27 >> Perlahan Kembali
Budayakan membaca notes, vote, dan comment ya😊
Sorry for any typo(s)
Selamat membaca🤗
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Nb: yang bercetak miring itu flashback (masa lalu)😄
Sudah dua hari Adrian tidak masuk kuliah. Kegiatannya selama dua hari itu hanya berdiam diri di dalam kontrakan dan menghabiskan banyak batang rokok. Bahkan kantung matanya pun semakin terlihat dan menghitam. Badannya pun mulai kurus karena pola makan yang tak teratur.
Selama dua hari itu Adrian menghilang dari hiruk pikuk kerasnya dunia. Ia masih mencoba mencerna perkataan Salwa tempo hari, ia pun juga tak menginginkan hidup seperti ini. Selamanya ia tak akan merasakan kebahagaian, melainkan hanya akan ada kekecewaan yang menggerogoti hatinya.
Adrian merasa bahwa tak ada gunanya lagi ia hidup. Seakan sudah tak ada lagi kesempatan untuk dirinya kembali karena ia sudah terlalu jauh pergi.
Adrian menatap kosong beberapa pil di depannya. Sudah lama ia ingin mengakhiri hidupnya. Namun, mungkin sepertinya Tuhan belum mengizinkannya hingga saat ini ia masih bisa menghirup udara dengan bebas. Entahlah haruskah Adrian bersyukur atau ini sebuah ujian untuknya.
Lelaki itu mengulurkan tangannya mengambil pil-pil tersebut dan menatapnya datar.
"Kalau sudah besar Adrian mau jadi apa?"
Adrian tersenyum kecil menatap sang ibu, "Aku pengen jadi seperti Papa,"
Sang ayah yang duduk di sampingnya pun turut menyahuti, "Kenapa pengen jadi kayak Papa?"
"Soalnya enak, Adrian kerjanya cuma duduk doang gak ngapa-ngapain, gak panas-panasan soalnya kerja kayak Papa tempatnya enak dingin,"
Kedua orang tua itu pun tertawa mendengar jawaban polos sang putra.
"Mama doain semoga harapan Adrian dapat terkabulkan ya,"
Adrian mengangguk dengan semangat.
"Tapi ingat ya, kalo Adrian sudah besar nanti tetap ingat Mama sama Papa ya," ucap sang ayah.
Adrian pun langsung menggeleng kuat dan memeluk keduanya.
"Nggak akan, Adrian akan selalu ingat Mama sama Papa karena Adrian sayang Mama dan Papa,"
Sekelibatan ingatan masa lalu kembali menghantui Adrian. Setetes air mata jatuh dari sudut kelopak matanya. Semua ingatan itu kembali mengingatkan kenangannya bersama kedua orang tuanya. Hatinya pun terasa sesak teringat semua hal itu. Bagaimana ia dulu yang begitu tulus menyayangi kedua orang tuanya. Namun, semua harus dinodai oleh pengkhianatan yang membuat hatinya sakit mengeras hingga sekarang.
"Adrian, Mama mohon jangan pergi Nak,"
Adrian menghempaskan tangan sang ibu kasar.
"Percuma aku disini Ma! Disini sudah seperti penjara, semua kebahagiaanku hilang karena Papa yang berkhianat,"
"Jangan seperti ini Nak, Mama mohon dengarkan dulu penjelasan kami. Semua itu tidak seperti yang kamu pikirkan,"
Wajah Adrian memerah menahan emosi, "Penjelasan apalagi Ma, semua udah jelas kalo Papa berkhianat sama Mama kenapa Mama masih membela Papa?"
Sang ibu menggeleng lemah sembari terisak, "Kamu salah Nak, Papa nggak salah. Ini semua salah paham,"
Adrian tersenyun remeh, "Aku nggak paham lagi sama jalan pikiran Mama. Jelas-jelas ini salah Ma, tapi Mama masih belain Papa,"
Adrian menatap ke arah belakang ibunya, disana ada sang ayah yang hanya diam tak berniat menghentikan dirinya. Adrian menggeram menahan emosi tatapannya tajam mengisyaratkan kebencian yang mendalam.
"Maaf Ma keputusanku sudah bulat, aku pergi,"
Adrian menulikan pendengarannya ketika sang ibu terus saja meneriakinya untuk kembali. Namun keputusannya sudah bulat. Ia pun langsung pergi meninggalkan rumah yang dulunya ia anggap surga, namun sekarang semua sudah berubah.
Adrian tak bisa lagi membendung air matanya. Ia tahu jika apa yang dilakukannya salah. Namun, egonya terlalu tinggi untuk kembali.
Ia kembali menatap beberapa pil yang ada di genggamannya. Apakah ini keputusan yang terbaik untuknya ataukah malah akan menjadi petaka untuknya di kemudian hari.
'knock...knock....'
"Adrian buka pintunya Ad, ini ane Jamal. Ad buka pintunya,"
Adrian menatap sekilas ke arah pintu tersebut tanpa berniat membukanya.
"Ad ente jangan berbuat macem-macem di dalem. Kalo ente gak mau buka ane bakalan dobrak nih pintu,"
Adrian hanya diam. Raganya memang ada, namun nyawanya seakan pergi entah kemana. Dirinya sudah merasa lelah dengan permainan semesta yang tak ada habisnya. Ia lelah, ia kalah.
"Adrian ini aku Salwa, aku mohon buka pintunya Ad. Aku pengen ngomong sama kamu Ad, aku mohon dengerin aku,"
Adrian mendengar suara Salwa yang juga ada di luar kontrakannya. Ia merasa bersalah dengan gadis itu. Gadis itu sudah begitu peduli padanya, namun dirinya dengan tak tau diri mengabaikannya.
"Aku mohon Ad buka pintunya jangan kayak gini. Jangan masuk dalam perangkap setan yang menjerumuskan kamu ke dalam lubang kenistaan. Masih banyak yang sayang sama kamu Ad aku mohon buka pintunya,"
Suara ketukan pintu itu semakin keras. Namun, itu bagaikan suara nada sumbang bagi Adrian. Semua seakan sudah tamat, tak ada lagi kesempatannya untuk hidup.
"Adrian aku mohon, hiks...hiks... bukannya kamu bilang kalo kita bakalan bahagia bareng jangan, kamu juga janji nggak akan ninggalin aku. Aku mohon Ad tepati janji kamu,"
Air mata Adrian tak hentinya mengucur, kenapa semua begitu rumit kenapa hidupnya seperti ini. Apa ini memang jalan yang sudah ditakdirkan Tuhan untuknya. Ia hanya manusia biasa, ia pun memiliki keterbatasan tak semua ia bisa lalui. Ia juga ingin merasakan bahagia seperti yang lain.
'Brak...'
Pintu kontrakan terbuka lebar menampilkan Jamal dan Salwa. Keduanya pun langsung berhambur mendekati Adrian.
"Astaghfirullahal'adzim, ente apa-apaan sih Ad,"
Jamal langsung mengambil pil di tangan Adrian kemudian membuangnya. Sedangkan Salwa terus menangis melihat keadaan Adrian tak ayalnya mayat hidup. Mata lelaki itu terasa kosong dan basah sehabis menangis.
"Adrian kamu masih masih bisa dengar kita berdua kan?" tanya Salwa hati-hati. Ia begitu takut Adrian telah melakukan hal yang buruk pada dirinya sendiri.
Adrian menatap Jamal dan Salwa bergantian. Ia menatap sendu keduanya, lalu tetesan air mata kembali membasahi pipinya. Adrian menunduk, air matanya deras jatuh. Salwa yang melihat itu pun turut menangis lagi bahkan Jamal pun ikut meneteskan air matanya.
"Maaf, maafkan aku," ujar Adrian begitu lirih.
Perlahan Adrian kembali mendongak menatap Jamal dan Salwa, "Bantu aku, bantu aku kembali," ujarnya sambil terisak.
Salwa menatap Jamal sejenak keduanya pun tersenyum. Lalu kembali menatap Adrian.
Salwa mengangguk kuat, "Tentu saja, tentu saja kami akan membantumu,"
***
Setelah keadaan tenang, Adrian dan Jamal tengah duduk santai di balkon kamar Adrian sembari menikmati hembusan angin yang melewati mereka. Sedangkan, Salwa karena terlalu banyak menangis ia sekarang tengah tertidur.
"Gue gak bakalan ngerti apa yang terjadi kalo kalian nggak dateng kesini," ungkap Adrian.
Jamal melirik Adrian sekilas kemudian kembali menatap ke depan.
"Itu semua karena kehendak Allah, Allah masih sayang sama ente. Makanya jangan pernah sia-siain hidup. Di luar sana masih banyak orang yang berjuang buat bisa hidup lah ente malah pengen mati,"
Adrian tertawa kecil mendengar ucapan Jamal, "Frontal banget sih lo kalo ngomong," kata Adrian.
"Abisnya ane kesel udah dua hari ente dihubungi nggak bisa. Ane kira ada apa-apa kan apalagi ane gak tega liat wajah Neng Salwa yang ngerasa bersalah banget karena ente,"
Adrian terdiam. Ia memang keterlaluan pada Salwa. Tempo hari ia meninggalkan gadis itu begitu saja dan kemudian menghilang tanpa kabar mungkin itu yang membuatnya khawatir.
"Ente jangan macem-macem lagi kayak tadi. Sumpah serem ane bahkan kayak gak ngenalin ente tadi," ujar Jamal. Adrian hanya tersenyum kecil mendengarnya.
'Allahu Akbar... Allahu Akbar...'
"Eh udah dzuhur, sholat dulu yuk," ajak Jamal. Adrian masih diam, namun kemudian ia mengangguk.
"Bentar gue siap-siap dulu,"
***
Salwa mengerjapkan matanya perlahan. Ia pun menatap ke sekelilingnya, tak butuh waktu lama ia pun mulai tersadar.
"Astaghfirullah aku ketiduran," ucapnya.
Kemudian ia pun mulsi bangkit dari tidurnya dan mendudukkan dirinya sejenak. Setelah itu ia keluar dari kamar Adrian mencari keberadaan Adrian dan Jamal. Suasana kontrakan terasa sepi.
Alis Salwa tertaut, "Kemana Adrian sama Jamal?" gumamnya.
Ia terus menyusuri kontrakan. Namun, nihil keduanya memang tidak ada di sana. Lantas kemana mereka. Perasaan cemas kembali menggerogoti hati Salwa. Ia takut terjadi apa-apa pada Adrian. Ketika hendak ingin menghubungi Adrian, ia melihat ponsel lelaki itu tergeletak di meja ruang tamu begitu pula dengan ponsel Jamal.
"Ya Allah kemana mereka?"
Salwa terus berjalan mondar-mandir sembari menggigiti kukunya, sudah kebiasaannya dari kecil jika cemas ia akan melakukan hal itu. Kenapa ia begitu takut akan terjadi apa-apa pada Adrian. Pasalnya lelaki itu baru saja
'cklek'
Suara pintu terbuka menampilkan Adrian dan Jamal. Salwa pun beranjak mendekati mereka dan tanpa sadar ia langsung memeluk Adrian. Ia begitu khawatir pada lelaki itu, sedari tadi pikirannya sudah macam-macam apabila terjadi sesuatu pada lelaki itu.
"Kamu kemana aja sih, aku khawatir," ujar Salwa.
Sedangkan Adrian hanya melongo menerima reaksi Salwa, begitu pula dengan Jamal.
"Ehem... ehem..." gumam Jamal.
Salwa pun langsung menyadari apa yang dilakukannya. Otomatis ia langsung bergerak mundur dan melepas pelukannya pada Adrian. Gadis itu menunduk, merutuki perbuatan bodohnya.
"Kita baru aja sholat dzuhur di masjid iya kan Mal," ujar Adrian mencoba menutupi kegugupannya.
Jamal mengangguk, "Neng Salwa gak perlu khawatir, Adrian udah jinak jinak merpati kok," ucapnya sambil menaik turunkan alis. Adrian pun memutar bola matanya.
"Oh maaf, abisnya disini tadi sepi banget jadi aku kira ada apa-apa,"
"Maaf juga kita gak bangunin lo tadi," ujar Adrian. Kemudian mereka bertiga terdiam kenapa tiba-tiba suasana menjadi canggung. Hal itu membuat Jamal menjadi risih.
"Neng Salwa udah sholat belum?" tanyanya pada Salwa.
Salwa menepuk keningnya pelan, "Oh ya," lalu gadis itu berlari kecil meninggalkan dua lelaki itu. Adrian yang melihat itu pun tersenyum kecil dan hal itu tak luput dari perhatian Jamal.
"Ehem merah tuh mukanya," goda Jamal. Adrian pun langsung melirik tajam ke arah Jamal, sedangkan Jamal hanya nyengir tidak jelas.
Bersambung....
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Terima kasih sudah membaca jangan lupa votmen dan krisannya ya😄
With Love
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro