26 >> Ikhlaskan
Budayakan membaca notes, vote, dan comment ya😊
Sorry for any typo(s)
Selamat membaca🤗
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Setelah menyelesaikan mata kuliah pertamanya Salwa langsung menuju ke perpustakaan untuk mencari buku referensi tugas yang akan dikerjakannya. Di tengah perjalanan ia tak sengaja berpapasan dengan Adrian. Gadis itu tersenyum dan bersiap menyapa lelaki itu. Namun, apa yang terjadi. Adrian malah melengos pergi begitu saja tanpa menyapa bahkan menoleh pun tidak.
Kening Salwa mengernyit, "Adrian," panggilnya.
Lelaki itu menghentikan langkahnya dan menoleh sekilas ke arah Salwa. Raut muka Adrian pun langsung berubah. Tak ada senyuman hanya ada tatapan tajam dan ekspresi dinginnya. Hal itu membuat Salwa bingung kenapa Adrian menunjukkan ekspresi seperti itu padanya.
Salwa pun berjalan mendekat ke arah Adrian, "Kamu kenapa Ad?"
"Kenapa apanya?" tanya Adrian dengan nada datar.
Alis Salwa tertaut, "Nggak biasanya kamu kayak gini. Biasanya kita saling sapa, tapi hari ini beda kamu kayak ngehindarin aku,"
"Perasaan lo aja kali,"
Pernyataan Adrian secara tidak langsung membuat nyeri ulu hatinya. Ia sudah bisa menebak jika Adrian memang sedang menghindarinya terbukti dari nada bicaranya yang seolah enggan pertanyaannya.
"Aku ada salah sama kamu?" tanya Salwa.
Adrian memutar bola matanya malas, "Lo nya aja yang terlalu baper, gue sama sekali nggak ada masalah sama lo," ujar Adrian dingin.
Salwa menunduk, sebenarnya ia tengah menahan air matanya untuk tidak menetes. Baru kali ini Adrian bersikap begitu dingin padanya. Ia pun sudah tahu bagaimana sikap Adrian selama ini, namun kali ini lelaki itu benar-benar berbeda.
"Aku cuma ngerasa kamu beda aja, makanya aku tanya kiranya aja aku ada salah sama kamu," ungkap Salwa lirih.
"Gue emang beda, gue udah nggak kayak dulu lagi. Kalo lo berharap gue jadi kayak yang dulu percuma. Karena Adrian yang dulu udah mati nggak akan ada lagi Adrian yang dulu, yang ada cuma Adrian yang sekarang lo liat,"
Salwa menatap Adrian tepat ke arah matanya. Ia melihat sebuah tatapan kekecewaan, penyesalan, kesendirian, keputus asaan dalam mata Adrian. Ia sangat tahu jika dalam diri Adrian ia tak ingin seperti ini, ia tahu bahwa Adrian hanya terjebak dalam permainan semesta yang tak henti mempermainkannya.
Salwa menggeleng, "Nggak, kamu tetep Adrian yang dulu. Kamu nggak pernah berubah. Adrian yang dulu dan sekarang tetap sama,"
Adrian pun tertawa kecil mendengar ucapan Salwa.
"Lo tau apa tentang gue Sal? Lo nggak tau gimana gue sebenernya,"
Tanpa Salwa sadari air matanya pun menetes, ia merasa gagal menjadi sahabat bagi Adrian. Ia menganggap dirinya sahabat yang baik. Namun, ia tak tahu bagaimana yang dirasakan lelaki itu.
"Waktu terus berjalan Sal, nggak semua yang kita harapin akan berjalan baik. Gue udah pernah berharap dan pada akhirnya gue kecewa akan itu. Gue juga pengen bisa kayak dulu, Adrian yang ceria, Adrian yang bisa dibanggakan. Tapi sekarang beda ceritanya, semua yang gue perjuangin terasa sia-sia bahkan orang yang gue sayangi pun nggak akan peduli. Lantas kenapa juga gue harus kembali menjadi Adrian yang dulu kalo gue akan tetep kayak gini?"
Salwa menggeleng kuat, ia tak ingin Adrian semakin jauh berubah. Ia ingin menyadarkan lelaki itu bahwa hidupnya berharga dan tak ada kata sia-sia.
"Kamu salah Ad, orang yang kamu sayangi tetep sayang sama kamu. Tinggal hati kamu mau atau tidak mengikhlaskan semua yang telah lalu. Kamu terlalu terpaku pada sesuatu yang bahkan itu sudah berlalu. Jangan mendzolimi dirimu sendiri Ad," jelas Salwa sembari terisak.
Adrian terdiam.
"Berdamailah dengan masa lalu. Jika kamu tidak mau berdamai, maka hanya akan ada kebencian dan kekecewaan yang kamu rasakan Ad," imbuh gadis itu.
Adrian hanya diam dan tak menjawab. Pikirannya berkecamuk dengan kata-kata Salwa yang baru saja terlontar. Apakah ini memang teguran untuknya, apakah memang ia sudah terlalu jauh berubah.
Tanpa menjawab Adrian pun langsung meninggalkan Salwa. Gadis itu terpaku melihat kepergian Adrian perasaannya menerka-nerka apakah yang diucapkannya ada yang salah. Sehingga Adrian pergi begitu saja.
Salwa menatap sendu langkah Adrian yang semakin menjauh darinya. Ia hanya bisa berdoa yang terbaik untuk sahabatnya sekaligus seseorang yang pernah ada di dalam hatinya itu.
***
Seperti hari-hari sebelumnya Gabriella bekerja seperti biasa. Sebenarnya Salwa sudah menyuruhnya untuk tidak masuk bekerja karena masalah kemarin. Namun, ia tetap saja bersikukuh pergi bekerja.
Seperti saat ini Gabriella tengah membereskan meja-meja cafe bersama Dea.
"Eh Bell, aku tinggal sholat dulu ya," ujar Dea.
Gabriella mengangguk sekilas kemudian kembali melanjutkan pekerjaannya.
'Kling'
Seperti biasa suara lonceng cafe berbunyi menandakan ada pelanggan datang.
Gabriella pun menoleh melihat siapa yang datang. Ia cukup terkejut mengetahui siapa yang baru saja masuk ke dalam cafe. Dia adalah seseorang yang sudah menolongnya kemarin. Nizam.
Lelaki itu tersenyum saat melihat Gabriella. Degupan jantung gadis itu bertalun seirama ketika Nizam berjalan mendekatinya.
"Gimana keadaan kamu?" tanya Nizam.
Gabriella kesusahan meneguk ludahnya sendiri. Kenapa tiba-tiba ia gugup.
Gabriella pun hanya bisa mengangguk kaku, "Ba--baik,"
Nizam tersenyum, "Alhamdulillah kalo gitu,"
Gabriella pun hanya bisa ikut tersenyum maklum.
"Oh ya kamu lagi senggang nggak?"
Alis Gabriella tertaut, "Memangnya ada apa Mas?" jawabnya.
"Bisa kita bicara sebentar, ada yang pengen aku omongin,"
Alis Gabriella tertaut, ia penasaran apa yang akan dibicarakan oleh Nizam.
"Mungkin bisa Mas karena sekarang masih waktu istirahat,"
Keduanya pun akhirnya memilih duduk di salah satu meja cafe.
"Mas Nizam mau ngomong apa?" ujar Gabriella membuka pembicaraan.
"Sebenernya ini masalah yang kemarin,"
Gabriella langsung terdiam. Nizam yang melihat raut muka Gabriella pun merasa tidak enak karenanya gadis itu teringat kembali kejadian kemarin.
"Kalo kamu nggak siap untuk bahas yang kemarin. Aku juga nggak akan ngelanjutin,"
Gabriella lantas menggeleng menandakan bahwa ia akan mendengarkan apa yang ingin dikatakan Nizam.
"Aku nggak papa kok Mas, Mas Nizam lanjutin aja,"
Nizam menghembuskan napas pelan ia pun tengah menyiapkan kata-kata untuk mengungkapkan apa yang akan ia katakan pada Gabriella.
"Pria kemarin, ia sudah ditahan oleh kepolisian,"
Ucapan Nizam membuat Gabriella terpaku. Entahlah apakah ini sebuah kabar baik atau kabar buruk baginya.
"Dia adalah buronan karena menjadi pengedar narkoba,"
Gabriella hanya diam. Ia tak menyangka jika Sandy telah menjadi buronan sebelumnya.
Gabriella menghembuskan napas besar. Ia merasa tak ada yang harus disayangkan. Ia sudah begitu kecewa pada Sandy. Ketika ia mendengar kabar tentang penahanan ayah tirinya itu pada awalnya ia terkejut, namun selanjutnya ia merasa biasa saja.
"Aku tak peduli,"
Nizam menatap Gabriella. Gadis itu hanya menatap kosong ke depan sembari memainkan tangannya.
"Biarkan saja dia, itu memang pantas ia dapatkan atas apa yang sudah ia lakukan selama ini," ucap gadis itu.
Nizam tak tahu apa yang sudah dialami Gabriella hingga ia rasa gadis itu menahan beban yang berat.
"Maaf sebelumnya, kemarin orang itu mengatakan jika dia adalah ayahmu apa itu benar?" tanya Nizam hati-hati agar Gabriella tak merasa tersinggung.
Gadis itu menatap Nizam, "Dia ayah tiriku," jawab Gabriella.
"Jika dia ayah tirimu kenapa dia berlaku seperti itu padamu?"
Gabriella langsung menunduk. Nizam jadi merasa bersalah karena menanyakan hal sensitif seperti itu.
"Maaf," ujar Nizam.
Gabriella menggeleng pelan, "Mas Nizam gak perlu minta maaf,"
Hembusan napas keluar dari mulutnya, "Pada awalnya keluargaku baik-baik saja. Namun, semenjak Mama meninggal semua berubah. Papa yang dulu begitu menyayngiku berubah. Ia jadi sering marah-marah bahkan tidak jarang pula ia memukuliku--"
Mendengar penjelasan Gabriella, Nizam merasa ngeri pantas saja jika gadis itu begitu ketakutan melihat ayahnya sendiri.
"Bahkan puncaknya, ia tega menjualku,"
Alis Nizam tertaut. Ia tak bisa menyembunyikan raut terkejutnya. Bagaimana bisa seorang ayah tega menjual anaknya. Meskipun itu anak tiri, tapi ia tetaplah anaknya.
Nizam menatap sendu ke arah Gabriella. Gadis itu hanya berekspresi datar. Mungkin ia sudah merasa begitu kecewa dengan ayahnya sendiri.
"Ketika Mas Nizam bilang dia ditahan aku merasa itu memang pantas ia dapatkan,"
"Dan aku juga ingin berterima kasih sama Mas Nizam karena sudah menolongku, aku tak tahu jika nggak ada Mas mungkin aku tidak akan berada disini lagi," imbuhnya.
Nizam tersenyum, "Syukurlah, kamu aman sekarang. Pria itu tidak akan mengusik kehidupanmu lagi. Jika ia mengusikmu lagi, jangan segan untuk meminta pertolonganku,"
Gabriella menatap Nizam lekat. Ia benar-benar tak bisa menyembunyikan kekagumannya pada lelaki itu. Ia sungguh harus banyak berterima kasih padanya.
"Terima kasih," lirih Gabriella. Nizam mengangguk kecil.
"Aku hanya tidak ingin mengulangi kesalahanku untuk yang kedua kalinya," batin Nizam.
Bersambung....
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Alhamdulillah bisa up hari rabu akhirnya😁
Chapter 26 sudah mengudaraa
Gimana nih coblosannya hari ini? Semoga nanti siapapun presidennya bisa amanah dengan tugasnya dan juga dapat merealisasikan seluruh janjinya untuk kesejahteraan rakyat Indonesia😊
Dan juga selamat ulang tahun untuk SWP yang pertama semoga ke depannya dapat menghasilkan karya yang luar biasa nantinya😙😙
Udah kali ya jangan lupa votmen dan krisannya ya😊
With Love
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro