08 >> Tempat Tinggal
Budayakan membaca notes, vote, dan comment ya😊
Sorry for any typo(s)
Selamat membaca🤗
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Gabriella menggigit bibir bawahnya kuat-kuat menahan rasa sakit sekaligus perih menjalar ke seluruh tubuhnya. Saat ini ia tengah berada di sebuah klinik yang untungnya saja masih buka hingga dini hari. Setelah kejadian tabrakan beberapa waktu lalu Gabriella harus menerima beberapa luka lecet di tangan sekaligus kakinya.
"Auch... "
"Tahan sebentar ya, Mbak. Bentar lagi selesai kok,"
Dokter wanita itu dengan telaten memberikan antibiotik untuk lukanya sekaligus menutupnya dengan perban. Beruntungnya luka yang didapat Gabriella pun tak terlalu parah hanya lecet namun lecetnya cukup besar.
Gabriella melirik sebentar ke arah pria yang menabraknya tadi. Pria itu tengah duduk di kursi samping ranjang sambil bersedekap. Gabriella mendengus pelan, bahkan sampai saat ini pun ia belum tahu siapa nama pria itu. Ketika Gabriella melihatnya tanpa sengaja tatapan mereka bertemu. Lalu dengan segera Gabriella menunduk menghindari tatapannya.
Gabriella harus bersyukur karena pria yang menabraknya itu mau bertanggung jawab dengan membawanya ke klinik. Ia tak tahu apa yang terjadi jika penabrak itu tidak mau bertanggung jawab. Gabriella benar-benar harus berterima kasih padanya.
"Sudah selesai,"
"Terima kasih, Dok," ucap Gabriella.
Lalu dokter tersebut pergi meninggalkan Gabriella untuk merapihkan alat-alat medisnya. Kemudian Gabriella pun mencoba turun dari ranjang, namun keseimbangannya belum pulih ia pun hampir terjatuh jika saja badannya tidak ditahan oleh seseorang.
"Ati-ati,"
Gabriella tak mampu berkata-kata ketika tahu siapa yang berusaha menahannya agar tak terjatuh. Dia adalah seseorang yang menabraknya tadi.
"Terima kasih," ujar Gabriella.
Kemudian laki-laki itu hanya mengangguk dan mencoba memapah Gabriella mengikuti langkah dokter tadi.
"Nah, Mas, Mbak. Ini obat yang harus diminum oleh Mbaknya. Tiga hari sekali bisa kontrol lagi kesini buat ganti perbannya. Kalo misalkan anda bisa melakukannya sendiri di rumah ya tidak apa-apa tidak harus kontrol ke sini lagi," jelas dokter wanita itu.
"Iya Dok, makasih,"
"Ehm, itu Mas nya gak mau diobati juga? Wajah Mas lebam seperti itu," ucap dokter wanita itu.
"Nggak usah saya nggak papa," Pria itu menggeleng.
Dengan jelas Gabriella bisa melihat jika wajah pria itu lebam, dan juga sudut bibirnya sobek. Kenapa tidak sekalian diobati?
"Oh ya sudah kalau begitu,"
Pria itu memapah Gabriella dan keduanya memasuki mobil. Kemudian meninggalkan klinik tersebut. Selama perjalanan keduanya hanya diselimuti keheningan.
"Rumah lo di mana?"
Gabriella terdiam ketika pria itu menanyai tentang rumahnya. Ia tidak tahu harus menjawab apa.
"Kalo ditanya tuh jawab, jangan diem,"
Suara tegas pria itu membuat Gabriella berjengit takut. Kemudian ia pun menggeleng pelan. Baru saja ia merasakan kehangatan dari si pria itu. Namun, sekarang sikapnya dingin kembali. Tiba-tiba saja mobil yang ditumpanginya berhenti, membuat badan Gabriella terantuk ke depan.
"Gue tuh butuh jawaban bukan gelengan, ngomong!" sentak pria tadi.
"Sa...saya me...mang ng...nggak pu...punya rumah disini, saya orang baru disini," jawab Gabriella tergagap.
Gabriella mendengar suara helaan napas keluar dari mulut pria itu.
"Kalo lo gak punya tempat tinggal terus gue harus bawa lo kemana?"
Gabriella pun menggeleng pelan. Ia pun juga bingung di mana ia tinggal setelah ini. Kemudian pria itu kembali menjalankan mobilnya. Melanjutkan perjalanan yang entah akan membawa mereka ke mana.
***
Adrian menganggap bahwa hari ini benar-benar hari yang sial untuknya. Mulai dari kejadian di club tadi hingga kecerobohannya yang menyebabkan dirinya menabrak seseorang. Dan sekarang ia juga dibuat bingung memikirkan ke mana ia harus membawa wanita ini?
Astaga, rasanya Adrian ingin berteriak sekencang-kencangnya sekarang. Ia pun kembali mengusak rambutnya kasar sangat menandakan jika ia tengah frustasi.
"Lo bener-bener nggak punya keluarga di Jakarta apa?" tanya Adrian.
Wanita yang ditabraknya itu hanya diam dan mengangguk pelan. Berkali-kali Adrian menghembuskan napas besar. Ia mencoba memecahkan masalah yang tengah di hadapinya. Seketika itu ia teringat akan seseorang yang mungkin bisa membantu untuk menampung wanita ini sementara waktu.
Adrian pun mempercepat laju mobilnya menuju tempat seseorang yang dimaksudnya tadi.
"Nama lo siapa?" tanya Adrian memecah keheningan.
"Gabriella,"
"Hah apa?"
"Nama saya Gabriella,"
"Nama lo ribet,"
Gabriella pun terdiam dan tak berniat menjawab lagi.
"Ok, Gabe- Gabe siapa tadi, ah udahlah siapa aja nama lo. Gue Adrian," ujar Adrian memperkenalkan diri.
"Mas Adrian, terima kasih sudah menolong saya, saya bener-bener nggak tau apa yang akan terjadi kalau Mas Adrian nggak ada,"
Sejujurnya Adrian merasa geli sendiri ketika seseorang memanggilnya dengan embel-embel 'Mas'.
"Panggil gue Adrian aja gak pake Mas,"
"Tapi saya nggak enak kalo manggilnya pake nama aja," ucap Gabriella.
"Serah lo dah,"
Kemudian keheningan kembali menyelimuti mereka berdua. Keduanya fokus akan pikiran masing-masing. Tak butuh waktu lama akhirnya mobil Adrian pun berhenti di depan sebuah rumah.
"Lo tunggu sini bentar," ucap Adrian pada Gabriella.
Adrian pun keluar mobil dan berjalan menuju rumah tersebut. Ia mengetuk beberapa kali pintu rumah itu.
'Tok... Tok... '
"Sal... Buka pintunya ini gue Adrian,"
'Tok... Tok... '
"Salwa... Lo di dalem kan,"
Tak berselang lama pintu pun terbuka.
'Ceklek'
Menampilkan seorang wanita yang masih lengkap menggunakan mukenahnya. Wanita tersebut hanya menatap Adrian datar.
"Kalo bertamu itu biasain salam bisa nggak sih,"
Adrian memutar bola matanya malas.
"Assalamu'alaikum," ucapnya kemudian.
"Wa'alaikumussalam, ada apa malem-malem begini kesini?" tanya Salwa.
"Bentar tunggu,"
Kemudian Adrian berlari meninggalkan Salwa menuju mobilnya. Salwa pun mengerutkan dahinya heran. Ia pun sedikit melongokkan kepalanya melihat apa yang sebenarnya dilakukan Adrian. Salwa memicingkan matanya ketika melihat Adrian memapah seseorang keluar dari mobilnya.
"Siapa dia?" gumam Salwa pelan.
Adrian pun kembali berjalan mendekati Aisyah sembari memapah seorang wanita dengan lengan dan kakinya yang diperban.
"Bantu gue bawa dia ke dalem," ujar Adrian.
Dengan sigap Salwa ikut membantu memapah wanita yanh dibawa Adrian. Banyak pertanyaan dalam benaknya. Namun, ia tahan.
Setelah itu, mereka mendudukkan wanita itu di sofa ruang tamu kontrakan Salwa. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun Adrian pergi begitu saja menuju dapur Salwa. Salwa pun semakin bingung dengan kelakuan Adrian akhirnya ia mengikuti Adrian.
Adrian dengan santai mengambil sebotol air mineral dari dalam kulkas dan menenggak airnya hingga tersisa setengah. Salwa sudah biasa melihat kebiasaan Adrian yang seenaknya jika bertamu ke kontrakannya. Hal itu tidak asing lagi karena memang mereka sudah bersahabat dari kecil.
"Adrian," panggil Salwa.
Adrian hanya melirik sekilas lalu melanjutkan kegiatan minumnya.
"Siapa dia?" tanya Salwa.
Adrian mendengus.
"Lo tanya aja sama dia. Gue capek mau pulang,"
Salwa mengernyitkan dahi bingung, tak habis pikir dengan jawaban Adrian yang begitu santainya.
"Adrian jangan gitu dong, kamu yang bawa dia ke sini. Kamu harus jelasin dia siapa. Kenapa kamu bisa bawa dia, apalagi dengan kondisinya yang seperti itu,"
Adrian menghela napas panjang.
"Gue gak sengaja nabrak dia,"
"Innalillahi, terus?"
"Lo bawel banget sih Sal pusing gue dengernya," ucap Adrian sambil menekan pelipisnya.
"Aku kan minta penjelasan dari kamu Ad,"
"Kalo lo mau tau lebih jelasnya tanya aja ama dia. Gue bener-bener capek mau pulang,"
Salwa menggeleng pelan, melihat sikap Adrian yang sama sekali tidak bisa diajak kompromi.
"Terus kenapa wajah kamu lebam kayak gitu, kamu abis berantem?" tanya Salwa lagi.
Adrian memutar bola matanya malas. Merasa jengah sekaligus bosan dengan cecaran pertanyaan dari Salwa.
"Sumpah lo kok ngeselin lama-lama, berisik bawel lagi. Udahlah gue balik,"
Kemudian Adrian berjalan meninggalkan Salwa. Salwa mendengus pelan, dari dulu sama saja sikap Adrian tak berubah.
"Adrian tunggu,"
Adrian seakan menulikan pendengarannya dan terus melangkah ke depan. Sesampainya di ruang tamu Adrian melirik Gabriella yang tengah duduk sambil menunduk.
"Untuk sementara waktu, lo bisa tinggal disini,"
Ucapan Adrian membuat Gabriella sontak mendongak. Lalu Adrian kembali melanjutkan langkahnya.
"Adrian.... "
Salwa pun berlari kecil mengikuti langkah Adrian. Mau tidak mau Adrian pun menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah Salwa.
"Apa?" tanyanya datar.
"Ini bawa, obati luka kamu,"
Salwa memberikan sebuah obat merah dan plester untuknya. Ia sangat tahu jika Adrian adalah tipikal seseorang yang sangat cuek dengan dirinya sendiri. Jikalau tidak seperti ini ia yakin jika Adrian pasti akan langsung pergi tidur tanpa mengobati lukanya terlebih dahulu.
"Jangan lupa obati dulu jangan langsung tidur, biar luka kamu gak infeksi," jelas Salwa.
Adrian hanya mengangguk.
"Gue balik," kemudian Adrian melanjutkan langkahnya menuju mobilnya.
"Hati-hati," teriak Salwa.
Adrian hanya mengangkat tangannya sebagai isyarat bahwa ia akan hati-hati. Salwa menghela napas panjang begitulah Adrian ia sudah sangat hapal dengan sikapnya yang begitu dingin dan cuek. Namun, sebenarnya hatinya begitu rapuh. Salwa tahu apa yang membuat Adrian menjadi sosok yang begitu dingin. Ia merindukan pribadi Adrian yang dulu, pribadi yang hangat dan ceria.
Salwa menatap punggung Adrian yang semakin menjauh.
"Aku harap nggak terjadi apa-apa sama kamu," gumam Salwa.
Bersambung....
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Bagian kedelapan sudah up, hari ini khusus update dua kali😁 untuk selanjutnya akan kembali seperti biasa, update hari rabu dan minggu.
With Love
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro