18 >> Kebenaran
Budayakan membaca notes, vote, dan comment😊
Sorry for any typo(s)
Selamat membaca🤗
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Rintik hujan mengalir membasahi depan pintu kaca cafe yang masih ada gantungan kata 'open' itu, menandakan bahwa cafe tersebut masih buka walaupun hujan deras tengah mengguyur ibukota sore ini.
Gadis dengan celemek yang masih menempel di tubuhnya itu menatap sendu pintu cafe. Seakan menantikan seseorang untuk datang, namun seorang yang ditunggu pun tak kunjung datang.
Gadis itu adalah Gabriella. Fokusnya masih terkunci pada satu titik yaitu menatap air hujan yang mengalir di pintu cafe. Seakan dunianya beralih pada rintikan hujan itu.
"Bell,"
Gadis itu berjingkat kaget saat seseorang menepuk bahunya.
"Ya ampun Dea, kamu ngangetin aja deh," ucapnya sembari mengelus dadanya pelan.
"Lah abisnya ku udah manggil kamu beberapa kali, tapi nggak ada respon,"
"Oh ya?"
Dea menggeleng pelan, sedangkan Gabriella hanya menggaruk tengkuknya yang dirasa tak gatal.
"Ehm maaf, aku gak memperhatikan tadi. Emangnya kamu mau ngomong apa?"
"Bukan apa-apa cuma pengen ngajak kamu ngobrol aja. Emangnya apa sih yang lagi kamu pikirin?"
Gabriella pun juga tidak tahu apa yang sedang ia pikirkan. Ia hanya merasa ada sesuatu hal yang tiba-tiba mengalihkan kerja pikirnya.
Gadis itu mengendikkan bahu, "Aku juga nggak tau,"
Alis Dea tertaut merasa tak puas dengan jawaban yang baru saja terlontar dari bibir Gabriella.
"Lah kok bisa gitu, aku perhatiin ya, beberapa hari ini kamu juga sering banget melamun loh Bell. Ada masalah apa sih sebenernya? Cerita dong, siapa tau aku bisa bantu kamu,"
Ia tak yakin apa yang membuatnya kepikiran. Namun, ada sesuatu yang membuatnya tidak tenang beberapa hari ini.
Dia.
Laki-laki pemilik senyuman menawan itulah yang membuatnya seperti ini.
Gabriella pun juga bingung apa yang sudah terjadi padanya. Sejak pertemuan pertama kalinya dengan lelaki itu, dentuman suara jantungnya bertalun seirama dan senada. Padahal baru beberapa kali saja ia datang. Namun, sudah membuat hati Gabriella cenat-cenut.
Setiap kali lelaki itu datang, Gabriella akan selalu memperhatikannya. Bahkan ia pun hapal kapan lelaki itu akan datang. Pesanannya pun juga ia hapal yakni Moccachinno dengan cheseecake.
Tak pernah berubah.
Dan satu hal lagi yang ia ketahui tentang lelaki itu sekaligus membuatnya merasa kagum padanya. Lelaki itu selalu membawa Al-Qur'an kecil dan membacanya setiap kali berada di cafe itu.
Pernah sekali saat ia mengantar pesanan, lelaki itu sedang fokus membaca Al-Qur'an. Suaranya begitu merdu saat melantunkan ayat-ayat suci itu. Meskipun, Gabriella tak paham apa yang dibaca, tapi hal itu membuat hatinya berdesir.
Namun, sampai saat ini ada satu hal yang belum diketahui Gabriella tentang lelaki itu. Yaitu namanya.
Iya. Namanya.
Gabriella tak berani untuk menanyakan nama lelaki itu. Pengecut memang. Namun, Gabriella juga tidak berharap besar, ia masih banyak kekurangan bahkan terlalu jauh dari lelaki itu.
"Ah..." keluh Gabriella sambil menepuk kepalanya. Dea yang masih ada di sampingnya pun menatapnya heran.
"Kamu kenapa Bell, kok tiba-tiba mukul kepala sendiri?"
"Aku bingung De,"
"Bingung kenapa?"
"Nggak tau, pokoknya bingung aja,"
"Lah kok gitu, aneh deh kamu,"
"Oi berisik aja dua orang nih," ujar Agung dari celah yang menghubungkan dapur dan tempat kasir.
"Apa sih ganggu aja, dasar gemblung," ucap Dea.
"Masih mending gue, daripada lo cuma tulang ama kulit doang. Dasar krempeng,"
"Eh kurang ajar lo ya,"
Kemudian Dea meninggalkan Gabriella dan mengejar Agung.
Sedangkan Gabriella menggeleng pelan melihat keduanya. Selalu saja bertengkar rasanya pertengkaran mereka adalah suatu kebutuhan untuk mereka.
Gabriella menghela napas pelan ia mencoba menepis semua pikiran yang ia rasa tak penting. Ia kembali memfokuskan diri tentang pekerjaannya. Untuk saat ini bukan itu yang penting untuk dipikirkan, tapi yang ia harus mementingkan apa yang harus ia makan sore nanti.
"Aku mikir apaan sih," gumam gadis itu pelan.
'Kling'
Dengan segera Gabriella mengalihkan atensinya. Melihat siapa yang baru saja memasuki cafe. Namun, helaan napas kecewa keluar dari mulutnya. Ternyata yang datang adalah Salwa padahal ia mengira seseorang itu yang datang. Ternyata bukan.
"Bella..."
Gabriella menyunggingkan senyuman ke arah Salwa yang juga tersenyum padanya.
"Mbak kenapa kok bahagia banget kelihatannya,"
Salwa pun semakin melebarkan senyumannya, "Aku punya kejutan buat kamu,"
Kening Gabriella mengerut, "Kejutan, kejutan apa?" tanyanya.
"Tunggu di sini," lalu Salwa pun berjalan keluar cafe.
Hal itu membuat benak Gabriella bertanya-tanya sebenarnya apa yang akan ditunjukkan Salwa padanya. Tak berselang lama Salwa pun kembali memasuki cafe dan diikuti oleh seseorang dari belakang.
Gabriella mencoba mengenali siapa yang berada di belakang Salwa. Ketika seseorang itu semakin mendekat Gabriella pun melebarkan matanya.
"Tante Mona?" gumamnya.
Segera Gabriella menghampiri keduanya. Dan langsung memeluk Mona dengan erat. Mona pun membalas pelukan Gabriella, ia mengelus lembut pundak gadis itu. Tanpa sadar air matanya menetes. Ia sangat bersyukur bisa kembali bertemu dengan Mona.
***
Gabriella dan Mona sekarang tengah duduk di salah satu meja dengan ditemani kepulan asap yang keluar dari cangkir berisi kopi di depannya.
Mona mengangkat cangkirnya dan menyesap isinya pelan, "Bagaimana kabarmu?" tanyanya pada Gabriella.
"Aku baik, Tante sendiri gimana?"
"Setidaknya aku masih bisa bernapas sekarang,"
Alis Gabriella tertaut, "Tante nggak papa kan, apa karena aku Tante jadi kayak gini?"
Mona menggeleng pelan, lalu memegang kedua tangan Gabriella.
"Pekerjaan Tante memang membahayakan, bahkan setiap hari Tante pun merasa tidak aman,"
Gabriella merasa tidak tega dengan apa yang dialami oleh Mona. Mengapa wanita itu memilih pekerjaan yang berbahaya untuk dirinya sendiri.
"Kenapa Tante nggak nyoba nyari pekerjaan lain?"
Mona menggeleng sembari menyesap kopinya, "Tidak semudah itu, siapa yang akan menerima Tante yang bahkan SMA saja tidak lulus,"
Gabriella mengelus cangkir yang berisi teh di depannya. Ia baru tahu jika kehidupan Mona cukup sulit dan berat.
"Pekerjaan ini yang telah menghidupi Tanta selama 25 tahun,"
"Maka dari itu, Tante nggak bisa ngelepas pekerjaan ini begitu saja," lanjutnya.
Gabriella pun terdiam, ia tak bisa menjawab. Jika memang itu pilihan Mona maka ia tak bisa menghalanginya.
"Tante nggak akan bisa bayangin kalo kamu beneran berada di tempat itu. Apa yang akan kamu rasakan. Mungkin kamu akan sama kayak Tante sekarang,"
Gabriella pun juga tak bisa membayangkan apa yang akan terjadi jika ia benar-benar berada di tempat itu.
"Tante nggak habis pikir Sandy setega itu melakukan ini sama anaknya sendiri,"
"Tante tau Papa aku?"
Mona mengangguk, "Tante sangat tahu bagaimana dia," ujarnya sembari mengepalkan tangan kuat.
"Dulu Papa baik banget sama aku, dia bahkan gak pernah sekali pun ngebentak aku. Tapi setelah Mama meninggal Papa berubah. Dia jadi kasar dan suka mukulin aku, aku nggak tau apa yang udah ngebuat Papa berubah,"
Ingin sekali Mona memberitahukan kebenaran pada Gabriella. Kebenaran bahwa Sandy bukanlah ayah kandungnya.
"Gabriella...."
"Iya Tante,"
"Sebenarnya ada hal yang ingin Tante sampaikan sama kamu,"
Alis Gabriella tertaut, "Apa Tante?"
"Sebenarnya Sandy...."
"Papa kenapa Tante?"
"Dia--dia bukan--ayah kandung kamu,"
Bersambung
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Hai akhirnya aku kembali, bagaimana jangan lupa votmen dan krisannya ya😉
With Love
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro