyikan rasa terkejutnya. Sang ibu begitu terharu melihat Adrian yang berdiri tidak jauh darinya.

"Adrian," lirihnya.

Sang ibu berdiri dari duduknya dan berjalan mendekati Adrian. Air mata Adrian sudah mengucur begitu derasnya, ia pun langsung merengkuh sang ibu. Ibu dan anak itu menumpahkan seluruh emosi dengan air mata, air mata yang menyiratkan kebahagiaan dan kesedihan menjadi satu.

"Maafkan Adrian, Ma,"

Sang ibu menggeleng dibalik pelukan Adrian, "Nggak Sayang, Mama yang minta maaf,"

"Mama begitu bahagia melihat kamu ada disini. Mama mohon jangan pergi ninggalin Mama dan Papa. Kami sangat menyayangimu Sayang,"

Air mata Adrian tak lagi bisa ia bendung semuanya mengalir begitu saja. Nizam pun turut merasakan suasana haru antara ibu dan anak itu. Nizam bahagia melihat keduanya yang dapat saling memeluk lagi. Ia begitu merasakan bagaimana kerinduan antara keduanya, ia tak ingin momen ini berlalu dan hilang.

"Maafkan Adrian, Ma. Adrian janji nggak akan ninggalin Mama sama Papa lagi,"

Sang ibu mengelus puncak rambut Adrian lembut, "Melihatmu disini saja sudah membuat Mama bahagia Nak,"

Bahagia yang pernah hilang kembali hadir menghangatkan dinginnya hati, meruntuhkan dinding tak kasat mata yang memisahkan ego dan kasih sayang. Kini semua telah berubah yang jauh mendekat yang dekat semakin dekat.

***

"Menikahlah lagi Mas,"

"Apa maksudmu? Aku tidak bisa, aku mencintaimu,"

"Bukan itu yang penting sekarang Mas. Aku tidak bisa memberimu anak, aku mohon pahami posisiku Mas," ujar sang istri itu dengan isakan tangis.

"Kamu juga harus mengerti posisiku, aku tidak ingin menikah lagi jangan paksa aku,"

Sang istri mencengkram lengan sang suami erat. Ia meluruhkan air matanya yang sedari tadi ia tahan.

"Ini demi kebaikan kita Mas, keluarga besar menginginkan keturunan. Ini adalah cara yang terbaik Mas,"

Sang suami menatap dalam mata sang istri. Ia begitu paham bagaimana tekanan yang dirasakan oleh istrinya, bagaimana tekanan dari keluarganya yang menginginkan sosok penerus untuk keluarganya.

"InsyaAllah aku ikhlas Mas," lirih sang istri.

Direngkuhnyalah tubuh sang istri dengan erat, "Baiklah, aku akan melakukannya. Ini demi dirimu karena aku mencintaimu,"

Air mata sang istri semakin mengucur deras. Inilah pilihan yang diambil demi kebaikan. Entah itu untuk kebaikan siapa, tapi inilah keputusan yang ia ambil dan harus ia terima segala konsekuensinya.

Ternyata begitulah kenyataan yang ada, ayahnya tak pernah selingkuh dan ini hanyalah kesalahpahaman. Rasa bersalah kembali menghinggapi Adrian, ia telah berprasangka buruk pada sang ayah tanpa ingin tahu kejelasan yang ada.

"Namun, Kuasa Allah begitu besar. Allah menghadirkan kamu setelah papamu menikah lagi dan ada Nizam. Mama sudah siap menerima segala konsekuensinya apalagi saat kamu tau ada Nizam. Namun, Mama tak berpikir panjang Mama kira kamu akan menerimanya, tapi karena hal itu kami kehilangan dirimu," jelas sang ibu.

"Ini semua salah Adrian maafkan Adrian Ma," ujar Adrian lirih.

"Jangan menyalahkan dirimu lagi Nak, semua sudah berlalu kini saatnya kita memperbaiki diri menjadi pribadi yang lebih baik lagi," ucap sang ibu dengan nada lembut seraya mengelus bahu Adrian.

"Papa pasti senang banget melihat kalian berdua akur seperti ini, Mama pun sangat bahagia,"

Adrian dan Nizam saling bersitatap sejenak.

Kemudian arah mata mereka tertuju pada dokter yang baru saja keluar dari ruangan dimana ayah mereka dirawat.

"Bagaimana kondisi suami saya Dok?"

"Alhamdulillah Bu, suami anda berhasil melewati masa kritisnya,"

"Alhamdulillahirobbil'alamin," ujar ketiganya.

"Apa kami boleh masuk ruangan Dok?" tanya Nizam.

"Tentu silahkan,"

"Terima kasih Dokter,"

Ketiganya memasuki ruangan. Adrian menatap sang ayah yang tengah terbaring lemah. Ia sangat tahu bagaimana dulu ayahnya yang begitu gagah, namun sekarang badan sang ayah semakin kurus. Ia benar-benar tidak tahu bagaimana keadaan sang ayah setelah kepergiannya.

Adrian berjalan mendekat ke arah sang ayah, ia genggam tangan sang ayah. Ketika kecil tangan itulah yang selalu menggandengnya dan sekarang telapak itu tak lagi hangat seperti dulu.

"Pa, bangun. Adrian udah ada disini disamping Papa. Maafkan Adrian yang selama ini tidak pernah menemui Papa. Adrian ingin Papa bangun,"

Adrian mengusap air matanya. Sungguh ia tak kuasa melihat keadaan ayahnya yang seperti ini.

Adrian terkejut ketika merasakan jari-jari sang ayah bergerak kecil, "Ma tangan Papa gerak Ma,"

Perlahan namun pasti mata sang ayah terbuka. Adrian, Nizam, dan sang mama langsung mengucap syukur ketika sang papa siuman.

"A--Adrian,"

"Iya Pa, ini Adrian,"

"Papa senang kamu disini Nak," ujar sang ayah dengan nada lirih dan serak.

Adrian menangis haru, ia sangat bersyukur ayahnya telah sadar. Ia tak bisa membayangkan jika dirinya tak bisa lagi bertemu dengan sang ayah, mungkin ia akan semakin menyalahkan dirinya sendiri. Namun, Allah masih menyayanginya dengan kembali mempertemukan dengan keluarganya.

Bersambung....

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

Selamat bertemu diending nanti yaa🤗🤗

With Love

missookaa😙

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro