Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

05 >> Malam Kelam

Budayakan membaca notes, vote, dan comment ya😊

Selamat membaca🤗

Sorry for any typo(s)
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

------------------------------------------

"Menangislah, bukan karena kau lemah. Setidaknya air mata yang kau keluarkan mampu mengurangi sedikit beban yang sedang kau rasa."

------------------------------------------

Dentuman keras suara musik terdengar begitu memekakan telinga. Bau alkohol dan asap rokok menyeruak memenuhi club yang terkenal di ibukota ini.

Pria dan wanita saling menggoyangkan badan mengikuti irama musik. Suara tawa begitu lepasnya menggelegar tanpa peduli apa yang mereka perbuat itu salah dan tak beradab.

Di pojok club, terdapat segerombolan pria dewasa ditemani beberapa wanita dengan pakaian yang begitu minimnya menunjukkan lekuk tubuh mereka.

Salah seorang pria paruh baya duduk di sofa panjang dengan ditemani dua wanita di sampingnya. Sedangkan ada pria yang mengenakan jaket kulit duduk di depannya.

"Gue udah bawa dia Bos, sekarang mana bayaran gue," ujar pria berjaket kulit itu.

Pria yang dipanggil bos tadi menyeringai kemudian berbisik kepada anak buahnya. Lalu si anak buah mengangguk dan pergi meninggalkannya.

"Gue nggak habis pikir lo berani ngejual anak lo sendiri ke gue, nggak nyesel lo?" kata si bos itu.

Si pria berjaket kulit tadi menggeleng, "Buat apa nyesel, dia bukan anak gue jadi ya buat apa gue ngerawat dia, buang-buang waktu," ujarnya.

"Sandy... Sandy... dari dulu sampe sekarang sama aja liciknya,"

Rupanya pria berjaket kulit tadi ialah Sandy, ayah tiri Gabriella. Dia sedang menemui bosnya yang merupakan pemilik salah satu club malam terkenal di Jakarta.

Sandy menyeringai, "Gue bakalan ngelakuin apapun, meskipun gue harus nyingkirin orang lain,"

Si bos hanya menggeleng melihat Sandy yang memiliki ambisi begitu besar, bahkan ia rela menghalalkan segala cara hanya untuk mendapatkan apa yang ia inginkan.

Tak berselang lama anak buah tadi datang dengan membawa sebuah koper kecil dan memberikannya pada si bos.

"Itu bayaran lo," bos itu melemparkan koper tadi ke arah Sandy.

Sandy menyeringai kecil, "Oke thank's Bos, gue jamin lo gak bakalan nyesel dapetin dia," ujarnya.

"Semoga aja, tapi kalo dia gak memuaskan awas lo,"

Sandy hanya menyeringai lalu pergi meninggalkan bosnya. Sandy memasukkan salah satu tangannya dalam saku celana dan tangan yang lain membawa koper yang berisikan uang.

"Nikmatnya, sekarang gue gak perlu repot-repot lagi ngerawat si anaknya Surya itu," tawa Sandy menggelegar.

Sandy berjalan santai sambil bersiul. Sembari sesekali melirik nakal wanita-wanita yang berada di club.

'Bruk'

Sandy menggeram emosi ketika seorang laki-laki baru saja menabraknya.

"Woi punya mata gak sih lo?" protes Sandy. Seseorang yang menabrak Sandy tadi hanya melirik sekilas lalu kembali melenggang begitu saja tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

Sandy mengernyitkan dahinya, lalu tertawa pelan, "Untung gue sabar kalo gak udah gue babat habis tuh orang," gumam Sandy.

Kemudian Sandy menepuk jaket kulitnya, lalu kembali berjalan keluar meninggalkan area club.

***

Gabriella mengerjapkan matanya pelan, ia mencoba menyesuaikan penglihatannya. Ia melihat sekeliling, serasa asing. Ia berada di sebuah kamar dengan kasur king size-nya. Gabriella mencoba mengingat kejadian sebelum ia bisa berada di ruangan ini. Pikirannya teringat pada Sandy, ayah tirinya. Terakhir kali yang ia ingat adalah dia bersama ayahnya dan pria tak dikenal.

"Aku dimana?" gumamnya.

'cklek'

Gabriella mengalihkan pandangannya pada seorang wanita muda yang mungkin seumurannya baru saja masuk. Gabriella mengernyitkan dahinya samar, ia sedikit risih melihat wanita tadi menggunakan make up tebal serta pakaian minim nan ketat.

"Akhirnya bangun juga," ujar wanita itu, ia pun berjalan mendekat ke arah Gabriella.

"Siapa kamu?" tanya Gabriella.

Wanita tadi tak menghiraukan pertanyaan Gabriella. Ia malah berjalan mendekat ke arah lemari dan mengeluarkan sebuah gaun malam, lalu ia melemparkan baju itu ke arah Gabriella.

"Cepet pake itu," perintahnya.

Gabriella menatap sekilas gaun malam itu, lalu kembali menatap wanita tadi.

"Kenapa aku harus pakai baju ini?" tanya Gabriella heran.

Wanita tadi bersedekap sembari menatap Gabriella datar.

"Sekarang lo itu udah jadi bagian dari kita," ujar wanita tadi.

Gabriella mengerutkan dahinya, "Bagian dari kalian? Maksudnya apa?" tanyanya tak mengerti.

"Lo udah dijual sama bapak lo sendiri,"

Deg.

Gabriella sungguh tak percaya dengan apa yang dikatakan wanita itu. Ia dijual? Oleh papanya sendiri? Bagaimana bisa?

Gabriella menunduk dalam, tanpa sadar air matanya menetes. Ia benar-benar tak menyangka jika papanya akan melakukan hal ini. Bahkan ia rela melakukan hal sekeji itu pada anaknya sendiri.

"Heh malah nangis, cepet pake bajunya, atau kalo nggak gue aduin lo ke bos," sentak wanita tadi.

Gabriella menggeleng cepat, "Aku nggak mau," tolaknya.

Wanita tadi menatap Gabriella marah, "Heh gak usah sok suci lo, lo tuh sekarang udah jadi bagian dari kita,"

Wanita tadi mendekat ke arah Gabriella lalu mencengkram lengannya kuat, "Sekarang pake bajunya nggak usah banyak omong,"

Gabriella meringis pelan merasakan lengannya yang dicengkram begitu kuat.

"Aku nggak mau," tolak Gabriella sekali lagi.

"Lo udah mulai berani hah?"

Wanita tadi mengangkat tangannya hendak menampar Gabriella. Namun, lengannya dihentikan oleh seseorang. Wanita tadi menoleh dan tatapannya berubah kaget ketika tahu siapa yang menghentikannya.

"Mami Mona," ucap wanita tadi.

Wanita yang dipanggil 'Mami Mona' itu hanya menatap datar wanita tadi, dan menghempaskan tangannya begitu saja.

"Lebih baik kamu keluar sekarang Angel, biar aku yang mengurus anak ini," ujar Mami Mona.

Wanita yang bernama Angel itu mengangguk lalu meninggalkan ruangan. Namun, sebelum itu ia menatap tajam ke arah Gabriella lalu berjalan keluar.

Gabriella hanya menunduk, ia takut. Perasaannya kalut, saat ini ia hanya ingin pulang. Pergi dari tempat asing ini.

Gabriella lalu mendongak, "Aku mohon lepaskan aku, aku mohon biarkan aku keluar dari sini," lirihnya.

Gabriella mencoba memohon kepada Mona untuk dibiarkan keluar dari ruangan itu. Namun, Mona hanya menatapnya datar tanpa berniat menjawab.

Air mata Gabriella sudah membasahi pipi mulusnya, ia menatap Mona dengan tatapan memohon.

"Aku mohon lepaskan aku, Nyonya," pinta Gabriella.

Mona hanya menatap sekilas, ia malah mengambil gaun malam yang ada di genggaman Gabriella.

"Kita tidak punya waktu banyak, cepat pakai sebelum si tua bangka itu kesini," kata Mona datar.

Gabriella langsung menggeleng keras, tangisnya semakin pecah, "Kumohon, jangan suruh aku untuk memakainya,"

Mona memutar bola matanya malas, ia memegang kedua bahu Gabriella agar ia tenang. Lalu Gabriella pun menghentikan pergerakannya.

"Hei Nak, jika kau sudah masuk kesini. Kau tidak akan bisa keluar, kau sudah dijual. Jadi kau harus patuhi semua aturan disini. Jika tidak, maka kau akan.... "

Mona mendekatkan bibirnya ke telinga Gabriella.

"Mati," bisiknya.

Gabriella terdiam, terpaku. Mengapa hidupnya begitu menyedihkan sekarang? Berakhir di tempat laknat seperti ini.

Mona menjauhkan dirinya dari Gabriella, "Sekarang cepat pakai bajunya, setelah itu aku akan mendandanimu,"

Ketika Mona hendak berbalik, lengannya ditahan oleh Gabriella.

"Apa lagi?" tanya Mona.

Gabriella mendongak, dengan wajah yang sudah tidak karuan. Mata yang sembab dan hidung memerah.

"Apa tidak ada lagi jalan untuk keluar dari tempat ini? Hanya kau yang bisa membantuku, kumohon beritahu aku," ujar Gabriella memohon.

Mona mengalihkan pandangannya ke arah lain, batinnya berteriak. Sungguh ia tidak tahan melihat hal seperti ini. Ia semakin teringat dengan masa lalunya yang juga kelam. Bagaimana ia dulunya juga dipaksa untuk bekerja di tempat laknat ini. Mona sungguh benci situasi seperti ini.

"Siapa namamu?" tanya Mona.

"Gabriella,"

Mona menatap lekat mata Gabriella, entah mengapa ketika melihat manik mata Gabriella, ia teringat seseorang. Ia teringat sahabatnya. Lalu ia menggeleng, tidak mungkin bahkan Gabriella dan sahabatnya jauh berbeda.

"Tidak ada jalan keluar, sekarang cepat pakai bajunya," kata Mona.

Gabriella hanya menangis, ia kembali menatap Mona. Ia menggeleng pelan, ia sungguh tidak mau melakukan hal ini.

Mona terdiam, manik mata Gabriella benar-benar mengingatkannya pada seseorang.

"Mengapa ketika aku melihatnya aku teringat Martha?" gumam Mona. Namun, masih bisa terdengar oleh Gabriella.

Perkataan Mona semakin membuat Gabriella penasaran, mengapa ia bisa mengenal mamanya.

"Apa anda mengenal mama saya?" tanya Gabriella kemudian.

Mona menatap Gabriella, "Mama?" tanyanya.

"Iya, Martha adalah mama saya,"

Alis Mona menyatu. Ia tak menyangka dengan apa yang diucapkan Gabriella.

"Apa yang kamu katakan hah?" tanya Mona tak percaya.

Gabriella menunduk takut, mendengar bentakan Mona, "Saya mendengar anda bergumam dan tidak sengaja saya mendengar kata Martha. Martha adalah nama mama saya," jelas Gabriella.

Mona menatap Gabriella dengan tatapan menyelidik, "Apa mamamu bernama Martha Christiani?" tanyanya memastikan.

Kemudian Gabriella pun mengangguk pelan.

Mona langsung menutup mulutnya tak percaya. Mona menyentuh pipi Gabriella pelan, "Astaga, apa benar kamu anak Martha?"

Gabriella mengerutkan dahinya, kemudian ia mengangguk pelan. Mona tak bisa menutupi keterkejutannya, ia langsung memeluk Gabriella dengan erat. Gabriella pun merasa bingung mengapa ia tiba-tiba dipeluk.

"Nyonya?" gumam Gabriella.

"Aku tak menyangka bisa bertemu denganmu disini Gabriella, mamamu adalah sahabatku pantas jika aku kenal dengan mamamu," kata Mona.

Gabriella pun tersenyum, setidaknya ia mengenal seseorang di tempat ini.

Mona melepaskan pelukannya dan menatap Gabriella, "Sekarang kamu bisa memanggilku Tante Mona," ujar Mona. Gabriella pun mengangguk.

Tak berselang lama raut wajah Mona berubah, "Tunggu sebentar, lalu bagaimana kamu bisa berada di tempat ini?" tanya Mona.

Gabriella menggeleng pelan, "Aku tidak tahu, terakhir yang kuingat aku bersama dengan Papaku," jawab Gabriella lirih.

Seingat Mona suami Martha adalah Surya. Jikalau Gabriella kesini bersama papanya berarti itu adalah Surya. Mona benar-benar tak mengerti sekarang bagaimana bisa Surya melakukan hal ini, menjual anaknya sendiri.

"Jadi Surya yang sudah membawamu kemari?" tanya Mona.

Gabriella menautkan kedua alisnya, "Siapa itu?" tanyanya pada Mona.

Mona semakin bingung dan tak mengerti dengan apa yang diucapkan Gabriella, "Bukankah kamu bilang jika kamu kesini dengan papamu, bukankah papamu bernama Surya?"

Sekarang giliran Gabriella yang kebingungan dengan ucapan Mona, kemudian Gabriella menggeleng pelan, "Papaku bukan Surya, tapi Sandy,"

Mona membelalakkan matanya kaget, "Sandy?" teriaknya.

Gabriella mengangguk.

Mona menundukkan wajahnya, mencoba mengingat sesuatu, "Bukankah Martha menikah dengan Surya, tapi kenapa malah jadi Sandy," batin Mona.

Mona sungguh tak mengerti apa yang sebenarnya terjadi pada keluarga Martha. Seingatnya Martha menikah dengan Surya, tapi kenapa Gabriella mengatakan bahwa papanya adalah Sandy. Yang mana Sandy adalah sahabat Surya.

"Tante sudah terlalu lama tidak bertemu dengan mamamu, mungkin sudah banyak yang berubah. Oh ya bagaimana dengan kabar mamamu?" tanya Mona.

Wajah Gabriella berubah sendu, ia menunduk, "Mama sudah meninggal satu tahun yang lalu, dan aku hanya tinggal bersama papa,"

Mona tak kuasa menutupi keterkejutannya, ia menutup mulutnya. Tanpa sadar air matanya menetes, terakhir kali ia bertemu Martha sudah begitu lama dan sekarang ia sudah tak akan bisa bertemu dengan Martha lagi.

"Aku benar-benar sahabat yang buruk, aku bahkan tidak tahu dengan kabar sahabatku sendiri," ujar Mona.

Gabriella mengusap bahu Mona pelan, menyalurkan rasa kehangatan padanya.

"Tante Mona nggak papa?" tanya Gabriella.

Mona mengelus pipi Gabriella lembut, "Aku turut berduka atas kematian ibumu, maafkan aku yang tidak tahu apa-apa,"

Gabriella menggeleng pelan, "Tidak Tante, Tante tidak perlu meminta maaf,"

Mona menatap Gabriella, lalu ia tersenyum. Memang benar, Gabriella semacam tiruan Martha. Ia memiliki manik mata yang begitu jernih nan indah sama seperti mata Martha. Gabriella pun memiliki sifat yang sama dengan ibunya lembut dan baik hati.

Lalu ia teringat suatu hal, ia harus segera membawa Gabriella keluar dari sini.

"Kamu harus keluar dari sini Gabriella," ucap Mona serius.

"Tapi bagaimana caranya Tante?"

Mona mencoba berpikir menemukan jalan keluar untuk membebaskan Gabriella dari tempat ini.

"Kamu tunggu disini, biar Tante cari jalan keluarnya," kemudian Mona beranjak meninggalkan ruangan itu.

Gabriella berdoa semoga Mona dapat menemukan jalan keluar untuknya, "Semoga Tante Mona segera kembali," lirirhnya.

Bersambung....

.
.
.
.
.
.
.
.
.

Halooohaaa bagian kelima sudah terjunnn, gimana?
Kayaknya udah ketebak banget ya alurnya😁 di chapter kemaren udah ada yang bisa nebak gimana jalan ceritanya wkwk.
Ya berarti gak bikin penasaran lagi dong😓, aku bebasin buat para pembaca untuk berspekulasi gimana sih kelanjutan cerita ini😄. Tapi tetep aku yang tau gimana akhrinya😅

Oh ya misalkan kalo tulisanku ada kesalahan tegur aja gapapa tapi negurnya jangan kasar-kasar😆 soalnya hatiku mudah rapuh seperti sayap laron😂
Udah kali ya buat notes-nya, jangan lupa vote dan komennya sama kritik sarannya juga kalo bisa ya😄

With Love

missookaa😙

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro