02 >> Terungkap
Budayakan vote dan comment😊
Sorry for any typo(s)
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Hari ini tepat satu minggu Surya dimakamkan. Martha pun sudah menyiapkan diri untuk mendatangi makam Surya dengan meminta Sandy untuk mengantarkannya. Ia baru bisa pergi sekarang, karena sebelumnya masih dalam proses pemulihan usai melahirkan.
Sepanjang perjalanan Martha hanya menatap kosong jalanan. Bahkan selama seminggu ini ia hanya sering diam dan melamun. Sandy yang melihat keadaan Martha merasa iba. Ia pun juga sudah mencoba menghiburnya. Namun, itu tak bisa mengubah semuanya.
Tak butuh waktu lama keduanya pun sampai di areal pemakaman. Sandy pun mendorong kursi roda Martha memasuki areal pemakaman.
Akhirnya mereka berdua pun sampai di depan gundukan tanah yang masih basah dan dipenuhi oleh bunga.
Martha menatap kosong gundukan tanah di depannya. Hatinya tak kuasa menatap nisan yang bertuliskan nama suami tercinta. Ia benar-benar tak menyangka jika Surya akan meninggalkannya secepat ini. Perlahan air mata Martha membasahi pipinya.
Hatinya begitu sakit mengingat kenangannya bersama Surya selama ini. Bagaimana perjuangan cinta mereka berdua, perjuangan mempertahankan hubungan meskipun tak mendapat restu keluarga dan perbedaan antara keduanya tak membuat mereka berpisah.
Sebenarnya pernikahan mereka tak direstui oleh kedua orang tua mereka. Hal itu dikarenakan perbedaan keyakinan antara keduanya, Martha yang seorang christiani dan Surya seorang muslim. Namun, karena cinta, mereka tetap menikah walaupun terhalang oleh restu kedua orang tua.
"Mas Surya... kenapa kamu pergi secepat ini Mas? Bukannya Mas berjanji akan selalu bersamaku, saat ini kita sudah punya seorang putri cantik. Bagaimana dengan nasib dia nanti Mas? Mas Surya...."
Air mata Martha tak bisa terbendung lagi, ia menangis sesegukan. Sandy pun langsung berjongkok di depan Martha.
"Kenapa? Kenapa Tuhan tidak adil padaku, kenapa Dia mengambil Mas Suryaku, kenapa? Hiks...hiks... kenapa?"
Sandy mengusap bahu Martha pelan, "Kumohon tenanglah Martha,"
"Hiks... hiks... sekarang aku harus bagaimana Mas, aku tidak punya siapa-siapa lagi sekarang," ujar Martha pada Sandy.
Sandy menghela napas pelan, "Kamu nggak sendirian Martha kamu masih punya aku, aku akan selalu bersamamu dan juga Gabriella,"
Martha menatap Sandy, "Apa maksud Mas?" tanyanya.
Sandy mengulurkan tangannya, dia menyeka air mata di pipi Martha, "Aku mencintaimu Martha,"
Martha mengernyitkan dahinya, "Mas...."
"Aku sudah mencintaimu sejak lama Martha, aku menyayangimu. Dan sekarang biarkanlah aku menjadi pendampingmu, aku akan menjagamu dan juga Gabriella,"
Martha terdiam, ia sungguh tak mengira jika Sandy akan mengatakan itu.
"Mas Sandy aku baru saja kehilangan Mas Surya dan sekarang dengan mudahnya kamu mengatakan itu," ungkap Martha tak percaya.
"Aku juga tak memaksamu Martha, aku akan menunggumu,"
Martha memegang kepalanya yang tiba-tiba terasa pening. Ia baru saja ditinggal oleh suaminya ditambah dengan ucapan Sandy yang semakin membuatnya bingung.
"Kamu tidak apa-apa kan Martha?" tanya Sandy khawatir.
Sandy mencoba memegang tangan Martha, namun Martha menepisnya.
"Tolong jangan ganggu aku dulu Mas," kata Martha.
Sandy menghela napas, mencoba menahan emosinya, "Baiklah, aku pergi dulu jika kamu sudah tenang kamu bisa menghubungiku," kemudian Sandy beranjak pergi meninggalkan Martha.
Martha menghela napas besar, semua ini terasa begitu tiba-tiba. Kematian Surya, pengakuan Sandy. Itu semua membuatnya semakin bingung.
Martha menunduk dalam, air matanya tak henti mengucur membasahi pipi. Ia tak bisa membayangkan bagaimana kehidupannya selanjutnya tanpa adanya Surya.
Ia pun juga tak yakin dengan tawaran Sandy. Apakah Sandy merupakan pilihan terbaik untuk hidupnya kelak?
"Martha...."
Merasa terpanggil Martha pun menolehkan kepalanya. Ia terkejut dengan siapa yang datang menemuinya.
"Mbak Saidah?" gumam Martha.
Saidah adalah kakak dari suaminya, Surya. Seluruh keluarga Surya menentang hubungan Martha dan Surya. Namun, hanya Saidah lah yang menyetujui hubungan mereka, walaupun masih teringat jelas bagaimana ekspresi kecewanya melihat sang adik menikah dengan Martha.
"Gimana kabar kamu?" tanya Saidah.
"A...Aku baik Mbak, Mbak sendiri?"
Saidah menggeleng pelan, "Kamu tau sendiri bukan bagaimana perasaan seorang kakak yang kehilangan adiknya,"
Ucapan Saidah membuat hati Martha terasa ngilu, ia pun juga merasakan apa yang dirasakan Saidah.
"Kamu pasti lebih terluka dengan semua ini, kamu pasti mengalami banyak kesulitan," ujar Saidah lirih.
"Aku harap kamu baik-baik saja Martha," lanjut Saidah.
"Terima kasih Mbak," jawab Martha.
Saidah menatap Martha yang tengah menggunakan kursi roda, di benaknya timbul pertanyaan, "Kenapa kamu menggunakan kursi roda Martha?" tanya Saidah.
Martha terdiam sejenak, selama ini Saidah tidak pernah tahu jika dirinya hamil, "Itu... aku baru saja melahirkan Mbak,"
Saidah menutup mulutnya tak percaya, "Masyaallah, kapan?"
"Satu minggu yang lalu," jawab Martha.
Saidah tak bisa menutupi betapa terkejutnya ia. Martha melahirkan bertepatan dengan meninggalnya Surya.
"Ya Allah, Martha maafkan aku, aku sungguh kakak yang buruk bagimu. Bahkan aku tidak tahu jika adik iparku melahirkan keponakanku,"
"Mbak jangan merasa bersalah seperti itu,"
Saidah tersenyum, "Lalu bagaimana keadaan keponakanku sekarang?" tanyanya.
Martha tersenyum, "Dia sehat Mbak, dia seorang perempuan," jawab Martha sembari tersenyum.
Saidah bernapas lega, setidaknya Martha melahirkan dengan lancar dan sekarang anaknya pun sehat.
"Alhamdulillah, siapa namanya?"
"Namanya Gabriella,"
Saidah terdiam sejenak, "Gabriella?"
Martha mengerti mungkin Saidah kurang setuju dengan nama itu, "Maafkan aku Mbak, aku akan membuatnya berkeyakinan sama denganku. Sekarang hanya dialah yang aku miliki, maaf jika aku tidak bisa membuatnya sama dengan Mas Surya," ujar Martha.
Saidah mengusap bahu Martha pelan, "Aku percaya padamu Martha, kamu pasti akan menjadi ibu yang baik bagi Gabriella. Aku tak bisa memaksamu untuk berpindah ke agama kami, itu semua adalah hakmu. Begitupun juga Gabriella dia adalah tanggung jawabmu sekarang, kewajibanmu sekarang untuk mendidiknya. Namun, jika kamu membutuhkan bantuan jangan segan untuk meminta tolong padaku, aku juga kakakmu,"
Martha mengangguk ia merasa terharu dengan ucapan Saidah, itu membuatnya kembali mengingat Surya. Surya dan kakaknya benar-benar orang baik.
"Terima kasih Mbak,"
Kemudian Saidah berjongkok di depan Martha dan memeluknya, "Berbahagialah Martha,"
Martha membalas pelukan Saidah, air matanya terus menetes. Ia merasa beruntung karena Saidah benar-benar orang yang tulus.
***
Setelah dari pemakaman, Martha dan Sandy kembali ke rumah sakit untuk menjemput Gabriella. Hari ini Martha dan Gabriella sudah diperbolehkan untuk pulang.
Gabriella tertidur tenang di gendongan ibunya. Martha menatapnya sembari tersenyum, melihat kedamaian yang dirasakan Gabriella.
'Cklek'
Martha mengalihkan atensinya menatap Sandy yang baru saja memasuki ruang inapnya.
"Mobilnya sudah siap, apa kita pulang sekarang?" tanya Sandy.
Martha meletakkan Gabriella ke dalam box bayi, "Tunggu sebentar, aku ingin ke kamar mandi. Mas tolong jaga Gabriella ya," ucapnya.
Sandy mengangguk sebagai jawaban. Setelah itu, Martha pun menghilang di balik pintu kamar mandi. Sandy mendekati Gabriella yang tengah tertidur tenang di box-nya.
Perlahan ia mengulurkan tangannya mengusap pelan pipi Gabriella, "Kamu begitu mirip dengan Surya, ingin rasanya aku membuatmu sama sepertinya," Sandy pun menyeringai.
Wajahnya berubah menjadi datar, dan menatap Gabriella dingin. Tangan Sandy yang awalnya berada di pipi Gabriella kini perlahan berpindah ke lehernya.
"Asal kau tau ayahmu mati karena aku, dan tidak lama lagi kau pun juga akan mati," gumam Sandy dengan dinginnya.
Perlahan Sandy menekan leher Gabriella, namun tak berselang lama Gabriella menangis dengan kerasnya.
Bersamaan dengan itu Martha baru saja keluar dari kamar mandi, "Gabriella kenapa Mas?" tanya Martha.
Dengan tenang Sandy mengalihkan tangannya mengusap pipi Gabriella, "Aku juga tidak tahu tiba-tiba dia menangis begitu saja," jawabnya dengan tenang.
Martha menggendong Gabriella dengan hati-hati mencoba untuk menenangkannya, "Sstt... Sayang jangan menangis ya, udah ada Mama disini," kata Martha menenangkan Gabriella.
Sandy menatap keduanya dengan datar, "Mungkin sekarang masih belum bisa, tapi suatu saat nanti aku akan menghabisimu. Sama seperti Surya," batinnya.
Bersambung....
With Love
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro