Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

23 >> Takut

Budayakan membaca note, votes, dan comment😊

Sorry for any typo(s)

Selamat membaca🤗

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

--------------------------------------------

"Ketika kamu dalam kesulitan, ingatlah bahwa Allah akan selalu bersamamu dan akan meringankan segala beban serta mempermudah jalanmu."

--------------------------------------------

Gabriella dan Salwa tengah duduk berhadapan menikmati makan malam yang ditemani dengan suara dentingan sendok dan garpu yang beradu dengan piring. Keduanya menikmati makan malam dengan diselimuti keheningan.

Gabriella melirik Salwa sejenak, dalam benaknya ia ingin sekali menanyakan perihal tadi siang kepada Salwa, gadis itu pasti mengetahui apa sebenarnya hubungan antara Adrian dan Nizam.

"Mbak Sal," ucap Gabriella memecah keheningan.

"Ada apa?" jawab Salwa setelah menenggak air mineralnya.

"Sebenarnya ada yang pingin aku tanyain,"

"Ya monggo atuh, ngomong aja gak usah pake salam pembukaan dulu," ujar Salwa dengan nada gurau.

Gabriella tak bisa menyembunyikan tawanya, rupanya Salwa memiliki selera humor yang 'receh' juga.

"Ini masalah tadi siang," kata Gabriella.

Alis Salwa tertaut, "Masalah yang mana? Perasaan nggak ada masalah apapun,"

"Ini tentang Mas Adrian sama Mas Nizam,"

Salwa terdiam bagaimana Gabriella bisa tahu masalah antara Adrian dan Nizam.

"Sebenarnya tadi nggak sengaja aku mencuri dengar pembicaraan kalian," lanjut Gabriella.

Sakwa menghembuskan napas, "Kenapa memangnya?" tanyanya.

"Apa benar mereka berdua kakak beradik?"

Sebenarnya Salwa enggan menjawab pertanyaan Gabriella karena ini menyangkut privasi Adrian dan Nizam.

Salwa mengangguk sekilas.

"Aku nggak pernah nyangka jika keduanya bersaudara," ungkap Gabriella.

Salwa tersenyum kecil.

"Aku nggak tau apa ini cuma perasaanku aja apa gimana. Tapi mereka berdua seperti dua orang yang saling menghindar," terang Gabriella.

Mendengar ucapan Gabriella, hati Salwa seakan tercubit. Memang benar jika keduanya saling menghindar bahkan rasanya tak ingin mengenal lagi.

"Sebenarnya mereka bukan saudara kandung," jelas Salwa.

Setelah Salwa mengatakan itu timbul banyak pertanyaan dalam benak Gabriella.

"Hubungan mereka terlalu rumit," imbuhnya.

Alis Gabriella tertaut mungkin sudah cukup ia bertanya. Lagipula ini privasi orang lain, ia tak ingin bertanya lebih jauh.

"Semoga saja hubungan mereka berdua membaik," ujar Gabriella.

"Kamu benar, aku pun juga mengharapkan hal yang sama,"

Lalu keduanya kembali melanjutkan makan malamnya. Setelahnya mereka membereskan dan membersihkan peralatan makan mereka.

Baru saja Salwa membuka lemari es ia langsung memekik, "Astaghfirullah,"

Gabriella yang mendengar pekikan itu pun langsung mendekat ke arah Salwa.

"Ada apa Mbak?" tanyanya khawatir.

Salwa menepuk keningnya pelan, "Aku lupa kalo persediaan makanan kita udah mulai menipis, ini waktunya beli,"

Gabriella menggeleng pelan, ia kira apa rupanya hanya masalah persediaan makanan.

"Aku kira apa Mbak. Ya udah biar aku aja yang beli persediaannya Mbak,"

"Beneran nggak papa kamu yang beli,"

Gabriella mengangguk, "Mbak Salwa catet aja yang perlu dibeli apa aja nanti biar aku yang beli ke minimarket,"

"Oke kalo gitu, bentar ya,"

Tak berselang lama, Salwa menghampiri Gabriella dengan membawa sebuah kertas kecil dan beberapa lembar uang.

"Ini catetan sama uangnya. Nanti kalo kamu juga mau beli yang lain beli aja nggak papa," ujar Salwa sembari memberikan kertas dan uang tersebut pada Gabriella.

"Ya udah kalo gitu aku berangkat dulu Mbak,"

"Hati-hati,"

Gabriella menyatukan jari jempol dan telunjuknya membentuk simbol 'ok'.

***

Selepas dari minimarket Gabriella menenteng dua tas kresek besar rupanya pesanan yang ditulis Salwa cukup banyak. Sepanjang perjalanan pulang ia bersenandung kecil. Gabriella mempercepat langkahnya sebab jalanan yang ia lewati terbilang sepi padahal ini baru pukul tujuh malam.

Dari arah berlawanan ada sebuah mobil yang tiba-tiba berhenti di depannya. Gabriella mencoba menutupi matanya sebab sorot lampu mobil yang langsung mengarah ke dirinya.

Ia cukup was-was karena jalanan begitu sepi, "Udah nggak papa mungkin orang sini," gumam Gabriella meyakinkan diri.

Lalu gadis itu melanjutkan langkahnya. Namun, baru beberapa langkah ia kembali berhenti. Matanya membelalak melihat seseorang yang baru saja keluar dari mobil itu.

"Papa," gumamnya lirih. Tubuhnya sontak gemetar. Ia terkejut bukan main melihat Sandy ada di depan matanya sekarang.

Gabriella langsung mencengkram kuat kedua tas kresek yang ia genggamnya. Napasnya memburu. Perlahan ia mulai berjalan mundur.

Sungguh ia tak percaya jika ia bertemu dengan Sandy disini. Yang ada dalam benak Gabriella adalah ia harus segera pergi sekarang, jangan sampai Sandy berhasil membawanya dan mengembalikannya ke club dulu.

Sekilas gadis itu melihat Sandy menyeringai kecil. Tanpa pikir panjang ia langsung berbalik dan berlari sekuat tenaga mencoba kabur dari Sandy.

"Hei tunggu, berhenti lo!" teriak Sandy. Gabriella sama sekali tak mengindahkan teriakan Sandy yang ada di benaknya sekarang ia harus lari sejauh mungkin.

Namun, kabar buruk menghadangnya. Di depan sana ada dua jalan sebelah kanan dan kiri.

"Aku harus kemana ini," gumamnya.

"Hei berhenti!" Gabriella melirik ke belakang sekilas, disana Sandy sudah semakin dekat dengannya.

Tanpa banyak pikir lagi Gabriella memilih jalan sebelah kanan. Ia hanya bisa berharap ini keputusan yang tepat, ia benar-benar merasa takut jika Sandy berhasil menangkapnya.

Napas Gabriella memburu, ia terus melajukan kakinya tanpa henti. Namun, ada kabar buruk lagi yang meghadangnya. Ia melihat tembok tinggi di depannya, ini jalan buntu. Ia tak bisa lari lagi.

Gabriella berbalik, di depannya sudah ada Sandy yang juga menghentikan larinya dan mulai melangkah perlahan mendekati Gabriella. Gadis itu melepaskan tas kresek dari genggamannya, ia pun mulai bergerak mundur.

Sandy menyeringai kecil, "Mau pergi ke mana lagi lo hah?!"

Air mata Gabriella menetes begitu derasnya, badannya gemetar semua, "Ya Tuhan tolong aku," lirihnya.

Sandy berkacak pinggang dan tertawa begitu kerasnya, "Percuma lo minta tolong nggak akan ada yang bisa nolongin sekalipun lo bawa-bawa nama Tuhan,"

Gabriella terus saja melangkah mundur hingga ia membentur dinding di belakangnya. Ia sudah tak bisa kabur lagi. Ia terus merapalkan doa, agar ia bisa terbebas dari Sandy.

"Gue bener-bener kecewa sama lo. Berani-beraninya lo kabur dari club itu, asal lo tau gue rugi besar karena lo. Gue udah ngerawat lo dari kecil, tapi ini balesan lo sama Papa lo sendiri?"

Gabriella menggeleng keras, "Apa ada Papa yang ngejual anaknya sendiri?" tanya Gabriella sambil terisak.

Sandy tersenyum kecil, "Lo tau kan hidup kita udah susah dan gue pengen hidup lo terjamin makanya gue bawa lo ke tempat itu. Disana lo bakalan dapet duit banyak, kan enak,"

Gabriella benar-benar tak habis pikir dengan ucapan papanya. Mana ada hidup bahagia di tempat seperti itu.

"Gue kasih pilihan ke lo, lo ikut gue dengan cara baik-baik atau kalo nggak gue bakalan berlaku lebih kasar sama lo,"

Gabriella menggeleng kuat, "Aku nggak mau dua-duanya!" teriaknya lantang.

Sandy mengeraskan tawanya, "Gabriella... Gabriella lo tuh anak yang gak tau diri ya, gue itu Papa lo seharusnya lo turutin apa kata gue!"

"Kamu bukan Papa aku!" ucap Gabriella keras.

Sandy menatap tajam Gabriella, kemudian ia melangkah mendekati gadis itu. Dicengkramnya dagu gadis itu.

"Jadi lo udah tau. Bagus kalo gitu, gue jadi gak perlu jelasin lagi yang sebenarnya," ucap Sandy.

Isak tangis Gabriella semakin mengeras.

"Lo tau udah dari dulu gue pengen nyingkirin lo, tapi karena gue masih butuh lo buat meraih hati Martha jadi gue biarin lo hidup. Tapi sekarang udah nggak ada lagi penghalang buat gue nyingkirin lo," bisik Sandy tepat di telinga kiri Gabriella.

Setelah mendengar itu, Gabriella terpaku. Ia tak menyangka jika Sandy begitu jahat, ia benar-benar tak percaya itu. Seseorang yang ia anggap baik nyatanya begitu licik.

Sandy menghempaskan cengkramannya dari dagu Gabriella dan beralih mencengkram lengan gadis itu.

"Gue gak punya waktu lama gue harus bawa lo ke Bos Danu dan gue bakalan dapet duit, hahaha," kata Sandy diakhiri dengan tawa menyeramkan.

Gabriella berusaha sekuat tenaga melepaskan cengkraman tangan Sandy, "Tolong... tolong...." teriaknya. Karena Gabriella terus memberontak kemudian Sandy membekap mulut gadis itu dengan tangannya.

"Tenang aja, gue bakalan bawa lo ke tempat yang sesuai sama diri lo. Dasar jalang!"

Kelopak mata Gabriella tak henti-hentinya mengeluarkan air mata, rasa sakit, takut, kecewa rasanya semua melebur menjadi satu. Meskipun mustahil, tapi ia tetap berdoa semoga Tuhan menolongnya entah dengan bentuk apapun itu Gabriella tetap berharap ada yang menolongnya dari Sandy.

"HEI BERHENTI!"

Gabriella mendongak ketika mendengar seseorang teriak. Di depan sana seperti ada seorang lelaki yang kini berjalan mendekati mereka berdua. Mata Gabriella memicing mencoba melihat siapa seseorang itu. Dia begitu berharap seseorang itu akan menolongnya. Ketika dia semakin mendekat Gabriella seakan tak asing dengannya.

Mata gadis itu membelalak.

"Mas Nizam?" gumamnya pelan.

Bersambung....

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

Mas Nizam datang di waktu yang tepat😢
Alhamdulillah bisa up yang kedua di hari ini.
Gimana nih gimana nih apa yang terjadi selanjutnya???

Yukk jangan lupa votmen dan krisannya dulu😄

With Love

missookaa😙

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro